Pages

Monday, October 12, 2009

catatan 12 Oktober 2009

Ini dia yang namanya “jangan mengolok-olok orang lain kalau sendiriya tidak mau dijadikan bahan olokan”. Suatu kali ibu pernah berpesan dalam ceramahnya yang panjang “kalau gak mau dicubit, maka jangan mencubit orang lain. Coba rasakan sendiri, enak gak? Kalau sakit, begitu pula yang orang lain rasakan”.

Bodohnya, kadang pesan ibu bagai angin lalu belaka. Raut wajah dan pedasnya beliau dalam berbicara lebih lama melekat dari pada hikmah, makna dan pelajaran yang beliau coba sampaikan di dalam pesan-pesan di setiap ceramah yang ia sampaikan.

Sore ini, mendung-mendung menyejukkan. Ada sedikit menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang akan “turunnya hujan”, ada sedikit harapan yang diucapkan oleh katak-katak penghuni rawa, yang disampaikan oleh para petani ladang yang sedang masuk masa tanamnya, yang lantunkan oleh rerumputan, tetumbuhan, hewan-hewan dan manusia-manusia yang merasa kepanasan, agar kiranya DIa bersedia melimpahkan rahmatnya, kasih sayangnya kepada manusia melalui turunnya air hujan.

Mari berhenti berbual, sekali-sekali mencoba menitikberatkan pada satu hal, tentang bagaimana memanajemen emosi agar kiranya berbuah manis bukan terkontaminasi oleh setan-setan yang kelaparan akan kalahnya manusia pada nafsu berahinya untuk melampiaskan amarah kepada manusia yang lainnya.

Dalam kelelahan jiwa yang urung tersiram air wudhu karena air keran kamar mandi laboratorium yang tak kunjung menandakan akan mengucurkan airnya walau sekejap saja. Bersama seorang teman memutuskan untuk pulang “sholat ashar di kostan saja”, kostan masing-masing.

Seperti biasa, membeli nasi bungkus untuk memenuhi hajat hidup seluruh tubuh agar tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sebenarnya, saya memang sudah sejak dulu merasa tidak nyaman dengan tingkah laku lawan jenis yang “SKSD-sok kenal sok dekat”, terlebih lagi dengan manusia yang satu ini. hari ini, kali ini, tingkahnya sudah cukup membuat saya kesal kerananya. Sepele sebenarnya, tetapi karena sesuatu dan lain hal, hal sepele yang lama-lama menjadi tidak sepele lagi itu, cukup membuat saya berbicara menggunakan bahasa asing dengan seorang teman saya melalui telepon seluler untuk mengungkapkan rasa kesal saya.

Rasa tidak sopan sekali, begitu di dalam kepala saya. Ketika, manakala lelaki itu menirukan cara saya berjalan sembari menoleh ke dua orang temannya, lalu tersenyum malu karena saya menanggapi dengan wajah datar karena rasa kesal yang muncul ke permukaan.

Tidak ingin banyak bicara, rasa ingin segera beranjak pergi atau menumpahkan rasa kesal dengan memaki-maki, mengeluarkan kata-kata tak terperi, agar kiranya ia sama merasakan malu tak terhingga. Bahkan muncul keinginan mengeluhkan tindakannya pada sang majikan dan saya mengenal baik majikannya. Tapi, semua hanya sebatas di dalam alam pikiran, jauh di dalam lubuk hati sesuatu itu melarang, atas dasar “kasihan” atas dasar “mungkin beberapa waktu, beberapa hari, beberapa minggu, bulan, atau bahkan tahun yang lalu, saya pun pernah mengolok-olok orang lain. Hingga mungkin saja orang itu mengetahuinya, lalu berdoa karena saya yang telah dzalim padanya.

Menarik nafas panjang, yah setidaknya pada akhirnya di dalam guyuran air yang menyejukkan. Saya mencoba memaafkan tindakan tidak sopan yang lelaki itu lakukan.