Pages

Wednesday, November 11, 2009

SEhatnya Makan ONCOM

Tulisan ini didedikasikan buat kalian-kalian yang DOYAN buanget ama yang namanya ONCOM, tenang, meskipun LIMBAH, ternyata ONCOM itu ada gizinya juga he...3x

Oncom memiliki kandungan gizi yang relatif baik dan dapat menjadi sumber alternatif asupan gizi yang baik karena harganya murah. Kandungan karbohidrat dan protein tercerna cukup tinggi pada oncom dari bungkil kacang tanah. Selain itu, populasi kapang diketahui dapat menekan produksi aflatoksin dari Aspergillus flavus yang telah mencemari substrat (bungkil).

Degradasi yang dilakukan oleh kapang menyebabkan beberapa oligosakarida sederhana seperti sukrosa, rafinosa, dan stakhiosa menurun pesat kandungannya akibat aktivitas enzim α-galaktosidase yang dihasilkan kapang (terutama N. sitophila).[4] Hal ini baik bagi pencernaan karena rafinosa dan stakhiosa bertanggung jawab atas gejala flatulensi yang dapat muncul bila orang mengonsumsi biji kedelai atau kacang tanah.

Hal yang perlu disempurnakan agar daya terima masyarakat meningkat terhadap oncom adalah yang menyangkut penampilan, bentuk, serta warnanya. Untuk lebih meningkatkan daya terima oncom di masyarakat luas, perlu diperhatikan masalah sanitasi bahan baku, peralatan pengolah, dan lingkungan, serta higiene pekerja yang menangani proses pengolahan.

Dalam kaitan dengan aflatoksin, penggunaan kapang N. sitophila dalam proses fermentasi bungkil kacang tanah dapat mengurangi kandungan aflatoksin sebesar 50 persen, sedangkan penggunaan kapang Rh. oligosporus dapat mengurangi aflatoksin bungkil sebesar 60 persen. Aflatoksin dihasilkan pada kacang-kacangan dan biji-bijian yang sudah jelek mutunya. Untuk mencegah terbentuknya aflatoksin, sangat dianjurkan menggunakan bahan baku yang bermutu baik.

Maka, mari makan ONCOM, budayakan makan ONCOM, hidup ONCOM, pilih ONCOM, he...3x tapi jangan berlebihan ya. Kan nggak lucu kalau jadi mabuk ONCOM

Hidup itu melelahkan

Ada saat dimana hidup itu bisa menjadi sesuatu yang sangat melelahkan akal dan pikiran, beberapa manusia memilih untuk meninggalkan kehidupan itu dengan cara perlahan, melalui apa yang namanya, stress, kemudian mengalami gangguan kejiwaan, hingga mengidap apa yang kita sebut dengan penyakit gila. Pada tingkatan terparah, manusia yang merasa tidak lagi mampu menghadapi persoalan di dalam hidupnya, yang merasa tidak mampu menyelesaikan persoalan yang diberikan oleh Sang Maha Pemberi Kehidupan, kemudian dengan serta merta merasa menjaid manusia paling menderita di dunia, hingga akhirnya ia memilih mengakhiri hidupnya dengan cara paksa, “membunuh dirinya”


Pada situasi dan pada manusia yang berbeda, ketidak mampuan menghadapi persoalan tentang kehidupan, tidak hanya berdampak negative pada dirinya pribadi seorang, tetapi kemudian mengikut sertakan orang-orang yang berada di sekitarnya. Hingga ada dari mereka yang memilih mengakhiri hidup salah satu atau bahkan beberapa anggota keluarganya dengan alasan “rasa iba”. Dengan asumsi, bila anggota keluarganya tersebut hidup untuk waktu yang lama, maka pastilah akan menderita. Hal itu timbul sebagai akibat dari rasa khawatir berlebihan akan ketidakmampuan sang ayah tentang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Padahal, setiap manusia memiliki rezekinya tersendiri, setiap makhluk di dunia sudah Allah jamin tentang rezekinya dan segala hal lainnya yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh akal pikiran manusia, termasuk saya.

Masih ingat dengan seorang ibu muda yang berdomisili di bandung jawa barat, yang sedemikian rupa sehingga menghabisi nyawa ketiga anaknya, dengan alasan khawatir dengan masa depan mereka. Bila dilihat dari latar belakang pendidikan, sangatlah tidak mungkin ia mampu memiliki pikiran untuk menghabisi nyawa ketiga putra/I nya. Terlebih lagi bila mengingat tempat di mana suaminya bekerja. Tapi persoalan kehidupan tidak hanya melulu tentang latar belakang pendidikan, bukan juga tentang tempat dimana manusia itu bekerja, menghabiskan waktu setiap harinya. Tetapi lebih kepada sejauh mana ia memahami hakekat kehidupan itu sesungguhnya, sejauh mana ia yakin dan percaya kepada Rabb Yang Maha Menjamin setiap kebutuhan hamba Nya.

Nampaknya, untuk beberapa saat hal itu luput dari pandangan si ibu, dan nampaknya si ibu pun sempat luput dari pengamatan si ayah. Beberapa kasus berakhir sama, berujung pada mengakhiri hidup dengan cara paksa. Ada ibu yang meminum racun bersama anaknya, atau mengikut sertakan anak agar turut terbakar bersama dirinya. Sebagian besar untuk alasan yang sama, yaitu mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Ada yang merasa kesal pada suaminya, hingga membakar diri lalu meninggalkan anaknya seorang diri.

Pria dan wanita tidak jauh berbeda, ada yang menyakiti diri sendiri, ada juga yang menyiksa anggota keluarganya, hingga meletakkan buah hatinya pada lintasan kereta api.

Betapa kejam dunia, begitu beberapa manusia berkata. Tetapi tidak ada yang salah dengan dunia, semua bergantung pada manusianya. Perlu waktu panjang untuk memahami kalimat bahwasannya “dunia itu tempat sementara bagi manusia untuk mengumpulkan apa yang namanya amal ibadah sebagai bekal untuk kehidupan yang sesungguhnya”.

Hidup itu indah, amat sangat indah dengan segala persoalan, permasalahan yang ada di dalamnya. Kesadaran manusia akan kebutuhan mereka pada Tuhan yang menciptakan mereka, menjadi tolak ukur sejauh mana ia akan bertahan menghadapi segala persoalan, permasalahan, ujian yang diberikan padanya.

Semakin tipis tingkat kesadaran, semakin besar kecintaan pada dunia, semakin dalam meletakkan dunia di dalam hatinya, maka akan semakin sulit bagi manusia itu sendiri untuk mencari solusi, jawaban dari persoalan, permasalahan, yang Dia ujikan pada dirinya. Sebagian dari kita, menitik beratkan kebahagian, kesejahteraan, kebesaran, pada kuantitas, pada sebanyak apa kita mampu mengumpulkan, menumpuk harta. Pada sejauh mana kita sanggup memenuhi pundi-pundi harta, setinggi apa tahta yang mampu kita capai dan sehebat apa kita mampu memikat wanita dengan harta dan tahta yang kita punya.

Wajar, pada batas kewajaran karena manusia dibekali dengan nafsu, salah satunya adalah nafsu untuk berkompetisi dengan manusia yang lainnya. Tetapi, segala sesuatu yang berlebihan tidak akan baik pada akhirnya. Ambisi akan dunia yang melampaui batasnya, maka akan menimbulkan kehancuran pada si empunya ambisi pada akhirnya.

Akhir dari sebuah catatan panjang adalah bahwasannya hidup itu indah dengan segala apa yang ada, dengan segala apa yang disertakan di dalamnya. Menerima yang satu, maka haruslah dapat menerima yang lainnya. Menerima indahnya dunia, maka terimalah dunia pada bagian tergelap yang ada di dalamnya. Karena memang seperti itulah dunia sesungguhnya, indah dengan segala apa yang ada di dalamnya.

Hidup itu indah, bisa merasakan hidup itu indah, dan pada akhirnya, hidup itu indah dengan segala apa yang Allah sertakan di dalamnya.

Tuesday, October 27, 2009

KoNTempLasi, belajar dari kontemplasi tak berarti

Menunggu yang pernah berkata "belum punya 'GUTS' itu"
Menunggu yang berkata "misalkan...." itu
Menunggu dalam diam dalam temaram dalam sesuatu yang serba tidak pasti
Menunggu yang memang nampaknya tidak ingin 'ditunggu' oleh siapapun itu.

Sampai akhirnya "apa lagi yang harus ditunggu?"
Sampai akhirnya "untuk apa menunggu yang tidak pernah berkata 'ingin ditunggu' itu"
Sampai akhirnya beberapa bulan kedepan "akan tetap menunggu"

Sampai tiba masa berkata "sesuatu itu memang tidak perlu ditunggu"
Sampai tiba masa angkat bicara "sesuatu itu memang tidak ingin ditunggu"
Sampai tiba masa yang lain berkata "mari pergi melangkahkan kaki bersamaku, tinggalkan yang itu, tinggalkan masa lalu itu"

Sampai akhirnya, dengan berat pada saat itu mau tidak mau harus berkata "baiklah, mari bantu aku untuk meninggalkan sesuatu yang pernah membekas untuk beberapa waktu itu"

Wahai sesuatu itu apakah kamu membaca jalan pikiranku
Apakah kamu mengetahui apa yang sedang bergemuruh di dalam pikiranku
Apakah kamu tahu perdebatan yang sedang terjadi di dalam kepalaku

Bila kamu mengetahui itu, beritahu aku
Bila kamu menyadari itu, katakanlah sesuatu

Tapi, kembali yang ada hanya diam
Kembali yang tersisa hanya desir angin malam
Kembali yang tersisa hanya riak-riak daun bambu.
Hanya gemuruh dedaunan yang terhempas kesana kemari diombang-ambingkan oleh angin kehidupan

Kamu memang begitu
Kamu memang seperti itu
Kamu memang selalu begitu

Thursday, October 22, 2009

aku-kontemplasi-berdamai dengan diri

Diary itu sudah lama ditinggalkan, hanya sesekali menjumpainya untuk mencatat sesuatu, untuk merekamnya sebagai sebuah kebanggaan kemudian menjadi sombong diri merasa itu sebagai sebuah prestasi.

Kadang mereka tak ubahnya menjadi sebuah koleksi pribadi di dalam diary, kadang menjadi alat penghibur ketika hati memang benar-benar butuh untuk dihibur meskipun diary itu sendiri mati, tak bernyawa tak juga dapat berkata-kata.

Ada yang katakan hebat, entah darimana letak hebatnya, aku tak tahu. Mungkinkah karena permainan kata-kata itu? Aku pun tak tahu. Aku manusia semua tahu akan hal itu, tidak lebih hebat dari manusia yang lainnya, tidak juga mulia karena memang aku bukan manusia yang pantas dimuliakan oleh manusia yang lainnya. Pada dasarnya, aku hanya manusia biasa dengan sekelumit kisah, dengan segunung atau mungkin lebih, aib yang Dia simpankan, yang Dia sembunyikan dari manusia yang lainnya. Tetapi inilah aku, maka jangan sekali-sekali menganggap lebih tentang aku.

Dahulu, sebelumnya mari kenali diriku, aku adalah wanita. Sebut saja aku begitu, karena memang begitu jarang aku meminta manusia yang lainnya untuk menyebut aku dengan sebutan “Wanita”.

Wanita biasa, memahami cita-cita dahulu. Dengan seabrek aktifitas, sempat aku berpikir bahwasannya aku akan menjadi orang besar, berpengaruh yang kemudian dengan pengaruh itu aku bisa mengubah apa-apa yang ada di sekelilingku. Bisa membuat sesuatu yang biasa menjadi nampak berbeda, bisa membuat sesuatu yang bukan apa-apa menjadi sesuatu yang bermakna. Dan pada puncaknya, aku ingin menjadi manusia yang hebat di mata manusia yang lainnya, bodohnya, sombongnya.

Beberapa tahun berlalu, ada beberapa hal yang semula kaku, seperti beku, mulai memuai, mencair, mulai mengalir seiring dengan perjalanan waktu, seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam diri dan aku menyebutnya dengan “proses pendewasaan diri”. Idealisme-idealisme yang kadang membuat buntu, falsafah-falsafah yang kadang kaku hingga membuat diri sendiri terganggu, hingga membuat bagian terdalam di dalam diri berteriak “AArrrgghhh aku tak tahan lagi dengan segala ke-perfeksionis-an yang kamu pertahankan itu”.

Meledak, hampir meledak, perlu waktu untuk berdamai kemudian meredamnya hingga memunculkan berbagai resolusi-resolusi bahwa diri tidak bisa terus begini. Berputar-putar, berpikir, berkutat di dalam ruang berpikir untuk mendapatkan hasil dari pemikiran yang mendekati kematangan sebagai akibat dari sebuah kontemplasi yang panjang. Hingga akhirnya, semua berubah ketika niat untuk merubah itu berubah dari yang besar menjadi mendasar. Dari yang fenomenal menjadi fundamental.

Aku pikir, saat ini aku dan wanita itu berpikir. Mungkin aku tidak bisa menjadi manusia yang hebat di mata manusia yang lainnya. Mungkin juga aku tidak bisa menjadi wanita yang hebat di mata wanita yang lainnya.

Baiklah, mari berdamai dengan sisi ego yang bersemayam di dalam diri. Mari mengubah sudut pandang hingga yang negative dapat berubah menjadi positif, hingga yang nampak tak bermakna bisa berubah menjadi sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi semua. Mungkin aku bukanlah apa-apa di mata manusia yang lainnya, tapi aku akan menjadi apa-apa di mata keluarga. Mungkin aku wanita biasa di mata wanita dan manusia yang lainnya, tapi aku akan menjadi wanita luar biasa di hadapan dia yang Dia tunjukkan, yang Dia tuliskan bahwa dia yang akan menjadi teman hidupku nantinya.

Mungkin aku adalah wanita-wanita pada umumnya, tapi aku akan menjadi wanita yang penuh dengan sesuatu yang bermakna ketika berjumpa dengannya teman hidup yang Allah berikan padaku nantinya. Mungkin aku bukan wanita hebat di mata mereka, tapi aku akan berusaha menjadi wanita yang hebat di mata suami dan anak-anaknya.

Kadang, berpikir, akan kubuat dia yang Dia berikan padaku menjadi manusia, hamba Allah yang paling beruntung di dunia karena bisa menjadi teman hidupku, karena dia yang Dia pilihkan untukku, sudah mencintaiku karena besarnya cintanya pada Nya.


ha...ha...ha.. aku tertawa, terpaksa, seperti inilah aku kiranya.

Monday, October 12, 2009

catatan 12 Oktober 2009

Ini dia yang namanya “jangan mengolok-olok orang lain kalau sendiriya tidak mau dijadikan bahan olokan”. Suatu kali ibu pernah berpesan dalam ceramahnya yang panjang “kalau gak mau dicubit, maka jangan mencubit orang lain. Coba rasakan sendiri, enak gak? Kalau sakit, begitu pula yang orang lain rasakan”.

Bodohnya, kadang pesan ibu bagai angin lalu belaka. Raut wajah dan pedasnya beliau dalam berbicara lebih lama melekat dari pada hikmah, makna dan pelajaran yang beliau coba sampaikan di dalam pesan-pesan di setiap ceramah yang ia sampaikan.

Sore ini, mendung-mendung menyejukkan. Ada sedikit menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang akan “turunnya hujan”, ada sedikit harapan yang diucapkan oleh katak-katak penghuni rawa, yang disampaikan oleh para petani ladang yang sedang masuk masa tanamnya, yang lantunkan oleh rerumputan, tetumbuhan, hewan-hewan dan manusia-manusia yang merasa kepanasan, agar kiranya DIa bersedia melimpahkan rahmatnya, kasih sayangnya kepada manusia melalui turunnya air hujan.

Mari berhenti berbual, sekali-sekali mencoba menitikberatkan pada satu hal, tentang bagaimana memanajemen emosi agar kiranya berbuah manis bukan terkontaminasi oleh setan-setan yang kelaparan akan kalahnya manusia pada nafsu berahinya untuk melampiaskan amarah kepada manusia yang lainnya.

Dalam kelelahan jiwa yang urung tersiram air wudhu karena air keran kamar mandi laboratorium yang tak kunjung menandakan akan mengucurkan airnya walau sekejap saja. Bersama seorang teman memutuskan untuk pulang “sholat ashar di kostan saja”, kostan masing-masing.

Seperti biasa, membeli nasi bungkus untuk memenuhi hajat hidup seluruh tubuh agar tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sebenarnya, saya memang sudah sejak dulu merasa tidak nyaman dengan tingkah laku lawan jenis yang “SKSD-sok kenal sok dekat”, terlebih lagi dengan manusia yang satu ini. hari ini, kali ini, tingkahnya sudah cukup membuat saya kesal kerananya. Sepele sebenarnya, tetapi karena sesuatu dan lain hal, hal sepele yang lama-lama menjadi tidak sepele lagi itu, cukup membuat saya berbicara menggunakan bahasa asing dengan seorang teman saya melalui telepon seluler untuk mengungkapkan rasa kesal saya.

Rasa tidak sopan sekali, begitu di dalam kepala saya. Ketika, manakala lelaki itu menirukan cara saya berjalan sembari menoleh ke dua orang temannya, lalu tersenyum malu karena saya menanggapi dengan wajah datar karena rasa kesal yang muncul ke permukaan.

Tidak ingin banyak bicara, rasa ingin segera beranjak pergi atau menumpahkan rasa kesal dengan memaki-maki, mengeluarkan kata-kata tak terperi, agar kiranya ia sama merasakan malu tak terhingga. Bahkan muncul keinginan mengeluhkan tindakannya pada sang majikan dan saya mengenal baik majikannya. Tapi, semua hanya sebatas di dalam alam pikiran, jauh di dalam lubuk hati sesuatu itu melarang, atas dasar “kasihan” atas dasar “mungkin beberapa waktu, beberapa hari, beberapa minggu, bulan, atau bahkan tahun yang lalu, saya pun pernah mengolok-olok orang lain. Hingga mungkin saja orang itu mengetahuinya, lalu berdoa karena saya yang telah dzalim padanya.

Menarik nafas panjang, yah setidaknya pada akhirnya di dalam guyuran air yang menyejukkan. Saya mencoba memaafkan tindakan tidak sopan yang lelaki itu lakukan.


Wednesday, September 16, 2009

WISUDA atau Wis Sudahh

Susahnya begini kalau menjadi manusia yang memiliki tingkat melankolie berlebih. Kenapa saya menjadi tipikal manusia yang tidak begitu menyukai terlahirnya kata “perpisahan” ke dunia. Perpisahan itu begitu terasa manakala satu persatu teman-teman meninggalkan saya atau mungkin kita semua.

Mereka yang mulai mengepakkan sayapnya, pergi melanglang buana meninggalkan sarangnya. Sedih, ada rasa, entah rasa apa yang menggumpal di dalam segumpal darah yang berada di dalam tubuh saya. Rasa itu sesak, rasa tidak menyenangkan, rasa ingin menangis, rasa ingin mengulang semua kejadian yang belum tentu bisa sama seperti kejadian aslinya.

Odorenai warutsu menemani, petikan gitarnya yang membuat hati semakin menjadi melankolie, sedih tak tentu arah. Ingin menangis tapi tidak ada tempat yang bisa menjadi labuhan air mata kecuali di atas sejadah tua ketika sepertiga malam itu tiba.

Kampus unila, mungkin saya anomaly, bisa jadi saya menjadi mahasiswa yang aneh sendiri. Malam menjelang, ketika melalui sebuah jejaring seorang lelaki bertanya tentang perasaan saya ketika sudah mengalami apa yang namanya “wisuda”. Maka, saya katakan “sedih”, entah dia jujur atau tidak dengan perkataannya, tapi nampaknya ia sedikit terkejut dengan jawaban saya. “ya sedih” begitu lanjut saya, sedih karena tidak lagi bisa bimbingan dengan dosen yang sudah membimbing saya sejak tahun 2005 sampai akhir 2009. Saya yang selalu merepotkan beliau, mungkin terkadang membuat kesal karena ulah saya yang menurutnya manja dan tergesa-gesa.

Sedih karena hilanglah gelar mahasiswa itu dari diri saya, ada sedikit rasa kebebasan yang tercerabut dari akarnya, meskipun kebebasan yang lainnya sudah saya dapatkan. Kerana terlepaslah beban yang mungkin selama ini menggelayut di dalam benak dosen dan kedua orang tua saya.



Sudah 5 tahun UNILA mempersilahkan saya untuk diam, tinggal, dan berkembang di dalamnya. Sudah 5 tahun pula jurusan fisika mempersilahkan saya untuk mengacak-acak pola pikir saya tentang ilmu fisika yang menyenangkan. Meskipun terkadang, saya tidak mengerti dengan apa yang dosen saya sampaikan.



Fisika matematik, medan elektromagnetik, fisika kuantum, fisika inti, fisika statistik mata kuliah-mata kuliah yang secara tidak sadar membuat bergidik anak-anak fisika di UNILA. Terkadang menimbulkan istilah “bunuh diri” bagi mahasiswa yang mengambil mereka dalam satu semester secara bersamaan.

Dan “ArrrggghhhHHhhh” kenapa saya begitu lemah untuk urusan hati, kenapa saya begitu rapuh hingga perpisahan itu dirasa begitu menyiksa, mendera jiwa, dan saya kembali dengan sikap hiperbolik saya.

Mereka teman-teman saya, teman-teman dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri mereka. Beberapa dari kita mungkin menjadi amat sangat menyebalkan bagi teman-teman yang lainnya terlebih lagi saya.


Air mata itu teredam, obat hati memang benar-benar saya butuhkan. Helaan nafas berat itu saya hembuskan, demi Dia Yang Maha Menciptakan kita semua, teman-teman. Demi DIa pula yang sudah mempertemukan kita di kampus hijau UNILA, di jurusan Fisika, saya katakan terima kasih untuk semua. Saya menyayangi, mencintai kalian semua seperti halnya saya mencintai diri saya sendiri, hanya karena Nya.

Saya membutuhkan obat hati melebihi dosis yang Allah berikan pada teman-teman saya yang lainnya. Rasa melankolie yang saya punya, terkadang melampaui ambang batas, terkadang melampaui kadar yang diizinkan hadir dalam diri setiap anak manusia. Maka ketika melankoli itu tiba, tuts-tuts keybord menjadi teman setia untuk menumpahkan semua rasa yang ada.

“Hummmphh” dan ketika video dari seorang teman saya putarkan di dalam DVD room laptop saya, whuahhhhh rasa sesak semakin melesak jauh ke dalam dada. Perasaan tidak menentu mencuat begitu saja, Masya Allah, subhanallah untuknya, untuk sebuah karya yang ia peruntukkan bagi saya, temannya, seseorang yang menurutnya pernah menempati posisi khusus di dalam hatinya.

Ingin memecahkan suasana dengan berliter-liter air mata, ingin menumpahkan kata-kata melankolie penggugah jiwa sebagai wujud terima kasih saya padanya. Tapi, biar Allah yang membalaskannya, karena insya Allah perhitungan Allah jauh, amat sangat jauh berbeda dengan perhitungan yang saya punya.

Ingin memberikan sesuatu yang berharga dan dapat dikenang selamanya, tapi tak mampu, mungkin belum mampu, atau memang tidak pernah ada hal seperti itu, tidak akan pernah ada pula sesuatu yang dapat menggantikan apa yang sudah mereka berikan pada saya.

Monday, September 14, 2009

Balita-balita yang tersiksa

Mengapa harus mengajak balita?

Pasar belumlah menjadi tempat “cuci mata” yang menyenangkan bagi anak-anak kecil seusia mereka. Apa yang hendak dilihat? Apa pula yang dapat mereka nikmati selain panasnya cuaca hari ini.

Bagi ibu-ibu, remaja-remaja putri, dan bagi wanita-wanita dewasa, mungkin “mencuci mata” dengan melihat beraneka rupa pakaian, mulai dari atasan hingga bawahan, mulai dari yang dipakai di luar, hingga yang dipakai di dalam, bisa menjadi hiburan. Tapi, lain halnya bagi anak-anak mereka, belumlah menarik melirik pakaian-pakaian orang dewasa, selain daripada asesoris lucu berwarna-warni, selain daripada mainan dan rupa-rupa boneka, dan itu semua tidak ada di pasar kecuali di mal-mal yang memang menyediakan ruang bebas bagi anak-anak seumuran mereka.

Ramadhan menjadi sebuah euphoria, setiap tahunnya sepertinya, meskipun itu hanya bagi sebagian orang saja. Kemajuan yang manusia tampakkan mulai terlihat mana kala waktu sholat wajib itu tiba, manakala waktu sholat tarawih itu sampai pada saatnya. Manusia-manusia yang memilih untuk sholat di masjid, mulai dapat dihitung dengan jari, shaf-shaf yang semula sesak, padat, oleh orang muda, paruh baya, hingga orang tua. Kini hanya orang-orang lanjut usia yang tersisa, dan anak-anak kecil pun turut meramaikan suasana, demi mengisi buku wajib dari guru agama yang ditugaskan pada mereka.

Beginilah kiranya, setiap tahunnya. Ramadhan itu sebentar lagi akan berlalu, berlalu dengan hitungan jari. Bagi saya yang hanya mendapatkan tak sampai 15 hari, begitu menyakitkan dirasa, karena khawatir tahun depan usia tak sampai lagi untuk kembali menikmatinya.

Apa makna dari kemenangan itu sebenarnya? Saya masih ragu dengan pemahaman yang kepala saya berikan tentang apa hakekat kemenangan itu sesungguhnya. Apakah saya sudah menang? Atau justru sebenarnya menelan kekalahan pahit dan hanya hati yang merasakan betapa pahitnya kekalahan itu.

Akal pikiran tak begitu dapat merasakan, karena buta mata, buta hati sesungguhnya. Akibat terlampau senang, akibat terlena dengan dunia yang nilainya lebih buruk daripada bangkai kambing kecil yang tuli umpama yang Rasullah sampaikan kepada para sahabatnya.

Tak akan pernah bisa yang haram dicampurkan dengan yang halal, tak akan pernah bisa. Bagaimana bisa pula manusia katakan cinta pada RAbbnya sedang di sisi lain dia menduakannya dengan kekasihnya, sedang di sisi lain dia katakan cinta pada manusia, wanitanya, lelakinya, sedang di sisi lain dia katakan cinta pada hartanya, fisiknya, jabatannya, bagaimana bisa, bagaimana bisa, bagaimana bisa.

Bodohnya saya, karena saya juga manusia, saya pun masuk ke dalamnya.

-SELESAI-

Saturday, September 12, 2009

Ramadhan sebuah Euphoria

Ramadhan itu menjadi sebuah euphoria bagi sebagian anak manusia. Rasa tak percaya hari ini sudah menemani beberapa orang teman wanita memenuhi hasrat mereka ketika hari lebaran tiba, berbelanja.

Penuh sesak manusia, tumpah ruah. Penuh sesak kendaraan roda dua sampai roda empat, bahkan bus AC tak lagi nampak seperti namanya. Penumpang berjejalan, berdiri karena tempat duduk tak lagi tersisa sementara waktu terus berjalan memaksa manusia untuk bergerak cepat.

Hari sabtu, tanggal 12 september 2009, sudah layaknya seperti hari minggu. Pusat-pusat perbelanjaan dipenuhi oleh ibu-ibu, entah lanjut usia entah pula ibu-ibu muda. Tertegun ketika memperhatikan seorang ibu mengaduh sembari memegangi perutnya “aduh” begitu katanya. Rasa sakit itu ia rasa akibat menaiki beberapa anak tangga dengan bakal bayi yang menyertainya.

Ramadhan itu tak ubahnya euphoria, ketika awal mula ia tiba. MAsjid-masjid penuh sesak dengan manusia-manusia yang ingin berubah katanya, yang ingin kembali ke jalan Nya. Jalan-jalan sepi mana kala maghrib tiba, semua kembali ke rumah, semua kembali kepada fitrahnya, setidaknya begitu pemandangan yang kita lihat pada beberapa hari pertama, ketika ramadhan itu tiba.

Menjelang beberapa hari berikutnya, pasar-pasar kembali ramai. Warung-warung makan kembali dibuka, asap-asap rokok sudah kembali mengotori udara, dan ketika saya bertanya “bapak gak puasa?” “puasa de” begitu katanya “tapi kok merokok” balas saya. “kan Cuma merokok de, jadi gak apa” singkat padat, pintu bus dibuka saya pun masuk ke dalamnya, duduk dalam diam, menerawang selama perjalanan menuju kota metro, berpikir ternyata seperti inilah kehidupan itu sejatinya.

Siang ini benar-benar panas, rasa-rasanya tidak tahan berada di luar seharian. Tapi, tidak begitu dengan ibu-ibu, remaja-remaja putri dan wanita-wanita dewasa yang saya lihat, yang saya temui di seputar areal berbelanja yang ada di kota ini. Mulai dari Ramayana, simpur center, sampai dengan pasar bamboo kuning. Semua penuh dengan manusia-manusia yang hilir mudik kesana kemari mencari barang-barang keperluannya. Dan sebagian besar manusia-manusia itu adalah wanita.

Mengherankan melihat wanita-wanita itu berjejalan membeli bahan-bahan untuk membuat panganan khusus hari raya. Mengherankan melihat wanita-wanita itu hilir mudik, dan tanpa sadar memperebutkan oksigen yang ada di pasar bamboo kuning hanya untuk mencari pakaian sebagai pelengkap untuk meraih kemenangan.

Speaker phone berkali-kali mengingatkan setiap pengunjung yang datang untuk memperhatikan barang bawaannya. Berulang kali pula melaporkan tentang ditemukannya bocah berumur sekian, dengan ciri-ciri seperti ini, dengan nama fulanah atau fulan, dan pada akhir dari pengumuman itu, “bagi yang merasa kehilangan dapat mengubungi pusat informasi”. Selalu begini, selalu seperti ini, anak-anak lepas dari pengawasan orang tuanya. Sampai suatu ketika saya pernah mengajak hati dan kepala saya untuk berpikir “Sebenarnya, yang berbelanja itu ibu atau anaknya? Sebenarnya yang ingin dibelikan pakaian untuk hari raya itu, ibu atau anaknya?”

Beberapa kali, hari ini saya temui anak-anak yang nampak merasa terzalimi oleh tingkah polah ibunya. Lucu rasanya ketika melihat seorang anak kecil bersungut-sungut, menggerutu, memasang wajah cemberutnya sembari memegang kantong plastik berbelanja ibunya. Nampaknya si ibu terlalu lama mengajak si gadis kecil berbelanja atau ketika bertemu dengan bayi mungil yang menangis, dan ketika si ibu berpapasan wajahnya dengan saya, sembari tersenyum saya berkata “aduh kasian si ade’ nya kepanasan ya”, “iya” begitu jawab si ibu dengan senyumnya.

-bersambung-

Wednesday, September 9, 2009

Ini Tentang Keselamatan Kerja

Menulis apa pagi ini, semua terhenti manakala hati sudah tak tentu lagi rasanya. Semua terasa buntu hanya berputar-putar mengitari kepala. Melambai-lambai sembari berkata "Ayolah manusia, rangkaikan kami menjadi sebuah kalimat bermakna, menjadi sebuah paragraf yang mungkin dapat bermanfaat suatu hari nanti bagi manusia yang lainnya".

Baiklah, sedikit banyak aku dapat membual pagi ini. Sedikit banyak, aku dapat melayangkan rayuan gombal pada matahari pagi yang masih tersipu malu bersembunyi. Dan sedikit banyak, aku dapat membohongi angin dingin yang berhembus untuk dapat memutar arah menjauh dari diriku agar tidak porak poranda sistem pencernaanku. Morning sickness dan aku menyebutnya dengan "rasa mules tak karuan akibat dinginnya udara pagi yang dihembuskan oleh alam".

Dimulai dari asrama putri Annisa jalan Kopi no 20 A. Bercerita tentang sebuah kisah nyata dari hari-hari seorang anak manusia bergelar mantan mahasiswa, manusia pembelajar yang sudah harus bertebaran di muka bumi dan bermanfaat bagi negerinya. "Ha...3x" manfaat pertama ia pikir dapat diberikannya melalui tulisan, yang disangkanya "blog kepunyaannya sarat dengan makna, hingga banyak manusia yang terjebak untuk mau tidak mau membacanya".

Annisa dicat kembali, di make up sedemikian rupa sehingga menyerupai gedung BTN begitu kata seorang kawan, mantan penghuni asrama, atau "seperti kantor pos" ujar yang lainnya. "Ha..3x" aku tertawa, bila dilihat lebih dekat, lebih nyata, asrama putri ini lebih nampak kantor pos cabang yang baru didirikan dan bersiap-siap untuk diresmikan.

Kapan mula renovasi dimulai? aku sudah lupa, tidak begitu memperhatikan, selain dari pada jejak-jejak kaki yang tukang-tukang cat tinggalkan di dalam kamar, hingga membuatku harus mengepel lantai berulang-ulang. Tapi tidak dengan hari kemarin, tanggal 8 September 2009, ketika bapak tua yang beberapa hari lalu mengecat pintu dan kusen kamar ku, hingga menyisakan bercak-bercak noda berwarna kuning tua di jilbab biru terbaru ku "whuaaaa".

Ini kisah sebenarnya dari bualan-bualan yang ada sebelumnya, yakk kembali buntu agaknya ini kepala. Tapi, mari mencoba menembus kebuntuan, mari mencairkan kekakuan dengan mengamati beberapa gambar di bawah ini



Gambar pertama, kira-kira apa yang dilakukan sesosok manusia di atas sana? kira-kira si manusia berada di ketinggian berapa ya???



Gambar ke dua



Gambar ketiga, ck...3x ternyata si manusia berada pada ketinggian yang luar biasa, atap dari lantai 3 gedung Asrama Annisa I.

Tidak ada SOP atau dalam bahasa indonesia kita menyebutnya "standard operation procedure" tentang kesehatan dan keselamatan kerja yang mereka gunakan. Modal nekad, ya aku lebih suka menyebutnya dengan istilah "modal nekad". Entah ilmu macam apa yang mereka gunakan, dan berani bertaruh, orang-orang bule bisa berdecak kagum melihat keberanian manusia-manusia Indonesia. Terlebih lagi, Manusia yang berada di atas atap sana, sudah lanjut usia.

Ketika saya mengambil gambarnya dari kejauhan, si bapak lanjut usia hanya melambaikan tangannya sembari tersenyum pada saya. "Ckkk..3x" saya hanya bisa tersenyum sembari geleng-geleng kepala. Luar biasa si bapak, subhanallah untuk ukuran saya dan terima kasih untuk gambarnya.
"Beginilah INDONESIA"


Tuesday, September 8, 2009

-futur-

Menyimpan harapan dalam rayuan. Harapan itu berisi asa-asa yang tak ingin putus begitu saja.

Nikmat itu tidak ada pada makanan,

nyaman itu bukan pada tidur yang panjang,

senang itu bukan pada gelak tawa bersama manusia.

Tapi, berdua bisa membuat tenang jiwa. Aku merayu Mu agar kiranya Engkau membuka pintu itu kembali, untukku...

-futur-

Wednesday, September 2, 2009

Simulasi terjadinya SUPERNOVA

keren sepertinya, maka subhanallah pada akhirnya

Rasanya saya mau berlari

"rasa-rasanya saya ingin berlari", begitu kata wanita itu.
"berlari? maksudnya?" saya tak mengerti.
"ya berlari, berlari menghindar" katanya "saya mau ganti nomor Handphone cep, ini nomor saya" dan dia pun menunjukkan barisan-barisan angka sebanyak 12 digit pada saya.

"Kenapa harus ganti nomor? Apa ada yang ingin kamu sampaikan pada saya? sampaikan saja, insya Allah saya akan mendengarkan". Ia tersenyum sinis, ia tersenyum pahit lalu "mendengarkan? bercerita? saya sudah lupa bagaimana caranya bercerita. Saya sudah terlalu sering mendengarkan keluhan manusia, saya bosan cep. Dan karena itu semua, saya lupa bagaimana caranya bercerita" Ia menundukkan wajahnya, menatap barisan-barisan ubin yang tertata rapi. Entah apa yang dilihatnya, yang saya tahu, dia mencoba mengalihkan pandangannya dari saya.

"Mungkin kamu bisa mulai dengan apa yang sedang terjadi padamu saat ini. Misalnya tentang kenapa kamu harus berlari atau lebih tepatnya menghindari masalah"

"Ummm" dia diam agak lama, menekuri lantai untuk kemudian "ada yang menghubungi saya cep, tadinya saya pikir dia kakek saya. Ternyata bukan cep humphhh" dia menghela nafas panjang, sedikit berat menceritakan dan saya hanya duduk diam, mendengarkan.

"Kamu ingat, saya pernah bercerita tentang mereka yang melamar saya cep?" saya mengangguk. "Beberapa dari mereka mulai menghubungi saya lagi cep. Dulu saya punya alasan menolak mereka dengan berkata -saya masih sekolah-, sekarang alasan itu sudah tidak ada lagi cep. Saya bingung cep, semua cara sudah saya coba, semuanya cep, semuanya dan kamu tahu itu semua. Tapi, tetap saja cep, saya tidak bisa berbuat apa-apa cep. Mungkin kamu anggap saya berlebihan, tapi buat saya ini menyiksa cep, ini benar-benar mengganggu kehidupan saya" ia kemudian terdiam, menundukkan wajahnya, matanya mulai berkaca-kaca.

Seberapa berat yang ia rasakan sebenarnya?

"Bagaimana dengan temanmu yang pernah kamu ceritakan dulu, yang pernah berkata -misalkan- itu"
"Dia? Humphh, belajarlah dari pengalaman orang lain cep, jangan pernah berharap pada manusia" dia menghela nafas panjang, "Dia punya kehidupan sendiri cep, saya tidak pernah akan bisa masuk. Kalimat yang dulu dia sampaikan pada saya, nampak seperti gurauan cep, sepertinya kalimat itu begitu sepele baginya. Sepertinya kalimat itu dianggapnya hanya angin lalu".

"Saya sudah lelah cep, saya sudah menyerah padanya, saya sudah bosan menunggu. Biar dia lakukan apa yang dia mau lakukan, Hasbunallah wa ni'malwakil cep. Karena kebodohan saya beberapa waktu yang lalu, akhirnya ia berhasil masuk ke dalam kehidupan saya. Dia hanya menimbulkan luka cep, dia tidak pernah berniat menyembuhkannya" wanita itu kembali terdiam. "Lagi pula, dia orang baik cep, dan orang baik akan bertemu dengan orang yang baik pula. Saya masih jauh dari baik cep, makanya tidak bisa bertemu di satu titik". "Dan kamu tau cep, saya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Pintu hati saya hanya untuk Nya, kembali hanya untuk Nya, tidak ada lagi benda asing yang boleh masuk" begitu tambahnya.

Matahari pagi semakin meninggi, alunan lagu silk road serasa menyayat hati. Saya tidak bisa merasa kasihan pada wanita itu, karena pada dasarnya ia memang tidak memerlukan belas kasihan itu.

"Kamu tau cep, wanita itu mau menikah bukan karena nafsunya, tapi karena fitnah yang selalu membuntutinya"

Ia kemudian berdiri, lalu beranjak pergi. "Tunggu dulu, apa maksud dari kalimatmu itu?"

"Sudah sampai jumpa, terima kasih sudah mendengarkan, terima kasih sudah membuat saya kembali merasakan seperti apa rasanya bercerita, Assalammu'alaikum" begitu katanya dari kejauhan.

Wanita itu berlalu pergi, semakin lama semakin hilang dari pandangan. Ia berlalu pergi tanpa menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Ia berlalu pergi meninggalkan saya dalam kebingungan.

Tuesday, September 1, 2009

Jangan Salah Obat untuk Hati

Saya bukan penyembuh bagi luka hati manusia. Luka yang disebabkan oleh manusia yang lainnya. Saya hanya teman, teman yang bersedia mendengarkan bila diminta, teman yang bersedia memberikan solusi bila “ditanya”. Saya bukan obat, saya bukan antibiotic, saya tidak punya kuasa untuk menyembuhkan penyakit hati akut yang menyerang kalian-kalian yang bercerita.

Tidaklah bijak bila saya menempatkan diri saya sebagai obat, dan ketika mereka sudah merasa ketergantungan dengan saya, dan ketika saya terpaksa meninggalkan mereka, yang ada saya hanya membuat luka baru, bisa jadi lebih dalam dari sebelumnya.Saya tidak ingin masuk, kecuali hanya berdiri di depan pagar, untuk sekedar bertanya “apa kabar mu, keluarga mu, pekerjaan mu, dan mungkin sebagai bonus kamu boleh bercerita tentang luka hatimu akibat wanita-wanita itu. Tapi, menempatkan posisi untuk menggantikan wanita-wanita itu untuk menyembuhkan luka, maaf, saya rasa, saya pikir, saya bukan orang yang tepat.

Banyak yang main hati ketika ada sesosok anak manusia yang masuk ketika penyakit hati melanda, yang kemudian salah satu diantaranya atau bahkan keduanya merasakan “jatuh hati”. Dan ketika hanya salah satu pihak yang merasakan, maka yang timbul adalah pengharapan. Karena si sosok manusia itu mampu menghiburnya ketika rasa sakit itu dirasa.

Obat yang salah, manusia yang tadinya terluka, mungkin merasa ada pengganti yang bisa menghiburnya. Tetapi, pada dasarnya ia hanya membuka luka baru karena ternyata ia kembali mengharap cinta, kasih sayang pada manusia.

Saya bukan obat, saya hanya manusia, manusia pendengar. Saya tidak bisa, tidak akan pernah bisa menggantikan posisi wanita yang pernah menyakiti hati mereka, karena hanya Sang Pemilik hati yang bisa menyembukannya, hanya Dia yang mampu menentramkannya. Tapi, beberapa dari mereka kembali membuka luka lamanya dengan orang yang sama. Entah apa yang ada dipikirannya, karena “keledai sekalipun tidak akan jatuh ke lubang yang sama”. Ada pula yang menggantungkan harapannya pada wanita, pria lainnya.

“helaan nafas berat saya hembuskan”

Saya sudah berbuat semampu yang saya bisa, sisanya, kalian yang teruskan kawan. Karena itu jalan hidup kalian, kalian yang memilih, kalian pula yang menentukan pada apa dan siapa cinta itu kalian labuhkan.

Monday, August 31, 2009

Pada dasarnya, Pria dan Wanita

Pada dasarnya, peraturan itu ada untuk dilanggar. Seakan tidak percaya, tentang bagaimana beberapa orang bisa menerapkan peraturan, kedisiplinan, sedemikian rupa, sehingga manusia-manusia di dalamnya, tunduk dan turut serta menjalankannya. Ada yang pada awalnya dengan terpaksa, ada yang acuh-tak acuh tetapi tetap menjalankan juga, ada juga yang melanggar untuk kemudian dengan sendirinya mematuhinya.

Berdasarkan, penelitian orang-orang yang berada di wilayah barat sana. Bahwasannya pria hanya mengeluarkan 7000 kata dalam satu harinya, dan wanita 20.000 kata. Luar biasa beberapa kali lipatnya.

Bagaimana pria diminta begitu bersabar untuk mendengarkan si wanita yang bercerita, guna menghabiskan jatahnya yang ’20.000’ itu. Bahkan hingga waktu menjelang tidur tiba, si wanita tetap saja ‘keukeuh’ dengan ceritanya, sementara suaminya hanya menjawab sekenanya dengan berkata “ya, ooo, hmm” dan masih banyak kata-kata singkat lainnya. Hingga, pada akhirnya si wanita bercerita atau sebenarnya ia mendongeng untuk suaminya???

Buat sebagian wanita, adalah hal yang menjengkelkan ketika sedang asyik bercerita, tiba-tiba ketika sampai pada saat dimana si wanita memerlukan pendapat “menurut abi bagaimana? Menurut mas gimana? Menurut kakak gimana? Menurut Aa gimana?” dan yang terdengar hanya “ZZZzzzzzZZZ”, ternyata sang suami sudah terlelap terbawa ke alam bawah sadarnya.

Beberapa melengos, mengeluh kesal, beberapa mungkin ada yang tersenyum melihat polah suaminya, mengingat betapa lucunya, menyadari bahwasannya ternyata ia terlalu banyak bercerita, sehingga nampak sedang mendongeng saja. Beberapa merasa kasihan, menyadari betapa suaminya begitu kelelahan akibat aktivitas seharian demi ia dan anak-anaknya.

Terserah bagaimana mau menanggapinya.
Renungan sederhana, ia saya tuangkan karena rasa kesal yang muncul sebagai akibat dari mahasiswa-mahasiswa yang mengadakan buka puasa di asrama Annisa. Bukan masalah dengan buka puasanya, tetapi volume suara yang dihasilkan oleh peserta-peserta yang mengikutinya. Hingga menjelang adzan isya menggema, suara-suara itu masih terdengar keras dan sumbang di telinga.
Suara wanita yang tertawa-tawa, senang, riang. Suara baritone para lelakinya, yang diiringi gelak tawa. Suara mereka yang bersahut-sahutan, berlomba-lomba dengan suara adzan dari masjid yang berada tak jauh dari asrama saya, dan saya terganggu, mereka mengganggu. Tidak nampak terdengar akan mengecil volume-volume suara itu, hingga akhirnya saya keluar kamar dan berkata “maaf ini sudah masuk waktu sholat isya, tolong suaranya dikecilkan”. Tidak ada yang hening, teriakan, gelak tawa pria dan wanita, tetap saja keras terdengar.

Saya hanya diam, melihat dari kejauhan, beberapa menit agaknya, hingga akhirnya “sssttt, suaranya” begitu ujar beberapa di antara mereka. Pria dan wanita, mungkin itulah kenapa pria dan wanita harus ada batasannya. Saya heran, bagaimana rasanya tertawa, berteriak di saat adzan berkumandang. Berpikir, mencoba mengingat, seingat saya teman-teman saya tidak sampai sebegitunya, yang lelaki tidak akan betah berlama-lama karena mereka sadar, tempat tinggal saya isinya wanita semua, yang wanita pun tidak sampai sebegitunya dalam mengeluarkan suara, kecuali di kampus dan tempat-tempat dimana sekiranya tidak akan mengganggu manusia di sekelilingnya.

Beginilah dunia dengan banyak macamnya manusia yang berada di dalamnya. Saya ingin menjadi manusia individu bila menyadari bahwa nampaknya bagi mereka “peraturan itu ada untuk dilanggar”. Tapi hati saya tidak pernah mengizinkan begitu, ia tetap saja usil,ia tetap saja jahil, ia tetap saja ingin tampil, ia tetap saja ingin bersuara, menyuarakan kebenaran katanya.

Tapi kebenaran menurut hati yang saya punya, belum tentu benar di mata mereka karena setiap kita memiliki sudut pandang yang berbeda.

Wednesday, August 26, 2009

Mereka atau saya yang memasang???

Part Two

Tiba di dalam, saya menjadi tameng bagi teman-teman perempuan saya yang lain, pasang badan istilahnya, atau mereka yang memasang badan saya di depan???. Hingga akhirnya, si wanita pegawai pelayanan jasa rektorat berkata, dengan nada tinggi tentunya “saya kan sudah bilang, gak lihat saya lagi ada kerjaan”. Gdubbrakkkk, saya kaget mendengar si wanita marah-marah, ‘menyemprot’ saya dengan kata-katanya. Humph, kalau bukan karena Allah sudah saya balas dengan nada yang serupa, tapi yang keluar hanya “iya mbak, tapi ini mbak tadi bilang setengah jam, ini sudah setengah jam”. Tidak ada kata maaf, yang ada hanya “nanti, saya lagi sibuk” begitu kira-kira balasannya sembari marah-marah tentunya.

Saya dan teman-teman saya pun melangkah pergi, sembari menahan rasa kesal yang membuncah di dalam dada, saya berjalan lebih dulu dari teman-teman saya. Tak lama, seorang teman saya berkata dengan nada kesal tak percaya, karena ternyata si wanita mengatakan kata-kata yang tidak pantas menurut ukuran dia “cep, mbak tadi itu bilang –bla…bla…bla-“ begitu ujar teman saya saat itu.

Saya hanya bisa menarik nafas panjang, menahannya sekejap mencoba memberi waktu pada hati dan kepala agar tersinkronisasi hingga tidak terbawa emosi. “biarkan saja mbak, ini kan bulan ramadhan, biar saja si mbaknya bisa batal puasanya, capek sendiri dia nantinya karena sudah marah-marah”. Tiba-tiba, “iya de, biar batal puasanya. Sudah tunggu di luar aja ya, nanti masuk lagi. Biar aja mbaknya marah-marah” begitu kira-kira ujar dua orang bapak pegawai rektorat bagian akademik yang kebetulan berada di tempat itu. Tepat saat dimana kami berlima ‘dimarahi’ habis-habisan oleh wanita cantik itu.

Bersyukur saya tidak mendengar apa yang wanita cantik itu katakan. Bersyukur pada Nya, saya tidak perlu mendengar kata-kata tidak patut, yang bila saya mendengarnya, bisa jadi saya tidak jauh berbeda darinya, dari wanita cantik, petugas akademik. Bisa jadi saya berbalik memarahinya, karena kata-kata tidak patutnya.

Dia wanita yang cantik, ya menurut ukuran saya. Maka sudah seharusnya tindakannya, tingkah lakunya, kata-katanya, cantik pula sesuai dengan wajahnya. Terlebih lagi wanita cantik itu berada pada posisi dimana dia harus melayani manusia setiap harinya. Tapi, mari kita coba mencari beribu-ribu alasan untuk memaklumi ‘semprotan emosi’ yang ia arahkan pada kami siang ini.

Mungkin saja ia sedang ada masalah yang belum terselesaikan, hingga terbawa dan secara tidak sengaja ia tumpahkan pada kami siang ini. Mungkin saja ia sedang datang bulan, ya biasanya pada saat-saat itu emosi seorang wanita sedang berada dalam keadaan tidak stabil. Mungkin saja, ia sedang kelelahan karena tugas yang membebaninya selama beberapa hari ini, mengingat jadwal wisuda tinggal beberapa hari lagi.

Hmmmhhh, menarik nafas panjang, Form B sebagai salah satu syarat untuk wisuda sudah selesai kami kumpulkan. “terima kasih mbak, bu” begitu ujar saya pada wanita itu dan seorang ibu paruh baya yang berada tak jauh dari si wanita berada.

Saya pun melangkah pergi, diikuti beberapa orang teman saya lainnya. Dan setibanya di luar, dua orang teman saya bergumam kesal “mbak itu bla…bla..bla”. Lalu “bla..bla…bla”, humphhh beginilah wanita, dan saya wanita pula. Maka, saya katakan pada mereka berdua, teman-teman saya yang cantik dalam rupa dan akhlaqnya “yang sudah lewat, ya sudah. Yang penting urusan kita untuk wisuda sudah selesai. Kalau si mbaknya marah-marah, ya biar saja, kita ndak usah ikut-ikutan. Biar mbaknya sendiri yang rugi, sudah ndak usah diingat-ingat lagi, sudah lewat”.

Senyum sumringah, cengar-cengir ndak jelas, mereka tampakkan. Kami pun berlalu pergi, meninggalkan gedung rektorat kampus ini. beginilah wanita dengan dunianya, beginilah wanita dengan segala apa yang ada di dalamnya, termasuk wanita.

Jadikan sholat dan sabar sebagai penolongmu

"Setengah jam, tunggu di luar" begitu katanya

Part One

Saya pikir Alhamdulillah saya tidak marah-marah, saya pikir, Alhamdulillah saya tidak mendengarnya.

Ini bulan puasa, ini bulan ramadhan, ini bulan mulia, ini bulan penuh pengampunan bagi yang bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, dan nampaknya saya belumlah menjadi manusia yang mampu memanfaatkannya dengan sempurna. Beragam macam iklan bertebaran di media masa, untuk menarik simpati pemirsa Indonesia yang sebagian besar beragama muslim, terbanyak di dunia. Mulai dari iklan makanan, minuman berbuka, sampai iklan handphone dan kartu selular yang menawarkan content-content khas ramadhan, untuk memperlancar ibadah, begitu inti dari produk mereka.

Terserah, sah-sah saja sepertinya dan darimana sudut pandang saya hingga mengatakan bahwa tindakan mereka sah-sah saja? Entahlah, saya juga tidak tahu darimana asumsi saya bermula.

Hari ini, lampung panas, ya memang cuaca propinsi ini selalu panas. Hari ke hari, minggu ke minggu sama saja, yang ada rasa gerah, panas, hingga menyebabkan mereka yang baru pertama kali menginjakkan kaki di propinsi ini akan berkata “Lampung panas”, wajar begitu kata hati saya menimpali pendapat seorang kawan saya. Lampung panas, tapi, tidak menjadi landasan bahwa semua orang yang berada di dalamnya harus selalu berada dalam kondisi panas. Dalam keadaan yang tidak mampu mengontrol emosi, hingga sesukanya, semaunya melampiaskan kekesalan kepada sesiapa yang secara administrasi harus berurusan dengan mereka.
Kenapa administrasi????

Karena dari sinilah kisah itu bermula.
Gemuruh terdengar, awan hitam yang menggantung mulai menjatuhkan titik-titik airnya ke bumi, limpahan rahmat dan kasih sayang Allah datang lagi hari ini. Datang melalui air hujan yang ia turunkan, berjuta-juta rasa cemas dan harapan Dia munculkan melalui kilatan petir dan derasnya air hujan. Inilah buah dari rasa panas dan gerah selama seharian yang seakan-akan menjadi tanda awal dari akan turunnya hujan.
Wajah sumatera, garis-garis tegas melintas, tersirat, terbaca dari wajah-wajah masyarakat yang memilih untuk tinggal, diam dan menetap di dalamnya. Menetap hingga melahirkan keturunan, mulai dari anak, cucu hingga cicit mereka.
Administrasi, hari ini saya bertanya pada seorang pejabat akademik yang ada di kampus saya. “Pak, kenapa bagian keuangan dan bagian akademik selalu marah-marah?”, begitu pertanyaan saya saat itu. “Entahlah, mungkin karena mereka selalu bertemu dengan mahasiswa” begitu jawab singkat pejabat akademik yang ada di fakultas saya saat itu.

Bersyukur saya tidak mendengarnya, kata-kata pegawai rektorat yang sebenarnya, bila saya mendengarnya mungkin entah seperti apa jadinya emosi saya saat itu. Wanita cantik itu berkata dengan nada yang tidak menyenangkan menurut saya dan beberapa orang teman saya. Katanya “tunggu di luar, setengah jam lagi”, sudah, hanya itu yang ia katakan ketika saya dan beberapa orang teman saya menghampiri ia sembari berkata “permisi mbak, maaf mau mengumpulkan form B”.

Kami pun berlalu pergi, menunggu di luar ruangan akademik rektorat kampus ini, selama lebih dari setengah jam. Ya kami pikir sudah lebih dari tenggat waktu yang wanita itu inginkan.

Part One

Friday, August 21, 2009

hhhhhhhhhhhhh

Sebuah pesan singkat ya Allah
dengan huruf kapital dengan tanda seru
saya cuma bisa menangis ya Allah
di matanya nampak saya salah selalu

saya sedih ya Allah
karena cep ndak pernah bermaksud begitu
cep sedih ya Allah, sedih, cuma bisa nangis
gak jadi pulang ke rumah
cep kangen sama ibu
cep mau ketemu ibu

Tapi cep abis dikirim pesan pakai tanda seru
pakai huruf kapital
dimarah-marahin

Cep salah terus ya Allah
cep salah terus
cep gak pernah benar
cep salah terus di depan bapak itu

cep salah terus
cep cuma mau nangis
cep gak jadi pulang

Thursday, August 20, 2009

Kontemplasi dari jarak itu sendiri

Manusia yang menciptakan jarak, manusia pula yang merasakan konsekuensi dari adanya jarak.

Mereka punya dunia sendiri, ada yang dapat dimasuki, mempersilahkan kita singgah di dalamnya. Ada yang dengan sukarela membukanya, ada yang membuka karena terpaksa, karena rekan-rekan sejawatnya meninggalkannya, atau mungkin sedang sibuk dengan keperluan-keperluan pribadi mereka.

Ada yang sudah dewasa dalam pola pikirnya, ada yang hanya nampak diluarnya saja, ada yang tergantung pada keadaan yang sedang di hadapinya.

Manusia pandai bicara, pandai memainkan kata-kata, pandai mengeluarkan nasihat-nasihat penuh makna. Tetapi apakah itu memiliki makna pula di dalam hatinya, hingga membekas dan membuatnya menjadi manusia seutuhnya? Atau hanya sekedar kata-kata yang menghasilkan pujian dari manusia yang lainnya, tetapi tetap bernilai kosong atau bahkan tak bernilai sama sekali, hingga membuat dirinya tetap menjadi manusia yang sama dari hari ke hari.

Saya manusia, kita semua manusia. Manusia yang mempunyai akses luas untuk menjelajahi dunia maya kemudian mencari hikmah apa yang ada di dalamnya. Kita semua manusia, manusia yang mampu menjelajah alam semesta. Manusia yang dapat berpikiran terbuka atau justru sebaliknya, terkungkung di dalam sebuah tempurung kelapa. Terkurung di dalam sebuah mainset berpikir bernama kotak, terperangkap di dalam jutaan asumsi-asumsi paranoid antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, hanya karena pola pikir yang berbeda.

Semua ada sisi baiknya, dari situs jejaring facebook yang kemudian di haramkan, ada sisi positif di dalamnya. Pun ada sisi negatif dari handphone yang sudah tidak dapat lagi dilepaskan dari kehidupan manusia di dunia. Semua kembali kepada kita si manusia, apakah mampu memanfaatkannya sesuai dengan porsinya. Menempatkan segala perhiasan dunia pada tempatnya, secara seimbang, dengan tidak memberikannya tempat khusus di dalam hati, kecuali sepetak ruang kecil di dalam kepala untuk dicerna dengan menggunakan logika.

Semua ada sisi baiknya, sisi baik dari dilahirkannya WWW ke dunia, menghubungkan yang tidak terhubung. Membuat mungkin apa yang tidak mungkin beberapa tahun sebelumnya, semua karena kepiawaian akal pikiran manusia yang Allah berikan sebagai salah satu nikmat tak terhingga, hingga membuat kita berbeda dari makhluknya yang lainnya. Tetapi, buat sebagian dari kita ada yang menggunakannya untuk maksud dan tujuan yang terkadang memalukan.

Dunia, selalu indah dipandang mata, selalu manis di rasa. Begitulah kita manusia, manusia yang begitu menghargai apa yang nyata, apa yang nampak oleh mata. Saya jadi teringat ketika suatu malam seorang wanita menghubungi saya untuk berkata "Sefta jangan lupa besok pkl 8 pagi di rektorat. Pakai pakaian yang rapi, yang cantik, jangan terlambat", "iya..." begitu jawab saya.

Sejenak terdiam, berpikir, beginilah kiranya manusia. Esok hari saya akan menandatangi kontrak perjanjian, bertemu dengan para pejabat rektorat, berjumpa dengan banyak kamera, berhadapan dengan media massa. Esok hari pun tiba, saya persiapkan dengan seksama, rapi, bersih, tak kurang menurut ukuran saya. Mengusahakan untuk tidak datang terlambat, semua demi apa yang namanya urusan dunia.

Saya memang tidak terlambat, semua sudah sesuai menurut pandangan saya. Kembali memantapkannya dengan mematut diri di depan kaca, sesaat saya berpikir bahwa sampai sebegitu sedemikian sehingganya saya untuk menemui manusia yang sama lemahnya dengan saya. Lantas, bagaimana dengan Dia??? Entahlah, saat itu yang ada hanya rasa malu, kemudian meluruskan niat bahwasannya semua yang saya lakukan pagi itu hanya untuk Nya.

Dia sangat dekat, amat sangat dekat
Dia Tahu, bahkan amat sangat Maha tahu
Manusia tidak pernah menciptakan jarak, karena memang manusia tidak akan pernah dapat mencipta. Maka, manusia yang membuat jarak, manusia itu pula yang nantinya akan merasakan konsekuensi dari jarak yang sudah ia buat dengan sendirinya.


Bocah lelaki yang menarik hati

Siang itu, selepas bertemu dengan pembimbing I demi sebuah masa depan. Demi sebuah kunci untuk membuka pintu ke dunia yang lebih majemuk dan konon katanya hukum yang berada di sana lebih ganas dan kejam dari yang pernah manusia kira sebelumnya. Welcome to the jungle, bagi semua manusia-manusia yang katanya diharapkan dapat menjadi salah satu penentu nasib bangsa kedepanya, dan manusia-manusia itu masyarakat dunia menyebutnya “mahasiswa”.

Saya mahasiswa, ya saya mahasiswa yang berharap setidaknya beberapa hari ke depan sudah mengantongi gelar sarjana. Mahasiswa yang beralih menjadi seorang manusia wirausaha yang berusaha mencari kerja untuk kemudian mendapatkan modal agar dapat berada pada posisi stabil menurut ukuran Nya tentunya.

Siang itu panas, ya propinsi ini memang senantiasa mengantongi cuaca panas setiap harinya, setiap minggunya, setiap bulannya. Terlebih lagi bila musim kering itu tiba, maka daun-daun yang meranggas, semakin memeriahkan suasana ‘musim panas’ yang melanda propinsi saya dan beberapa propinsi lainnya yang ada di Indonesia.

Ada sesuatu yang menarik pandangan saya siang itu. Sesuatu yang membuat saya termangu dan tertawa tertahan kemudian.

Dua bocah lelaki yang menarik perhatian. Salah satu dari mereka, saya tidak asing dengan wajahnya. Dugaan saya ia adalah adik dari salah satu anak SD yang saya kenal, aziz namanya. Kakaknya, aziz, sering melalui jalan kampus ini untuk pulang ke rumahnya, dan hingga kini saya tidak tahu dimana alamatnya. Sedangkan yang seorang, saya pernah berpapasan dengannya suatu hari, ketika saya sedang dalam perjalanan menuju kampus hijau unila. Karena wajahnya yang nampak lucu ketika berjalan, karena postur tubuhnya yang mungil dan menggemaskan. Akhirnya, pada saat itu saya menegurnya dengan bertanya ‘kelas berapa de?”, “kelas 2” begitu ujarnya pada saya, kalau saya tidak salah mengingatnya. Beberapa saat setelah bertanya, saya menyesal karena tidak mengucapkan salam padanya.

Kembali kepada dua bocah lelaki yang menarik dan membuat geli hati.

Ada yang lucu sehingga membuat saya tersenyum sejenak ketika melihat mereka berdua. Handphone dengan kemampuan kamera 2 Mpx buru-buru saya keluarkan, untuk mengabadikan mereka berdua. Mengapa mereka bisa sebegitu sedemikian sehingganya menarik perhatian saya? Sederhana, mereka menarik karena payung yang mereka bawa. Bukan payung lipat, tetapi payung anak perempuan pada umumnya, yang satu berwarna pink pula.



Agak terpana ketika pertama kali melihatnya. Karena setahu saya, anak lelaki terkadang lebih memilih berhenti kemudian berteduh atau berjalan dalam hujan, daripada berjalan dengan payung sebagai pawang penangkal hujan.

Melihat mereka berdua mengingatkan saya pada seorang teman saya ketika sedang melakukan penelitian di Pupuk Kalimantan TImur. Saat itu hujan turun lumayan deras, lumayan membuat basah sebenarnya. Tetapi, ketika umi saya menawarkan untuk meminjamkan payung, teman saya itu berkata “tidak usah”. Ck…3x padahal saya tahu pasti, dia bisa kebasahan karena penolakan yang ia lakukan.

Teman-teman lelaki saya di kampus pun, hampir tidak pernah terlihat membawa payung, dan nampaknya sebagian dari mereka lebih memilih basah kuyup diguyur air hujan. Aneh, atau memang payung identik dengan perempuan? Wallahualam, bisa jadi begitu, tapi sebenarnya saya yang perempuan saja, tidak berpikiran seperti itu.

Tuesday, August 18, 2009

Ketika kakak bilang ayah sudah tua

Ayah sering melamun begitu katanya, ayah tidak kuat lagi, begitu katanya. Ayah hanya nampak muda di wajah saja, begitu kata kakak perempuan saya pagi ini. HUmmpphh, saya merasakan sedih yang tiba-tiba datang menyergap. Kesedihan akan sebuah perpisahan yang saya rasa tidak lama lagi akan tiba.

Tak dapatkah ayah dan ibu terus bersama-sama dengan saya, kami, selamanya? Ya selamanya, ya selama-lama-lamanya?!.

Ayah lahir pada tahun 1958, sedikit lebih tua dari seorang penyanyi dunia ternama, king of pop begitu kata mereka. King of pop yang meninggal dunia beberapa bulan yang lalu, yang bahkan di akhir hayatnya ia masih harus menderita karena jantung dan otaknya tidak di kubur bersamanya.



Menjadi orang yang jujur itu miskin, menjadi manusia yang idealis itu susah untuk senang, sulit untuk kaya, begitu ujar saya pada kakak perempuan saya. Itu yang dialami ayah saya, untuk membeli bensin dan sebungkus rokok saja, terkadang beliau tidak bisa. Bukan karena ayah tidak memiliki uang untuk membelinya. Tetapi karena keempat anaknya dan seorang istrinya, ibu saya dan nenek saya, ibu dari ayah saya.

Seluruh penghasilannya ia serahkan semuanya demi menghidupi keluarganya. Memutar otak kemudian mencari selah, mencari mata air-mata air rezeki melalui kolam lelenya, melalui kebun tebunya. Apa tidak pernah untung? Siapa bilang? Allah memberikan rezeki pada hamba Nya yang berusaha mendapatkan rezeki yang melimpah yang Dia punya.

Ayah sudah tua, ya semua tahu ayah saya sudah tua. Hanya dari wajahnya, tidak akan nampak bahwa ayah saya sudah tua. Beliau masih seperti lelaki berumur 40 tahunan. Dia ayah saya, dia ayah saya, saya bangga menjadi putrinya. Menjadi putrinya yang katanya “Ade ini sering bohong sama ayah”. Hebatnya beliau, saya sudah sebesar ini masih saja ketahuan kalau berbohong. Hebatnya beliau ketika orang lain tidak percaya, beliau malah berkata “ayah percaya dengan kalian, kalian sudah bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk”.

Luar biasanya beliau dengan segala kekurangannya, luar biasanya beliau dengan masa kecilnya yang pahit menurut saya. Luar biasanya beliau yang tidak pernah menampakkan kemarahan, kesedihan, di hadapan kami anak-anaknya. Luar biasanya beliau yang cukup dengan satu kata saja, ibu saya sudah dapat diam seribu bahasa, menitikkan air mata. Luar biasanya beliau yang hanya dengan tatapan matanya, dapat membungkam kenakalan kami anak-anaknya. Bahkan hingga menginjak usia 23, tatapan matanya ketika amarah itu melanda masihlah menakutkan bagi saya.

Ayah sudah tua, nampak dari garis-garis kerut yang ada di wajahnya. Arrrgghh, berulang kali berkata “ade sayang ayah”belum cukup rupanya. Berulang kali berkata “ayah tampan” masih belum melegakan rasa. Berulang kali berkata “Ade kangen sama ayah” masih belum cukup juga menghilangkan rasa rindu itu padanya, ayah saya yang saya cinta.

Humph, melankoli, melankoli, betapa bersyukurnya Allah menghadirkan saya di tengah-tengah mereka. Menjadi salah satu putri ayah saya yang kemudian melalui gurauannya ayah selalu berkata “Ade ini jelek, siapaaa coba yang mau sama anak ayah ini’. Atau ketika beliau berkata “rangkin 1 nilainya segitu, ayah dulu bahasa inggrisnya lebih gede dari situ nilainya”.

Arrrggghh ayah berbohong, jaman dulu ayah belum ada pelajaran bahasa inggris, lagi pula sekolah ayah tidak sampai setinggi anak-anaknya. Seperti itu lah ayah kiranya, humph menanti kapan kiranya bisa membuat ayah tersenyum bahagia lalu berkata “ayah bangga”. Bukan merasa bangga ketika ayah berkata ‘ayah bangga’ pada anak-anaknya. Tetapi, setidaknya merasa lega ketika beliau mengetahui bahwa perjuangannya, pengorbanannya tidak sia-sia, tidak akan pernah sia-sia.



(Ayah belakangan ini sering sekali menyanyikan lagu ini. Tepatnya sudah dua kali, bersama ibu saya tentunya. Dan setiap kali itu pula ibu menitikkan air mata sembari menatap wajah suaminya. Humphh ada pengalaman berat yang mereka alami bersama, sepertinya. Ya, saya rasa ada sesuatu di dalam lagu itu, sesuatu yang mewakili perasaan ayah dan ibu saya tentunya)

Hujan yang turun membasahi bumi, aku cinta, aku mencintainya, aku menyukainya. Matahari yang setia menyinari bumi dari hari ke hari, aku dapatkan semangat untuk menjalani hari dari dirimu yang selalu mematuhi perintah Nya untuk menyinari bumi ini.

Hummph, berjuta kata-kata tidak akan pernah dapat melukiskan, mewakilkan rasa cinta saya, kami pada mereka berdua, end.

Arrggghhh ade sayang sama ayah.

Monday, August 17, 2009

Karena dunia itu -harta, tahta dan wanita-

Hujan deras membasahi bumi lampung yang katanya panas, memang panas karena letak geografisnya, panas pula masyarakat yang berada di dalamnya, tetapi pada dasarnya, semua manusia baik adanya.
Patah hati, lebih tepatnya itu yang dialami oleh seorang teman saya. Patah hatinya pula yang membangunkan saya dari lelapnya tidur menjelang siang sebagai pelengkap dari sebuah pembenaran akan munculnya alasan ‘malas’. Semakin mendukung dengan turunnya hujan yang disertai angin kencang, saya menyukainya, saya mencintai hujan yang Dia turunkan sebagai tanda kasih sayang Nya pada ummat manusia, yang terkadang berkhianat kepada Nya, yang terkadang menduakan cinta Nya.

Handphone tua itu berdering, sebuah pesan masuk. “Lagi apa cep” begitu bunyi pesannya. Saya terbangun, sembari sesekali menahan rasa kantuk yang mendera, yang menggoda kedua kelopak mata saya untuk segera mengatupkannya.

Masih patah hati dia rupanya, serpihan-serpihan perasaannya masih berserakan, hingga menyebabkan dia berkata “ya emang benar, tapi sulit pada kenyataannya. Pelajaran yang saya dapet, gak boleh mencitai wanita terlalu dalam. Karena cinta yang abadi cuma cinta pada Nya. Apa saya pantas mencintai wanita?” begitu isi pesan yang kesekian kalinya.

Whuaaahh ini yang saya tidak suka, manusia melankolie yang tidak pada tempatnya. Akhirnya saya katakan padanya, bahwa bersyukurlah ia karena Allah mau menunjukkan jalan yang terbaik baginya, bayangkan bila mereka sudah menikah kemudian si wanitanya meninggalkan ia hanya karenya “motor thunder merah”. Teman saya, dia masih muda, ya setidaknya saya masih lebih tua beberapa bulan dari dia.

Awalnya saya bertanya apa alasannya mengirimi saya pesan di tengah hujan deras yang sesekali diiringi petir yang menimbulkan ketakutan dan harapan. “BT (boring time.red)” begitu alasan awalnya, saya pikir ia merasa kebosanan karena kekasih hatinya, si wanita yang juga sama manusianya dengan saya, sudah tidak bisa lagi ber-sms-an ria dengannya.

Seperti biasa, reaksi yang biasa, teman saya itu menyangkalnya, sampai pada akhirnya “ia curhat juga”, arrgghhhhh gdUbbbRakkk, teman saya ini masih merasakan sakit agaknya. Maka ketika saya katakan “saya mau ke toko buku, gramedia”, dia mau ikut begitu katanya pada saya. Lalu “hujannya sudah berhenti, ke gramed yuk. Saya lagi butuh banget teman yang bisa nunjukin bahwa dunia gak kecil, hidup masih panjang dan masih banyak wanita di dunia ini”.

Boleh, baiklah insya Allah akan saya coba tunjukkan dunia yang saya lihat, pada dia teman saya yang sedang patah hatinya. Tapi, ketika teman saya itu berkata “naik motor”, ohhh maaf saya menolak ajakannya. Dia bilang “sekali-sekali naik motor cep, bla..bla…bla”, “ya ya ya saya juga sering naik motor, dengan ayah saya, dengan ibu saya” begitu jawab saya. Lalu “ya naik motor saja, saya jemput, kita lewat belakang” begitu balasnya.

Gdubbbrakkkkk, lewat belakang
? Memangnya penerimaan PNS, memangnya penerimaan POLISI, memangnya penerimaan Mahasiswa baru, memangnya penerimaan Bank BUMN, memangnya penerimaan siswa/i baru?. Ternyata teman saya ini tidak paham dengan apa yang saya khawatirkan. “bukan masalah lewat belakang atau depan, karena keduanya sama saja, Allah dapat melihat semuanya. Akhirnya teman saya itu menyerah juga, dia mengikuti gaya hidup saya yang kemana-mana via angkutan umum dan jalan kaki “sekali-sekali mengikuti bagaimana cara saya menikmati hidup”.

Deal, dia setuju, hanya demi apa yang dia sebut dengan “melihat dunia dari sisi yang berbeda”. Humph kasihan kau kawan, nasib mu sama seperti nasib beberapa orang teman lelaki satu angkatan yang lainnya, patah hati, ditinggalkan wanitanya.

Ada yang ditinggalkan karena ternyata lelaki yang lain lebih menjanjikan dari pada dirinya, teman saya. Lebih menjanjikan dengan mobilnya, dengan apartemennya. Ada yang ditinggalkan karena kesatria barunya membawa thunder merah sebagai kendaraan andalan. Ada pula yang ditinggalkan karena “katanya saya terlalu baik cep, jadi dianggap kakak angkat aja, biar gak ada putusnya”. Hhumphh, memutuskan hubungan dengan cara yang halus. Ada juga yang ditinggalkan karena gaya hidupnya yang bagaikan seniman, “tidur malam, bangun siang, wajah awut-awutan, mata masih merah meskipun matahari sudah berada di atas kepala”.

Begitulah bila melabuhkan cinta pada manusia, saya sudah pernah mencoba memberikan pengertian kepada mereka. Tetapi ternyata, pepatah lama memang ada benarnya bahwasannya “pengalaman adalah guru yang terbaik” bagi manusia. YUppp teman-teman saya baru mengetahui kebenarannya, baru menyadari kesalahannya ketika mereka sudah terkena batunya.

Humph, ya beginilah ketika sudah menyangkut rasa,

Beginilah rumitnya wanita, diberikan lelaki baik-baik, maka "Terlalu baik katanya". Beginilah dunia wanita, tidak akan cukup bila hanya dengan mengandalkan cinta, karena cinta tidak akan pernah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan akan -sandang, pangan, papan-, kebutuhan akan yang -primer, sekunder, dan tersier-.

Tidak bisa menyalahkan mereka yang memutuskan teman-teman saya, karena seperti apa yang mbak tingkat saya katakan "hak mereka untuk mencari dan mendapatkan yang lebih baik". Begitulah, saya pada akhirnya hanya dapat menarik nafas panjang, harta, tahta, dan wanita memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan di dunia.

Itulah kenapa saya katakan "dunia itu semu, dunia itu sementara, dan manusia menyukai yang semu dan bersifat sementara itu".

Saturday, August 15, 2009

ME - Nunggu



Macam-macam yang manusia lakukan ketika menunggu. Contohnya ya saya ini, nungguin mbak-mbak dua orang, janjinya sie jam-jam 1.30 siang, ba'da zuhur. Khawatir telat, jadilah pas terima sms langsung aja meluncur. Lha sampai di sana, si mbak-mbaknya terlambat sampai ashar, masya Allah.

Tapi lumayan ada gambar-gambar yang bisa diambil, lumayan buat portofolio. Ngambil gambarnya kagak pakai izin pula.



Saya lupa urutannya seperti apa, yang jelas dari awal temannya si mbak ini sholat sampai selesai sholat, si mbak sibukk aja sama dandanannya. Agak terpana, takjub, and kaget waktu si mbak ini berdandan sedemikian sehingganya. He...3x lucu aja, bis saya sendiri ndak pernah sampai sebegitunya. Whuaaah jadi wanita sebenarnya ternyata ribet juga, jadi lebih baik jadi wanita sederhana saja sepertinya.



Nie dua muslimah ini lagi nungguin sholat ashar sepertinya.... Nah, kalo anak kecil ini lagi nungguin si mbaknya sholat dzuhur, kesian aja mpe melongo begitu. Daripada nganggur, ya udah aja ni anak saya ambil gambarnya.




Awalnya anak-anak ini cerita-cerita tentang kota jakarta, ehhh ujung-ujungnya tertidur juga di musholla.

Setidaknya inilah yang saya lakukan ketika saya harus menunggu selama hampir 2 jam, atau mungkin lebih. Awalnya agak membosankan, tetapi lama kelamaan menjadi hal yang menyenangkan. Ada yang saya amati, ada yang saya kerjakan, ada yang saya pelajari. Seorang teman saya menyarankan saya untuk berjalan-jalan. Ha..3x jalan-jalan bisa menjadi hal yang berbahaya bagi saya, yang seorang wanita.

Mengapa berbahaya?! karena saya wanita, berjalan-jalan di pusat kota, bisa menimbulkan lapar mata. Salah-salah yang ada di depan mata, malah dibeli semua, kan bisa berbahaya untuk psikologi, akidah, dan kantong saya tentunya.

TErima kasih untuk ME-nunggu.

Mudahnya mencari uang di dunia

Symphony no 7 in A major…..

Ia berdendang menemani jarum jam yang berdetang 7.30 malam. Mari membuka memori yang ada di kepala tentang kisah beberapa hari yang lalu, kapan tepatnya? Maaf aku tidak tahu, aku sudah lupa.

Mencari uang itu gampang, begitu ujar saya pada seorang teman. Ia kemudian mengomentari dengan berkata “kata siapa? Cari uang itu susah” begitu katanya. Saya pikir, tanggapan yang wajar, karena ia pribadi sudah atau sebenarnya sedang merasakan bagaimana susahnya mencari uang.

“mencari uang itu mudah, yang susah adalah tentang halal atau tidaknya uang yang kita dapatkan” kira-kira begitu saya membalas pesannya.

Bukan tanpa alasan saya katakan mencari uang itu gampang. Asumsi itu bermula bersamaan dengan mentari yang tiba menyapa, pagi itu, hari itu, dan kembali saya katakan, saya lupa kapan tepanya. Pagi yang indah, burung-burung gereja itu sudah terbang melayang, kesana kemari. Ada yang membawa jerami, ranting-ranting kecil, untuk membuat sarang. Ada pula yang sibuk dengan tanggung jawabnya akan keluarganya, memberi makan anak-anaknya. “humph, ibu dimana-mana sama, mau dia hewan atau manusia. Tetap saja, anak yang menjadi prioritas utama”.

Kembali kepada kisah tentang bagaimana mudahnya mencari uang di dunia, di Negara ini, di Indonesia, di propinsi ini, di kampus ini, UNILA.

PAgi yang cerah, “membuka dengan mengucap syukur padanya, melalui doa bangun tidur tentunya. Menghentikan kerja MP3 agar pekerjaan yang lain tidak terbengkalai akibat alunan music yang diputar oleh MP3 putih yang sudah tidak lagi nampak keputihannya.

Saya sudah siap dengan segala konsekuensi tentang dunia, pagi itu, hari itu. Mempercepat aktifitas untuk mengejar kereta pagi menuju perjumpaan dengan Nya melalui sholat dhuha. Bismillah, pintu gerbang asrama dibuka, saya melangkahkan kaki dengan semangat 45.

Tidak boleh kalah dengan burung-burung yang terbang di angkasa. Tidak boleh kalah dengan mentari yang sudah dengan setia menyinari bumi karena perintah Nya. Tidak pula boleh kalah pada manusia-manusia yang lainnya, yang mengabdikan hidupnya pada Dia Yang Maha Memberikan kehidupan pada manusia.

Humph menghela nafas panjang, menulis dalam keperihan, menuangkan kisah dalam kelelahan akibat dari sebuah perjalanan panjang.

Mencari uang itu gampang, begitu akhirnya saya menarik kesimpulan. Pasalnya, ketika saya sedang bersenandung riang di sepanjang papping menuju kampus unila, kampus hijau katanya. Tiba-tiba seorang anak perempuan, anak remaja, belasan tahun umurnya, menghampiri saya.

Anak perempuan tinggi semampai, berambut lurus sampai ke bahu, bertubuh kurus, berkulit hitam. Tanpa basa- basi dia berkata “mbak maaf, bisa minta tolong?” begitu katanya. Saya tertegun sejenak, ini anak siapa? Apa maksudnya? Saya tidak begitu mendengar tujuan ia menghentikan perjalanan saya. Sampai seperti orang tuna rungu (tuli.red) saya berkata “apa?” berkali-kali, sampai akhirnya MP3 itu saya ‘off’ kan sejenak, untuk mendengarkan perkataannya.

Lalu “minta tolong mbak, minta uang bla…. Bla… bla…” dan yang samar-samar terdengar, ia membutuhkan sejumlah uang untuk ongkos pulang, untuk makan. Saya tidak lagi mendengar apa selanjutnya, tidak ada yang saya lakukan selain memandang penuh keheranan. Mengamati wajah hitam manisnya, melihat berisan giginya yang nampak keluar darah dari sela-sela giginya. Eugghh, saya alihkan pandangan, mencoba mengacak-acak tas ransel yang saya bawa, mencari sejumlah uang untuk diberikan padanya.

“dapat, 2ribu rupiah” uang itu saya berikan padanya sembari berkata “lain kali jangan minta-minta lagi ya de, gak boleh. Alhamdulillah ada Rp. 2000” begitu ujar saya padanya. Tanpa ba bi bu, ia menerimanya kemudian pergi, berlalu setelah sebelumnya berkata ‘terima kasih ya mbak”, “ya sama-sama” begitu balas saya padanya.

Sudah ‘lihat’ kan? Sudah tahu bukan, tentang bagaimana mudahnya mencari uang.

Dalam keheranan saya kembali meneruskan perjalanan, masih ada beberapa menit lagi untuk tiba di jurusan fisika Unila tercinta. Sepanjang jalan, papping-papping trotoar itu menemani saya dalam diam. Pikiran ini melayang, menerawang tentang betapa mudahnya mencari uang di negeri ini. Cukup dengan berdandan seadanya, meletakkan mangkuk kecil di hadapannya. Atau dengan cara meminta tolong dengan dalih tidak punya ongkos untuk pulang, atau dengan cara membawa kotak amal, atau mungkin dengan trik membawa anak kecil di dalam dekapan.

Beginilah wajah Indonesia dan tentang bagaimana caranya manusia, warga negera di dalamnya mencari rezeki sebagai sumber penghidupan untuk dia dan keluarganya. Tidak ada yang salah bila sudah menyangkut soal uang, salah-salah itu dikesampingkan.

Di dalam hukumnya mencari uang, yang halal atau pun tidak, tidak menjadi soal. Mencari dengan cara memalukan atau tidak, tidak lagi menjadi urusan. Mengusahakan rezeky dengan terhormat, bukan dengan tangan di bawah pun, sudah lama diabaikan. Diabaikan pula apakah Allah ridho atau sebaliknya dengan usahanya dalam mencari sesuap nasi agar ia dapat terus hidup di dunia ini.

Manusia terkadang lebih menyukai yang kasat mata daripada sebaliknya.....


Tuesday, August 11, 2009

none of them

Menjumpaimu tidak lagi dapat seperti dulu wahai TUhanku, aku sudah layaknya manusia yang kehilangn arah, nahkoda yang kehilangan kompas sebagai bahanacuan dalam menentukan kemana kapal itu akan ia layarkan.

Arrggh aku menjerit ya RAbb
Arrgghh aku berteriak di kegelapan malam
Di dalam remang-remang cahaya rembulan yang semakin lama semakin hilang dari pandangan, bulan itu mati, bulan itu sudah mati, dan tak ada lagi rembulan esok hari

Dunia tidak menyenangkan
Amat sangat tidak menyenangkan mana kala hati tak lagi merasakan tentram
Aku tidak sedang berpuisi kepada Mu yang Maha menciptakan puisi, kepada Engkau yang sudah menciptakan kata-kata ini di kepala.
Aku curahkan apa yang ada di dalam hatiku
Di dalam akal pikiranku
Betapa hatiku merindukanmu Tuhanku

Maafkan hati bila ia sudah khianat
Maafkan diri bila ia sudah pula pada siapa ia seharusnya menghamba.
Aku menangis ya RAbb, dan bahkan air mata itu pun enggan untuk turun karena rasa muak yang mendalam pada si empunya tubuh yang mengandalkan air mata hanya agar supaya hatinya merasa lega.

Aku menangisi Mu wahai Tuhanku
Dzat yang Maha yang tak kasat mata namun dapat di rasa dan lebih dekat dari urat nadi manusia, urat nadiku hamba Mu yang tak jua tersadar untuk menghamba pada Engkau yang maha memiliki segala.

Aku hampir gila,
Kusut masai, hancur sudah, luluh lantaklah semua yang ada, tak berguna segala apa yang sudah aku genggam erat karena pada akhirnya hanya membuat aku lupa untuk kemudian terjerat pada dunia, pada simpati manusia.

Aku muak, aku bosan, aku hampir gila dibuatnya
Aku menangis karenanya
Pintu-pintu itu terlampau membingungkanku
Aku mohon pada Mu dengan segenap jiwa ragaku yang kesemuanya adalah milikmu
Aku mohon tunjukkan padaku pintu mana yang harus aku tuju
Dan ketika aku membukanya aku bisa menjumpaimu
Menatap wajah Mu
Merasakan damainya bersama Mu, berada di dekat Mu
Terlampau bermimpikah aku

Aku membencimu wahai makhluk yang bernama ‘berlebihan’
Aku muak dengan mu wahai makhluk yang bernama ‘khianat’
Aku ingin membunuhmu wahai penyakit hati yang sudah menyakiti hati dan perasaanku
aku mengantuk wahai Tuhanku yang menciptakan rasa kantuk
aku lelah wahai Tuhanku yang menciptakan rasa lelah itu

aku mohon ya Allah
sampai di titik se ekstrem apapun engkau mengujiku
aku mohon, jangan lepaskan aku dari genggamanmu
aku mohon, jangan biarkan aku tersesat dalam gelapnya jalan kehidupan yang semakin lama semakin pekat dirasa.

Saturday, August 8, 2009

Selamat tinggal atau sampai jumpa???

Sedih hati rasanya, tidak ingin mengingatnya. Sudah berapa kali aku sampaikan pada mu wahai hati bahwasannya perpisahan itu pasti terjadi.

Sebuah persembahan untuk seorang teman atau mungkin beberapa orang teman yang mungkin hanya sekejap mata kita bersua, tetapi sua sesaat yang penuh dengan makna.

terima kasih untuk mu, kalian yang menemani ketika tamparan keras itu hinggap dan membangunkan manusia ini dari tidur yang panjang, akan angan-angan yang menyedihkan karena mengiba, karena mengemis kasih pada sesama makhluk yang juga memerlukan kasih dari Sang Maha Pemilik Kasih.


loneliness, no more loneliness, no more sadness and sorrow anymore..

Jarak dan waktu itu akan terasa semakin panjang

i love you, aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku, aku menyayangi mu seperti halnya aku menyayangi saudaraku, diriku. Dahulu itu, tak begitu tahu seperti apa cinta itu, yang aku tahu cinta antara ibu kepada anaknya, cinta ayah kepada putrinya, cinta saudara kepada saudara yang lainnya melalui pertengkaran-pertengkaran kecil yang sekarang nampak konyol bila mengingatnya.

Aku mencintaimu karena Tuhan ku Rabb ku yang menciptakan aku dan kamu.

Whuahhhh, Whoammm, Arrgghhhh ck..3x sedih rasanya.

semua ini palsu, dunia itu palsu, dunia itu semu.

Bandar lampung 8 Agustus 2009, sudah lebih dari satu tahun aku mengenalmu, beberapa hari lagi insya Allah bila Dia memanjangkan usia aku akan berlari dengan kereta angin tercepat abad ini, aku akan terbang dengan pesawat terhebat yang mampu melesak jauh ke angkasa melebihi kecepatan cahaya. Kita akan berjumpa, insya Allah kita akan berjumpa meski tak kan lama, hanya sekejap saja, beberapa jam saja.

Aku, kamu, dan dia akan kembali tenggelam dalam derai tawa dan gurauan penuh makna. Tenggelam dalam gelak tawa yang belakangan akan menuai air mata. Humphhh berlebihan, hiperbolik, terlalu banyak menggunakan frasa-frasa tak bermakna, tapi tak mengapa, tak mengapa, karena inilah cara saya mengekspresikan bahwa betapa saya sebegitu, sedemikian sehingganya mencinta karena Nya, ternyata seperti ini lah rasanya.

Arggggghhh, payah, kamu payah cep.

Wednesday, July 29, 2009

Aku berlari mengejar lelaki paruh baya itu

Aku berlari mengejar lelaki paruh baya itu, lalu terhenti. Menanti, temanku yang satu ini sedang sibuk dengan urusannya dengan petugas dan mesin photo copy-nya.
Mari berkisah dalam gelapnya malam, dalam temaram lampu penerangan. Bulan sabit, tak begitu nampak jelas kilau cahayanya di angkasa, namun cukup terang untuk menerangi bintang-bintang yang ada di sekitarnya.
“cep, nginep aja yuk di tempat mbak”, tidak, aku menolaknya serta merta. Pertama karena tidak begitu suka dengan yang namanya menginap di tempat orang, kedua karena memang banyak pekerjaan yang harus aku lakukan, dan itu akan lebih nyaman bila melakukannya di kamar tempat aku tinggal selama beberapa tahun terakhir.

Mari hentikan menggunakan kata aku yang semakin lama semakin mengganggu. Saya kotak sampah, ya saya kotak sampak. Wanita yang usianya lebih tua dari saya, yang saya panggil dia dengan sebutan kehormatan ‘mbak’ itu, mengajak saya untuk menginap di kamarnya, di kostan-kostan tempat dimana dia tinggal selama beberapa tahun belakangan. Untuk apa? Untuk curhat tentunya. Hhhh maka saya katakan padanya, saya ini sudah seperti kotak sampah rasanya. Di sini, di sana, di tempat liqo sekali pun, sama saja, menutup mulut rapat-rapat untuk mereka-mereka yang datang, diam-diam mendekat lalu berkata ‘cep mbak mau cerita, mau curhat’, ya selalu seperti itu pada akhirnya.

Dan topik permasalahannya adalah tentang jodoh, selalu, selalu itu. Atau tentang masalah dalam keluarganya, hahhhhhhh saya introvert, dan terkadang keadaan membuat saya semakin menjadi introvert sejati.

Malam ini, menemani ‘si mbak’ makan malam, ya karena saya juga pada kenyataannya kelaparan. Berhenti sejenak untuk mengambil hasil phoo copy-an dan saya hanya menunggu sembari duduk dalam diam ditemani angin malam yang bertiup kencang.

Tak lama, lelaki paruh baya itu berlalu di hadapan saya. Mata ini rasa tak ingin melepaskan pandangan dari melihatnya. Ia lelaki paruh baya yang unik menurut saya. Perjumpaan yang pertama kali dengannya ketika saya sedang duduk bersama ibu penjual roti bakar. Lelaki paruh baya itu sibuk mencari-cari barang-barang plastik yang bisa ia jual, yang mungkin bisa ia jadikan alat tukar untuk mencari makan.

Ada sedikit rasa iba, melihat postur tubuhnya yang nampak sudah renta. Tetapi, malam hari dengan cuaca yang tak menentu, ia keluar menarik gerobaknya, padahal beberapa hari belakangan ini angin bertiup sangat kencang, dan saya tahu angin malam tidak baik untuk kesehatan.

Berlagak peduli, saya menghampirinya lalu berkata ‘bapak mau itu, kalau mau nanti saya pesankan’ begitu ujar saya padanya. Normalnya saya pikir ia akan berkata ‘iya nak, terima kasih’. Tapi ternyata ‘terima kasih nak, tapi nggak usah, bapak sudah kenyang’ begitu katanya. Lalu mulailah saya memaksa dengan berkata ‘ndak apa pak, buat bekal’, tetapi kembali dia berkata, bersikukuh dengan keputusannya ‘nggak usah nak, terima kasih, tapi bapak sudah kenyang, untuk kamu saja’. Lelaki paruh baya itu pun pergi meninggalkan, lambat laun semakin lama semakin hilang dari pandangan.
Heran, baru kali ini ada yang menolak, biasanya yang ditawarkan akan berkata ‘iya’ dalam artian menerima. Tapi baru kali ini saya temui, lelaki paruh baya itu menolaknya.
Beberapa hari berlalu, lama sudah tak berjumpa dengan lelaki paruh baya itu. Sampai malam ini saya melihatnya, maka serta merta phonecell saya keluarkan, modus malam saya aktifkan. Lelaki paruh baya itu masih tetap dengan aktifitasnya beberapa hari yang lalu, mengais-ngais tempat sampah, mengambil botol-botol plastic yang ada, lalu memasukkannya ke dalam gerobak yang ia bawa.

Berpacu dengan waktu, lelaki paruh baya itu sudah beranjak pergi. Gerak saya terlalu lamban, dan ketika kamera handphone sudah siap untuk dipergunakan, lelaki paruh baya itu sudah hilang dari pandangan. Ingin mengejarnya, tetapi si mbak yang bersama saya, belum juga selesai dengan aktifitas photocopy-nya, jadilah saya menunggu dalam rasa penasaran dan tanda tanya yang besar tentang kemana si lelaki paruh baya berada.

Photo copy selesai, bergegas saya beranjak tanpa mempedulikan si mbak yang setengah berlari untuk mengimbangi cara saya berjalan. Kamera handphone sudah saya posisikan standby, dengan modus malam berharap agar hasil gambar yang saya dapatkan tidak mengecewakan.

Angin malam semakin kencang bertiup, kiri kanan jalan semakin ramai saja menurut penglihatan dan pengamatan saya. Manusia-manusia lesehan sudah bertebaran, ada yang makan jagung, ada yang melahap nasi goreng, ada pula yang membeli durian yang besarnya tidak seberapa tetapi sudah pasti mahal dalam harga karena ini belum tiba musimnya. Lelaki paruh baya itu tidak juga saya temukan, bahkan dengan setengah berlari sekalipun, lelaki paruh baya itu sudah luput dari pandangan.

Ia lelaki paruh baya, mungkin menurut sebagian orang lelaki paruh baya itu tidak jauh berbeda dengan lelaki paruh baya lainnya, tapi tidak menurut saya. Ia berbeda, jelas-jelas berbeda, sangat jelas berbeda, dan insya Allah dia memang berbeda.