Pages

Friday, January 30, 2009

Ibu tua, ’terima kasih’ katanya

Pengajian pun selesai, pak ustadz bersiap-siap untuk menegakkan sholat ashar. kursi dan meja yang digunkan mulai dipindahkan. Saya mencoba menawarkan bantuan, mengangkuti barang beberapa buah saja, karena memang tak banyak kursi dan meja yang mereka gunakan. Kasihan rasanya, sudah tua harus mengangkut barang-barang berat pula.


Saya sempat terdiam manakala berniat memindahkan sebuah meja yang digunakan oleh seorang ibu tua atau nenek lebih tepatnya? Ah entahlah. Ia menapat saya lama, berdebar-debar jantung ini rasanya, saya khawatir ia tersinggu dengan apa yang saya lakukan lalu dengan serta merta memarahi saya. ’ah tidak’ si nenek mulai angkat bicara, perkiraan saya benar adanya.


Awalnya saya tidak mendengar apa yang nenek katakan suaranya begitu kecil hingga tidak terdengar. Jantung ini masih saja berdebar-debar tidak keruan, tak lama lamat-lamat terdengar ”terima kasih nak” ’hhh lega, si nenek tidak sedang marah rupanya, mungkin ia hanya terkejut saja melihat saya, yang tiba-tiba mengangkuti meja yang ada di depannya.


-bersambung-

Thursday, January 29, 2009

7 juni 2008

Kembali menekuni kebiasaan lama, menuangkan apa yang ada di dalam pikiran menjadi sebuah tulisan. Hari ini, 7 juni 2008, mengawali hari dengan memberi asistensi untuk kelas fisika medik. Sedikit berkeringat, hampir membuat emosi meledak dalam tawa, ternyata yang tua masihlah lebih cekatan dari yang muda.


Menjelang siang, menghambur pergi bersama si enang dengan tujuan salah satu pusat perbelanjaan yang ada di kota ini. Waktu ashar tak lama lagi akan tiba, akhirnya memutuskan singgah ke masjid terdekat yang berada tidak jauh dari pusat belanja yang saya dan eneng tuju pada awalnya.


Memasuki pelataran masjid, berjalan beriringan menuju tempat wudhu wanita, selesai. Masuk masjid dengan niatan ingin menunaikan sholat barang dua rakaat saja, tapi tak dapat. Seorang ustadz sedang berceramah dihadapan ibu-ibu tua, umur mereka berkisar antara 55thn-70thn, mungkin renta lebih tepatnya.


Si eneng berkata, ”teh, lihat ibu yang tua itu, emang masih bisa kelihatan apa yang dia baca?” pertanyaan retorik, lalu saya katakan sembari tersenyum padanya ”makanya, kalau nanti kita bertaubat, jangan nunggu tua dulu, repot” kami berdua pun tertawa tertahan.


Waktu ashar masih kan lama rupanya, kira-kira 30’ menit lagi agaknya.


Pak ustadz orang sumatera, belakangan saya terka ia orang sumatera selatan. Gaya bicaranya khas orang sumatera, kental. Kalau sekiranya yang mendengarkan pak ustadz berceramah bukan orang asli sini, tentunya si bapak ustadz akan dikira marah-marah melulu pada si ibu-ibu.


’Baru dua lembar saja, aku mengantuk....’

’pagi menjelang, kicau burung-burung sudah membuka hari sedari tadi, hmmh hari ini hari minggu. Malas sekali rasanya menulis, meneruskan kisah yang sempat terputus semalam tadi, beginilah kiranya kalau sudah menunda.......’


Gaya bicara yang totok, saya taksir umur pak ustadz sekitar 40 thn atau mungkin lebih, entahlah. Beliau duduk di sebuah kursi dilengkapi dengan meja dan microphone sebagai alat bantu bicara. Ibu-ibu tua itu memperhatikan dengan seksama, saya pikir mereka pastinya ibu-ibu pengajian khusus peerkumpulan para pedagang yang ada di daerah ini.


Peserta yang datang tidaklah ramai meskipun saya tidak menghitungnya, tapi kira-kira tidak sampai 15 orang jumlahnya.


Menarik, mereka begitu mengikuti apa yang pak ustadz sampaikan. Saya dan si eneng hanya mengamati dari kejauhan, tidak enak bergabung dengan mereka, karena memang nampaknya itu merupakan pengajian yang memang rutin ibu-ibu itu adakan.


Ibu-ibu atau lebih tepatnya nenek-nenek ’ah apa pun itu’ mereka duduk mengelilingi pak ustadz dengan menggunakan meja panjang yang di tempat saya biasa digunakan untuk mengaji. Begitu antusiasnya, saya nilai, begitu karena begitu sesi tanya jawab tiba, ibu-ibu itu langsung bertanya.


Mengamati dari awal hingga akhir ceramah pak ustadz, ternyata yang menjadi bahasan kali ini, tidak jauh dari persoalan poligami. Ibu-ibu itu membekali diri mereka dengan Al Qur’an dan sebuah buku bersampul hijau muda. Entah buku macam apa saya tidak tahu, yang pasti isi di dalam buku itu, menjadi pedoman pengajian yang pak ustadz sampaikan.


-bersambung-

Sunday, January 25, 2009

Pak salam namanya

Pak salam, mari bercerita sedikit tentang beliau, berperawakan tinggi, berkulit hitam, asli sulawesi, tepatnya orang bugis. Memiliki 2 orang putri, yang seorang sedang menempuh jalur pendidikan di sulawesi, Akademi kebidanan, yang seorang sedang duduk di bangku SMP entah di kelas berapa tepatnya, saya lupa.

Pak salam namanya, awal jumpa, ia menangis, menitikkan air mata mengetahui saya hanya sendiri di bontang kalimantan timur ini, tanpa saudara, tanpa siapa-siapa. Entah kenapa si bapak menangis, terharu katanya, tapi ’kok ya, saya yang menjalani biasa-biasa saja’. Alhamdulillah saya merasa diterima di sini, tapi tidak enak rasanya.

Pak salam, salah seorang anak buah pak djoko, hari itu saya baru mengenalnya, baru saja. Sampai ketika makan siang menjelang, saya berpamitan, mengayuh sepeda tua hasil pinjaman, panas terasa, ya bumi bontang ini memang panasnya, tapi tidak seperti di surabaya, setidaknya di sini masih ada angin yang bertiup, meskipun semilir, tapi lumayan sejuk.

Kembali kepada pak salam, saya lihat beliau sedang berdiri mengantri di sebuah ATM yang ada di lingkungan pabrik ini. Saya hanya tersenyum, menganggukkan kepala, ’saya duluan pak’ begitu kalau tidak salah ucap saya dari kejauhan. Si bapak hanya tersenyum saja.

Mencoba membuat nyaman suasana yang panas di atas sepeda tua. Saya mengayuh perlahan, penuh dengan kelelahan dan cucuran keringat tapi tidak disertai dengan air mata ’saya mulai berlebihan lagi agaknya’. Mendekati areal parkir sepeda, tiba-tiba tidak disangka, saya baru sadar, seingat saya, sepeda tua ini sudah melaju lebih dulu dari sepeda yang pak salam punya, tapi beliau bisa menyusul saya dengan segera. ’kira-kira berapa kecepatan yang beliau tempuh saat itu, saya tidak tahu’

Ia mengeluarkan sesuatu dari kantung bajunya ’ini buat kamu’, ’masya Allah si bapak, saya masih tidak mengerti dengan maksudnya’, ’ini buat kamu, ambil’, saya mencoba menolak, benar-benar menolak, bukan sekedar basa-basi saya menolak, tapi saya benar-benar menolak, sampai ’gdubbrakkkkkkkk’ saya terjatuh, tidak bisa menjaga keseimbangan. Ya si bapak memberikan uang di atas sepeda, saat saya dan dia sama-sama sedang mengendarai sepeda, mencoba menghindar agar tidak menabrak sepeda si bapak, karena bisa jatuh ia dari sepedanya, tapi ’eh malah saya yang jatuh, tersungkur’, ’whuaaaa.. malu, malu sekali’.

Saya cuma bisa merengek ’bapak sih, kan jadi jatuh sayanya’, mau menangis rasanya, lutut saya benar-benar sakit saat itu. Si bapak tersenyum, sembari bertanya ’gak papa kan’, saya periksa sepertinya lutut saya tidak apa, tapi ’kok sakit ya’. ’ini ambil, buat kamu, jangan ditolak, kalau kamu tolak, bisa malu saya’, akhirnya saya ambil juga, kasihan si bapak dan tiba-tiba ’gdubbbrakkk’ sepeda bapak jatuh, tapi hanya sepedanya, rupanya si bapak tidak menyandarkan sepedanya dengan benar-benar.

’Makasih ya pak’, si bapak pun pergi meninggalkan saya seorang diri. Agak sulit untuk berjalan, lutut ini memang sakit bukan kepalang, lalu ’kenapa de? Jatuh ya ?’, begitu ujar pak satpam pada saya ’iya pak’, ’duh kasiannya’ begitu ujar pak satpam ’haduhhhh betapa malunya’.

Sore hari, tiba di camp, itu lutut saya periksa, ternyata ia memang sedang apa-apa, memar cukup besar ditambah lagi lecet disertai warna merah, ya lutut saya berdarah, mau menangis rasanya jadi ingat sama ibu di rumah, tapi tidak jadi, malu sudah 22 tahun.


-The End-

Saturday, January 24, 2009

Pak djoko dan sepeda tuanya

Pak djoko, bapak saya, bapak baik, meskipun pada awalnya agak sulit menggambarkannya, beliau pendiam, seperti memiliki dunia sendiri di alam pikiran, kadang ketika saya ingin pamit undur diri dari kantor tempat beliau bertugas di saat siang menjelang, beliau berkata ’nanti dulu, di sini saja, bla..bla..bla’. Pak djoko, saya tidak tahu berapa umurnya, beliau memiliki 3orang putera dengan seorang putri yang saat ini duduk di kelas 6 SD.

Tinggi perawakannya, berasal dari jawa, dengan pendidikan terakhir STM ’begitu katanya pada saya’, bapak dianugerahi rupa yang lumayan untuk lelaki seumuran beliau. Kalau menurut seorang teman ’bapak-bapak itu gantengnya beda sama anak muda, mereka itu gantengnya
wibawa’, ya ada-ada saja teman saya yang satu itu, tapi mungkin ada juga benarnya.

Bapak baik, bapak temani saya kemana saja, bapak pinjamkan saya sepeda tuanya, katanya ’kamu pakai sepeda bapak yang ini saja’, itu sepeda baru, bukan saya tidak mau, tapi tidak mungkin rasanya menaiki sepeda itu dengan kostum seperti ini, saya memakai bawahan rok bukan celana panjang seperti karyawan yang lainnya, dan setelah lama saya baru sadar bahwa kiranya hanya saya seorang yang berkeliaran di pabrik dengan memakai rok sebagai bawahan, sisanya memakai celana panjang, entah lelaki entah juga perempuan.

Apa saya anomali? Sepertinya tidak juga, biasa saja. Sepeda pak djoko sudah tua, terlihat dari penampilannya, ya akhirnya saya dipinjamkan sepeda pak djoko yang satunya, dengan karat dimana-mana, semakin menegaskan ketuaannya, dengan sandaran tempat duduk yang sudah berbungkus plastik, dengan ban bagian depan yang menggelembung, hampir lepas dari rangkanya, ditambah lagi rem yang sudah tidak berfungsi, ah agak sulit menggambarkan ketuaannya.

Perlu pengorbanan untuk mengendarainya, kenapa? Karena saya sudah hampir empat kali terjatuh dari itu sepeda tua ,sekali dua kali, pengayuh sepeda tersangkut rok hitam saya, hingga terjatuhlah saya, tidak banyak yang melihat, maka tidak banyak pula yang tertawa ’alhamdulillah’ rasa malu yang saya derita tidak seberapa. Jatuh untuk yang kesekian kalinya, manakala pak salam (nanti saya insya Allah ceritakan siapa itu pak salam) memaksa memberi saya sedikit uang, entah karena apa, mungkin karena rasa iba atau kasihan, melihat saya seorang diri di bumi kalimantan ini, waalahualam.

Jatuh yang kesekian itu cukup menyakitkan, meninggalkan bekas di lutut berupa memar dan perih yang lumayan bila dirasakan, hingga beberapa hari harus meringis manakala air menyentuh lutut yang lecet karena menggusur aspal. Jatuh yang kesekian ini lumayan memalukan, jatuh pada saat menjelang makan siang, banyak pengendara sepeda yang melihat, bahkan pak satpam berkata ’kenapa de? Jatuh ya? Aduh kasihan’ begitu ujar mereka sembari tertawa.

Saya? Ya mau tidak mau saya tertawa juga, tertawa menahan malu sembari bergumam sendirian ’sudah sebesar ini masih juga jatuh dari sepeda’. Pak salam sudah pergi, uang itu mau tidak mau saya terima juga. ’saya malu kalau kamu ndak terima’ begitu kata si bapak pada saya. Yah sembari menahan sakit, terduduk di atas jalan raya beraspal, saya terima uang yang ia berikan dengan berat hati. Tidak tega rasanya menerima, karena saya tahu penghasilan si bapak tidak seberapa, tapi ya sudahlah. Itulah jatuh yang kesekian kalinya.

Jatuh yang ini, insya Allah untuk yang terakhir kalinya, tidak jatuh sebenarnya, tetapi hampir jatuh, kali ini, rok saya tersangkut di rantai sepeda, hmmm ramai saat itu, pekerja-pekerja pabrik baru saja berdatangan, yang bertugas shift malam pun baru saja pulang. Ini akibatnya tidak memulai bismillah dalam sebuah urusan, ini akibat dari kesombongan sebagai manusia yang notabenenya lemah kalau bukan karena rahmat dan karunia –Nya.

Saya kembali hampir terjatuh, Alhamdulillah Allah masih sayang, saya masih mampu jaga keseimbangan dan Alhamdulillah seorang teman saya melihat saya yang sedang kesusahan, akbar namanya, ia bantu saya menarik ujung rok saya yang tersangkut pada rantai sepeda, dan akhirnya terselamatkanlah saya dari rasa malu yang berkepanjangan di dalam dada.

Jatuh yang terakhir kali ini, cukup membuat bekas di dalam hati hingga sesuatu itu menitikkan airnya ke bumi, penyesalan yang mendalam karena kesombongan sebagai anak manusia yang sebenarnya lemah tak terkira. Begitulah kiranya, sepeda tua pak djoko sudah menemani dengan setianya, kemana saja saya pergi, hingga seorang pembimbing saya yang lain, pak sulis namanya, berkata ’ya sudah pakai sepeda saya saja, biar ndak jatuh lagi’, ’(menghela nafas panjang), subhanallah baiknya’ dan kembali saya tidak bisa berkata apa-apa.


NB : sempat mengambil photo sepeda pak djoko, tapi hilang entah kemana.

-bersambung-

Friday, January 23, 2009

ini tentang 3 org anak dan ibunya

Sudah dua hari ini, anak pertama ummi sakit demam, dan hari ini salah satu dari anak kembarnya ‘syahidah namanya’ turut menyusul sakit pula. Saya hanya diminta menemani ummi seharian menjaga ketiga anaknya, yah tak apa lagi pula hari itu hari minggu.

Ummi tidak memasak, kecuali hanya sedikit saja untuk ketiga anaknya. Tidak dapat berpanjang lebar bercerita, hampir kehabisan kata-kata 23 November 2008, entah rasa apa yang menghinggap di dalam dada. Siang itu abi sedang tidak ada di rumah, seperti biasa, abi menghabiskan waktu di masjid Al Mubarakah, karena memang abi bekerja di sana. Menemani ummi bermain bersama ketiga anaknya, kata ummi ‘kalau sakit bawaannya mau menyusu terus mbak, ndak mau berhenti’ begitu jelas ummi, ya sejauh pengamatan saya, syahidah tidak pernah mau berhenti menyusu pada ibunya.

Lain syahidah, lain pula zaid, anak itu hanya diam, sesekali saya goda, mencoba mengajaknya bermain seperti hari-hari biasa. Biasanya, dia selalu minta dipangku, kadang memeluk sampai menciumi saya berkali-kali. Agak geli sebenarnya, karena lelaki yang menciumi saya hanya ayah saya, dan itu pun entah kapan saya sudah lupa. Dua hari ini, zaid hanya diam, tidak ada celotehnya, tidak pula teriakannya yang memanggil saya dengan kerasnya manakala ia ingin bermain dengan saya, tidak juga jerit tangisnya terdengar manakala saya hendak pulang meninggalkan rumahnya ‘mbak gak boleh pulang’ begitu ujarnya dengan santai, sampai-sampai ummi harus memegang tangannya agar ia tidak berlari mengejar saya yang sudah meninggalkan rumahnya.

Sebenarnya saya sedang lapar, benar-benar lapar. Terlebih lagi hujan mengguyur selama beberapa hari ini, pakaian yang saya jemur pun, harus mengiba-iba pada sang mentari agar ia mau sedikit berbagi, tapi tidak juga, matahari masih enggan unjuk gigi, meskipun jam sudah menunjukkan pkl 10.00 pagi WITA.

Tidak ada yang tertidur, saya hanya bermain-main dengan shalihah, kembaran syahidah. Zaid hanya terbaring lesu di atas tempat tidurnya sedang syahidah menyusu pada ibunya. Sembari bercerita, ya seperti biasa ummi kembali bercerita, bercerita tentang apa? Ah saya sudah lupa, padahal baru kemarin rasanya. Tidak menyenangkan hanya bermain dengan shalihah seorang, padahal biasanya syahidah pun tidak bisa diam.

Lama, duduk tenang di atas pangkuan sembari menyusu pada ibunya, tiba-tiba syahidah mulai merengek, menangis, saya hanya menyaksikan, sesekali saya menoleh kepada dua anak beranak itu tanpa melepaskan perhatian dari shalihah yang terus bermain dengan saya. Biasa kalau bayi sedang sakit, begitu kata umi, maunya menyusu saja. Begitu juga yang terjadi pada syahidah, ia menjadi bayi yang begitu manja, sampai ketika asi tidak lagi menarik baginya, ia hanya menangis saja, entah bagaimana rasa yang diderita anak seumuran dia bila demam itu hinggap di tubuhnya. Saya tidak tahu, padahal saya juga pernah melewati masa-masa itu.

Mau apa sayang’ begitu kata ummi pada salah satu anak kembarnya itu, ummi mencoba menawarkan asinya ’o ndak mau, ya sudah’ lalu ’kita nyanyi aja ya? Mau lagu apa?’ ummi pun memulai dendangan lagunya, ’ana hidah, farhan jidan, ana lihah, farhan jidan, na na na.... ana zaid farhan jidan’ hmmmh saya menghela nafas panjang, ketiga anaknya tertawa, senang mendengarkan ibunya bernyanyi meskipun dengan suara yang tidak seberapa, dengan nada dan irama yang sekenanya saja.

Ummi terus bernyanyi, semua lagu-lagu islami yang ia tahu, yang biasa ia perdengarkan pada anak-anaknya. Saya hanya duduk diam di sudut, terpana menyaksikan (berlebihan? Tidak ini tidak berlebihan). Sesekali ummi kembali bercerita dan itu berarti terpotonglah lagu yang ia nyanyikan, saya agak terkejut rasanya, ketika syahidah menangis mengetahui ibunya tidak lagi bernyanyi, sembari mendekap anaknya ummi kembali melanjutkan dendang lagunya.

Kembali, ketiga anaknya tertawa. Shalihah menggeleng-gelengkan kepalanya, entah apa yang ada di dalam kepalanya, ia hanya nampak senang mendengarkan suara ibunya dan syahidah tetap duduk diam dalam dekapan, kata ummi ’anak-anak itu kalau lagi sakit, merasa nyaman kalau di dekat ibunya’, begitu ternyata.

Tidak ada yang istimewa yang ummi berikan, hanya bernyanyi, ya bernyanyi sembari menampakan wajah gembira, padahal lelah sudah ummi rasa sedari pagi dini hari tadi. Bangun pkl 03.00 pagi, merendam pakaian lalu mencuci, terkadang bila sudah terlalu lelah, abi yang menggantikan ummi untuk mencuci sampai menjemur pakaian. Mau hujan mau panas, anak-anak selalu dimandikan pkl 05.30 pagi, keluarga itu selalu melakukannya setiap hari, setiap pagi.

Saya, hanya seseorang yang mengenal mereka selama dua bulan saja, tidak lebih tidak juga kurang. Mencoba menuliskan sedikit cerita tentang keluarga yang menurut saya subhanallah rasanya.

Masya Allah saya jadi teringat pada ibu saya di rumah, ibu itu yang selalu bangun di tengah malam meladeni saya yang mengerjainya karena jerit tangis yang kadang tak henti-hentinya. Ibu itu pula yang belakangan saya tahu selalu berdoa agar saya berjumpa dengan orang-orang yang baik di setiap perjalanan saya. Ibu itu juga yang belakangan ini sering kali menitikkan air mata ketika mencurahkan isi hatinya pada saya, ibu itu pula, ibu itu pula yang membuat saya kehabisan kata-kata dan ibu itu adalah ibu saya.

Dan rasa melankolie itu kembali merayapi hati perlahan tapi pasti.

-bersambung-

Thursday, January 22, 2009

13 November 2008

Sepeda pak djoko kempes di bagian ban depan. Selalu merasa was-was setiap kali mengendarai itu sepeda, karena sedikit bagian dari ban depan, hampir lepas dari rangka roda sepeda. Yah namanya juga barang pinjaman, jadi harus dan kudu dijaga sebaik-baiknya.

Seingat saya, saya belum baik-baik amat jadi manusia, bila dibandingkan kamu dan kalian semua yang ada di dunia, bisa jadi saya berada diurutan paling belakang dari kategori manusia paling baik sedunia dalam hal agama (lebay). Tapi, di sini subhanallah, pertolongan Allah itu selalu saja ada untuk saya hamba-Nya. Ya seperti sepeda tua yang pak djoko pinjamkan pada saya ini, padahal beliau tidak begitu mengenal saya, tapi katanya ‘kasihan kalau kamu jalan kaki, jauh’, duhhhh, jadi merasa gimana gitu ya, tapi memang benar, antara kantor pusat dengan tempat saya ditempatkan, lumayan juga jaraknya. Ya kira-kira 15-20 menit kalau ditempuh dengan berjalan kaki. Pak djoko baik sekali.

Saya sudah katakan bahwa saya belum baik-baik amat selama hidup di dunia bukan, tapi lagi-lagi Allah begitu baiknya memberikan karunia-Nya pada saya. Percaya dengan rezekinya orang berpuasa? Nah itu dia, setiap mau berbuka, seorang ummi, ummi zaid namanya. Kalau kamu tebak zaid itu nama suaminya, maka ‘totet’ kamu salah, zaid itu nama anaknya, ‘100’ buat kamu yang bisa menebak dengan benar. Si ummi ini, selalu mengirim sms yang isinya seperti ini kira-kira ‘mbak lagi ngapain? Puasa kan? Nanti buka di tempat saya ya’, selalu begitu setiap waktu.

Pucuk di cinta ulam tiba (ha...3x), perut sedang lapar-laparnya, eh ada yang menawarkan. Kalau ditolak, ‘tidak baik menolak rezeki’ begitu kata orang tua. Jadilah saya dijamu setiap kali berbuka puasa di rumahnya. Tapi tidak hanya sampai di situ saja, terkadang ummi masih juga membekali saya dengan makanan, ‘duh saya jadi tambah ke-Enakkan’. Sekali, dua kali, sampai tiga kali, naluri mahasiswa saya yang senangnya sama gratisan, merasa begitu dimanjakan, tapi keempat kali dan seterusnya, naluri manusiawi saya mulai muncul ke permukaan.

Saya mulai merasa tidak enak, malu karena sekarang hampir setiap malam ummi meminta saya datang ke kamarnya, ‘makan malam’ begitu katanya. Karena merasa tidak enak, saya tolak saja, tapi si ummi mengeluarkan jurus andalannya, mengancam, kadang dia mengeluarkan dalil-dalil, dan terakhir ‘kalau ndak mau ke kamar, besok-besok jangan main ke sini lagi mbak’ gdubbrakkk.

Hmmh, mau tidak mau, suka tidak suka, saya munculkan juga wajah ini di depan kamarnya. Kadang, dengan sengaja menghilang pada saat mendekati senja, kadang, dengan sengaja me-non-aktifkan handphone sampai mendekati waktu isya, tapi tetap saja, si ummi memerintahkan prajurit kecilnya yang bernama zaid untuk menjemput saya, memanggil-manggil nama saya sembari berteriak ‘embak, di suruh ummi ke kamar’, mau tidak mau, saya akhirnya angkat kaki juga, karena teriakan si prajurit kencangnya luar biasa.

Kembali saya katakan, saya belum baik-baik amat jadi manusia, berpikir ternyata ummi zaid begitu baiknya?

-bersambung-

Wednesday, January 21, 2009

10-11 November, jantan

10 November, hari pahlawan kata seorang teman.

Gamang, dalam diam mencoba berjalan sembari menunggu adzan maghrib dikumandangkan, menunggu waktu berbuka tiba, bukan hal yang istimewa, namun menjadi begitu bermakna manakala doa itu dilantunkan, permintaan itu saya sebutkan, dalam lirih saya meminta diiringi titik-titik yang membasahi ubin kayu camp petrosea ini.

11 November 2008

Hujan deras membasahi bumi sedari adzan shubuh dikumandangkan. Rasa malas mulai menggerayangi, selepas menjumpai Nya, mencoba mengikuti hasrat diri untuk lelap kembali sembari menanti adzan shubuh dikumandangkan di masjid yang letaknya tak jauh dari camp ini.

Tak lama, terdengar gemuruh air dan entah kenapa firasat ini menangkap hal yang tidak menyenangkan agaknya. Mencoba melayangkan rasa malas agar terbawa arus air hujan yang jatuh dengan deras. Ternyata, camp ini kebanjiran, masya Allah air sudah meluap-luap berwarna cokelat, menggelombang, hanya dalam beberapa jam saya yakin kamar saya pun akan tergenang.

Tak sempat, semua barang-barang saya masukan ke dalam ransel 45 liter, laptop dan perangkat elekronik lainnya harus aman dari guyuran air hujan. Hmmmh, tak menyangka camp ini bisa kebanjiran juga, agak menggetarkan jiwa, karena saya tidak bisa berenang, sementara air terus naik karena guyuran air hujan yang dirasa semakin deras saja.

Masya Allah, keringat dingin mulai mengucur di seluruh tubuh saya. Suara air hujan yang jatuh semakin lama semakin terdengar, saya bermimpi ternyata, tapi tidak juga, karena perangkat sholat saya hampir basah semua, bisa dikatakan saya memang kebanjiran dan yang menjadi korban mukena dan sejadahnya. Yah tumben rasanya, biasanya selepas menjumpai Nya, itu mukena saya lipat untuk kemudian lelap, tapi kali ini, memang sudah menjadi rezeki dari air hujan hingga diri menjumpai-Nya pada saat kebasahan.

Pagi menjelang, hampir pkl 05.30 WITA, tetapi hujan belum juga mengizinkan sang mentari untuk mengudara pagi ini. Semakin deras saja dirasa, akhirnya jas hujan itu mendapat kesempatan untuk menemani diri ke pabrik pagi ini. Khawatir terlambat, di bawah guyuran air hujan saya kayuh sepeda tua milik pak djoko, sepeda yang sudah penuh dengan gurat-gurat ketuaannya, sepeda yang rodanya sudah tidak lagi mantap pada tempatnya, sepeda yang harus dikayuh dengan susah payah karena karat yang menghiasi seluruh persendiannya.

Khawatir terlambat hanya sebatas khawatir karena tenyata saya belum terlambat, dan subhanallah kantor masih terkunci, sementara hujan tak mau kompromi, terpaksa menunggu di luar, di bawah derasnya air hujan. Mau kembali, ‘ah tak jadi’ kaki ini sudah mulai menimbunkan asam laktatnya hingga ia berkata ‘aku akan merasa lelah untuk waktu yang lama’, akhirnya menunggu, menunggu di depan pintu security sampai pak satpam mulai bertanya, bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan yang tadinya luar biasa, kini menjadi biasa saja.

Seperti biasa, tanggapan pak satpam tidak jauh berbeda dengan bapak-bapak yang lainnya, ‘berani ya’ dan yang paling membuat geli hati, ketika pak satpam berkata jantan, benar-benar jantan, saya hanya tertawa mendengar si bapak berkata. ‘memangnya saya ayam, -ku ku ruyuuuukkkk- sampai dibilang jantan’ ya tentunya kalimat itu hanya berkutat di dalam hati saja.



-bersambung-

Tuesday, January 20, 2009

Abi-Umi

Ada saja rezeki yang Allah sampaikan pada saya melalui mereka, terkadang ummi mengajak saya ke kamarnya, ‘main sini mbak, daripada sendiri’ begitu kata ummi, dan begitu tiba di sana, beliau memaksa saya untuk makan malam kadang makan siang, dan yang lebih membuat malu hati adalah terkadang menjelang pulang pun, ummi masih membekali dengan makanan ringan, ‘buat ngemil mbak’, Alhamdulillah, begitu kata hati kala itu, Allah jauhkan saya dari rasa lapar.

Lama, hati ini malu juga dibuatnya, tapi bila menolak, ummi akan memulai dengan dalil-dalilnya, walhasil penolakan saya tidak berarti apa-apa.

Beginilah kiranya Allah mempertemukan saya, dengan hamba-Nya, karena begitu baiknya, terkadang saya tidak dapat menolak bilamana ummi dan keluarga mengajak saya pergi bersama mereka, dan yang membuat saya terpana adalah setiap kali bertemu dengan teman-teman ummi yang kemudian bertanya, dalam bahasa jawa ‘siapa mbak?’, ‘adik saya’, begitu jawab ummi pada mereka, ‘baru datang dari jawa’ begitu tambahnya. Saya hanya diam saja, tidak menolak tidak juga mengiyakan, hanya bisa tersenyum, semua serasa tercekat di tenggorokan. Apa yang ummi katakan, mengingatkan saya pada seorang bapak yang pernah berkata ‘ini anak saya, anak pertama saya’.

Begitu sekelumit kisah tentang keluarga ummi dan abi zaid, yang begitu baiknya bahkan hingga untuk keperluan membuat laporan pun, abi berupaya menyediakan untuk saya, ‘pakai saja printernya sef, ndak apa kok’ dan yang lebih mengejutkan adalah ketika abi tiba-tiba datang menghampiri sembari berkata ‘ini tinta printernya sef’, ya Allah entah bagaimana saya bisa membalas kebaikan mereka pada saya.

Saudara sesama muslim yang Allah dekatkan pada saya, di camp petrosea, tempat saya berada selama 2 bulan lamanya.

Malam semakin larut, hujan sudah berhenti membasahi bumi sejak sore tadi, hari minggu di 9 November 2008. Sudah mulai lelah agaknya jari-jemari ini menyentuh keyboard ditemani alunan musik kitaro caravansary, menghela nafas panjang, pertolongan Allah itu selalu datang, darimana saja, dari arah yang tidak pernah saya duga sebelumnya.

Lelap menjadi sebuah keharusan, esok pagi memulai kembali aktivitas pagi memasuki pabrik yang sarat dengan asap dan bau urea yang menyengat……

-bersambung-

Monday, January 19, 2009

Hidup itu pilihan

Hidup ini pilihan, dan sudah menjadi pilihan saya untuk berada di sini, berpikir, memutar otak bagaimana kiranya proses membuat laporan nanti. Saya lupa akan satu hal, hingga sebuah pesan sampai kepada saya, isinya

Rasulullah SAW bersabda “barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim).

Saya hanya diam, di atas sajadah yang enjun pinjamkan pada saya, bukan kata-kata surga yang membuat saya tertegun, terdiam untuk beberapa saat lamanya, tetapi kata-kata ‘Allah memudahkan’ membuat kepala ini terbangun dari kebodohannya, saya lupa bahwasannya saya masih memiliki-Nya, bila memang niat saya berada di sini karena Allah adanya, Ia pasti akan memberikan pertolongan-Nya pada saya, karena pertolongan Allah itu dekat adanya.

Tak lama, beberapa hari kedepannya, Ayah saya berkata bahwasannya uangnya akan beliau kirimkan melalui rekening saya, sembari berkata ‘ibunya jangan dulu diberitahu ya de’, Allah itu baik adanya, bahkan pada saya hamba yang tak seberapa bila dibandingkan dengan hamba Nya yang lainnya.

Saya tidak punya keluarga di sini, tidak satu pun. Sampai seorang ibu yang kemudian memperkenalkan dirinya dengan sebutan ‘saya ummi zaid mbak’ dan saya terka zaid adalah nama anak pertamanya, anak lelakinya. Saya sudah katakan tidak ada warung di sekitar tempat saya tinggal bukan, maka saya harus memutar otak bagaimana caranya saya bisa makan malam dan sarapan tanpa harus kelaparan. 5 hari pertama di camp tempat saya berada, perusahaan sediakan sarapan dan makan malam, sedang makan siang kami lakukan di kantin perusahaan.

5 hari pun lewat sudah, tidak ada pilihan lain, akhirnya memasak bukan lagi menjadi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Meminjam panci pada pak un

tung, seorang bapak yang bertanggung jawab atas camp dan fasilitas yang ada di camp tempat saya berada. Beliau juga pinjamkan saya sapu, dan tak lupa setrika hingga ketika setrika ternyata tidak bisa dipakai, beliau membawakan saya setrika yang baru, benar-benar masih baru, saya tahu itu karena labelnya masih terpasang di gagang setrika yang beliau pinjamkan pada saya. Kadang menghela nafas panjang, mengapa Allah begitu baiknya pada saya.

Awalnya saya pikir akan memasak nasi menggunakan panci, tapi tak lama, ummi zaid meminjamkan saya sebuah rice cooker, peralatan memasak, beserta perlengkapan makan, subhanallah, saya tidak bisa berkata apa-apa. Saudara sesama muslim itu memang ada, saya temukan mereka dimana-mana, dipabrik, juga di camp tempat saya berada. Mulai dari ummi zaid hingga pak salam, pekerja kontrak di pabrik tempat saya berada.

Ummi zaid, saya tidak tahu siapa nama aslinya. Ummi asli orang jawa, merantau sejak lulus SMA, ‘saya ikut pak le’ saya dulunya mbak’ begitu ceritanya pada saya, hingga ummi berjumpa dengan abi yang belakangan saya baru tahu bahwa abi bernama purwanto, dan dari namanya kita bisa tahu, abi juga berasal dari jawa.

Pernah suatu kali ummi bercerita tentang perkenalannya dengan abi, menikah tanpa pernah melihat siapa calon suaminya, hanya melihat melalui selembar photo saja. Saya hanya tersenyum mendengarkan ummi bercerita tentang kisahnya, lalu ummi berkata ‘lucu mbak, saya juga ndak tahu kok bisa ya’, yah namanya juga jodoh, hingga akhirnya ummi berkata ‘mau saya carikan ikhwan sini mbak?’ gdubbbrakkkk, tawaran ummi membuat geli hati, lalu saya katakan ‘saya ndak berani ummi’.

Tak ingin membahas terlalu lama tentang hal pernikahan, geli hati ini dibuatnya. Maka saya kembali bercerita tentang saudara, saya tidak tahu apa alasannya, tetapi ummi dan keluarga begitu baiknya pada saya, subhanallah keluarga ini. Padahal saya tahu penghasilan abi dan umi tidak seberapa, abi bekerja sebagai pengurus masjid, sedang ummi sebagai guru mengaji. Mereka menghidupi ketiga anaknya, seorang lelaki zaid namanya, dan dua orang anak perempuan mereka yang lahir bersamaan, ya anak kedua mereka kembar, sholehah dan syahidah, begitu mereka memanggilnya.

-bersambung-

Sunday, January 18, 2009

Saya? Biasa saja

Saya biasa-biasa saja, namun nampaknya tidak bagi mereka. Pabrik ini luas, ada 5 buah pabrik yang bekerja, belum lagi ditambah anak-anak perusahaannya. Karena luasnya, masuk ke pabrik ditempuh dengan bis perusahaan atau dengan sepeda, dan karena begitu luasnya, pegawainya pun berjumlah lebih dari 2000 orang, bisa dipastikan bahwa tidak semua saling mengenal.

Saya sefta, mahasiswi UNILA, universitas Lampung, semester 9. Nampak biasa bukan, tapi tidak menurut mereka yang bekerja di sini. Pertanyaan-pertanyaan itu kembali berdatangan, mulai dari ‘darimana de?’ dari lampung pak, ‘wah jauh ya, kuliah di jawa?’, bukan pak di Lampung juga, ‘oh UNLAM?’ bukan pak, itu Lambung Mangkurat, di Kalimantan barat, ‘Oh UNLA ya’ bukan pak itu Langlang buana, di bandung, tapi UNILA pak’, ‘oh UNILA, biasanya di sini bla..bla..bla’ si bapak menyebutkan universitas-universitas ternama di pulau jawa. Lalu ‘ada saudara di sini?’ ndak ada pak, ‘lho sendirian di sini, kok berani’.

Pertanyaan-pertanyaan itu pada awalnya biasa saja, namun lama-kelamaan menjadi dirasa membosankan jiwa. Bahkan ada yang sampai berkata ‘kasihan ya, berarti kamu sebatang kara di sini’. Ada yang sampai menitikkan air mata, terharu katanya, karena saya seorang anak perempuan, kenapa begitu beraninya untuk berada sendirian di kota ini. Ada juga yang bernada kontra tentang keberadaan saya, tidak apa, tidak mengapa, namanya juga manusia, ada banyak pikiran di dalam kepala manusia yang berbeda-beda.

Kembali kepada pembimbing yang membuat kadang membuat spot jantung dengan aksinya. Beliau berkata ‘ada komputer kan? Kalau ndak ada susah’, begitu ujar beliau pada saya. Hmmh, beginilah, saya sudah katakan tidak ada warnet bukan, maka tempat merental komputer pun menjadi barang langka, sulit ditemukan kecuali beberapa kilometer jauhnya. Kadang hanya bisa merenung dalam diam, sempat terpikir untuk meminjam laptop seorang teman, awalnya ia mengizinkan, tetapi manakala berbicara melalui telepon genggam, dirasa begitu berat melepaskannya pada saya, dan sudah bisa ditebak, saya tidak jadi meminjamnya.

-bersambung-

Saturday, January 17, 2009

Hari pertama dimulai

16 oktober 2008, memasuki hari pertama, melangkahkan kaki dengan berjalan kaki menuju kantor pusat PKT, lumayan juga rasanya, tapi tak begitu terasa karena pepohonan yang berada di kiri-kanan jalan. Kalimantan, satu jam lebih dulu dari Waktu Indonesia Bagian Barat, membuka hari sejak dini hari, untuk kemudian terlelap kembali sembari menunggu adzan subuh dikumandangkan.

Pagi 16 oktober 2008, menuju kantor bagian diklat perusahaan, hingga akhirnya mempertemukan saya dengan rekan-rekan yang akan melakukan penelitian di perusahaan ini juga, termasuk anak-anak SMK jurusan analis kimia. Minggu pertama, hanya menghabiskan waktu di perpustakaan yang ada, mencoba bertahan agar tak terlelap dalam kantuk seperti teman-teman yang lainnya. Rasa bosan mulai mendera, karena tidak ada aktivitas apa-apa.

Tidak bisa sembarangan di sini, di pabrik ini, tidak dapat masuk bila tidak ada tanda pengenal, sepatu dan helm pengaman, demi keselamatan begitu katanya. Ya kami hanya bisa menurut saja, terkecuali ketiga orang teman saya, yang berasal dari jurusan akuntansi dan pemasaran, mereka tidak memerlukan sepatu dan helm pengaman karena hanya akan berada di dalam kantor saja.

Hampir 2 minggu, semua alat pengaman diri, sudah diberikan, hingga akhirnya seorang bapak, pak jhon nggae namanya, beliau mengantarkan kami ke masing-masing bagian, ke tempat dimana kami akan menghabiskan waktu lama di kota ini, di dalam pabrik ini.

Ada 12 orang mahasiswa yang melakukan penelitian di perusahaan ini, termasuk saya. Ternyata setelah sekian lama bersama mereka, baru saya ketahui bahwa sebagian besar memiliki keluarga yang bekerja di sini, entah adiknya, entah ayahnya, entah pula pamannya, kesebelas orang teman saya semua berasal dari kota ini, adapun yang paling jauh berasal dari kota samarinda tapi memiliki paman yang bekerja di pabrik ini juga.

Hari pertama di dalam pabrik, dengan mengenakan sepatu kebesaran (bukan kebesaran dalam kiasan, tapi kebesaran dalam arti yang sebenarnya), helm kekuningan, dan badge pengenal, berdua dengan seorang teman, lelaki akbar namanya, jurusan teknik elektro UnHass makasar, menemui seseorang yang akan menjadi pembimbing saya dan dia, pak parmo namanya, dari logatnya saya terka dia orang jawa.

Kesan yang muncul pertama kali adalah bahwa beliau orang yang tegas, semua harus serba cepat, dan ketika pertama kali berjumpa, beliau langsung meminta time schedule kami berdua, serta berkata ‘di sini kalau presentasi dibantai’, Masya Allah, sungguh terlalu si bapak, belum apa-apa sudah membuat spot di dada.