Pages

Monday, October 27, 2008

Kenapa harus ada sunnah, nyusah-nyusahin aja

Kalimat ini terlontar begitu saja dari seorang wanita. Agak panas berasa di dalam dada, lalu kemudian teredam dengan sendirinya karena saya bukan makhluk yang mulia melainkan sebaliknya.


Entah bagaimana awal mula pernyataan itu keluar meluncur dengan cepatnya dari alat bicaranya. Seingat saya, saat itu, saya, dia yang berkata, dan seorang teman sekamarnya. Sedang membahas tentang sholat tarawih yang 11 rakaat dan 23 rakaat setelah ditambahkan witir.


Menurut sebuah hadist ’Aisyah RA ”Rasullah tidak pernah menambah tarawih lebih dari 11 rakaat pada bulan ramadhan dan yang lainnya” (H.R Al Bukhari I/385 dan Muslim I/509).


Nah, saat itu saya sampaikan hadist ini padanya. Lalu dengan serta merta dia berkata ”itu sunnahkan? Kenapa harus ada sunnah, nyusah-nyusahin aja”. Waw, masya Allah luar biasa, ’tenang-tenang, jangan keburu emosi’. Akhirnya saya katakan begini padanya, ”mbak tau ndak kenapa Allah menetapkana ada yang sunnah ada yang wajib?”, dia diam mendengarkan atau entahlah. Lalu ”biar ketahuan, mana hamba-hamba pilihan, yang menurut sebagian orang mengerjakan amalan-amalan yang kurang kerjaan”.


saya pun menambahkan ”kalau dipikir-pikir, ngapain sholat sunnah sebelum dan sesudah sholat wajib, ngapain pula ada sholat malam. Kenapa gak diwajibkan saja? Karena kalau wajib, semua manusia pasti menjalankannya dengan sukarela atau terpaksa, tapi kalau sunnah, cuma orang-orang tertentu saja yang mau menjalankannya, cuma hamba-hamba pilihan Nya saja”.


Hening, lalu ”habis di tempat gua itu, jadi saling hina antara muhammadiah dengan NU, Cuma karena ada yang 11 rakaat dan 23 rakaat” begitu tambahnya, mulai melunakkan argumennya.


Saya hanya menjawab sekenanya, saya katakan padanya ”Perbedaan itu sunnatullah, perbedaan itu Al Ghurabah (tulisannya bener gak ya?), perbedaan itu indah, sekarang bagaimana manusianya menyingkapi perbedaan yang ada. Cuma di Indonesia aja yang begitu ngeributin yang 11 rakaat sama yang 23 rakaat”.

Akhirnya, hhhh hidup beginilah hidup, manusia lebih memfokuskan diri dan hati pada perbedaan yang ada bukan pada kesamaan yang ada padanya, kesamaan bahwa pada dasarnya sama-sama manusia, bahwa pada dasarnya sama-sama muslim adanya.


Dan alhamdulillah kiranya tahun ini hari raya sama antara pemerintah Indonesia dengan muhammadiah sebagai salah satu organisasi massa terbesar yang ada di Indonesia. Setidaknya mbak tina yang biasa berjualan sayuran, tidak perlu pusing dengan bertanya ”mbak septa kita ini lebarannya besok atau bukan sih, aku bingung ini, mau jualan takut mahasiswa sudah pada pulang”.


Setidaknya mbak ida pun tidak perlu lagi berkeluh kesah dengan berkata ”yu’ ngah, kita ini lebarannya kapan ya, aku bingung ini mau buka warung atau enggak, nanti sudah masak banyak-banyak taunya mahasiswa sudah pada pulang”.


Kembali, beginilah salah satu potret negeri ini.

Saturday, October 25, 2008

Di Atas Sajadah, saya nggak mau pindah

Entah seperti apa yang terjadi pada zaman nabi Muhammad SAW dahulunya, entah apa pula yang terjadi pada masa Hasan Al Banna.

Adakah manusia-manusia pada zaman itu menggunakan sajadah sebagai alas untuk menunaikan sholatnya? Kalau pun ada, apakah sajadah-sajadah itu beragam macam dalam rupa, corak dan warnanya? Apakah sajadah itu pula menjadikan pemiliknya berdiri tegak di dalam sholat dengan penuh keterbatasan? Apa maksud dari keterbatasan yang saya tuliskan? Bagaimana asumsi ini bermula?

Pernah memperhatikan seorang hamba menunaikan sholat? Pastinya pernah. Pernah memperhatikan seorang hamba menunaikan sholat berjamaah? Pastinya pernah. Hal-hal ini yang kadang menggelitik hati untuk bertanya pada kepala ini, hingga hanya bisa membuat pertanyaan tanpa pernah membuahkan jawaban yang memuaskan. Terkadang, mata ini memandang mereka-mereka yang akan menunaikan sholat, menjalankan ibadahnya dengan niatan berjamaah, seperti halnya sholat tarawih yang selalu diadakan ketika bulan ramadhan sampai pada waktunya.

Orang-orang berbondong-bondong, berduyun-duyun, dengan sukacita menunaikan sholat dimasjid terdekat yang ada, tak lupa membawa perlengkapan sholat termasuk sajadah tercinta. Hingga tiba ketika iqamah dikumandangkan, imam pun memerintahkan jamaah untuk merapatkan dan meluruskan barisan.

Geser-geser, mepet-mepet, ujung-ujung kaki pun saling dilekatkan dengan jemaah yang ada di kiri dan di kanan. Itu untuk barisan yang berada di belakang, lain lagi dengan barisan yang ada di depan saya, seseorang tetap kukuh pada pendirian, tidak bergerak, selain berdiri mematung menunggu si imam mengucapkan ’Allahu Akbar’, dia tetap berdiri, di atas sajadah panjangnya.

Tak peduli shaf yang bolong di kiri dan di kanan, tak peduli shaf yang tidak rapat malah benar-benar terlihat jarang, dia tetap saya tidak bergeming, kokoh bagai karang, bahkan hingga sholat witir ditegakkan.

Hari berikutnya, masih di masjid yang sama, namun di shaf yang berbeda. Saya selalu menunaikan sholat witir di asrama, menunggu teman-teman yang lain, yang sekaligus menunaikan sholat witir berjamaah. Beberapa jamaah yang juga tidak melaksanakan sholat witir, sudah terlebih dahulu pulang ke rumah, shaf-shaf mulai kosong di bagian tengah.

Kembali, si imam berkata ’shafnya dirapatkan dan diluruskan’ dan kembali, fenomena yang saya jumpai, itu shaf yang kosong di tengah, tetap dibiarkan kosong, jamaah-jamaah yang berada di sisi kiri dan di sisi kanan, masing-masing tidak ada yang mau berpindah tempat, tidak ada yang mau membenahi shaf hingga kembali rapat seperti semula.

Semua tetap berada di posisi semula, di atas sajadahnya. Shaf yang ditinggalkan tetap saja kosong melompong, bahkan hingga salam diucapkan oleh sang imam.

shaf - nie tulisan bener kagak ya???

Friday, October 24, 2008

Hidup itu butuh perjuangan

Hari pertama, malu-malu pada awalnya

'Jualan itu gak gampang, hidup itu memang butuh perjuangan, rezeki itu sudah ada yang atur, dan yang terakhir, Allah itu bersama orang yang sabar'


Begini ceritanya, alkisah suatu malam sepulang dari sholat tarawih di masjid tetangga sebelah. Seorang wanita yang satu asrama dengan saya bertanya, "cep sibuk gak bulan ramadhan ini?", yah saya bilang saya nggak, wong memang sedang tidak sibuk. Lama muter-muter gak keruan, akhirnya si mbak bertanya "mau ikutan jualan gak?". Nah lho, si mbak akhirnya mengutarakan maksud dan tujuannya. Yah tanpa pikir panjang, saya langsung aja bilang iya, sampai akhirnya saya lupa untuk berkata "insya Allah".

Entah kenapa tiba-tiba saja saya bilang iya, sampai akhirnya di pagi hari yang indah saya mengirimkan pesan padanya "mbak, cep lupa, insya Allah ya". Yah bukankah lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. sehari berlalu, akhirnya saya dan mbak wik, ya nama wanita itu wiwik jadi saya memanggilnya mbak wik, karena dia lebih tua 4 tahun dari saya.

Akhirnya, kemarin, tanggal 4 september, saya dan mbak wik mulai berjualan, jualan es sama puding yah bisa dibilang puding abal-abal coz lebih menyerupai agar-agar. Hmmh, malu? oh tentu saja, meskipun ini kali kedua saya berjualan. Kapan yang pertama? oh itu ada cerita tersendiri yang belum sempat saya postingkan di blog ini.

Dari asrama, bawa-bawa meja, bawa es batu, puding, gelas plastik, sampai ember buat wadah es buah. Menit-menit pertama, hiks...3x malu, malu sekali, tapi dengan gayanya di dalam hati berkata "toh rasullullah pun berdagang", rasa malu sedikit demi sedikit berkurang. Hari semakin sore, hampir pkl 17.00 WIB, sudah hampir satu jam, belum juga ada yang datang. Kembali "hiks..hiks.." harapan mulai pudar, mau sembunyi rasanya di bawah kolong meja.

Handphone pun jadi sasaran, photo-photo bareng mbak wik hanya sekedar menghilangkan rasa malu yang mulai meradang. Sampai tiba-tiba, seorang wanita muda kuliah S2 di Unila begitu terangnya, menjadi pembeli untuk pertama kalinya 'Duh senangnya bukan main, Alhamdulillah'. Ada juga yang mau membeli, agak was-was sebenarnya, habis meskipun sudah sering membuat makanan yang begituan, tapi berbeda pada tujuan, biasanya untuk buka puasa angkatan, nah ini untuk dijual, 'gimana kalau ada yang sakit perut? gimana kalau kemanisan? gimana juga kalau ternyata kurang manis?' Haduh, itu praduga terus bertengger di kepala.

Hingga matahari semakin berlari, menuju peraduannya, pembeli semakin ramai saja. Rasa was-was yang lain yang berpikir bahwasannya dagangan ini tidak akan laku terjual, pupus terbang bersama angin-angin petang. Benar kiranya, rezeki sudah ada yang mengatur, benar kiranya bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar.

Lama, hari semakin sore saja, ada yang datang ada juga yang pergi. Dan ada kejadian lucu di sore itu, bagaimana tidak, kerja saya dan mbak wiwik, berphoto-photo ria dengan handphone yang saya bawa.

Pengguna jalan raya, tukang sate yang berada tak jauh dari tempat kami saat itu, hanya senyam-senyum saja melihat tingkah polah kami berdua. Beberapa pembeli yang datang, dengan malu-malu lalu segera pergi setelah membayarkan apa yang ia pesankan. Dan mereka lelaki, mengapa mereka? yah karena memang bukan hanya satu pembeli yang bertingkah seperti itu.

Jadi sedikit ingin mengamati, hingga berani mengambil kesimpulan dini bahwasannya ada beberapa kriteria mengapa mereka membeli. Pertama, karena memang ingin membeli, mengingat tenggorokan kering kerontang meradang karena berpuasa selama seharian (Whuaahhh hiperbolik). Alasan kedua, karena rasa kasihan melihat kami berdua berjualan.

Ah, pada akhirnya saya dan mbak wik hanya tertawa saja mendengar asumsi yang saya keluarkan. Jadi beginilah rasanya berjualan, beginilah rasanya mencari uang, dan beginilah kiranya rasanya menawarkan. Malu, jujur saya benar-benar malu, bahkan mbak wiwik pun malu. Tapi demi apa yang namanya sebuah pengalaman dan pelajaran, malu bukanlah jadi penghalang.

Adzan maghrib berkumandang, es buah tersisa beberapa gelas, yah daripada mubazir, akhirnya saya dan mbak wik memutuskan untuk membagi-bagikan pada pedagang yang berada di sekitar kami berjualan. Selepas menitipkan meja, pada si abang penjual sate, kami pun pergi pulang.

Hasil hari ini, Rp 61.500 ternyata memang mencari uang tidaklah gampang.

Terbakar

Sampai di asrama, malam menjelang, kembali meneruskan usaha yang dirintis seperti main-main saja. Membuat puding untuk dijual keesokan harinya, mengaduk-ngaduk, mendidih, selesai. Kompor pun harus dimatikan, kompor minyak tanah, hmmh dasar anak kostan, kompor pun seadanya saja, yang penting hidup, tapi belakangan ternyata mematikan apinya harus dengan ditiup.

"Fuh...fuh....fuh" itu kompor belum juga mau mati, padahal di awal, begitu mudahnya. Saya pun mencoba berdiri, mematikan dari atas, lalu "Fuh...whuaaaaaahhh, mbak wik, kompornya meleduk, alis cep kebakar mbak" apinya meninggi, terbakar, ya terbakar, saya terbakar, tapi masih Alhamdulillah bukan wajah. Hmmh, mbak wiwik dan mbak vivit, hanya tertawa mendengarkan saya berteriak hhhhh......

'memang hidup itu benar-benar butuh perjuangan'

-bersambung-

Wednesday, October 22, 2008

Lucu tapi tidak lucu

Selepas menyelesaikan ujian termodinamika, mencoba kembali lagi ke memori beberapa hari yang lalu. Sugesti memang ‘arrgggh’ entah apalah enggak ngerti, yang jelas beberapa hari yang lalu, hari rabu tepatnya, banyak kejadian-kejadian lucu (apa ya…???)


Kejadian pertama, Hhh akhirnya saya dapat berkata jujur dengan salah seorang yang berniat melamar saya, hingga akhirnya dia berkata ‘sudah cep, buat saya cukup Allah saja…..’ diam.


Dan apakah kejadian di atas lucu? Entahlah


Kejadian kedua, Siang menjelang, masih di hari yang sama. Seorang wanita muda, cantik dan manis mengirimi saya sebuah pesan singkat dengan tanda seru di sana dan di sini di dalam smsnya. ‘arrggh’ wanita cantik itu marah pada saya, ya marah. Hmm saya tidak ingin memperkeruh suasana. Shock? Ya tentu saja.


Lalu, apa kah kejadian di atas tergolong lucu?? Nampaknya tergantung dari mana kita mau memandang.


Kejadian ketiga, Ketika seorang anak lelaki yang dahulu sempat memaki atau lebih tepatnya memarahi, mengirimi saya sebuah pesan, meminta maaf, tapi entahlah ingin menangis ketika membaca pesannya. Dia katakan bahagia, hati pun bertanya ‘benarkah dia bahagia?” entahlah


Apakah kejadian di atas lucu? Saya tidak tahu


Kejadian keempat, Seorang wanita paruh baya menghubungi phonecell saya. Dia sedang kesal rupanya, lalu serta merta ia tumpahkan pada saya, ia marah, ya wanita paruh baya itu memarahi saya. Kemudian kata-kata maaf meluncur dari bibirnya. Ia meminta maaf karena sudah menumpahkan kekesalannya pada saya, bukan pada sumber kekesalannya. Padahal sejatinya bukan saya yang menyebabkan emosinya naik, meledak, hingga meluat-luap. Lalu saya katakan “tidak apa” dan tahukah kamu, wanita paruh baya itu menangis, dia menangis….


Apakah kejadian di atas masih lucu?? Nampaknya, semakin ke sini, kisah-kisah itu tidak lagi menyenangkan, tidaklah nampak dimana letak lucunya, karena memang sejak awal tidak ada yang lucu.


Puncaknya, firasat yang tidak menyenangkan, kondisi tubuh mulai mengkhawatirkan. Selepas sholat isya, saya putuskan untuk melelapkan tubuh lebih awal, mengistirahatkan pikiran sesegera mungkin. Sepertiga malam, saya terjaga, saya membuka mata, ‘whuuuaaahh konyol, gila , masya Allah, lalu Alhamdulillah’ pada akhir kata saya yang tersirat di dalam dada. Saya demam, ya saya demam tinggi, tanpa tedeng aling-aling, tiada hujan tiada badai, suhu tubuh meninggi tanpa mau kompromi terlebih dahulu dengan diri.


Bangun, melangkahkan kaki, tidak bisa terus begini. Saya menuju kamar mandi, berwudhu kembali, menegakkan sholat barang dua rakaat seperti biasa, selesai, sedikit membuka dan membaca lembar-lembar kehidupan yang selalu penuh makna setiap kali membacanya (Apa iya? ’arrghhh’ saya lupa)


Hmm kepala saya melancarkan aksi protesnya, sakit sekali rasanya. Padahal esok hari kamis, tapi kondisi tubuh malah drop begini. Akhirnya, saya tenggak segelas besar air minum, lalu bercermin. Apakah saya gila? Suhu tubuh tinggi, tapi masih sempat-sempatnya mematut diri, tapi tunggu dulu, kisah ini belumlah usai. Saya bercermin sembari berkata di dalam hati dengan berapi-api.... ”besok tetap harus puasa, demam ya tinggal demam, pingsan ya tinggal pingsan, Alhamdulillah sakit, barangkali dengan ikhlas dosa bisa berkurang... lagian ini badan Allah yang punya”


Esoknya, adzan shubuh menggema, yah sudah jelas, sholat shubuh ditegakkan pula. Menjelang siang, mandi, ya saya mandi, membersihkan diri, tidak peduli suhu tubuh yang tinggi, ’tancap-tancap saja’ begitu pikir hati kala itu. Dhuha tiba pada gilirannya, dan whuaahhh demam berangsur-angsur hilang, sampai siang hari menjelang, itu demam hilang dengan sempurna. Ternyata ampuh, itu penyakit kabur, ternyata dia takut pada Yang Menciptakan Penyakit.


Apakah kejadian di atas lucu? Terserah pada pendapatmu, tapi menurut saya itu lucu, konyol, tolol. Ya saya kembali tolol, ternyata itu demam nongol karena pikiran yang terlalu, amat sangat overload, kelebihan muatan ini kepala, tapi pada akhirnya itu penyakit ngibrit juga.


Konyol, tapi dimana letak konyolnya? Ya konyol menurut saya, penyakit saja takut pada Yang Menciptakan Penyakit, tapi saya? ’argghhh’ konyol, saya benar-benar konyol.

Monday, October 20, 2008

Ramadhan Terdahulu

bagian keempat


Masbuk ???


Saya sudah katakan bahwa saya bukan dari keluarga agamis bukan? Dan itulah kenapa saya tidak tahu menahu tentang masbuk. Jadi kadang saya dan teman-teman suka main akal-akalan, merasa sudah pintar padahal masih sangat amat jauh dari pintar.


Di tempat saya tinggal, sholat tarawih itu 4-4-3 (ini bukan formasi dalam tim sepak bola), dalam artian 4 rakaat lalu salam, kemudian dilanjutkan lagi 4 rakaat, baru kemudian 3 rakaat witir.

Saya pemalas, saya sudah pernah ceritakan itu sepertinya, tapi kapan dan dimana saya lupa.


Jadi dahulu, ketika sholat tarawih akan dimulai, saya dan teman-teman sengaja membiarkan sholat tarawih berjalan beberapa rakaat, nah setelah tersisa dua atau satu rakaat, baru kami dengan cekatan, secepat kilat, mengerjakan sholat tarawih hingga akhirnya rakaat kami sama dengan rakaat si imam, baru kemudian ketika salam, kami pun ikut salam.


Kejadian itu terjadi beberapa kali, hingga ada seorang ibu yang berkata ”gak boleh begitu, itu salah”, akhirnya sejak saat itu, saya tidak pernah lagi mengulanginya, tapi tetap saja saya tidak mengenal ’masbuk’ itu seperti apa.


Lain lagi beberapa waktu sebelumnya, yang ini lebih parah lagi rasanya. Saya dan teman-teman terkadang mau tidak mau tapi masih dalam suka ria, kedapatan shaf di belakang. Saat jamaah-jamaah yang lain mengerjakan sholat tarawih, maka saya dan teman-teman pasti makan-makan, berbicara dalam bisik-bisik agar tidak terdengar jamaah yang lainnya, agar tidak mengganggu.


Seyogyanya kalau ibu saya tahu, bisa kacau urusannya saat itu. Maka ketika detik-detik salam diucapkan, maka saya akan duduk manis, duduk tahyat akhir, lalu ”assalammu’alaikum wr.wb”, saya dan teman-teman ikut-ikutan salam, ikut-ikutan toleh ke kanan dan ke kiri, layaknya orang selesai mengerjakan sholat.


Yah begitulah, sedikit banyak cerita di masa anak-anak saya dahulunya. Kita semua punya masa lalu, entah baik entah pula buruk. Dan belakangan baru saya ketahui bahwa apa yang ibu saya ajarkan, apa yang ayah saya tanamkan, membuahkan hasil pada akhirnya. Hingga akhirnya saya berkata ”alhamdulillah ibu dan ayah perlakukan saya seperti itu pada masa-masa itu”.

-TAMAT-

Friday, October 17, 2008

Ramadhan Terdahulu

bagian ketiga

Partner sejati


Saya sudah katakan bahwa ibu dan ayah begitu ketat dalam mendidik anak, bukan ? termasuk dalam hal sholat tarawih? Tahukah kamu, dahulu setiap kali masa ramadhan tiba, maka musim buah pun tiba pada waktunya. Mulai dari rambutan, duku, salak semua buah dirasa musim pada bulan itu, bulan penuh berkah bukan.


Maka ketika adzan isya dirasa akan berkumandang, saya dan teman-teman sudah mulai mengemasi barang-barang, membawa botol minum beserta makanan yang kami punya. Sampai di masjid, adzan isya belumlah akan tiba, maka acara makan-makan dimulai, masing-masing membuka bekal yang dibawa untuk kemudian saling menukarkannya.


Menyenangkan, karena saat ini hari ini saya masih dapat menuliskannya kembali.


Saya sudah katakan bahwa ibu dan ayah saya ketat bukan? Maka ketika ayah dan ibu tiba di masjid, untuk sholat tarawih juga bersama, ibu sudah mulai mengeluarkan jurus jitunya, memandang tajam sembari berkata ”ade, sholatnya di depan”, ’oh tidak’, di depan di sini, maksudnya tepat di samping ibu, atau di depan ibu, atau dimana saja yang bisa diawasi oleh ibu.


Kalau sudah begini, saya tidak dapat berkutik, diam, duduk manis mendengarkan pak ustadz berceramah, ceramah yang dahulu saya rasa begitu membosankan. Bila kedapatan membuat gaduh sedikit saja, maka jari-jari lentik ibu akan melancarkan aksi, atau tatapan mata yang tajam mulai menyoroti dan di rumah ibu akan mulai berceramah panjang kali lebar kali tinggi.


Pernah suatu kali merasa aman karena ibu tidak dapat ikut sholat meskipun hanya sesekali, merasa bebas tapi ternyata saya salah kaprah, ayah saya yang berada di shaf depan, nyatanya tetap mengawasi, ya ayah dan ibu benar-benar partner sejati, bahkan hingga saat ini.


-bersambung-

Thursday, October 16, 2008

Ramadhan Terdahulu

bagian kedua

Konyol


Saya bukan berasal dari keluarga yang agamis, dalam artian, benar-benar mengerti agama. Ayah sama ibu hanya benar-benar ketat dalam hal sholat lima waktu dan mengaji terlebih lagi bila bulan ramadhan tiba.


Tadarus, tarawih, berpuasa sudah diajarkan sejak kecil, kecil sekali. Hingga saya terkena penyakit maagh sejak kelas 4 SD, karena paksaan ibu pada saya untuk berpuasa. Sewajarnya anak kecil, oh tunggu saya belum katakan bahwa masa kecil itu menyenangkan, meskipun dahulunya menurut saya mengenaskan.


Kenapa? Pada saat bulan ramadhan tiba, untuk berpuasa, ayah embel-embelkan uang Rp 1.000 rupiah untuk tiap puasa yang dijalankan hingga adzan mahgrib tiba. Tapi dasarnya anak-anak, kadang saya suka melipir-melipir, menghilang, pergi ke sumur, ke kamar mandi, untuk sekedar cuci muka, berkumur, lalu ke dapur.


Menelan air sedikit-sedikit, mencicipi makanan walau pun seiprit, saya lupa saat itu saya kelas berapa. Tapi, saya juga dahulu lupa bahwa Allah tahu, meskipun ibu tidak tahu apa yang saya kerjakan di dapur, apa yang saya kerjakan di sumur.

Konyol ya konyol, dan saat ini hal itu menjadi hal yang menimbulkan tawa bila mengingatnya dalam sepi, dalam sendiri.


-bersambung-

Wednesday, October 15, 2008

Ramadhan Terdahulu

bagian pertama


Buah dari kebohongan


Selalu ada yang menarik dari bulan ramadhan, mencoba kembali ke masa beberapa tahun yang lalu. Saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, anak yang nakal, tidak bisa diam dan dengan kesadaran yang tinggi saya katakan, saya gemar berbohong, meskipun itu di bulan ramadhan.


Sholat tarawih itu tidak pernah ditinggalkan, hingga ketika suatu hari saya merasa bosan, entah apa yang membuat saya bosan, yang jelas, karena kebosanan saya itu, saya terpaksa berbohong pada ayah dan ibu. Diam di dalam masjid, kalau tidak salah saat itu shalat tarawih masih berjalan dan saya masih dalam diam, memikirkan alasan untuk dapat segera pulang dengan selamat tanpa perlu mendengarkan ibu berceramah panjang lebar tentang kepulangan saya yang di awal waktu.


Alasan didapat, jarak antara rumah dengan masjid tidak begitu jauh, oh iya saat itu saya duduk di bangku SLTP bukan SD. Sampai di rumah, pintu diketuk, ibu saya yang membuka, seyogyanya beliau bertanya ”ade, kenapa sudah pulang, kan belum selesai”, panas dingin, mempersiapkan mimik wajah dengan sedemikian rupa sehingga agar ibu percaya.


”Ade sakit perut bu” begitu kata saya pada ibu ”mules” tambah saya saat itu. Ibu hanya bilang ”ooo”, lalu beliau masuk begitu saja tanpa banyak bertanya. Di dalam hati ini berkata ”duh, aman. Ibu gak banyak tanya”. Saya pun melanjutkan kebohongan saya dengan berpura-pura pergi ke kamar mandi, menyiramkan air sembari tersenyum-senyum sendiri, merasa kebohongan yang saya ciptakan tidak percuma, tidak sia-sia.


Selesai, dan bodohnya saya lupa bahwa ibu saya pernah mengalami masa-masa seumuran saya juga. Menuju ruang tengah, bukan masuk ke dalam kamar untuk belajar tetapi menonton televisi, yah dahulu televisi masih menyenangkan bagi saya yang rada-rada badung ini.


Ibu masih tenggelam dalam aktifitasnya, dahulu masihlah bertanya-tanya ’enak banget ya ibu gak usah sholat’. Lama duduk dalam diam, tiba-tiba kebohongan berbuah juga pada akhirnya, saya hanya bisa meringis menahan sakit. Ibu pun bertanya ”kenapa de?”, masih dalam menahan rasa sakit seperti disuntik saya berkata ”digigit semut bu?” begitu jawab saya.


Tak dinyana ibu saya tertawa, saya hanya terdiam dalam rasa sakit, dan bertanya-tanya. ’Digigit semut gimana?” ibu menambahkan, ”Semut matahari”. Kata paman saya, semut matahari itu semut hitam yang berukuran besar yang kalau menggigit, bengkaknya bisa sampai berhari-hari. Ibu kembali tertawa, hati mulai berkata-kata ’ini akibat dari berbohong pada ibu, di bulan ramadhan pula’.Lalu yang lebih mengagetkan adalah ketika ibu berkata ”Makanya de, jangan suka bohong”


Gdubbrakkk, ternyata ibu tahu kalau saya sudah berbohong. Itu lah kenapa di awal saya katakan, bahwa saya ini bodoh, saya lupa bahwa ibu juga pernah mengalami masa-masa seperti saya, saya lupa kalau dulu ibu pernah jadi anak-anak juga.


Saya tidak lagi berkeinginan untuk mengulanginya kembali.

Tuesday, October 14, 2008

Catatan Ramadhan 14

bagian kelima


Masjid tetangga sebelah, luar biasa.


Masjid ini sebenarnya tidak begitu besar, maka ada alhamdulillahnya juga bahwa tidak semua warga menunaikan sholat tarawih di masjid ini. Bisa dibayangkan berapa banyak manusia yang akan berada di sini, pasti tidak akan cukup nantinya.


Pada saat pak ustadz menyampaikan ceramahnya, mata ini memandang kemana-mana, suka-suka saja. Hingga akhirnya mata ini tertumpu pada sesuatu itu. Agak sedikit menggelikan pada awalnya namun berakhir miris pada akhirnya.


Saya katakan masjid ini tidak begitu luas bukan? Jamaahnya pun hampir semuanya mahasiswa/i, warga-warga di daerah ini entah kemana pergi yang terlihat hanya anak-anak, melulu anak-anak dan itu pun sebagian besar anak putri.


Apa yang membuat geli hati, bukan tulisan, bukan pula bentuk dari masjid ini, tapi isi dari masjid ini. Pengamanannya hampir seperti rumah-rumah pada umumnya, hanya saja agak sedikit mencengangkan mata bagi saya.


Pasalnya masjid ini dipasangi teralis besi di setiap jendelanya, ini masihlah hal yang belum seberapa hingga kepala ini memainkan perannya, ia mencoba mengajak berkeliling mengamati dalam duduk diam, hingga mata memandang sesuatu itu, dipasang permanen di dinding dengan rantai yang kira-kira tebalnya beberapa milimeter. Bukan barang yang begitu berharga menurut saya, tapi ini hanya sekedar menurut saya.


Di masjid ini, kipas angin pun dipasangi rantai, dililitkan dengan kusen jendela kemudian dipasangi kunci pengaman, ’oh sebegitunya’ apakah sudah sebegini menyedihkannya negeri ini, hingga kipas angin yang tak berapa harga pun, dirasa perlu diamankan dari tangan-tangan yang nakal.


Sampai sebegitunya kah manusia-manusia yang ada di sekitar masjid ini, hingga penjaga masjid pun merasa perlu memperlakukan si kipas angin sedemikian istimewanya?

Entahlah, saya tidak tahu.


Ada asap pasti ada api. Bukan tanpa alasan si penjaga masjid sebegitu ketatnya menjaga, mengamankan properti yang ada di masjid ini, tapi mungkin saja si penjaga pandai melihat keadaan dan belajar dari pengalaman. ’sebegitu, sedemikiannya kah negeri ini, hingga masjid pun perlu diamankan dengan menggunakan rantai dan teralis yang terbuat dari besi? Entahlah........


-TAMAT-


Monday, October 13, 2008

Catatan Ramadhan 14

bagian keempat

Sepuluhmu Vs Sepuluh Rabb mu


Malam ramadhan yang luar biasa, ada kesimpulan yang saya katakan di dalam hati bahwasannya apapun yang jamaah-jamaah itu lakukan di masjid ini.


Entah ia bersendagurau dengan teman sepermainannya, seperti halnya yang dilakukan anak-anak itu di belakang, entah ia berbicara dengan teman yang ada di sebelahnya, entah ia tertidur, tenggelam di dalam ceramah yang pak ustadz sampaikan, biarlah-biarlah itu semua.


Terlepas dari apa pun yang mereka lakukan, saya masihlah sangat menghargai mereka, karena dari sekian banyak anak-anak, sekian banyak mahasiswi/a, sekian banyak orang-orang tua yang berdomisili di sekitar masjid ini, mereka masih mau meluangkan waktu untuk sekedar menunaikan sholat berjamaah, sholat tarawih di masjid ini, di tempat ini.


Walau terkadang harus bersusah payah melangkahkan kaki dalam tarikan kelopak mata yang menawarkan kenikmatan dalam lelapnya tidur selepas sholat isya. Bersusah payah mengabaikan tayangan-tayangan sinetron yang kadang bagi anak-anak begitu menggiurkan dan godaan-godaan yang lainnya.


Tidak ada yang berhak menilai, tidak saya tidak juga kamu yang membaca, biarlah Allah yang menilai seberapa besar amalan yang akan mereka dapatnya, kita tidak pernah tahu bukan. Karena sepuluh menurut hitungan manusia, belum tentu sama dengan sepuluh dalam hitungan Nya, bisa jadi 100, 1000 atau mungkin lebih dari itu, ini bulan ramadhan kawan, ini bulan ramadhan.


Mereka orang-orang pilihan, ya bagi saya mereka adalah orang-orang yang Allah pilihkan untuk berjalan menunaikan sholat di masjid ini, saat ini.


-bersambung-

Sunday, October 12, 2008

Catatan Ramadhan 14

bagian ketiga

Ragam macam jamaah yang datang


Mari bercerita sedikit tentang masjid tetangga sebelah dan korelasinya dengan manusia-manusia Indonesia yang berada di sekitarnya.


Malam itu, malam pertama saya menunaikan sholat tarawih di Bandar lampung. Malam pertama di bulan ramadhan tahun ini, di tahun 2008. mari mencoba menggali sedikit hikmah dari apa yang saya lihat dan amati di hari itu, di malam itu.


Seperti biasa, di awal-awal bulan ramadhan tiba, masjid-masjid akan selalu ramai oleh para jamaahnya. Mulai dari anak-anak sampai orang-orang yang sudah lanjut usia.


Menarik rasanya, sama halnya dengan jamaah yang ada di masjid ini. Beragam, mulai dari anak-anak kecil yang memenuhi shaf belakang, mengapa mereka memilih berada di belakang? Berdasarkan pengalaman pribadi saya, memilih berada di belakang shaf orang dewasa, agar bisa bercerita, bersenda gurau dengan teman-teman sepermainan, dan nampaknya anak-anak kecil itu juga.


Tidak ada remaja-remaja tanggung yang mengisi masjid ini, tidak di shaf pria tidak pula wanita, sebagian besar jamaah adalah mahasiswa yang kebetulan berdomisili di sekitar masjid berada.


Beragam saja yang jamaah-jamaah itu kerjakan. Saya hanya mencoba mengamati, mempelajari ragam macam tingkah polah jamaah yang ada di shaf belakang, shaf perempuan. Mata ini mulai mencoba mengamati apa yang mereka lakukan, kerjakan, tepat selepas sholat isya di laksanakan.


Seperti biasa, di masjid ini bila sholat isya selesai ditunaikan, maka akan ada seorang pria entah paruh baya entah pula muda, akan berceramah, mengisi sepatah dua patah kata sebelum memulai ibadah sholat tarawih selanjutnya.


Seyogyanya mendengarkan orang yang berceramah, seyogyanya berstatus sebagai jamaah, baiknya mendengarkan, menyimak apa yang si penceramah sampaikan.

Tapi tidak begitu di shaf perempuan yang saya amati.


Anak-anak sibuk dengan urusan catat mencatat, saya pikir itu pastilah perintah guru agama, yang mengharuskan si murid mencatat aktifitas ramadhan muridnya untuk kemudian dimasukkan ke dalam nilai agama.


Ada lagi yang sibuk bercerita, membuat obrolan dengan teman yang ada di sebelahnya, yah inilah yang dilakukan oleh jamaah putri tepatnya mahasiswi. Ada juga yang dengan seksama mengamati, dan setelah diperhatikan ternyata si pengamat, si jamaah ini sudah cukup tua dalam usia, ’wajar’ begitu kata di dalam hati.


Ada juga yang duduk bersandar pada dinding menutup wajah dengan mukenah yang digunakannya, dan ketika ceramah selesai, ajakan untuk sholat tarawih disampaikan, barulah saya ketahui si jamaah, tertidur dalam ceramah yang pak ustadz sampaikan.


Ada tiga kemungkinan, pertama si jamaah kelelahan karena beraktifitas seharian, kedua si jamaah kekenyangan karena balas dendam yang luar biasa pada saat waktu berbuka tiba, dan yang ketiga, ucapan pak ustadz laksana dongeng pengantar tidur baginya.


Wallahualam, saya hanya bisa mengamati dalam diam sembari mendengarkan pak ustadz dan membiarkan isi kepala berkata-kata hingga mencoba menyimpulkan apa yang dilihat oleh mata.


-bersambung-

Saturday, October 11, 2008

catatan Ramadhan 14

bagian kedua

Sholat tarawih tinggal angan-angan


Kamu tahu, benar-benar menyenangkan, melankolie hati berkata ’betapa romantisme tercipta hari ini’ dan ’seandainya saya berada di rumah, sudah pasti takkan saya lewatkan kesempatan untuk bersenang-senang di bawah guyuran hujan, tanpa payung, tanpa alas kaki. Tapi, saya hanya bisa berangan-angan.


Hampir sampai di asrama, saya lupa bahwasannya hujan turun dengan derasnya, dan itu berarti jalanan yang berada di depan asrama, sudah pasti kebanjiran, air kecokelatan sudah memenuhi pelataran depan jalan asrama.


Terdiam, benar-benar kotor, terlebih lagi tepat di seberang asrama, terdapat selokan. Mau tidak mau, dalam tawa tertahan, dalam senyum simpul melangkahkan kaki, menembus genangan-genangan air yang tingginya hingga melampaui mata kaki.


Begini lah asrama annisa bila musim hujan tiba, tak luput bagian dalam halaman asrama, tergenangi air yang tingginya kurang lebih sama dengan jalanan yang berada di depannya. Kotor? Ya tentu saja, jorok? Yah itu sudah pasti pula, tapi menyenangkan, ya bagi saya sungguh menyenangkan, mencoba memanjakan sisi kekanak-kanakan yang sudah lama terpendam, hampir tenggelam dalam sisi kedewasaan yang kadang menjemukan lagi melelahkan.


Hari semakin lama semakin bertambah gelap, mendung yang disertai awan hitam semakin melengkapi kegelapan yang langit tawarkan. Katak-katak mulai bernyanyi riang mungkin karena hari ini ia dapat berjumpa kembali dengan seorang kawan lama, Sang hujan. Binatang-binatang malam, mulai keluar dari sarang, seolah tak ingin melewatkan pesta perjumpaan antara Sang katak dengan Sang hujan.


Tidak ada tanda-tanda pesta hujan akan berhenti bahkan hingga adzan isya menjelang. Rencana menunaikan sholat tarawih di masjid tetangga sebelah, hanya tinggal angan-angan.


-bersambung-