Pages

Tuesday, May 26, 2009

Sore di LIA

Pkl 00:16, error : gateway timeout.

Sore di LIA, sudah lima kali berturut-turut tidak masuk kelas bahasa inggris, jadi kaku dan ujung-ujungnya harus menghadapi written dan oral test dari “bab I sampai bab IV” begitu kata miss yang mengajar. “hah, gak salah” hanya bisa melongo, diam termangu sementara, “empat bab, dalam satu hari, untuk written dan oral????”

Bel tanda kelas selesai berbunyi. Sudah masuk waktu sholat wustha sejak beberapa menit yang lalu. Melangkahkan kaki menuju kamar mandi khusus putri dan tepat di dalamnya saya bertemu dengan dua orang remaja putri, masih SMU sepertinya. Cantik, berdiri di depan WC wanita, karena tempat berwudhu di tempatkan jadi satu dengan kamar mandinya.

Tidak ada dari mereka yang nampaknya ingin memakai kamar mandi yang ada, jadilah saya yang menggunakannya. Bukan untuk membuang sesuatu melainkan hanya untuk mengambil wudhu, karena tempat berwudhu di luar agak terbuka.

Dari dalam kamar mandi, sembari mengambil air wudhu, bersuci sebelum bertemu dengan Nya, saya mendengar atau menguping? Ah sepertinya saya bukan menguping, karena saya secara tidak sengaja mendengar. Mendengar percakapan antara dua remaja belia yang berdiri di depan kamar mandi khusus putri.

Tiba-tiba yang satu orang berkata “lo mau liat pembukaan MTQ gak?” begitu ujarnya
“hah, ngapain gua liat pembukaan MTQ? Emang gua udah mau tobat?” begitu ujar yang satunya
Tidak begitu mendengar lagi apa yang mereka katakan, apa karena fungsi indera pendengar saya mulai melemah? Sepertinya tidak dan insya Allah tidak.

Semakin mendekati dini hari, pkl 00:28, menurut seorang teman, isi blog saya “sudah kebanyakan”. Suara anjing tidak lagi bersahut-sahutan, tidak seperti beberapa menit yang lalu. Sunyi, semua penghuni asrama sepertinya sudah terlelap di alam bawah sadarnya. Mungkin ada yang melemparkan kakinya ke sana kemari, mungkin juga ada yang sedang giat-giatnya menjadi arsitektur dadakan dengan membuat pulau melalui air liurnya tanpa sadar. Mungkin juga ada yang ternganga atau ada juga yang mengigau, dan bisa jadi ada yang “seperti orang mati”, tidak bergerak ke sana kemari.

Kembali tenggelam ke dalam cerita di sore hari ini. Saya mintakan hikmah dan pelajaran, Alhamdulillah Allah kabulkan. Dua remaja putri itu, sedikit banyak membuat saya tertegun beberapa saat lamanya.

Mencoba menarik kesimpulan, agak aneh rasanya ketika menghadiri pembukaan MTQ dikait-kaitkan dengan urusan “taubat”. Jadi ingat dengan lagu keluaran koes plus “ini jaman edan, anak-anak sekarang……”.

Kalau dipikir-pikir, lagu itu dirilis mungkin pada tahun di mana saya masih lucu-lucunya, dan pada saat itu, koes plus sudah berkata “ini jaman edan”, “anak-anak sekarang”, sekarang untuk masa itu. Kalau begitu, anak-anak zaman sekarang apalagi julukannya, kalau yang zaman dulu saja sudah dikatakan “edan”, apa yang zaman sekarang menjadi “super edan? Atau mbahnya edan?” wallahu alam, yang pasti islam itu pada saat pertama kali ia datang, dianggap “asing”, maka ketika semakin ke sini, semakin mendekat kepada hari kebangkitan, ia (islam.red) kembali dirasa asing, dianggap aneh, bahkan oleh kita yang notabenenya beragama islam sekalipun.

Hahhhh, memang paling enak menghela nafas panjang.

Dan hingga malam ini, written and oral test belum juga saya lakukan, saya lupa..........

Saturday, May 23, 2009

Membunuh dirinya

Bunuh diri, racun serangga berasal dari merk ternama
Jangan membunuh dirimu wahai manusia
Jangan mengakhiri hidupmu dengan cara sia-sia tidak berguna wahai wanita

Saya tidak mengerti apa yang ada di dalam pikirannya ketika mencoba itu racun serangga. Saya pun tidak tahu seperti apa rasa itu racun serangga, adakah lebih menyegarkan bila dibandingkan dengan minuman lainnya yang ada di dunia.

Saya tidak mengerti apa motivasinya, apa yang mendorongnya. Hanya saja, yang ada di dalam pikiran saya saat itu adalah, sepertinya anak perempuan ini, anak gadis berumur hampir 20 tahun ini, nampak tidak menemukan tempat pelarian, ia belum menemukan lintasan berlari yang semestinya.

Entah masalah macam apa yang menimpanya. Seorang anak asrama bercerita, melihat ia terkapar tak sadar dengan racun serangga dalam genggaman. Mengendus-endus, anak asrama yang lainnya mencium aroma racun serangga di dalam mulutnya, mulut si wanita yang nampak berniat mengakhiri hidupnya.

Terkejut, tentu saja, bisa dikatakan saya termasuk angkatan tua, anak itu anak gadis itu baru memasuki semester 2, menjelang tahun keduanya di UNILA.

Calon penjaga asrama mengantarkannya ke sebuah rumah sakit swasta, dan setibanya di sana, menjenguknya bersama anak-anak asrama yang lainnya. Wanita penenggak racun serangga itu berkata "salah paham" katanya, "saya tidak meminumnya" begitu katanya, "hanya memeriksa botolnya" begitu tambahnya, dan pada intinya "saya tidak pingsan karena racun serangga, saya sadarkan diri", jelasnya, lalu "bla...bla...bla".

Anak-anak asrama yang lain, yang turut serta menjenguknya, berkata "aneh", lalu "biarkan saja, benar atau tidak bukan urusan kita, maklumi saja, dia merasa malu dengan tindakannya. Atau ia ingin menyembunyikannya dari ibunya, mungkin juga ingin menyelamatkan nama baik keluarganya, ibunya, yang sudah datang dengan tiba-tiba dan segera dari jakarta.

Tinggalkan ia, gadis yang menenggak racun serangga dengan ibu dan saudara kembarnya. Ya, gadis itu memiliki kembaran yang berbeda dalam hal postur tubuhnya. Saya tidak begitu mengenal dia dan saudara kembarnya, selain bahwa mereka berdua adalah penghuni baru asrama annisa. Tidak tahu apa yang memotivasinya ingin mengakhiri hidupnya, tetapi yang jelas, bukan karena masalah sepele yang kadang dapat diselesaikan bahkan hanya dengan menutup mata saja.

Mengakhiri hidup, padahal sejatinya itu hanyalah kekuasaan Nya sang Maha Pemberi kehidupan.

Entahlah, pada dasarnya manusia memang memiliki sifat dasar mudah putus asa, gampang bekeluh kesah, bahkan terkadang lupa ketika Allah memberikan rezeki, anugerah, dan berkah yang melimpah. Entahlah, wanita kadang menjadi sebuah tanda tanya. Kadang mereka bisa menjadi begitu kuat hingga mencengangkan bagi yang melihatnya, mengetahuinya. Terkadang mereka, wanita, bisa menjadi makhluk yang tidak seimbang, tidak stabil dalam hal emosi, akal dan pikiran, menjadi begitu lemah tak berdaya. Begitulah manusia, beginilah wanita dan saya adalah wanita, saya pun turut ambil bagian dalam karakter yang mereka punya.

Habis kena semprot

Niatan awalnya, cuma bercanda atau sebenarnya nggak ya???, tapi terlontar begitu saja, sampai akhirnya, kena semprot juga, sampai pakai acara tunjuk-tunjuk saya, lalu "sudah diem lah".

saya cuma bisa tersenyum, kemudian berkata "kasihan", dan teman-teman saya yang lain berkata "nanti dia ngerasa malu sendiri, gak enak sendiri itu", ya malu dan gak enak karena sudah marah-marah yang sebenarnya wajar kalau dia marah, meskipun jujur mau saja saya membalas, tapi yah sudah lah. Sekali-sekali disemprot orang dikeramaian boleh juga, malu sie sebenarnya, tapi yang penting yang marah bukan saya dan maafkan saja, bisa jadi yang salah adalah saya, ya sepertinya memang saya yang salah.

Thursday, May 21, 2009

Sabar // Lapar 02

Dalam keadaan lapar karena belum mengisi perut ini dengan makanan, angkutan umum itu saya hentikan, turun dari kendaraan, seorang wanita cantik, berkerudung hitam serta merta menyambut saya. Saya pikir "whuihhh luar biasa pelayanan yang diberikan', tetapi ternyata 'maaf mbak, paketnya terbawa sampai ke metro, mobilnya bla...bla..bla'. Saya tidak lagi mendengarnya, yang ada hanya rasa kecewa, agak sedikit kesal sebenarnya, kesal karena 'kenapa sie mbak gak bilang pas saya telepon dari asrama tadi pagi, kenapa baru bilang pas saya sudah sampai ke sini?' begitu kata hati

Wanita, karena tidak tega, terlebih lagi dia sudah meminta maaf pada saya maka 'ya ndak apa mbak, yang penting saya ingin barang itu diantarkan ke tempat saya, ini alamatnya' begitu kata saya, singkat, mengucapkan terima kasih, kemudian beranjak pergi dalam rasa kesal yang tertahan di dalam.

Hari semakin siang, dan saat itu bukan lagi pkl 09.00, hampir mendekati pkl 10.00 pagi. Sistem pencernaan sudah mulai mempengaruhi sel-sel syaraf, hingga saya hanya dapat duduk dalam diam, dipinggir jalan. Saat itu saya pikir "tidak ada yang salah dengan hari ini, sudah saya buka dengan senyuman, dengan doa. Maka, yang ada hanya bersabar saja, bersabar dalam lapar". Panas terik matahari mulai semakin terasa, mencoba menghubungi mbak dahlia MR saya, untuk kemudian beliau menyebutkan rute menuju rumahnya. "lewat sini, naik angkot ini, jalan sedikit, naik ojek ini, bilang ini... bla..bla.. bla" saya tidak begitu mendengar penjelasannya, karena rasa kesal itu masih ada. Duduk dalam diam, di pinggir jalan. Angkutan-angkutan umum itu lalu lalang, kemudian menawarkan. 'Hmmmh' menghela nafas panjang, angkutan umum berwarna merah itu pun saya hentikan. Melamun, hanya bisa duduk melamun, ternyata rasa kesal itu sudah bercampur aduk, terpupuk oleh rasa lapar, hingga ia menjalar, tumbuh subur hingga mengkontaminasi akal pikiran.

Saya diturunkan, berkali-kali dipindahkan angkutan, menurut MR dan mbak-mbak yang lain 'kamu salah naik angkutan', 'hhhmmmhh, yah mau bagaimana lagi, sudah terlanjur', hingga pada akhirnya, saya menghubungi MR saya kemudian berkata "mbak, cep sudah sampai sini, trus?", "dari sana bla...bla...bla", ternyata masih jauh, masih jauh. Di dalam hati saya "lain kali, gak lagi-lagi liqo jauh-jauh begini", rupanya rasa kesal itu masih enggan untuk pergi. Rasa kesal yang sudah terakumulasi dan semakin parah dirasa karena rasa kesal itu sudah bercampur dengan rasa lapar.

Akhirnya, pkl 11.00 siang, matahari semakin terik saja, saya semakin tersasar saja, tidak taHu dimana tepatnya saya sedang berada. Sampai 'bu, ibu tau daerah ini, bla...bla...", "oh, ya tau, jauh lagi dari sini, di atas sana de", begitu kata ibu yang saya jumpai di pinggir jalan raya yang teriknya begitu terasa. "makasie bu", saya pun beranjak pergi, berjalan kaki. Lalu "jangan jalan kaki de, jauh, naik mobil saja" begitu katanya. Saya hanya bisa tersenyum dari kejauhan, memulai berjalan perlahan, dalam kelaparan, kehausan, di bawah terik matahari yang semakin menantang.

Saya tidak ingin naik angkutan, saya pikir, saya perlu berjalan kaki untuk menjernihkan pikiran, tidak mungkin menampakkan wajah berlipat di hadapan mbak-mbak yang sudah berada di sana, yang sudah lebih dulu sampai di rumah mbak dahlia MR saya. 'Hhhhmmmh' ingin menangis rasanya, sudah barang tak dapat, tersasar dalam keadaan lapar, panas pula. Saya hanya bisa berjalan sembari bergumam sendirian, berjalan sembari melihat ke kiri kanan jalan, 'banyak warung makanan'. Ada bakso, ada warung nasi padang, ada warung nasi uduk, saya ingin berhenti, tetapi kaki tidak ingin berhenti. Sampai, "mau kemana de?" begitu ujar seorang bapak, "ke palem V pak" ujar saya. Singkat kata, salah seorang tukang ojek mengantarkan saya dan saya pun tiba, tiba dalam kelaparan, kepanasan, dan yang pertama kali saya tanyakan begitu tiba di kediaman MR saya adalah 'mbak ada makanan gak?'

Sungguh ada korelasi antara rasa lapar dan sabar, apakah saya sudah bersabar? entahlah? sepanjang perjalanan hari ini, pagi ini, saya hanya bisa melamun dalam diam. Saya lapar, saya tersasar, saya kepanasan, saya dikecewakan, saya belumlah bersabar, 'hhhmmmhh' menghela nafas panjang, mengingat betapa saya menangis di pinggir jalan karena diliputi rasa kesal yang tidak tertahankan. Alhamdulillah rasa kesal itu tidak saya tumpahkan, tidak kepada manusia yang membuat saya kesal pada awalnya.

Rasa kesal itu hanya berbuah air mata pada akhirnya 'whhuuaaahhh, susahnya jadi manusia melankolie', dan Alhamdulillah sebuah pelajaran di hari ini.

Sabar // Lapar - 01

Pagi, membuka hari dengan senyum terbaik di hari ini, hari kamis, tanggal berapa? ya saya lupa, karena bukan lagi berstatus siswa melainkan mahasiswa. Mahasiswa yang tidak pernah lagi upacara, mahasiswa yang ketika mencatat tidak pernah mencantumkan tanggal pada bagian sudut kanan atau kiri atas dari buku catatannya. Dan bahkan, mahasiswa seperti saya, tidak pernah mempersenjatai diri dengan catatan pribadi, kecuali photo copy.

Pagi ini, burung-burung itu bertasbih lagi, melalui kicaunya yang semakin riuh ramai terdengar. Ada harapan baru, ada semangat baru, semangat yang luar biasa untuk berjumpa mbak-mbak teman-teman liqo tercinta, yang saya sayangi karena Nya. Tidak ada rasa malas, merendam pakaian kemudian mendiamkan, hingga beberapa menit kemudian mereka sudah bergaya di atas tali jemuran yang berada di belakang kamar saya.
Ini sudah malam, saya hanya mencoba menceritakan beberapa kejadian yang menjengkelkan, tapi berbuah tawa dan makna pada akhirnya Insya Allah. Dan Alhamdulillah bila pada akhirnya Dia menjadikan apa yang terjadi pada diri hari ini, menjadi pahala yang berbuah syurga hingga bisa menjadi kunci masuk untuk berjumpa dengan Nya, semoga.

Katak-katak rawa kembali bersuara, jangkrik-jangkrik itu kembali mengerik, canon in d itu kembali menemani, jarum-jarum jam itu kembali berdetak, dan sebenarnya sudah sejak dahulu mereka berdetak, tak pernah berhenti terkecuali karena mati.

Hari ini, saya pikir pkl 09.00 pagi beranjak pergi dari asrama membuat saya tidak akan terlambat untuk sampai ke tempat Murabbi saya untuk menuntut ilmu, mengisi ruhiyah dan mengobati rasa rindu, meluapkan rasa sayang pada mereka-mereka yang mulai menempati posisi tersendiri di dalam hati. Teman-teman liqo yang unik, beberapa tahun lebih tua di atas saya, mulai dari angkata 2002 sampai angkatan 2000, semua ada.

Mereka tidak seperti saya, begitu kata MR saya pada awalnya. Saya pikir apa yang 'tidak seperti', ternyata memang sebagian besar dari mereka 'tidak seperti' saya, tapi tak apa, saya merasa nyaman dengan itu semua. Dengan tawa, canda, banyolan, ungkapan, pendapat, gagasan, pendek kata, saya merasa bahagia bisa satu kelompok dengan mereka yang beragam dan berbeda dengan saya. Meskipun menurut seorang teman saya 'kelompok pinggiran', meskipun menurut MR saya 'mereka berbeda'.

Saya pikir pkl 09.00 pagi saya tidak akan terlambat sampai di sana, di rumah MR saya, karena saya memang tidak tahu dengan alamat rumahnya. Ternyata, tidak seperti rencana yang ingin Allah berikan pada saya. Saya bukan saja terlambat tetapi lebih dari terlambat. Rencana awalnya adalah, saya berniat untuk mengambil paket yang khafidl kirimkan pada saya, di dalamnya ada beberapa pesanan teman-teman liqo saya. Dengan semangat 45, dengan semangat ingin memuaskan pelanggan, saya menghampiri 'pahala kencana', tempat dimana paket saya dititipkan.

--to becontinued

Monolog // Dialog

Diamlah, tetapi ia tidak dapat diam, duduk dalam diam pun tak dapat.
Mari berteriak, tak dapat, ini sudah malam, dan kamu perempuan
Mari berlari, tidak dapat, ini sudah malam, dan kamu perempuan

Aku mencinta
Mencinta pada Yang Maha Mencipta
Aku mencinta
Mencinta pada ayah dan ibu yang sudah berjuang, berkeringat, bermandikan panas dan terik, Bermandikan peluh keringat, berdarah, bertaruh nyawa, hingga membuahkan air mata

Aku menangis
Aku menangis ketika pada kenyataannya
Pada akhirnya
Keluarga menjadi masa lalu
Masa lalu bagi aku, entah kapan itu

Aku berjalan, melangkahkan kaki
Menghela nafas berat, terengah-engah penuh kepayahan
Dapatkah aku mencinta tanpa ada sesiapapun diantara Aku dan Dia
Dapatkan aku hanya berdua dengan Nya tanpa ada sesiapa yang menyela

Mengapa harus ada kata mengapa
Kenapa harus ada kata kenapa
Mengapa harus berdua bila memang sudah sendiri pada mulanya
Mengapa harus berdua bila memang sudah berdua dengan Nya

Saya tak mengerti
Aku tak mengerti
Atau saya memang yang tidak mau mencoba mengerti
Atau aku memang tidak ingin memahami

Aku begitu membenci kata itu
Aku tidak menyukai kata yang dengan kata itu, ganaplah dien seorang anak manusia
Menjerit dalam diam
Berlari di kegelapan
Gila, berlebihan, aneh menurut sebagian orang
Mengapa harus menikah ya Allah,
Mengapa harus
Mengapa harus ya Allah
Mengapa

Bertahun-tahun pertanyaan itu hinggap di kepala
Memberatkan hati, karena pada kenyataannya memang harus dihadapi
Berperang, bertarung, bergelut dengan apa yang ada di dalam diri
Menyerah dalam kepasrahan di sepertiga malam yang Engkau ciptakan

Titik-titik itu jatuh,
Sekuat tenaga dengan segala daya upaya mengalahkan pada yang ada
Apa yang terlahir di dalam kepala, hati, akal dan pikiran
Kemudian berkata 'ya, perintah Mu akan aku laksanakan'
'ya, sunnah rasul Mu akan aku jalankan'

Semakin deras ya Allah
Titik-titik itu semakin deras
Semakin deras

Marah itu

Saya tidak suka marah, sangat tidak suka dengan yang namanya marah. Masya Allah ya Allah, akhirnya saya memahami mengapa ayah selalu berpesan “kalau nggak punya sim, jangan dulu bawa motor de” begitu pesan beliau pada saya, berkali-kali, setiap waktu.

Malam ini, pkl 21:51, jam malam asrama Annisa, beberapa menyebutnya wisma annisa, Pkl 21:30. Mendiamkan pada awalnya, karena saya pikir mereka-mereka yang berada di bawah sana yang berada di pendopo asrama, salah satunya merupakan penghuni annisa dan mengetahui aturan mainnya dalam artian pukul berapa harus pulang, keluar dari lingkungan asrama putri ini.

Nafas memburu, masih memburu, saya perlukan menelan segelas air putih agar tidak begitu terbawa emosi karena disalahinya peraturan ini. Beginilah kiranya, dengan emosi semua jalan putih tertutup kabut hitam, berawan. Saya membenci amarah, sangat tidak menyukai amarah, meskipun disampaikan selalu dengan nada rendah, tetapi tetap saja amarah itu tidak akan berubah wajah menjadi senyum sumringah.

Mereka-mereka masih berada di bawah, masih asyik dengan aktifitas organisasi yang mereka geluti. Segala kertas, printer beserta laptop dan alat-alat tulis masih bertebaran. Saya sudah mulai merasa tidak nyaman ketika mereka melanggar peraturan batas jam bertamu pada sore hari yaitu pkl 17:30 sore. Seluruh penghuni asrama annisa ini muslimah adanya, beragama islam di dalam KTPnya. Menetapkan pkl 17:30 sebagai batas waktu berkunjung pada sore hari, bukan tanpa alasan. Peraturan itu dibuat, waktu itu ditetapkan, karena seyogyanya, pada jam-jam itu manusia-manusia yang merasa muslim agamanya, sudah seharusnya meninggalkan urusan dunia dan menyegerakan berbenah untuk menghadap Tuhannya, Rabb yang sudah menciptakannya. Tetapi, mereka tetap saja, tidak juga mengerti, aktifitas itu tetap tidak terhenti.
Baiklah, saya anggap angin lalu, saya pikir hanya sore ini saja, dan tidak akan meluas kemana-mana dalam hal melanggar peraturannya.

Senja pun tenggelam, matahari sudah tak lagi nampak, yang ada hanya gelap dengan cahaya bintang yang bertaburan. Risih rasanya mendengar suara-suara sopran para pria yang berada di bawah sana, di pendopo asrama Annisa, tapi tak mengapa pikir saya saat itu. Saya pikir tepat pkl 21:30 nanti, mereka yang lelaki, sudah beranjak pergi dari asrama putri ini.

Jam dinding terus berdetak, sudah lewat pkl 21.30, lelaki-lelaki itu masih belum juga beranjak, entah mengapa rasa itu mulai meronta, hingga “de, siapa yang bertanggungjawab untuk kegiatan malam ini?”, tidak ada yang menyahut, kecuali saling pandang, kemudian saling tunjuk dalam kebingungan. Lalu, seorang anak asrama yang saya kenal sebagai penghuni lantai 3, satu gedung dengan saya melongokkan wajahnya, kemudian mengangguk ketika saya berkata “de, ini sudah malam. Jam malam di sinikan pkl 21.30” begitu ujar saya padanya, dia pun mengangguk dan saya anggap mengerti.

Saya tinggalkan dia dengan teman-teman putri dan putranya, saya pikir tidak lama lagi mereka yang lelaki, akan segera pergi dari asrama ini. Tetapi, suara-suara itu masih terdengar, tidak ada tanda-tanda anak-anak lelaki itu akan beranjak pergi. Entahlah, jilbab itu kembali saya kenakan, jaket itu saya ambil dari gantungan. Melangkah pergi, menuju kamar salah satu anak asrama yang satu lantai dengan saya, kemudian berkata “De minta minum”, “mbak, itu tu, sudah setengah sepuluh belum pulang juga, ikhwah itu kayaknya mbak” begitu kata si empunya kamar yang juga empunya minum yang saya minta.

Tanpa ba bi bu, tanpa menanggapi perkataannya, saya pun berjalan menuruni anak tangga menuju lantai satu, lalu “maaf sebelumnya ya de, jam malam di sini pkl 21.30, sekarang sudah hampir pkl 22.00. Berdakwah di sini susah de, dulu di sini jam malamnya 23.00 sekarang sudah hampir pkl 22.00, harusnya kalian yang lelaki tau kalau ini asrama perempuan. Yang perempuannya juga harusnya tau kalau ini sudah malam. Menegakkan peraturan di sini susah de, harusnya kalian bisa lebih mengerti. Dari sore tadi saya perhatikan, batas bertamu sore hari pkl 17.30, sudah kalian langgar, sekarang sudah hampir pkl 22.00, kalian belum juga pulang” begitu ujar saya “bukan kalian yang akan dikomplain, tapi kami yang bikin peraturan” begitu tambah saya.

Lalu “maaf sebelumnya de, silahkan saja kalau besok mau dilanjutkan, tidak jadi masalah, hanya saja ini sudah malam” begitu kurang lebihnya apa yang saya sampaikan.
Nampak lelaki-lelaki itu mulai membenahi apa yang bisa mereka benahi, anak-anak putri hanya berbicara dengan mata tertuju ke bawah, menunduk, mereka saling bergumam. Saya kesal, tidak ingin gunakan istilah ikhwan dan akhwat, karena ujung-ujungnya akan dikatakan bahwa saya menyudutkan, tetapi ini bukan soal geometri yang membahas tentang sudut atau diagonal. Ini tentang anak-anak manusia yang seharusnya lebih bisa mengerti dari pada mereka-mereka yang lain, yang berada di asrama ini.

Acara pun usai, anak-anak putra mulai membenahi barang-barangnya, ada yang langsung pergi angkat kaki menyalakan mesin motornya, menunggu di luar gerbang mungkin dirasa lebih bijak baginya, tapi tidak bagi saya, karena dia meninggalkan rekan-rekannya membenahi apa-apa yang mereka kerjakan tadi, tidak bertanggung jawab, langsung saja saya katakan begitu di dalam hati.

Beberapa anak putri membersihkan kertas-kertas yang berserakan, hingga akhirnya semua lelaki-lelaki itu pergi meninggalkan asrama putri annisa ini.
Selesai, menaiki anak tangga, untuk kemudian membuka pintu kamar setelah sebelumnya berperang antara diri yang satu dengan diri yang lainnya, lalu “bodoh cep, ngapain harus marah”, nafas memburu, hingga beralih lega ketika menceritakannya kembali untuk kemudian dibaca oleh diri sendiri, pribadi.

Memang tidak bijak berharap orang lain bisa memahami apa yang kita pahami. Hanya saja harusnya mereka lebih mengerti bila dilihat dari atribut yang dipakai. Tapi, kembali, jangan pernah menilai seseorang dari apa-apa yang ia kenakan. Dan karena itu, rasa lapar mulai mengganggu, Alhamdulillahnya, makanan pemberian seorang teman, masih tersisa beberapa buah di dapur belakang.

Selintas teringat bahwa ayah benar, ia melarang saya melanggar peraturan karena beliau yang menjadi salah satu penegaknya, begini kiranya rasanya, ketika orang-orang seperti saya dan beberapa yang serupa berusaha menegakkan peraturan, tetapi di lain sisi, orang-orang seperti saya pula yang melanggar. Tidak masalah ketika yang ditunjuk adalah wajah, tetapi menjadi masalah ketika yang ditunjuk adalah muslimah, arrggghhh mengeneralisasi bahwa muslimah itu seperti itu, dan semoga saja tidak terlontar “dia aja begitu, padahalkan jilbabnya bla…3x, padahalkan anak-anak bla...3x”, Arrrrggghhhh, gak penting.

Wednesday, May 20, 2009

When Dani say "malu"

Lupa kapan tepatnya, yang saya ingat ingat hari itu, siang itu, panas menyengat, polusi udara terasa begitu pekat, memaksa masuk ke dalam, melalui saluran pernapasan. Siang itu, Nampak matahari begitu senang menyinari bumi, manusia-manusia hilir mudik, bergerak, ada yang bermandikan peluh dan keringat ini bagi mereka yang berjalan, ada yang merasa tenang dan nyaman di dalam kendaraan, menikmati alunan music lembut, bermandikan tiupan angin yang keluar dari mesin pendingin mobil itu sendiri, ini berlaku bagi yang memiliki kendaraan, ada juga yang merasa kepanasan duduk dalam diam, sembari jantung dag-dig-dug tidak keruan, ini yang penumpang angkutan umum rasakan.

Panas, saya hanya bisa menutup kepala tengan telapak tangan saya. Pkl 13.00 siang, hari itu hari apa, ah mana saya ingat hari itu hari apa, yang jelas di kepala hanya siang, panas, lampu merah, kendaraan-kendaraan berhenti. Saya pun melambai-lambaikan tangan kanan, berlagak seperti polisi, meminta izin agar kendaraan-kendaraan yang lalu lalang dengan kecepatan sekian bersedia memperlambat laju kendaraannya agar saya bisa lewat dengan selamat.

Saya habis pulang kampung, jadi sepertinya saat itu hari minggu, kenapa hari minggu? Karena pada hari minggu saya ada pengajian di masjid taqwa pkl 14.00, jadi sudah bisa dipastikan, setiap hari minggu saya akan kembali ke ibukota. Dan hari itu sepertinya hari minggu.

Panas, panas sekali, lampung memang panas, dan anak kecil itu, dengan potongan rambut yang menyerupai anak-anak band, melambai-lambaikan barang dagangannya, dari satu kendaraan menuju kendaraan yang lainnya. Anak kecil itu, lelaki, saya lebih suka menyebutnya dengan istilah bocah lelaki. Ia menjajakan Koran, di siang hari yang panas menyengat saat itu, luar biasa, saya saja rasanya sudah seperti terpanggang, dia senang-senang saja melenggang.

Saya mengamati, sukanya mengamati, melihat, memperhatikan, bocah lelaki itu tidak sendirian, ada beberapa bocah-bocah lainnya yang juga berada di sana, di tengah-tengah, antara jalan yang satu dengan jalan yang lainnya, sebelah-menyebelah. Ada yang mengamen, ada yang menjulurkan tangan meminta-minta belas kasihan, ada yang menjajakan Koran.

Saya berlari, dari sisi jalan yang satunya, menyebrangi jalan, anak lelaki itu masih dengan semangat menjajakan korannya, saya tidak ingin membeli pada awalnya, tetapi ‘de beli satu, berapa harganya?’ dua ribu kata anak itu pada saya, ok saya ambil satu. Bocah itu memberikan Koran itu pada saya, kemudian mencoba mencari kembalian dari uang sepuluh ribu yang saya berikan, ‘kamu gak sekolah d?’ begitu saya bertanya ‘sekolah mbak’ ia menjawab sembari sibuk dengan membongkar saku celana, saku bajunya, kembalian itu belum juga ada.

Tinggalnya dimana de? Saya bertanya ‘di PU mbak’, PU sekitar beberapa ratus meter dari simpang jalan unila, ‘kenapa ndak jualan di sana aja de?’, ‘wah di sana udah rame mbak, makanya saya jualan di sini’ begitu jawabnya sembari sibuk mencari uang kembalian. Lalu ‘kenapa nggak ngamen aja de, itu kayak anak-anak yang laen’ begitu saya bertanya. ‘wah malu mbak, mendingan saya jualan Koran, dari pada ngamen-ngamen kayak gitu’ intinya dia katakan, mengamen tidak jauh berbeda dengan meminta-minta.

Saya pikir ada benarnya juga, kadang mereka yang menjajakan suara yang sebenarnya begitu pas-pasan itu. Hanya menyanyi sekedarnya, ‘ecek-ecek’ belum juga lagu dinyanyikan, tangan sudah menjulur minta bayaran, ya ya ya bocah lelaki ini ada benarnya.

Kembalian itu belum juga ada, tidak juga menyembul dari kantong celananya. Lalu, ‘memang berapa harga korannya?’ ‘dua ribu mbak’ begitu jawabnya ‘ok, kembalikan sama mbak lima ribu, sisanya untuk kamu’ begitu saya katakan padanya. Bukan saya ‘sok’ berlagak menjadi dermawan, atau menjadi pahlawan kesiangan, hanya saja, saya pikir apa yang bocah kecil itu lakukan, pikirkan, diluar kebiasaan, dan saya pikir, saya layak memberikan apresiasi untuk itu, yah meskipun hanya dengan uang beberapa ribu.

Saya beranjak pergi, ‘makasi ya mbak’ begitu kata bocah lelaki itu. Saya berlari, menyebrang menuju sisi jalan yang lainnya, saya pulang, dalam kepanasan, dengan semangat 45 untuk segera sampai ke asrama annisa, berlindung di dalamnya, itu bayangan saya. Dan bocah lelaki itu, masih tetap menantang matahari, dengan potongan rambut ala anak-anak band masa kini, rambutnya berwarna merah hasil besutan sang matahari, dengan poni menyebelah, yang juga panjang sebelah, dengan semangat 45, dia terus berkata ‘koran pak, koran’ begitu saya mendengarnya lamat-lamat dari kejauhan.

‘hahhhh, minum es dirasa benar-benar melegakan, tapi itu hanya sebatas angan, yang sampai ditenggorokan, tetap saja air putih yang murah meriah dan hanya itu yang tersedia di dapur kamar saya’

Friday, May 15, 2009

'Guru Muda'

“Di sini, banyak guru perempuannya ya pak” begitu ujar saya pada pak kepala sekolah MTSN 1 kotabumi. Kepala sekolah tempat saya bertugas, bahasa kerennya berdinas sebagai salah satu Tim Pengawas Independen dari kampus yang katanya hijau UNILA.

Ruang kepala sekolah, dengan sofa dan karpet hijau. Pak kepala duduk di kursi yang berhadapan dengan sofa tempat saya berada.

“ya, disini banyak guru perempuannya” begitu jawabnya, “tapi bagus, karena kalau perempuan itu kan lebih perasa, lebih sabar, lebih bisa mendidik daripada guru yang laki-laki” begitu jelas pak kepala sekolah pada saya. “oooo, iya juga ya pak” begitu jawab saya.

Diam, lalu tiba-tiba pak kepala berkata “tapi, ada gak enaknya juga”, “lho kok? Memang gak enaknya dimana pak” begitu tanya saya. “gak enaknya di saya, kepala sekolahnya” begitu jawab pak kepala.

Aneh, bagaimana bisa. Sesaat sebelumnya pak kepala sekolah bilang ‘enak’, beberapa waktu kemudian bilang ‘enggak’, bertolak belakang, jadi kembali menimbulkan pertanyaan. “kok bisa pak?” begitu tanya saya. “ya nggak enak, apalagi kalau guru-guru muda” begitu jawabnya. “o iya pak, ikut suaminya” begitu saya simpulkan, yang ada di dalam pikiran saya saat itu, pak kepala sekolah akan menjawab bahwa ‘kalau guru-guru muda, baru ditempatkan, kalau suaminya pindah tugas, maka dia juga ikutan pindahan’, tapi ternyata dugaan saya salah, bukan itu yang pak kepala ingin sampaikan.

“ya nggak enak, kalau lagi hamil muda” begitu katanya “ooo saya pikir apa” begitu jawab hati saya. Lalu “mau dekat melahirkan, pasti cutilah dia, kalau sudah begitu, kepala sekolah yang pusing cari guru penggantinya” begitu terang pak kepala. “iya juga ya pak” begitu balas saya. “ya iya, belum lagi kalau anaknya nanti lahir, mulailah dia datang terlambat, yang alasanya ngurusin anaklah, belum mandiin anaklah, belum ngasih makan, nah sudah itu kalau begitu” begitu jawab pak kepala.

Lalu, “mau dimarahin, gak mungkin, perempuan. Nanti kalau dimarahin, kita dikatakan ndak berperasaan, seperti ndak tau gimana susahnya ngurus anak. Gak dimarahin gimana, jadi serba salah” begitu keluh pak kepala sekolah. Saya hanya mengangguk-angguk, sembari sesekali menjawab “iya juga ya pak”, entah si bapak bosan atau tidak dengan tanggapan saya, tidak tahu. “ya sudah, gak bisa marah. Repot, kalau guru pengganti gak ada. Anak-anak itu ribut, tendang sana tendang sini, belum lagi kalau ada yang berantem” begitu kata pak kepala.

“iya ya pak, mereka mah seneng-seneng aja, gurunya gak masuk”, begitu jawab saya, ya itu fakta, karena saya sudah pernah menduduki bangku SLTP 3 thn lamanya. “bukan seneng lagi, malah gurunya didoakan sakit, biar gak bisa mengajar, beda sama zaman saya dulu, kalau guru nggak masuk, kita rugi, sampai gurunya dicari. Kalau anak sekarang, sudah lain lagi” begitu ujar pak kepala,. “yang lebih repot lagi, baru selesai cuti, eh sudah melendung lagi (hamil.red), kalau gitu kan cuti lagi” tambahnya pada saya dan kami berdua pun tertawa.

Benar, pak kepala benar. Tapi tidak juga bisa menyalahkan si guru muda, terlebih lagi dalam hal keinginan untuk memiliki keturunan. Masa-masa produktif seorang wanita tidak bisa ditukar atau dipindahkan ke usia 35thn – 40 thn. Sebenarnya tidak ada masalah dengan guru muda yang sedang giat-giatnya memiliki keturunan, hanya saja manajemen waktu yang tidak pada tempatnya mengakibatkan salah satu menjadi terkorbankan

Apa benar begitu? Siapa yang menjadi korban? Murid-murid kah? Entahlah, kenapa saya menjadi agak sedikit sangsi. Kenapa? Karena setahu saya, anak-anak akan menjadi sangat senang begitu mendapat kabar “ibu ini gak masuk atau bapak ini gak ngajar”.

Yah, suka atau tidak, beginilah salah satu potret dunia pendidikan yang ada di negeri kita, Indonesia.

Thursday, May 14, 2009

Tidak begitu penting

Panduan Lengkap Nikah dari "A sampai Z" , buku itu agak geli ketika saya membayarkan sekitar RP. 72.000, untuk membawanya turut serta bersama saya.

Mbak putri teman liqa saya berkata "cieee...bla...bla..." intinya, si mbak-mbak menertawai saya yang dianggap masih kecil, tapi buku bacaannya sudah macam-macam saja. Sebenarnya, membeli buku itu bukan karena saya 'mau menikah', tapi hanya iseng saja. Sebab, kalau dipikir-pikir, membeli buku dengan 'genre', nasionalis, roman, sastra, ekonomi, psikologi, pernah komunis, saya begitu antusias membeli, lalu mengapa buku ber-genre- ini (pernikahan. red) begitu enggan saya membelinya. Padahal, harganya jauh di bawah harga buku-buku yang lainnya.

Semua tertawa, saya hanya diam saja lalu "ya mbak, kan dibacanya cuma buat pengetahuan. Masak baca bukunya pas sudah nikah, itu kan telat mbak. Sama seperti baca buku tentang mendidik anak, pas sudah punya anak", begitu kilah saya. Atau lebih tepatnya mencari pembenaran agar tidak bertambah kencang rasa malu menggerogoti hati hingga seluruh tubuh ini. Lagi pula, saya memang membutuhkan buku itu, sebagai bahan referensi untuk mereka yang nanti-nanti kembali bertanya tentang hal pernikahan pada saya, aneh*.

Mbak-mbaknya, masih saja tertawa, kemudian "itu bener, cep itu gak salah. Gak ada salahnya, memang harusnya baca bukunya sebelum prakteknya", ya kira-kira begitu murabbi saya membela.

Lalu, "awas ya cep, kalau ngeduluin mbak-mbaknya. Pokoknya gak boleh", begitu kelakar salah seorang dari mbak-mbak saya itu.

Pikir-pikir, siapa juga yang mau 'nikah', membayangkannya saja sudah cukup membuat saya terkadang ketakutan. Seorang dosen saya berkata "kamu seperti fobia, seperti pernah trauma akan sesuatu". Trauma? sepertinya tidak juga, hanya saja, hampir bisa dipastikan setiap kali ada yang berkata ingin melamar saya, entah kenapa rasa mual itu hadir tiba-tiba, kadang saya tidak bisa bernapas karenanya, atau terkena demam selama berhari-hari, ini lebih aneh lagi**.

Thursday, May 7, 2009

fase bahaya

Apa yang akan kamu lakukan bila ada seorang pemuda yang baik dalam keturunan, berasal dari keluarga yang berada, yang memiliki wajah yang tampan dan rupawan, yang Insya Allah baik dalam agama, tiba-tiba berkata "maukah kamu menerima saya?", "maukah kamu menjadi istri saya?", dan dia lebih muda dua tahun dari saya
Saya hanya bertatap muka sekali saja, itu pun tidak lama, hanya beberapa menit agaknya.

Tuesday, May 5, 2009

Dia bilang saya tuli

Burung-burung itu berkicau, satu sama lain saling bertanya kabar melalui cicitan yang mereka keluarkan, yang mereka perdengarkan. Indah, indah sekali, kadang tidak bisa dilukiskan, bahkan dengan kata-kata sekalipun.

Pagi, pkl 05.45. Saya terbangun setelah sebelumnya sepupu saya berkata ‘…sudah sholat shubuh atau belum?’, serentak saya kemudian beranjak, angkat kaki menuju kamar mandi. Saya bangun kesiangan, sekitar pk 05.15 pagi, setelah sebelumnya tidur terlambat, pkl 02.30 pagi.

Entah apa yang saya lakukan, sampai tidur sedini hari itu, tidak ada, hanya duduk menghadapi layar monitor, sembari menjelajah dunia maya, dalam kegerahan, dalam kebingungan, karena saya sedang kehilangan arah dan tujuan.

Pagi ini, mencoba kembali dengan mengingat-ingat percakapan dengan seorang kawan yang tidak begitu saya kenal. Percakapan dengan seorang wanita, entah juga pria. Dia memarahi saya, kesal dengan perbincangan antara dia dan saya. Mengapa? Karena berkali-kali bertanya, “kamu co atau ce?”, saya selalu menjawabnya dengan berkata “pria atau wanita tidak begitu penting”, begitu jawab saya padanya, berulang kali, berkali-kali.

Awalnya dia katakan bahwa dia seorang pria, semester 8, jurusan teknik elektro, dan saya percaya dengan keterangan yang dia berikan. Lama, entah bagaimana, dia mulai bertanya siapa saya sebenarnya, laki-laki kah? Perempuan kah? Dia pikir saya perempuan pada awalnya, lalu menjadi ragu karena nama dan gaya saya berbicara tidak nampak seperti perempuan pada umumnya. ‘Hmhhh’ hingga akhirnya selama berjam-jam dia bertanya, “kamu ini co atau ce”, “retorika” begitu jawab saya, karena memang tidak perlu dijawab.

Lama, berjam-jam kemudian, dia katakan bahwa dia seorang wanita berumur 26 tahun yang sudah bekerja, ‘jadi dia sudah berbohong pada saya’, begitu pikir saya. Tapi benarkah dia wanita? Entahlah, tidak begitu penting agaknya. Jadilah dia bercerita tentang hal “Gw, ditinggalkan pacar gw ke Balikpapan, gw sudah hancur”, begitu katanya. Saya pikir dia hancur hatinya, patah hati menurut istilah orang Indonesia, dan broken heart menurut orang barat sana. Ternyata, hancur itu bukan hatinya, bukan perasaannya, tetapi dirinya, ia sudah tidak perawan lagi, begitu katanya, begitu penuturannya pada saya.

Seperti angin lalu saja saya menanggapinya, berkali-kali dia meminta saran, selalu saya katakan “bertaubat mbak”, “hanya itu”, begitu katanya, “ya hanya itu”, jawab saya. Berkali-kali dia menyalahkan dirinya, dan berkali-kali itu pula saya berkata “jangan terlalu didramatisir mbak, yang lebih dari mbak (menderitanya) banyak”, begitu jawab saya.

Entahlah, agak enggan menanggapinya, bukan karena tidak berempati, tetapi perasaan saya mengatakan dia bukan wanita, melainkan lelaki, pria. Semakin mendekati dini hari, saya masih terus saya berkutat dengan kepala dan hati yang bersikeras untuk kembali tersinkronisas-lagi, tetapi buntu. Dan lawan bicara saya itu masih dengan teguh bertanya “kamu co atau ce”, ‘tidak penting’ lagi-lagi begitu saya menjawabnya, hingga akhirnya emosinya memuncak, dia mulai menampakkan kekesalannya, dia katakan saya “tuli”, saya “sepatu”, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Saya balas dengan “terima kasih mbak, saya merasa tersanjung”, dia semakin meradang. Saya tidak peduli, bahkan biarpun wajahnya memerah padam, saya tidak peduli. Akal pikiran dan hati memiliki urusan sendiri, saya masih punya sesuatu yang lebih penting, sesuatu yang harus saya pikirkan, tentang “mengapa saya tidak mau berpikir”, tentang “missorientasi yang belum juga teratasi, tentang “dunia yang 1 – 0 atas akhirat”.

Saya biarkan si mbak/mas dalam kekesalan, hingga ia mengakhiri percakapan tanpa salam, salam? Saya sendiri tidak yakin pada keyakinan yang dianutnya, bapak ‘nasrani’, ibu ‘muslim’ begitu katanya, tidak jelas. Tapi, ini dunia maya, dan manusia dianjurkan untuk tidak berkata jujur di dalamnya, benar begitu? Sepertinya begitu.

Monday, May 4, 2009

Segelas susu + kerupuk + air putih

sahur...3x

Lapar, Pkl 00:04 sudah masuk hari senin.

Sahur, kata seorang teman, "sudah kenyang dapat pahala pula". Maka sahurlah saya dengan segelas susu plus krupuk jange', ya kerupuk jange' namanya, menurut orang-orang sini, daerah ini, propinsi ini, entah apa namanya kalau itu kerupuk sudah keluar propinsi.

Pkl 00.30, belum juga lelap. Ngapain?

Bang Rhoma bilang "begadang, jangan begadang. Kalau tiada artinya. Begadang boleh saja, kalau ada perlunya.....". Saya? Begadang, bukan kerana ada perlu, tetapi karena kepala dan hati saya berkata, hingga memerintahkan untuk begadang "karena perlu" menurut mereka. Ya ya ya, hati dan kepala sedang ndak sinkron, alias ndak kompak, yang satu ke utara, yang satu ke selatan. Buntut dari dunia dan akhirat yang sedang berada dalam keadaan tidak seimbang.

Sahur-sahur, sahur dengan seadanya, dengan satu gelas susu , kerupuk, plus air putih. Yah kalau sudah begini jadi ingat rumah, 'fyuhhh', ingat rumah hanya ketika susah, payah !!!.



Sunday, May 3, 2009

Cantik versi nafsu dan hati

"Nafsu mengatakan wanita cantik itu atas dasar rupa, akal mengatakan wanita cantik itu atas dasar ilmu & kecerdasan, dan hati mengatakan wanita cantik itu atas dasar akhlak & kepribadian".
Kalimat di atas, disampaikan seorang kakak tingkat saya, setelah di facebook wall, saya katakan saya "cantik".
hah, cantik? Gdubbrakkk, gak salah? pede amat? kok bisa
yah sedikit banyak saya tahu apa yang kalian pikirkan, percaya diri sekali saya dengan mengatakan, mengkategorikan diri saya ke dalam kategori cantik. Tapi tunggu dulu, ada alasannya, ada asal muasalnya.

Sebelumnya, pada facebook wall, saya katakan saya "tampan", yah memang menurut rekan-rekan di kampus, khususnya yang wanita, katakan saya tampan. Tetapi, tak lama, seorang teman wanita saya protes, menurutnya saya tidak tampan, tetapi saya cantik.

Selang beberapa menit kemudian, Facebook error, mungkin karena 'bejibun' yang mengakses ini situs, dan situs pun saya tutup.

Hari pun berganti, siang pun menjadi malam. Dan malam ini, membuka chat box antara saya dengan kakak tingkat saya, dalam memori chat box-nya, dia berkata seperti yang tertulis di awal cerita saya. Tentang cantik itu seperti apa menurut versi nafsu dan hati, dua makhluk tak kasat mata yang sangat berlawanan.

Kalau dipikir-pikir, dirasa-rasa, dikira-kira, diam, tidak melakukan apa-apa, hanya membaca, mau tertawa, karena tidak lucu, ya saya tidak jadi tertawa, mau menangis, karena tidak sedih, ya saya tidak jadi menangis. Hanya bisa diam, lalu menarik kesimpulan bahwasannya
"saya tidak masuk ke dalam kriteria keduanya, tidak masuk ke dalam kriteria cantik menurut si 'nafsu', tidak juga masuk ke dalam kriteria cantik menurut si hati"

Kok bisa ya???

The music of the night



I have brought you to the seat of sweet music's throne ...
to this kingdom where all must pay homage to music ...
music...

You have come here, for one purpose, and one alone ...
I first heard you sing,
I have needed you with me, to serve me, to sing, for my music ...
my music ...

Night-time sharpens, heightens each sensation ...
Darkness stirs and wakes imagination ...
Silently the senses abandon thier defences ...

Slowly, gently night unfurls its splendour ...
Grasp it, sense it - tremulous and tender ...
Turn your face away from the garish light of day,
turn your thoughts away from cold, unfeeling light -
and listen to the music of the night ...

Close your eyes and surrender to your darkest dreams!
Purge your thoughts of the life you knew before!
Close your eyes, let your spirit start to soar!
And you'll live as you've never lived before ...

Softly, deftly, music shall surround you ...
Feel it, hear it, closing in around you ...
Open up your mind, let your fantasies unwind,
in this darkness which you know you cannot fight -
the darkness of the music of the night.

Let your mind start a journey through a strange, new world!
Leave all thoughts of the world you knew before!
Let your soul
Take you where you long to be!
Only then can you belong to me ...

Floating, falling, sweet intoxication!
Touch me, trust me, savour each sensation!
Let the dream begin,
let your darker side give in to the power of
the music that I write - the power of the music of the night ...

You alone can make my song take flight -
help me make the music of the night ...

Saturday, May 2, 2009

Induk Semang kembali ke sarang

Chapter 4

Sudah 2 hari berlalu sejak malam keakraban itu. Mas endi yang tadinya ingin ikut berbicara, tapi tidak jadi

“mbak sekar saja yang ngomong” begitu katanya.

Tidak ingin begitu memberatkan mas endi untuk urusan asrama sekarwangi ini, meskipun sejatinya, ini memang merupakan tugas mas endi dan istrinya. Tetapi tidak tega rasanya, pikirku, beliau sudah cukup disibukkan dengan memikirkan kemana dan dimana istrinya kini. Mungkin ada rasa malu, tapi tak nampak mas endi tunjukkan itu. Dan bagi veni, putri mas endi, apa dia tahu kenapa ibunya pergi? Apa dia mengerti mengapa ibunya bisa pergi? Kadang orang dewasa, bisa lebih kekanak-kanakan daripada anak-anak yang sesungguhnya.

Kasihan sebenarnya, rasa ibaku bukan pada mas endi, tetapi pada veni. Setiap harinya, mencuci pakaian milik dia dan bapaknya seorang diri, kadang menemukan dia sedang menonton televisi sembari menyantap mie.

Hampir dua bulan sudah berlalu, tidak ada yang tahu dimana mbak eni berada kini, tidak pula terdengar kabar dari keluarganya yang berada di kampung sana, aku lupa dimana kampung mbak eni berada. Entah apa alasan yang memicu kepergiannya malam itu, yang jelas sampai saat ini kami tidak tahu dimana keberadaan induk semang kami itu kini.

Dan keesokan paginya, setelah malam keakraban diadakan, aku menemukan pengumuman yang terpasang di lantai 1 gedung B

“…..kalau mau naik ke lantai 2 – 3, sendalnya dilepas,….. gak ada yang bisa disuruh-suruh di sini”

Ingin sekali tertawa geli, pasalnya, setahuku gedung B asrama sekarwangi, agak sulit untuk diatur bila sudah menyangkut hal kebersihan.

Sebulan kemudian berlalu, induk semang sudah kembali ke sarang, dalam kelelahan dan kepayahan nampaknya. Dengan wajah pucat pasi, dengan rambut kusut masai, dengan tubuh kurus seperti habis dimakan pikiran. Induk semang sudah pulang, pulang dalam kekalahan, seperti menelan kekalahan yang pahit dan menyakitkan, bukan pulang dengan wajah senang penuh kemenangan.

Tak nampak ia keluar dari kamarnya selama beberapa hari semenjak kepulangannya, selain hanya berdiam diri di kamar. Entah apa yang ia kerjakan, tidak itu membersihkan lingkungan asrama yang sudah nampak berdebu di mana-mana, tidak juga nampak bercengkrama dengan anak-anak penghuni asrama annisa. Ia hanya diam, entah karena apa, dan ketika salah seorang anak asrama bertanya perihal kepergiannya yang entah kemana, induk semang hanya berkata ‘pulang kampung mbak’, ya ia hanya menjawab singkat dengan senyum sekenanya, pulang kampung katanya.

Aku menjabat tangannya, tidak ingin terlalu banyak membebaninya dengan tanya selain

‘apa kabarnya mbak?’

‘baik’ begitu katanya

Induk semang ku sudah kembali ke sarang, nampak genderang penyambutan itu sudah ditabuh, bertalu-talu. Hampir seluruh penghuni asrama jadi tahu, tetangga kiri-kanan, yang merasa mengenal induk semangku itu, berlomba-lomba menjadi orang yang sok tahu, perihal kepergian dan kembalinya induk semangku itu.

Genderang itu terus saja berbunyi, bertalu-talu, entah siapa pula yang menabuhnya, perlahan berita kembalinya sang induk semang, menjadi sesuatu yang nampak seperti layak untuk diperbincangkan, menjadi konsumsi publik, menjadi berita-berita picisan, menjadi makanan lezat dan nikmat bagi wanita-wanita penggila gossip kelas asrama maupun kelas ibu-ibu yang berada di sekitar asrama. Induk semangku itu, sudah layaknya selebritis kelas ibu-ibu penjaga asrama.

Masih berjalan dalam diam, meninggalkan perkara kembalinya sang induk semang kembali ke sarang, ke dalam lingkungan asrama. Dan bulan itu, tak lagi nampak suram, gambaran terang sang bulan nampak terlihat jelas dari balik kaca kamar mandi asrama. Sang bulan separuh, sabit, sudah nampak terang benderang, cantik, tanpa cacat namun tidak begitu bila dilihat dari dekat, lekat.

--Selesai--

Makanya jangan makan daging babiiii

Jakarta, Kompas - Penyebaran virus influenza tipe A atau H1N1 yang sebelumnya dikenal sebagai ”flu babi” telah sampai pada tahap penularan antarmanusia. Untuk mencegah terjadinya pandemi, pengendalian virus harus difokuskan pada manusia sebagai sumber penularan.

Menurut guru besar Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Agus Sjahrurachman, dalam diskusi, Jumat (1/5) di Jakarta, kewaspadaan pandemi influenza telah memasuki fase lima yang ditandai penularan dari manusia ke manusia setidaknya di dua negara dalam satu kawasan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Hal ini berarti sumber penularan adalah manusia melalui udara. ”Ini berbeda dengan flu burung di mana hewan sebagai sumber penularan dan faktor lingkungan jadi penting. Pada kasus penyebaran virus influenza A, unsur manusia yang berperan penting dalam penyebaran virus itu,” ujarnya.

Salah kaprah

Pengamat masalah veteriner, dr drh Mangku Sitepu, menilai telah terjadi salah kaprah dalam penanganan wabah raya influenza A. Karena disebut sebagai flu babi, pemusnahan ternak babi dan penutupan peternakan babi terjadi di banyak tempat dan mengakibatkan kerugian ekonomi sangat besar.

Berjangkitnya serangan influenza A mendorong pemerintah melarang sementara impor hewan babi dan produk turunannya yang belum diolah. Tindakan itu ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 16/M- Dag/PER/5/2009 dan berlaku mulai 1 Mei 2009.

Menperdag Mari Elka Pangestu di Jakarta kemarin mengatakan, keputusan ini merupakan tindak lanjut sidang kabinet terbatas, rapat koordinasi, dan Keputusan Menteri Pertanian No 1977/Kpts/PD.620/4/2009.

Menurut staf Divisi Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, dr Leonard Nainggolan, ”Yang terpenting adalah memperketat pengawasan di pintu-pintu masuk orang yang datang dari luar negeri, khususnya di bandara internasional.”

Kemarin di Semarang, Jawa Tengah, Menhub Jusman Safeii Djamal mengimbau warga negara Indonesia tidak berkunjung ke Meksiko dan negara lain yang sudah punya kasus flu babi.

Alat diagnosa

Universitas Diponegoro menyiapkan alat diagnosa dan deteksi dini sebagai langkah antisipasi penyebaran flu babi. ”Kami telah memiliki beberapa peralatan untuk mendeteksi gejala influenza A,” kata Rektor Undip Susilo Wibowo, Jumat di Semarang. Alat deteksi itu antara lain polymerase chain reaction (PCR) yang berfungsi menggandakan DNA.

Menurut Susilo, dengan mengambil sampel dari pasien terduga dan menelitinya dengan alat ini, penanganan tepat terhadap pasien dapat dilakukan.

Sementara itu, pengelola RSUD Abdul Moeloek menemukan sekitar 1.000 dari 6.200 obat oseltamivir cadangan untuk antisipasi penderita influenza A

dalam kondisi kedaluwarsa. Pihak rumah sakit mencoba mendapatkan obat baru untuk menggantikan obat yang kedaluwarsa itu.

Dari Bali, Menkeu sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pihaknya memastikan seluruh peserta Sidang Tahunan ADB akan diperiksa saat memasuki Denpasar.
Qs 2 Al Baqarah 173

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Qs Al An 'am 144

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Hmm, Alhamdulillah saya lahir dalam keadaan muslim ho...3x

Friday, May 1, 2009

Anak sekecil itu

Chapter 3

Kepergian mbak eni tidak begitu berpengaruh pada asrama kami, sepertinya. Tetapi tidak begitu bagi mas endi dan seorang putrinya, veni. Anak itu sudah mulai menginjak masa remaja, sewaktu kali mencoba mengajaknya bercakap-cakap, aku baru sadar, dia sudah mau masuk kelas 1 SMP.

“lagi ngapain ven? Main masak-masakan ya?

Gadis kecil itu hanya mengangguk saja, membelakangiku, sembari sibuk dengan acara pura-pura masak-memasaknya.

Ada sedikit rasa iba yang kutujukan pada gadis kecil ini. Anak sekecil itu sudah harus ditinggal ibunya yang pergi entah kemana. Anak seumur dia, sudah harus mendengarkan pertengkaran ayah dan ibunya yang terjadi hampir di setiap malamnya. Mungkin ia tidak begitu mengerti, tetapi aku yakin lambat laun itu akan mempengaruhi psikologinya yang masih rentan karena usianya yang masih tergolong anak-anak menurutku.

“kalau tengah malem berantem, gak lama tu, kedengeran suara anak kecil nangis ‘kar”

Begitu ujar reni pada ku, beberapa waktu yang lalu, sudah hampir setengah tahun yang lalu dia bercerita tentang hal itu. Tapi aku hanya menganggap angin lalu, pikirku saat itu, pertengkaran itu bukan urusanku.

Lambat laun, kepergian mbak eni, sedikit demi sedikit mulai memberi dampak pada asrama sekarwangi 1 ini. Jadwal dinyalakannya mesin air, sudah tidak teratur lagi, asrama semakin lama, semakin tidak terawat saja. Meskipun, pada kenyataannya, pada saat mbak eni masih ada di sini, ia pun bisa dihitung dengan jari kapan membersihkan gedung dan lingkungan di sekitar asrama ini.

Suatu kali, petugas yang biasa mengambil sampah dari asrama ini, mulai mengeluhkan keterlambatan kami dalam membayar retribusi. Mas endi yang merasa tidak tahu menahu, menyerahkan pada salah seorang anak asrama, yang juga adikku.

“saya itu capek mas, sudah nagih uang sampah baik-baik, malah dimarah-marahin lagi. Saya gak mau lagi ngurusin uang sampah, biar diganti orang lain aja”

Adikku itu pergi begitu saja, meninggalkan masalah yang belum sempat kami bicarakan solusinya.

Malam itu, petugas retribusi sampah mendatangi asrama ini, mas endi pun mau tidak mau memanggil adikku itu. Entah seperti apa kejadiannya, yang aku tahu petugas retribusi itu, mengeluh dengan menggunakan emosi.

“ya sudah mas, nanti kita adakan makrab (malam keakraban) saja” Aku mencoba menengahi.

Tak sempat aku bertemu dengan petugas retribusi itu, adikku pergi meniggalkan aku, mas endi dan dua orang anak asrama yang lainnya.

“kamu berdua yang urus ya de, nanti insya Allah di makrab kita bicarakan semua” Begitu ujarku pada kedua anak asrama itu.

“saya mah ikut aja mbak sekar, habis saya juga gak ngerti” ujar mas endi pada kami saat itu.

Wajar kalau mas endi tidak tahu menahu, karena memang yang mengurusi asrama dan segala tetek bengek lainnya, mbak eni semuanya.

Beberapa hari kemudian, malam keakraban pun jadi dilaksanakan. Memang tidak banyak yang datang, tetapi aku rasa cukup mewakili ke 40 kamar yang ada di asrama ini. Mencoba memberi pemahaman pada adik-adik yang datang. Mengapa adik-adik, ya karena memang bisa dikatakan, di asrama ini aku sudah tergolong lebih tua dibandingkan mereka. Aku menghuni asrama ini sejak taun 2003, sedang mereka 2005 sampai 2008 tahun lalu.

Memang bukan hanya aku yang dituakan di asrama ini, ada beberapa orang lagi, hanya saja pada saat itu, mereka ada yang datang terlambat, ada pula yang memilih untuk tidak datang.

Masalah retribusi sampah sudah terselesaikan, semua penghuni setuju bahwasannya uang retribusi per kamar akan dibayarkan lunas langsung pada mas endi. Masing-masing kamar, wajib menyerahkan Rp. 12.000 rupiah setiap tahunnya.

“ada lagi yang mau komplain? Tentang jam malam mungkin? Atau tentang kenapa pada saat listrik padam, tamu-tamu tidak boleh datang”

“umm saya mau komplain mbak. Asramanya sekarang kotor” Begitu ujar salah seorang penghuni asrama.

“oh iya, memang kotor sekali de. Mbak juga ndak betah. Gini aja, kira-kira, tega nggak membiarkan mas endi membersihkan 3 gedung asrama? Kira-kira tega nggak, melihat mas endi naik turun tangga, dari lantai satu sampai lantai 3?”

Mereka hanya diam, tidak ada yang menjawab, tidak juga ada yang menanggapi.

“ya sudah, begini saja. Kita kan tahu, mbak eni sedang pergi. Jadi untuk urusan kebersihan asrama, baiknya kita tanggung sama-sama. Mulai dari buang sampah jangan sembarangan, kalau misalkan ada yang nyapu lantai, kotorannya jangan disapukan ke tangga, tapi disekop, trus masukin ke kotak sampah. Gimana? Setuju ya? Asrama ini rumah kedua buat kita semua yang ada di sini, jadi kebersihannya jadi tanggungan kita bersama” begitu jawabku

Seperti pidato singkat, agak khawatir kalau adik-adik itu akan semakin keras memprotes apa yang terjadi pada asrama ini. Tetapi, Alhamdulillah mereka mau mengerti. Masalah pun terselesaikan, tidak ada yang keberatan menyangkut kebersihan asrama dan siapa yang bertanggungjawab dalam membersihkannya. Tidak juga ada yang merasa keberatan dengan jam bertamu yang diterapkan, lambat-laun, penghuni asrama ini sudah merasa nyaman dan terbiasa dengan peraturan yang ada, hingga akhirnya seorang penghuni berkata di saat terakhir malam keakraban saat itu.

“asrama ini, sudah kondusif mbak, nggak masalah kok dengan jam bertamunya, cuma itu mbak, suara knalpot motor yang bertamu itu lho mbak, mengganggu. Kalau motor cewek sih, gak apa, tapi tu kan motor cowok” begitu jelasnya

“iya, mbak ngerti, mbak juga keganggu de, padahal mbak ada di lantai 2, apalagi kalian yang tinggal di lantai 1, pasti berisik banget. Gini aja, coba diingatkan baik-baik yang punya motor, ya kalau masih ndak mau juga. Ya sudah mau bagaimana lagi, harusnya yang punya teman itu, yang sudah kasih tau temennya bagaimana adab bertamu di asrama ini”

-bersambung-