Pages

Thursday, August 20, 2009

Kontemplasi dari jarak itu sendiri

Manusia yang menciptakan jarak, manusia pula yang merasakan konsekuensi dari adanya jarak.

Mereka punya dunia sendiri, ada yang dapat dimasuki, mempersilahkan kita singgah di dalamnya. Ada yang dengan sukarela membukanya, ada yang membuka karena terpaksa, karena rekan-rekan sejawatnya meninggalkannya, atau mungkin sedang sibuk dengan keperluan-keperluan pribadi mereka.

Ada yang sudah dewasa dalam pola pikirnya, ada yang hanya nampak diluarnya saja, ada yang tergantung pada keadaan yang sedang di hadapinya.

Manusia pandai bicara, pandai memainkan kata-kata, pandai mengeluarkan nasihat-nasihat penuh makna. Tetapi apakah itu memiliki makna pula di dalam hatinya, hingga membekas dan membuatnya menjadi manusia seutuhnya? Atau hanya sekedar kata-kata yang menghasilkan pujian dari manusia yang lainnya, tetapi tetap bernilai kosong atau bahkan tak bernilai sama sekali, hingga membuat dirinya tetap menjadi manusia yang sama dari hari ke hari.

Saya manusia, kita semua manusia. Manusia yang mempunyai akses luas untuk menjelajahi dunia maya kemudian mencari hikmah apa yang ada di dalamnya. Kita semua manusia, manusia yang mampu menjelajah alam semesta. Manusia yang dapat berpikiran terbuka atau justru sebaliknya, terkungkung di dalam sebuah tempurung kelapa. Terkurung di dalam sebuah mainset berpikir bernama kotak, terperangkap di dalam jutaan asumsi-asumsi paranoid antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, hanya karena pola pikir yang berbeda.

Semua ada sisi baiknya, dari situs jejaring facebook yang kemudian di haramkan, ada sisi positif di dalamnya. Pun ada sisi negatif dari handphone yang sudah tidak dapat lagi dilepaskan dari kehidupan manusia di dunia. Semua kembali kepada kita si manusia, apakah mampu memanfaatkannya sesuai dengan porsinya. Menempatkan segala perhiasan dunia pada tempatnya, secara seimbang, dengan tidak memberikannya tempat khusus di dalam hati, kecuali sepetak ruang kecil di dalam kepala untuk dicerna dengan menggunakan logika.

Semua ada sisi baiknya, sisi baik dari dilahirkannya WWW ke dunia, menghubungkan yang tidak terhubung. Membuat mungkin apa yang tidak mungkin beberapa tahun sebelumnya, semua karena kepiawaian akal pikiran manusia yang Allah berikan sebagai salah satu nikmat tak terhingga, hingga membuat kita berbeda dari makhluknya yang lainnya. Tetapi, buat sebagian dari kita ada yang menggunakannya untuk maksud dan tujuan yang terkadang memalukan.

Dunia, selalu indah dipandang mata, selalu manis di rasa. Begitulah kita manusia, manusia yang begitu menghargai apa yang nyata, apa yang nampak oleh mata. Saya jadi teringat ketika suatu malam seorang wanita menghubungi saya untuk berkata "Sefta jangan lupa besok pkl 8 pagi di rektorat. Pakai pakaian yang rapi, yang cantik, jangan terlambat", "iya..." begitu jawab saya.

Sejenak terdiam, berpikir, beginilah kiranya manusia. Esok hari saya akan menandatangi kontrak perjanjian, bertemu dengan para pejabat rektorat, berjumpa dengan banyak kamera, berhadapan dengan media massa. Esok hari pun tiba, saya persiapkan dengan seksama, rapi, bersih, tak kurang menurut ukuran saya. Mengusahakan untuk tidak datang terlambat, semua demi apa yang namanya urusan dunia.

Saya memang tidak terlambat, semua sudah sesuai menurut pandangan saya. Kembali memantapkannya dengan mematut diri di depan kaca, sesaat saya berpikir bahwa sampai sebegitu sedemikian sehingganya saya untuk menemui manusia yang sama lemahnya dengan saya. Lantas, bagaimana dengan Dia??? Entahlah, saat itu yang ada hanya rasa malu, kemudian meluruskan niat bahwasannya semua yang saya lakukan pagi itu hanya untuk Nya.

Dia sangat dekat, amat sangat dekat
Dia Tahu, bahkan amat sangat Maha tahu
Manusia tidak pernah menciptakan jarak, karena memang manusia tidak akan pernah dapat mencipta. Maka, manusia yang membuat jarak, manusia itu pula yang nantinya akan merasakan konsekuensi dari jarak yang sudah ia buat dengan sendirinya.