Pages

Saturday, October 7, 2017

Bagaimana ketika anak balita meniru dan mem-bully

Saya punya dua anak, salah satunya seorang perempuan. Berbeda dengan adiknya yang lebih terlihat tidak peduli dengan bagaimana orang lain berpijak, anak perempuan saya seperti mencari siapa idolanya, selain ibu & ayahnya.

Anak lelaki saya bisa dengan santai, pulang ke rumah, ketika teman-temannya sedang sibuk bermain. Alasannya "capek ibu, mau main sama ibu, aku lapar". Tidak tampak terpengaruh, pecah konsentrasi yang begitu berarti, ketika tiba waktu makan dan suara teman-temannya berlarian di depan unitnya.

Anak perempuan saya?

Berbeda, setiap perbedaan adalah keindahan, perbendaharaan pengalaman. Di tempat saya tinggal, ada beberapa anak yang se-umuran dengannya, ada juga yang usianya lebih tua tapi tidak terpaut terlalu jauh. Tetapi, cukup bisa memberi pengaruh pada putri saya yang sedang mencari siapakah idola terbarunya.

Beberapa kali, ketika pulang dia berkata "mau beli ini ibu, mau itu, aku mau seperti princess elsa, princess ana". Lalu saya bertanya "princess elsa itu apa, princess ana itu apa, siapa?". Saya meminta dia menjelaskan, menggambarkan apa yang dia dapatkan dari teman-temannya. Sedikit pengetahuannya tentang itu, karena memang saya meminimalisir segala sesuatu tentang hal-hal yang berujung pada penokohan karakter imajinasi, khususnya putri putri an ini.

Awalnya, tidak begitu mengkhawatirkan, tapi lambat laun, putri saya mulai merengek, meminta dibelikan, bertanya kenapa dia tidak punya seperti apa yang temannya punya, hal putri itu. Dia mulai berpura-pura memiliki rambut yang panjang, bertanya mengapa tokoh kartun itu pakaiannya terbuka dan lain sebagainya.

Akhirnya, saya menunjukkan pada putri saya, seperti apa putri di dunia nyata. Bahwa, dalam imajinasi, siapa pun bisa menggambarkan karakter putri sesuai dengan keinginannya. Berambut panjang kah, pendek kah, atau tanpa rambut sekali pun. Dan bahwa cantik itu bukan dari pakaian, atau rambutnya, tapi dari hatinya, tingkah lakunya, begitu seterusnya. Dan dia bisa menggambar princess sesuai dengan imajinasinya sendiri.

Lalu, drkegiatan meng-imitasi kartun karakter ini pun mereda.

Tapi, hal lain tiba. Ketika suatu kali putri saya pulang, dalam wajah kelabu, tak, dia tak menangis. Tapi saya dapat menangkap sedih di wajahnya.

Kenapa?

"Dia, gak mau temenan sama aku. Karena aku bajunya gak seperti dia" begitu jelas putri saya. Dan saya memang melihatnya, ketika dua orang temannya dengan baju serupa, bergandengan tangan, menjauhi putri saya. Dengan yang seorang, yang usianya lebih tua beberapa bulan dari putri saya berkata "jangan main sama dia, dia kan bajunya gak princess seperti kita". What??? This is wrong, dan yang saya sayangkan, teman saya yang juga merupakan ibu dari putri kecil itu, hanya terdiam, tidak meluruskan putrinya.

Di dalam rumah, saya peluk putri kecil saya. Saya kembali ingatkan dia, kalau temanmu belum mau bermain dengan kamu, biarkan. Saya kembali mengingatkan dia, tentang bagaimana rupa putri di dunia nyata. Saya jelaskan padanya tentang cantik itu seperti apa, tentang pentingnya menjadi dirinya sendiri, membangun hatinya, menanamkan di dalam kepalanya tentang jati dirinya. Dia adalah dia, ayah & ibunya bangga padanya dengan semua yang ada pada dirinya.

Sorry to say, saya jelaskan pada putri saya tentang tujuan para produsen yang menjadikan orang tua dan anak-anak sebagai sasaran marketing mereka. Yang menjejalkan hal princess dan super hero yang tidak ada di dunia nyata, untuk tujuan komersil, penokohan fiktif yang menurut saya sedikit demi sedikit mem-brainwashed pikiran anak-anak yang polos ini, untuk membentuk mereka bukan menjadi diri mereka sendiri.

Ini, alhamdulillah terlewati. Apapun pakaian yang temannya pakai, bagaimana pun temannya mempengaruhi tentang betapa cantiknya pakaian princess itu, putri saya tidak lagi terpengaruh.

Lain hari, lain pula cerita.

Ada alasan kuat kenapa anak-anak sebaiknya tidak bersekolah di bawah usia seharusnya. Menurut atasan seorang teman saya, bersekolah lebih dulu dari teman-teman sebayanya, membuatnya kini menjadi 'anak bawang' di kantornya, terdominasi, kurang diperhitungkan, itu salah satu alasannya.

Putri saya, sedang mencari idola lain di luar keluarga intinya.

Dia bertemu dengan teman yang salah satunya terpaut usia hampir 1 tahun lebih tua dari usianya. Dan yang terjadi adalah temannya berusaha mendominasinya, memaksakan kehendaknya pada putri saya, memprovokasi anak-anak yang lainnya untuk tidak berteman dengan A, B, atau C, bila tidak sesuai dengan mau & inginnya. Putri saya pernah berada pada situasi itu.

Ketika dia tiba-tiba pulang, dengan sepatu yang baru saja dipakainya. Temannya tidak mau bermain dengannya, lantaran sepatu yang dipakai oleh putri saya tidak memilki 'heels' seperti sepatunya. Temannya, tidak mau bermain dengan putri saya, lantaran putri saya menolak memakai sepatu heels milik temannya. Karena memang saya melarangnya, dan yang terjadi putri saya dijauhi, gadis kecil itu memprovokasi anak-anak lainnya untuk tidak bermain dengan putri saya, karena tidak mengikuti keinginannya.

Dengan wajah lesu, dia melepas sepatunya, sambil memeluk, saya berkata "kalau temanmu, belum mau bermain dengan kamu, tak apa, biarkan, mungkin dia sedang butuh waktu".

Lalu, mulailah putri saya bertanya tentang alasan mengapa saya tidak merekomendasikan dia untuk menggunakan sepatu dengan 'heels' itu. Pertama, itu bukan sepatu miliknya, kedua sepatu dengan 'heels' tidak sehat untuk pertumbuhan tulang kakinya, ketika " did you comfortable with that shoes?" dia menggeleng, dia merasa tidak nyaman. Jadi? Kalau kamu merasa tidak nyaman, tinggalkan, jangan dipakai, buatlah dirimu nyaman, jadilah dirimu sendiri. Kalau temanmu, belum mau bermain bersamamu karena sepatumu berbeda, bajumu berbeda, atau karena kamu tidak menuruti kemauannya, tinggalkan, jangan rusak hari mu, kamu masih bisa bermain dengan ibu, kita bisa memasak bersama, atau kamu bisa membuka-buka bukumu. Karena putri saya belum dapat membaca.

Apa yang saya dapatkan adalah bahwa tidak pernah ada kata terlalu kecil untuk mem-bully.

Saya tekankan, pesankan pada putri saya, kalau dia tidak merasa nyaman ketika temannya tidak mau bermain dengannya, maka jangan perlakukan anak-anak lain seperti apa yang pernah dilakukan temannya padanya.

Mengawasi setiap kali dia bermain, karena ada saat dimana, putri saya mem-bully anak lain yang lebih inferior darinya. Dan tugas saya meluruskannya.

Kegiatan meng-imitasi terlihat lucu, tapi menurut saya menjadi masalah ketika anak-anak kehilangan jati dirinya. Terlalai kan untuk berkembang, tumbuh menjadi dirinya sendiri, dan lebih merasa nyaman untuk berpura-pura menjadi tokoh kartun idolanya. Saya pikir mungkun itulah salah satu alasan kenapa make-up menjadi semakin laris penjualannya, operasi plastik semakin marak, keinginan kita untuk memenuhi lemari dengan jilbab & pakaian semakin tinggi, karena kita menjadikan trend sebagai kiblat kita, kita menjadikan si anu sebagai role model kita.

Wallahualam, ini cerita saya. Setiap dapur memiliki resep yang berbeda, setiap orangtua memiliki caranya, dan inilah cara saya. Yang terutama bagi saya adalah, rasulullah tauladan yang baik, tokoh yang baik. Biarkan anak-anak kita, biasakan anak-anak kita menjadikan beliau sebagai idola, meng-imitasi jalan hidupnya, mengikuti jejak beliau, para istri, para sahabat & orang-orang sholeh-sholehah lainnya.

Bila anak-anak mu di-bully, bangun semangatnya. Dan jangan lelah meluruskannya, bila dia tanpa sepengetahuannya mem-bully temannya.

Semoga Allah meridhai jalan kita semua, aamiin.