Pages

Tuesday, October 27, 2009

KoNTempLasi, belajar dari kontemplasi tak berarti

Menunggu yang pernah berkata "belum punya 'GUTS' itu"
Menunggu yang berkata "misalkan...." itu
Menunggu dalam diam dalam temaram dalam sesuatu yang serba tidak pasti
Menunggu yang memang nampaknya tidak ingin 'ditunggu' oleh siapapun itu.

Sampai akhirnya "apa lagi yang harus ditunggu?"
Sampai akhirnya "untuk apa menunggu yang tidak pernah berkata 'ingin ditunggu' itu"
Sampai akhirnya beberapa bulan kedepan "akan tetap menunggu"

Sampai tiba masa berkata "sesuatu itu memang tidak perlu ditunggu"
Sampai tiba masa angkat bicara "sesuatu itu memang tidak ingin ditunggu"
Sampai tiba masa yang lain berkata "mari pergi melangkahkan kaki bersamaku, tinggalkan yang itu, tinggalkan masa lalu itu"

Sampai akhirnya, dengan berat pada saat itu mau tidak mau harus berkata "baiklah, mari bantu aku untuk meninggalkan sesuatu yang pernah membekas untuk beberapa waktu itu"

Wahai sesuatu itu apakah kamu membaca jalan pikiranku
Apakah kamu mengetahui apa yang sedang bergemuruh di dalam pikiranku
Apakah kamu tahu perdebatan yang sedang terjadi di dalam kepalaku

Bila kamu mengetahui itu, beritahu aku
Bila kamu menyadari itu, katakanlah sesuatu

Tapi, kembali yang ada hanya diam
Kembali yang tersisa hanya desir angin malam
Kembali yang tersisa hanya riak-riak daun bambu.
Hanya gemuruh dedaunan yang terhempas kesana kemari diombang-ambingkan oleh angin kehidupan

Kamu memang begitu
Kamu memang seperti itu
Kamu memang selalu begitu

Thursday, October 22, 2009

aku-kontemplasi-berdamai dengan diri

Diary itu sudah lama ditinggalkan, hanya sesekali menjumpainya untuk mencatat sesuatu, untuk merekamnya sebagai sebuah kebanggaan kemudian menjadi sombong diri merasa itu sebagai sebuah prestasi.

Kadang mereka tak ubahnya menjadi sebuah koleksi pribadi di dalam diary, kadang menjadi alat penghibur ketika hati memang benar-benar butuh untuk dihibur meskipun diary itu sendiri mati, tak bernyawa tak juga dapat berkata-kata.

Ada yang katakan hebat, entah darimana letak hebatnya, aku tak tahu. Mungkinkah karena permainan kata-kata itu? Aku pun tak tahu. Aku manusia semua tahu akan hal itu, tidak lebih hebat dari manusia yang lainnya, tidak juga mulia karena memang aku bukan manusia yang pantas dimuliakan oleh manusia yang lainnya. Pada dasarnya, aku hanya manusia biasa dengan sekelumit kisah, dengan segunung atau mungkin lebih, aib yang Dia simpankan, yang Dia sembunyikan dari manusia yang lainnya. Tetapi inilah aku, maka jangan sekali-sekali menganggap lebih tentang aku.

Dahulu, sebelumnya mari kenali diriku, aku adalah wanita. Sebut saja aku begitu, karena memang begitu jarang aku meminta manusia yang lainnya untuk menyebut aku dengan sebutan “Wanita”.

Wanita biasa, memahami cita-cita dahulu. Dengan seabrek aktifitas, sempat aku berpikir bahwasannya aku akan menjadi orang besar, berpengaruh yang kemudian dengan pengaruh itu aku bisa mengubah apa-apa yang ada di sekelilingku. Bisa membuat sesuatu yang biasa menjadi nampak berbeda, bisa membuat sesuatu yang bukan apa-apa menjadi sesuatu yang bermakna. Dan pada puncaknya, aku ingin menjadi manusia yang hebat di mata manusia yang lainnya, bodohnya, sombongnya.

Beberapa tahun berlalu, ada beberapa hal yang semula kaku, seperti beku, mulai memuai, mencair, mulai mengalir seiring dengan perjalanan waktu, seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam diri dan aku menyebutnya dengan “proses pendewasaan diri”. Idealisme-idealisme yang kadang membuat buntu, falsafah-falsafah yang kadang kaku hingga membuat diri sendiri terganggu, hingga membuat bagian terdalam di dalam diri berteriak “AArrrgghhh aku tak tahan lagi dengan segala ke-perfeksionis-an yang kamu pertahankan itu”.

Meledak, hampir meledak, perlu waktu untuk berdamai kemudian meredamnya hingga memunculkan berbagai resolusi-resolusi bahwa diri tidak bisa terus begini. Berputar-putar, berpikir, berkutat di dalam ruang berpikir untuk mendapatkan hasil dari pemikiran yang mendekati kematangan sebagai akibat dari sebuah kontemplasi yang panjang. Hingga akhirnya, semua berubah ketika niat untuk merubah itu berubah dari yang besar menjadi mendasar. Dari yang fenomenal menjadi fundamental.

Aku pikir, saat ini aku dan wanita itu berpikir. Mungkin aku tidak bisa menjadi manusia yang hebat di mata manusia yang lainnya. Mungkin juga aku tidak bisa menjadi wanita yang hebat di mata wanita yang lainnya.

Baiklah, mari berdamai dengan sisi ego yang bersemayam di dalam diri. Mari mengubah sudut pandang hingga yang negative dapat berubah menjadi positif, hingga yang nampak tak bermakna bisa berubah menjadi sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi semua. Mungkin aku bukanlah apa-apa di mata manusia yang lainnya, tapi aku akan menjadi apa-apa di mata keluarga. Mungkin aku wanita biasa di mata wanita dan manusia yang lainnya, tapi aku akan menjadi wanita luar biasa di hadapan dia yang Dia tunjukkan, yang Dia tuliskan bahwa dia yang akan menjadi teman hidupku nantinya.

Mungkin aku adalah wanita-wanita pada umumnya, tapi aku akan menjadi wanita yang penuh dengan sesuatu yang bermakna ketika berjumpa dengannya teman hidup yang Allah berikan padaku nantinya. Mungkin aku bukan wanita hebat di mata mereka, tapi aku akan berusaha menjadi wanita yang hebat di mata suami dan anak-anaknya.

Kadang, berpikir, akan kubuat dia yang Dia berikan padaku menjadi manusia, hamba Allah yang paling beruntung di dunia karena bisa menjadi teman hidupku, karena dia yang Dia pilihkan untukku, sudah mencintaiku karena besarnya cintanya pada Nya.


ha...ha...ha.. aku tertawa, terpaksa, seperti inilah aku kiranya.

Monday, October 12, 2009

catatan 12 Oktober 2009

Ini dia yang namanya “jangan mengolok-olok orang lain kalau sendiriya tidak mau dijadikan bahan olokan”. Suatu kali ibu pernah berpesan dalam ceramahnya yang panjang “kalau gak mau dicubit, maka jangan mencubit orang lain. Coba rasakan sendiri, enak gak? Kalau sakit, begitu pula yang orang lain rasakan”.

Bodohnya, kadang pesan ibu bagai angin lalu belaka. Raut wajah dan pedasnya beliau dalam berbicara lebih lama melekat dari pada hikmah, makna dan pelajaran yang beliau coba sampaikan di dalam pesan-pesan di setiap ceramah yang ia sampaikan.

Sore ini, mendung-mendung menyejukkan. Ada sedikit menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang akan “turunnya hujan”, ada sedikit harapan yang diucapkan oleh katak-katak penghuni rawa, yang disampaikan oleh para petani ladang yang sedang masuk masa tanamnya, yang lantunkan oleh rerumputan, tetumbuhan, hewan-hewan dan manusia-manusia yang merasa kepanasan, agar kiranya DIa bersedia melimpahkan rahmatnya, kasih sayangnya kepada manusia melalui turunnya air hujan.

Mari berhenti berbual, sekali-sekali mencoba menitikberatkan pada satu hal, tentang bagaimana memanajemen emosi agar kiranya berbuah manis bukan terkontaminasi oleh setan-setan yang kelaparan akan kalahnya manusia pada nafsu berahinya untuk melampiaskan amarah kepada manusia yang lainnya.

Dalam kelelahan jiwa yang urung tersiram air wudhu karena air keran kamar mandi laboratorium yang tak kunjung menandakan akan mengucurkan airnya walau sekejap saja. Bersama seorang teman memutuskan untuk pulang “sholat ashar di kostan saja”, kostan masing-masing.

Seperti biasa, membeli nasi bungkus untuk memenuhi hajat hidup seluruh tubuh agar tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sebenarnya, saya memang sudah sejak dulu merasa tidak nyaman dengan tingkah laku lawan jenis yang “SKSD-sok kenal sok dekat”, terlebih lagi dengan manusia yang satu ini. hari ini, kali ini, tingkahnya sudah cukup membuat saya kesal kerananya. Sepele sebenarnya, tetapi karena sesuatu dan lain hal, hal sepele yang lama-lama menjadi tidak sepele lagi itu, cukup membuat saya berbicara menggunakan bahasa asing dengan seorang teman saya melalui telepon seluler untuk mengungkapkan rasa kesal saya.

Rasa tidak sopan sekali, begitu di dalam kepala saya. Ketika, manakala lelaki itu menirukan cara saya berjalan sembari menoleh ke dua orang temannya, lalu tersenyum malu karena saya menanggapi dengan wajah datar karena rasa kesal yang muncul ke permukaan.

Tidak ingin banyak bicara, rasa ingin segera beranjak pergi atau menumpahkan rasa kesal dengan memaki-maki, mengeluarkan kata-kata tak terperi, agar kiranya ia sama merasakan malu tak terhingga. Bahkan muncul keinginan mengeluhkan tindakannya pada sang majikan dan saya mengenal baik majikannya. Tapi, semua hanya sebatas di dalam alam pikiran, jauh di dalam lubuk hati sesuatu itu melarang, atas dasar “kasihan” atas dasar “mungkin beberapa waktu, beberapa hari, beberapa minggu, bulan, atau bahkan tahun yang lalu, saya pun pernah mengolok-olok orang lain. Hingga mungkin saja orang itu mengetahuinya, lalu berdoa karena saya yang telah dzalim padanya.

Menarik nafas panjang, yah setidaknya pada akhirnya di dalam guyuran air yang menyejukkan. Saya mencoba memaafkan tindakan tidak sopan yang lelaki itu lakukan.