Pages

Saturday, September 12, 2009

Ramadhan sebuah Euphoria

Ramadhan itu menjadi sebuah euphoria bagi sebagian anak manusia. Rasa tak percaya hari ini sudah menemani beberapa orang teman wanita memenuhi hasrat mereka ketika hari lebaran tiba, berbelanja.

Penuh sesak manusia, tumpah ruah. Penuh sesak kendaraan roda dua sampai roda empat, bahkan bus AC tak lagi nampak seperti namanya. Penumpang berjejalan, berdiri karena tempat duduk tak lagi tersisa sementara waktu terus berjalan memaksa manusia untuk bergerak cepat.

Hari sabtu, tanggal 12 september 2009, sudah layaknya seperti hari minggu. Pusat-pusat perbelanjaan dipenuhi oleh ibu-ibu, entah lanjut usia entah pula ibu-ibu muda. Tertegun ketika memperhatikan seorang ibu mengaduh sembari memegangi perutnya “aduh” begitu katanya. Rasa sakit itu ia rasa akibat menaiki beberapa anak tangga dengan bakal bayi yang menyertainya.

Ramadhan itu tak ubahnya euphoria, ketika awal mula ia tiba. MAsjid-masjid penuh sesak dengan manusia-manusia yang ingin berubah katanya, yang ingin kembali ke jalan Nya. Jalan-jalan sepi mana kala maghrib tiba, semua kembali ke rumah, semua kembali kepada fitrahnya, setidaknya begitu pemandangan yang kita lihat pada beberapa hari pertama, ketika ramadhan itu tiba.

Menjelang beberapa hari berikutnya, pasar-pasar kembali ramai. Warung-warung makan kembali dibuka, asap-asap rokok sudah kembali mengotori udara, dan ketika saya bertanya “bapak gak puasa?” “puasa de” begitu katanya “tapi kok merokok” balas saya. “kan Cuma merokok de, jadi gak apa” singkat padat, pintu bus dibuka saya pun masuk ke dalamnya, duduk dalam diam, menerawang selama perjalanan menuju kota metro, berpikir ternyata seperti inilah kehidupan itu sejatinya.

Siang ini benar-benar panas, rasa-rasanya tidak tahan berada di luar seharian. Tapi, tidak begitu dengan ibu-ibu, remaja-remaja putri dan wanita-wanita dewasa yang saya lihat, yang saya temui di seputar areal berbelanja yang ada di kota ini. Mulai dari Ramayana, simpur center, sampai dengan pasar bamboo kuning. Semua penuh dengan manusia-manusia yang hilir mudik kesana kemari mencari barang-barang keperluannya. Dan sebagian besar manusia-manusia itu adalah wanita.

Mengherankan melihat wanita-wanita itu berjejalan membeli bahan-bahan untuk membuat panganan khusus hari raya. Mengherankan melihat wanita-wanita itu hilir mudik, dan tanpa sadar memperebutkan oksigen yang ada di pasar bamboo kuning hanya untuk mencari pakaian sebagai pelengkap untuk meraih kemenangan.

Speaker phone berkali-kali mengingatkan setiap pengunjung yang datang untuk memperhatikan barang bawaannya. Berulang kali pula melaporkan tentang ditemukannya bocah berumur sekian, dengan ciri-ciri seperti ini, dengan nama fulanah atau fulan, dan pada akhir dari pengumuman itu, “bagi yang merasa kehilangan dapat mengubungi pusat informasi”. Selalu begini, selalu seperti ini, anak-anak lepas dari pengawasan orang tuanya. Sampai suatu ketika saya pernah mengajak hati dan kepala saya untuk berpikir “Sebenarnya, yang berbelanja itu ibu atau anaknya? Sebenarnya yang ingin dibelikan pakaian untuk hari raya itu, ibu atau anaknya?”

Beberapa kali, hari ini saya temui anak-anak yang nampak merasa terzalimi oleh tingkah polah ibunya. Lucu rasanya ketika melihat seorang anak kecil bersungut-sungut, menggerutu, memasang wajah cemberutnya sembari memegang kantong plastik berbelanja ibunya. Nampaknya si ibu terlalu lama mengajak si gadis kecil berbelanja atau ketika bertemu dengan bayi mungil yang menangis, dan ketika si ibu berpapasan wajahnya dengan saya, sembari tersenyum saya berkata “aduh kasian si ade’ nya kepanasan ya”, “iya” begitu jawab si ibu dengan senyumnya.

-bersambung-