Pages

Thursday, April 30, 2009

Mbak Eni, anak dan suaminya

Chapter 2

Mesin air itu terletak tepat di bawah tangga lantai dua. Mesin itu yang nantinya mengisi tower-tower air yang ada di asrama ini. Tepatnya ada 3 buah tower berukuran sedang, dan 1 buah berukuran besar. Biasanya, mesin air it dinyalakan 2 kali dalam sehari. Pagi pkl 5.00 dan sore pkl 16.00, dan baru dimatikan ketika tower-tower yang ada sudah penuh terisi.

Aku masih menerawangkan pikiran, tidak menyangka mbak eni akan begitu nekadnya meninggalkan anak dan suaminya. Memang, sudah sejak lama, mbak vit dan reni bercerita bahwa mbak eni dan mas endi memang sering bertengkar di malam hari. Awalnya aku tidak percaya, alasanku karena memang tidak pernah mendengar mereka bertengkar.

“kamu di atas terus sih, kita ni yang di bawah, sering bener denger mbak eni sama mas endi tu berantem. Sampe bunyi ‘ggdebbuk’ gitu. Terus ujung-ujungnya yang kedengeran suara anak kecil nangis”

Aku pikir, sudah pasti anak kecil itu veni, anak mas endi dan mbak eni. Tidak heran, karena veni pasti selalu melihat kedua orang tuanya bertengkar mengingat mereka tidur dalam satu kamar
“tapi kok aku ndak pernah dengar ya, ya dulu pernah sih sekali, tapi tak pikir itu Cuma suara gak penting”

“berantemnya itu ‘kar bukan sore-sore, tapi tengah malem, kadang jam-jam 1 tu, kita denger suara orang berantem gitu, trus kayak ada yang pukul-pukulan gitu. Ihh kalau kekerasan dalam rumah tangga gimana ‘kar? Padahal kita tau, tapi kita ndak bisa cegah”

“husshh, jangan dulu mikir yang enggak-enggak ren, belum tentu KDRT kan?”
“iya sih, tapi kan….”

Lamunanku buyar ketika mbak vit datang membawa handphone yang ia janjikan.

“nie ‘kar, tu udah mbak sambungin, kamu tinggal ngomong aja”

Ku raih handphone yang mbak vit berikan. Sebenarnya agak segan menghubungi bu aris, karena terakhir kali kami menghubungi beliau, kami sudah berkata untuk insya Allah tidak akan menghubungi beliau lagi.

Bu aris, aris bukan nama sebenarnya, tetapi nama suaminya. Kadang kami memanggil beliau dengan sebutan ibu ida lina aris. Beliau dosen di salah satu fakultas yang ada di universitas tempatku berkuliah. Baik, ramah, ya itu sedikit yang aku tahu tentang beliau. Beliau tidak tinggal di asrama ini, tetapi di rumahnya sendiri yang terletak di kawasan elit yang ada di kota ini.

Tidak begitu sering menghubungi bu aris, terkecuali untuk urusan-urusan yang dirasa penting, dan penjaga asrama kami dirasa tidak mampu memberikan solusi berarti, atau bila masalah kami memang bersangkutan dengan penjaga asrama yaitu mbak eni dan mas endi. Sudah pasti kami akan menghubungi bu aris melalui telepon selulernya, bisa dikatakan kami mengadu.

“halo assalammu’alaikum bu, saya……”
“o, iya. Kumsalam, ada apa ya…”
“bu aris bilang apa ‘kar?”

“katanya, kita disuruh nampung air dari pipa asrama sekarwangi 2 mbak. Nanti, insya Allah ibu aris secepatnya kirim orang untuk benerin mesin airnya mbak. Intinya sih, kita dilarang otak-atik mesinnya, nanti rusak”

“udah gitu aja?, trus gimana dong?”

“ya habis mau gimana, mbak eni minggat, mas endi gak ada. Ya kita terpaksa buka pipa yang diarahin ke asrama sekarwangi 2. Mbak tau nggak yang mana pipanya?”

“gak tau, mang kamu nggak tau ya?”

“ya aku juga nggak tau mbak, ya udah kita liat aja ke belakang gedung C, kan pipanya di sana”

Kami pun bergegas menuju ke belakang asrama gedung C ini, mencoba mencari-cari pipa mana yang dimaksudkan oleh ibu ida lina aris tadi. Tidak lama,

“ini kali mbak pipanya, tar ya tak coba buka tutupnya. Bismillah, mbak jangan deket-deket, setau aku ni suka muncrat airnya”

Mbak vit, menyingkir sedikit menjauh dari pipa tempat air memancar. Dan begitu dibuka, air memang mengucur deras dari pipa dan sedikit berwarna kehitam-hitaman, hitam berasal dari kotoran yang berada dari dalam pipa.

“ayo mbak, ambil ember buat nampung airnya”
“iya, bentar ya ‘kar, mbak ke kamar dulu, ambil ember”

Air terus mengalir, tidakku pasang penyumbat pipa itu, karena memang ingin sekaligus mengeluarkan kotoran yang berada di dalam pipa. Tak lama, mbak vit datang dengan embernya, namun belum lama berselang, baru menampung sekitar 2 ember berukuran sedang, pipa berhenti mengeluarkan airnya.

“yahhh airnya habis, gimana dong nih, aduh, mana baru nampung sedikit” begitu keluh mbak vit padaku

Beberapa hari sudah berlalu sejak insiden terlambatnya menyala mesin air itu. Belakangan, ternyata mesin air itu tidak rusak, hanya saja kami kurang sedikit kuat memutar tombol saklar yang mengarah ke posisi on. Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, sudah hampir sebulan mbak eni belum juga pulang, tidak juga kami mendengar kabar tentang kepulangan beliau. Nampaknya, kali ini mbak eni benar-benar serius dengan langkah yang sudah diambilnya.

-bersambung-

Wednesday, April 29, 2009

Minggatnya induk semang kami

chapter 1

Sudah hampir 1 bulan sejak kepergian mbak eni, asrama putri ini, sudah semakin nampak tak terawat saja. Awalnya aku tidak tahu menahu perihal kepergian mbak eni, penjaga asrama puteri ini, asrama sekarwangi 1. Tidak, sampai mbak vivit, salah satu penghuni asrama lantai satu gedung C, berteriak pada hari sabtu pagi,

“sekar…sekar…” mbak vit berteriak-teriak seolah-olah aku ini lemah dalam pendengaran.
“iya mbak, kenapa?”
“keluar sebentar deh”
“iya sebentar mbak”

Aku tak tahu ada apa gerangan mbak vit memanggil namaku sembari berteriak-teriak pagi itu. Aku, izinkan aku memperkenalkan diriku. Namaku sekarwangi, secara kebetulan namaku sama dengan nama asrama puteri tempatku menetap kini. Mahasiswi jurusan fisika semester 10, sudah melampaui tingkat akhir. Aku tinggal di gedung C lantai 2, sejak tahun 2003, sampai saat ini, tahun 2009.

Bisa dikatakan, sudah lewat 5 tahun aku berada di asrama ini. Asrama puteri sekarwangi, asrama ini terdiri dari 3 gedung. Gedung A berlantai 2 dengan 10 kamar, gedung B dan gedung C berlantai 3 dengan 15 kamar, sebuah pendopo, tempat anak-anak, penghuni asrama ini berkumpul, dan sebuah rumah tinggal untuk penjaga asrama puteri ini menetap bersama anggota keluarganya.

Asrama ini seperti rumah kedua bagiku. Bila dihitung, aku lebih sering berada di asrama ini daripada di rumahku sendiri, entahlah, yang jelas, di sini aku merasa betah, ayah bilang aku seperti tidak punya rumah untuk singgah. Berhenti bercerita tentang asramaku. Aku bergegas berlari, menuruni anak tangga gedung ini, sedikit berhati-hati, karena memang aku menjadi langganan penghuni yang sering sekali terjatuh dari anak tangga gedung C ini.

“ada apa mbak?”
“kamu tau cara ngidupin mesin air gak?”
“umm, entar ya, tak coba dulu, kalau ndak salah, ya cuma putar tombol off ke on mbak”
“udah, tapi ndak bisa, coba deh kamu puter, aku takut rusak”

Sembari mencoba menyalakan mesin air, aku mendengarkan cerita mbak vit perihal kenapa ia begitu ingin mesin air itu menyala pagi ini.

“air kamar mandinya habis,’kar. Mana mbak mau pergi lagi, duh, gak enak banget sih”
“lho memang mbak eni kemana mbak? Kok ndak ngidupin mesin air”
“lho, kamu ndak tau ya, mbak eni kan minggat”

Terkejut, tentu, aku terkejut. Bagaimana bisa mbak eni minggat, pergi meninggalkan begitu saja asrama ini.

Belum ada 3 tahun mbak eni bekerja di sini. Sebelumnya, induk semang kami memang bukan mbak eni, tetapi mbak ida. Dan karena satu alasan, pemilik asrama ini kemudian mengganti mbak ida dengan mbak eni, yang kemudian ditugaskan untuk menjaga asrama dan kami-kami yang menghuni di sini.

Mbak eni tidak sendiri di sini, ia bersama suaminya mas endi dan seorang puterinya yang bernama veni. Tidak begitu berat tugas dari penjaga asrma kami ini, hanya menjaga, mengawasi kami yang tinggal di sini, kemudian seminggu sekali membersihkan gedung beserta lingkungan sekitar asrama.

Aku tidak tahu perihal apa mbak eni meninggalkan asrama, sampai mbak vit menambahkan ceritanya padaku, yang masih sibuk mengotak-atik mesin air agar ia bisa berfungsi dan mengisi bak-bak mandi kami.

“kata reni, mbak eni semalem berantem sama mas endi. Terus dia tau-tau ngeluarin tas, langsung pergi. Sebenarnya mas endi sudah larang, kata mas endi masalah keluarga jangan sampe keluar, tapi diselesaikan dulu, ndak perlu minggat begitu. tapi mbak eninya tetep ngotot ‘kar. Nah si reni tu udah panik ngeliat mbak eni sama mas endi berantem kayak gitu. Ya karena nggak bisa dicegah lagi, akhirnya mbak eni pergi sama keponakannya yang diajak nginep di sini. Gitu katanya, ya akhirnya gini nih, kita yang terlantar. Gak bisa mandi, habis mesin air ndak dinyalain sih”

“oh gitu tho mbak, memang minggat kemana mbak?”
“ya, mana mbak tau. Kalau tau, bukan minggat namanya”
“memang mas endinya kemana mbak, kok mesin air ndak dihidupin”
“kayaknya sih, nyariin mbak eni ‘kar, tapi sampe sekarang belum ketemu juga. Mana perginya gak nyalain mesin air dulu, duh gimana ini, udah siang lagi”

Hari memang sudah siang, hampir pkl 9 pagi, dan sepertinya anak-anak asrama yang lain pun mengalami masalah yang sama, ‘belum bisa mandi’.

“gimana dong, kamu ada solusi ndak?”

“ya kita telepon bu aris aja mbak”

“trus mau ngomong apa?”

“ya kita ceritain yang sebenarnya, gini mah ndak bisa didiemin mbak, bisa-bisa kita ndak mandi sampe sore. Memang mbak mau ndak mandi?”

“iiihh, enggak lah”

“ya kan bisa pakai parfum, mbak siram aja ke badan”

“posisinya, mbak lagi dapet, kalau nggak mandi, ya gimana, ihh nggak ah”

“ya udah, entar ya, saya ke kamar dulu, ambil handphone”

“buat apa ‘kar?”

“ya buat nelepon lah mbak, masak buat mandi. Mbak ini ada-ada aja”

“udah ndak usah, pakai hp mbak aja, tar ya, mbak ambilkan dulu di kamar”

-bersambung-

Tuesday, April 28, 2009

The Phantom of the Opera

It is not always about the money……….

Funny, this is very funny, when you got missorientation in ur life.
What should I do?
Big riddle is in side of my head
Don’t know what to do, just trying to help any body
Why did I was so lazy
Don wanna quit, don wan just sit
But not even make a move, not even make an action
Just standing here
Do nothing
Everybody staring at me
Is it wear if I sit down in here
Waiting for some people who want to make a transaction with me

The panthom of the opera
When Christine daee, ignore the panthom
Christine said, not because of his ugly face, not because of his beast look like, but because of the panthoms heart, his heart is ugly.

Sadness, very sadness, see it, seing the panthom feel lonely till the Christine daee die, rest in peace, he just put a rose with a ring, in Christine chemetry.

The panthom of the opera

He sing a song, the music of the night. For a few years, the only I know is that the music of the night is just a, no it look like classical music, without lyrics, but at least, I knew it, I knew that the music of the night is one of the soundtrack from the panthom of the opera.

Umm, knowing the lyrics, try to understand it, beautiful, panthom try to express his feeling to Christine daee, but unfortunately, Christine didn give him feed back for his feeling. I think, panthom feels lonely, sadness and sorrow, maybe.

Seeing him, stay and live in the underground of his own theatre, with every body ignore him because his physicly, even his mom.
And because of that, he become a possessive person, close his heart, and at least close his mind.

Poor panthom, beautiful lyrics of the music of the night, very romantic, and ironicly the panthom of the opera life story.

Monday, April 27, 2009

Sebenarnya, saya ndak mau membuangnya…

Sebenarnya saya ndak mau membuangnya…

Pagi, 23 april 2009, beres-beres, buka toko, membersihkan lantai, membersihkan kaca-kaca etalase, boz saya cukup cerewet untuk hal kebersihan, padahal dia lelaki, mungkin dia seorang yang perfeksionis, segalanya mau serba sempurna, karakter melankolis bercampur sanguinisnya terkadang kuat dan saling mengalahkan. Kalau sanguinisnya sedang dominan alias kumat, dia bisa curhat sehari suntuk sesuka hati, tidak peduli apakah saya bosan atau tidak, suka atau tidak.

Kalau melankolisnya sudah kumat, apa-apa serba diprotes, keinginan mengeluhnya menjadi dominan kepermukaan, dan bila keinginan untuk ‘segera menikahnya’ kumat, saya bias jadi bulan-bulanan yang mendengarkan ceritanya dari siang hingga petang menjelang.

Kembali ke cerita di hari ini, di pagi ini, selepas membersihkan toko milik bos muda saya ini, nasih uduk yang sudah saya beli di kantin pak adip, mulai menari-nari genit, menggoda rasa lapar yang sudah mendera, menyiksa system pencernaan. Tanpa ba bi bu, bu, ‘bismillahi min awali wal akhiri’, karena saya sering sekali terlupa mengucap bismillah di awal, alhamdulillahnya islam memudahkan, jadilah doa di atas selalu saya baca setiap kali saya terlupa.

‘nyam, nyam, nyam’, nasi uduk dengan telur mata sapi, bawang goreng, plus bakwan, plus sambal merah laksana mawar yang merekah, lambat laun, mereka penjadi pengobat rasa lapar, saya tersenyum-senyum penuh kemenangan, kesenangan.

Lama, hari semakin siang, nasi uduk itu tidak dapat serta merta saya habiskan. Entahlah, sejak beberapa bulan yang lalu, saya kehilangan rasa pada makanan khas Indonesia ‘nasi’, jadilah satu porsi dirasa begitu berat untuk dicerna, wal hasil, semakin lama, tubuh saya semakin bertambah kecil saja, berat tubuh saya di bawah standar, tinggi 160 beratnya hanya berkisar antara 45 sampai 48 Kg. Tapi, saya bukan kecil yang ringkih, untuk mensiasatinya saya konsumsi sayur mayur yang jumlahnya melebihi porsi nasi yang saya makan dan ‘taraaaaaaaa’ jadilah saya Alhamdulillah manusia kecil yang sehat wal afiat.

Baiklah, kembali ke cerita di pagi hari ini, tentang mengapa saya tidak ingin membuang.

Sebenarnya, saya sudah merasakan gejala-gejala yang tidak mengenakkan sejak tadi malam, tapi hmmmh, saya anggap angin lalu, tidak saya gubris gejala alam itu, rasa itu. Sampai pagi ini, firasat tidak menyenangkan itu datang lagi, rasa yang bergejolak semakin lama semakin tidak dapat saya tahan.

Jadilah, sisa nasi uduk yang sudah habis telur dan bawang gorengnya itu, saya masukkan ke dalam Tupperware yang saya bawa. Dalam tergesa-gesa, rasa itu terus mendera, diikuti sesuatu yang bergejolak meminta untuk segera terpenuhi hasratnya. Kaos kaki saya serta merta saya lucuti begitu saja, manset putih itu saya lempar begitu saja, dan bismillah Allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khobaits, saya masuk, dan selesai.

Meraih gayung kemudian ‘byur…byur….’,

Hah, masya Allah, WC nya mampat, haduh bagaimana ini, memang sie, beberapa waktu yang lalu, bos sudah pernah berpesan, kalau WC toko ini mampat, tapi, mau bagaimana lagi, sebenarnya saya sudah sekuat tenaga mengupayakan untuk membuangnya di asrama saya saja ketimbang membuangnya di toko kepunyaan bos saya, tapi pucuk di cinta ulam tiba, pada saat saya mau beranjak pergi, bergegas keluar dari toko ini, kunci toko tidak juga saya temukan, beginilah kalau punya penyakit lupa yang terkadang ‘kumat-kumatan’, wal hasil mau tidak mau, terpaksa saya membuangnya di WC toko bos saya, dan yah begini ini hasilnya, WC nya mampat.

Bingung, jelas saya bingung, bertanya pada penjaga warnet di sebelah toko ‘mbak punya garam nggak?’ begitu Tanya saya, dan jawab si embak tentu saja ‘nggak ada mbak’. Ya jelas saja tidak ada, karena itu warung internet bukan warung makan, jadi untuk apa dia menyimpan garam.

‘memang untuk apa mbak?’ begitu Tanya si embak

‘WC sebelah mampet mbak, haduh pusing saya mbak’ begitu jawab saya

Mengapa harus garam? Karena menurut cerita ibu saya, tukang renovasi di rumah, dulu pernah memperbaiki WC yang mampat di rumah saya hanya dengan meletakkan garam tepat di lubang WC nya.

Entah, saya benar-benar bingung, akhirnya saya mencoba menghubungi seorang teman saya yang katanya memiliki produk yang mampu memperlancar WC yang mampat, saya segera saja minta ia datang pagi, tetapi ‘waduh cep, gw gak bisa pagi, ada praktikum, bisanya jam 3’, haduh bagaimana ini. Hari semakin siang, bos besar sebentar lagi datang, kalau sampai ia tau, bisa habis saya kena semprotan amarahnya yang terkadang tidak kira-kira (ha…3x saya kembali hiperbolik).

Akhirnya, mau tidak mau, saya menghubunginya ‘kak, WC nya mampat, tadi habis ngepel cep buang airnya di WC, jadinya mampat’, saya tidak sampaikan pada si bos kalau saya habis membuang hasil pencernaan saya di WC toko kepunyaannya.

Lalu, ‘he….3x bla..bla..bla’ si bos malah terkekeh di dalam sms nya, saya pun meminta dia memesankan ‘plong’ untuk melancarkan lubang WC toko yang mampat. Tak lama ‘waduh cep, ibu yang jual lagi gak da di rumah gimana dong?’, begitu balasnya.

Ya sudah, cocok, akhirnya itu lubang masih mampat seperti itu. Lama, ujung-ujungnya, teman saya berkata ‘cep gw bisa ke sana sekitar pkl 14.00 siang’, yah akhirnya, pucuk di cinta kembali, ulam tiba kembali. Teman saya itu menepati janjinya, membawa bakal pelancar lubang WC toko milik bos saya. Bercakap-cakap sebentar, kemudian membayar, lalu ‘cara pakainya gini cep, bla..bla..bla’ dia pun pamit pergi, menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda.

‘yes’ saya seperti berada di ujung karang yang menjulang di tepi pantai, bermandikan cahaya matahari, sembari menggenggam botol ‘plong’, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi menantang langit, ‘hmmmh’ saya merasa seperti seorang kesatria dengan senjata pembunuh yang begitu ampuh ‘plong’, ‘byur’ dan debur ombakpun memecah kesunyian.
Berhenti berkhayal, kembali ke dunia nyata. Bergegas itu botol saya buka, lalu sesuai takaran saya masukkan separuh dari isi botol, ke dalam lubang, kemudian mendiamkannya beberapa saat.

Tik tok tik tok, tak terasa waktu pun berlalu, pintu kamar mandi itu saya buka kembali, ‘plong’ yang saya pikir sudah melakukan pekerjaannya, sudah saatnya ia disiram dengan seciduk air, lalu ‘byur…byur…byur…’, he….3x, saya hampir menang, sampai ‘blub..blub..blub’, hah, masya Allah, itu WC tetap pada keadaannya semula, mampat, haduh, tambah pusing kepala ini rasanya.

gawat, bagaimana ini?’ saya berusaha memutar otak, tapi otak tetap saja tidak dapat diputar, alhasil, sisa ‘plong’ yang ada, saya tumpahkan semua ke dalam lubang WC toko milik bos saya. Selesai, yang tinggal hanya menanti dan menanti, berharap agar kiranya ‘plong’ yang katanya penghilang saluran mampat itu benar-benar bisa bekerja.

Tik tok tik tok, jarum jam semakin lama semakin menyadarkan saya bahwa hari sudah mulai senja, pkl 17.10 sore, bos belum juga pulang dari keperluannya mencari pinjaman untuk kemajuan usahanya. Dan saya masih di sini, di depan komputer, bekerja di depan layar laptop sembari menanti apakah ‘plong’ akan memberi kabar bahagia ‘saluran WC nya sudah lancar’ atau justru sebaliknya ‘saluran WC nya belum bisa lancar’. Saya tidak tahu, saya belum tahu, yang saya tahu, yang jelas, untuk beberapa waktu, bos saya belum akan bisa menggunakan kamar mandi itu. Mau tertawa, karena geli rasanya, mau menutup muka, karena rasa malu itu berputar-putar memenuhi relung-relung hati kemudian memusat naik ke kepala.

‘Hahhhhh, harusnya, saya tidak membuangnya’.

Sunday, April 26, 2009

Sebuah pelajaran berharga

Chapter 3

Masih sedia mengamatinya, bocah kecil itu bergeser semakin ke kanan, mencoba menutupi dirinya dengan besarnya pohon pisang yang juga tinggi menjulang. Bocah itu cukup lama untuk sekedar duduk diam di dalam aktifitasnya.

bocah kecil itu membuang hajatnya’ begitu kataku padanya, pada sang mentari senja

‘ya, kamu benar. Hajat besar sepertinya, karena dari tadi belum beranjak juga ia dari tempatnya’ ujar sang mentari

‘ya, mungkin kamu benar’ balasku

‘lihat itu, ia bergeser semakin ke kanan’ ujar sang mentari padaku

‘mungkin mencari kenyamanan’ jawabku sekenanya

‘kenyamanan? Maksudnya?’ tanda tak mengerti

Ah susah juga bercakap-cakap denganmu mentari,

‘maksudku, mungkin ia tidak mau ada orang lain yang melihatnya melakukan buang hajat itu, atau ia mencari tempat yang lebih aman, agar terhindar dari binatang-binatang yang akan menjadi pengganggu bagi aktifitasnya itu. Seperti ular mungkin’ jelasku

‘bisa jadi’ jawabnya, entah ia setuju atau tidak dengan penjelasanku itu, aku tak tahu

Lalu

‘ha…ha…ha’ kami pun kembali tertawa

Lama, akhirnya bocah lelaki itu menyudahi hajatnya, tanpa ba bi bu, tanpa air, tanpa daun, tanpa batu yang ganjil dalam jumlahnya. Pergi begitu saja tanpa membersihkan apa yang sudah ia lakukan, saya terdiam menahankan keheranan, bocah lelaki itu pun hilang dari pandangan.

‘kamu tau, ada sesuatu yang aku dapatkan dari bocah lelaki itu’ kataku padanya

‘ia sudah memberikan sebuah pelajaran berharga padaku yang sudah lebih tua jauh beberapa tahun darinya’ tambahku

‘oh, begitu? lalu apa itu?’ tanya sang mentari padaku

Menghela nafas panjang, kemudian ‘ingat dengan tingkah lakunya yang mencari tempat tersembunyi di belakang batang pohon pisang?’ aku mencoba menjelaskan.

‘ya, aku ingat. Lalu kenapa? Itu wajar saja bukan?’ ia kembali bertanya

‘ia bersembunyi agar tidak ada orang yang tahu apa yang sedang ia lakukan, karena bisa jadi ia merasa malu. Tapi, sebenarnya dia tidak tahu, bahwa kamu dan aku melihat apa yang ia lakukan itu’ jawabku

‘ya kamu benar, lalu dimana pelajarannya, karena sepertinya semua nampak biasa saja’ sang mentari nampaknya masih belum juga mengerti

‘ada, ada pelajaran di sana. Bocah kecil itu mengingatkan aku akan sesuatu, bahwasannya Allah selalu melihatku, kamu dan semua hamba-hamba Nya, dalam keadaan apapun itu, kapanpun itu, dimanapun itu. Menurut bocah itu, dengan bersembunyi di balik pohon pisang ia akan aman, tapi ternyata kamu dan aku melihat apa yang ia lakukan. Sama halnya dengan aku, manusia, terkadang melakukan sesuatu hingga lupa bahwa Allah melihat apa yang aku lakukan itu. Manusia lain memang mungkin saja tidak tahu akan hal itu, akan hal yang kita lakukan, tapi Dia tidak begitu. Benar bukan?’ jelasku padanya

Ia tersenyum kemudian berkata ‘ya kamu benar’

‘Baiklah, aku sudah menemanimu sepanjang senja, tepat seperti yang kamu minta. Saatnya untuk menutup hari ini dengan kegelapan, dengan dihiasi bintang-bintang dan pancaran sinar rembulan. Aku sudah harus pergi, kamu dan manusia-manusia yang lainnya sudah harus beristirahat dengan gelap dan sunyinya malam yang menenangkan’ begitu katanya

‘ya, aku mengerti. Kamu pun sudah harus menyinari bagian lain dari bumi ini’ balasku

‘yup, kamu benar, sampai jumpa wahai manusia’ begitu kata sang mentari padaku senja itu

‘Sampai jumpa esok pagi, wahai mentari’ ujarku

‘Dan aku harap, akan ada lagi, hikmah dan pelajaran yang bisa kamu dapatkan dari apa yang sudah Dia berikan, dari apa yang sudah Dia tebarkan, dari apa yang sudah Dia ciptakan, anugerahkan. Assalammu’alaikum’ katanya

‘alaikumsalam’ jawabku

‘oh ya, satu hal, kamu tidak perlu berlari, karena insya Allah aku menanti’ begitu kata sang mentari itu padaku.

Ia tersenyum untuk kemudian tenggelam di ufuk barat, meninggalkan berkas-berkas sinar keemasan yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan.

Dan adzan maghrib pun berkumandang.

-selesai-

Skak Mat

Kira-kira benar atau tidak penulisannya ya? skak mat, atau shack mat atau scack match? ah ndak terlalu penting agaknya. Saya bangga, ya pagi ini saya subhanallah bangga pada diri saya sendiri. Skak mat, saya menang, tapi, apa memang benar saya sudah menang? atau justru saya sedang menderita kekalahan? wah entahlah, tidak jelas. lalu bagaimana kisah 'skak mat' itu bermula ???

Begini ceritanya, alkisah pada suatu hari sebuah pesan singkat tanpa nama, mampir, nangkring di depan jendela handphone butut yang saya cinta. seperti apa isi lengkapnya? itu dia, karena sms 'tanpa nama', jadilah itu sms saya anggap angin lalu, saya baca lalu hapus begitu saja. tetapi, saya mengingat sedikit intisari dari sms yang saya terima sore itu. isinya kira-kira begini 'sudah selesai mbak muhasabahnya?' begitu si pengirim pesan bertanya.

Karena saya tidak mengenalnya, ya saya bilang saja 'salah sambung mas/mbak', begitu saya membalasnya. Eh, si pengirim membalas 'saya tidak salah sambung', begitu katanya. Nah lho, darimana ini orang tau nomor saya??? pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang di kepala, bukan di telinga. Berpikir-berpikir-berpikir, mentok, tidak ketemu juga, hingga akhirnya saya bertanya lagi pada si fulan pengirim pesan, tentang darimana dia bisa tau nomor saya. 'Dari mbak ida', begitu katanya. Haduh, gdubbbbbrakkk, kok bisa mbak ida memberi tanpa seizin saya?? begitu tanya saya di dalam hati.

Lalu, si fulan itu berkata yang intinya bahwa saya ndak boleh marah pada mbak ida yang sudah memberikan nomor saya padanya. "yah mau apa lagi, sebenarnya saya agak malas berinteraksi dengan tetangga sebelah, tapi karena kamu sudah tau nomor saya, jadi apa yang bisa saya bantu?' begitu saya bertanya padanya. Dan tahukah kamu dia menjawab apa 'cuma ingin punya teman, saya di sini sudah 3thn tapi ndak punya teman, dan bla...bla...bla', begitu katanya. 'hah gak punya temen, kagak salah? Ngapain aja 3thn di bandar lampung tapi gak punya teman. 'Gak beres nie orang' saya benar-benar menangkap ada sinyal gak beres dari ini manusia.

Akhirnya, saya katakan, bahwa saya ndak masalah berteman dengan dia. Pesan pun tak lagi nampak di layar kaca, identitas si pengirim pesan saya beri nama sesuai nama ponpesnya, bukan nama si empunya, karena saya agak malas menyimpan namanya.

Satu hari berlalu, sejak si fulan mengirim sms itu. Saya pun sudah bertanya pada mbak ida, perihal benar tidaknya dia memberi nomor saya pada salah satu anak ponpes sebelah, dan ternyata 'nggak, aku tu gak pernah kasih nomor yu' sefta ke orang lain' begitu jawabnya, nah lho, tu orang tau darimana???

Adem ayem saja, sampai tiba-tiba saya menerima pesan sekitar pkl 22.00 malam dari si fulan, yang isinya 'mbak septa', sudah itu saja, tidak lebih tidak kurang, dan at least 'gak penting, ini sms'. Nah ini dia, gak beres juga buntut-buntutnya, gerah, saya tidak suka bila ada yang mengirim pesan tidak penting, dari lelaki pula, malam-malam pula, dan saya tidak kenal pula. Handphone butut tercinta saya wafatkan sementara, untuk kemudian menjelang shubuh saya aktifkan. Serta merta dengan semangat 45 saya membalas pesan dari si fulan, yang intinya saya tidak bisa membantunya, beruntun saling berbalasan, hingga akhirnya saya berkata bahwa kalau dia mau berteman dengan saya, dia harus pandai-pandai menjaga hatinya. '... ikhwan itu agak susah menjaga hati kalau sudah berinteraksi dengan perempuan' begitu pesan saya padanya.

Tak berapa lama, dia membalas dengan berkata '......hatinya tidak dijaga, tapi dikurung....' begitu penggalan pesannya. Lalu 'saya serius' begitu pesan saya 'saya ndak mau nanti-nantinya, kamu bilang suka, atau mau menjadikan saya istri di kemudian hari, karena kalau itu terjadi, saya ndak mau berteman dengan kamu' begitu lanjut saya.

Eng ing Eng, skak mat, pesan saya yang terakhir kali tidak berbalas, si fulan tidak membalas pesan saya. Nah ini dia buntut dari perkenalan melalui pesan sehari yang lalu, ada buntut tidak mengenakkan.

Saya hanya bisa tertegun sejenak, kemudian tersenyum-senyum, lalu tertawa tergelak, ternyata dugaan saya benar adanya, pertemanan itu ada maksudnya. Tertawa senang, skak mat dari saya untuk si dia, saya gembira, karena kalau pak warsito tahu akan hal ini sepertinya dia akan berkata bahwa 'kamu sudah mulai berperasaan', kalau pak nandi tahu akan hal ini, pun sepertinya ia akan berkata 'kamu sudah mulai peka', dan kalau teman saya mukhsin mengetahuinya, saya harap dia akan berkata 'kamu sudah gak lugu lagi cep'.

Setidaknya saya sudah sedikit ada kemajuan, sudah ndak gampang lagi dibohongi untuk hal-hal yang seperti ini, skak mat, pokoknya skak mat, saya menang, saya menang, atau saya sedang menderita kekalahan di dalam kemenangan? Arrrggghh entahlah, yang jelas, untuk saat ini saya menang dan saya senanggggggg.

Saturday, April 25, 2009

Aku dan dia mengamati dalam diam

Chapter 2

Duduk dalam diam
, di belakang asrama sembari bercengkrama dengan sang mentari. Melihat burung layang-layang hilir mudik beterbangan, melintasi birunya langit. Kadang ku lihat satu ekor saja yang bergaya di atas langit sana, kadang berkelompok. Mereka menukik, melakukan manuver-manuver yang cukup berbahaya bila itu dilakukan oleh seorang pilot yang nyatanya seorang manusia. Burung-burung yang berada di atas sana merupakan pesawat terbang tercanggih yang pernah ada di jagat raya.

‘sore ini indah bukan?’
Begitu katanya, sang mentari mencoba memecah kesunyian

‘ya indah, kamu lihat burung-burung itu? kataku

‘ya mereka teman-teman kecilku, ada apa dengan mereka’ tanya sang mentari padaku

‘ada sesuatu yang aku pelajari dari mereka setiap harinya. Meskipun terkadang hal-hal yang sama, sama seperti hari-hari yang lainnya’ ujarku padanya

‘pelajaran? Apa itu?’ mentari pun bertanya

‘pelajaran bahwa betapa harus bersyukurnya aku, dapat melihat mereka terbang melayang dengan menggunakan mata yang aku punya, yang Dia berikan. Dia baik bukan?’

‘tidak, Dia tidak baik tetapi Maha baik’ begitu tambahnya

‘ya kamu benar’ jawabku padanya

Kembali tenggelam dalam kesunyian, mengamati burung-burung yang beterbangan, daun-daun yang bergerak, air-air yang beriak-riak kecil tertiup angin kencang di saat malam semakin menjelang.

‘kamu harus segera pergi bukan? Sebentar lagi malam menjelang’ tanya ku pada mentari senja itu

‘ya, kamu benar’ jawabnya dengan singkat

Ada sebuah kebun yang berada tak jauh dari belakang asrama 20 meter sepertinya, terlindung oleh tembok tinggi, tidak akan terlihat seperti apa isi di dalamnya bila dilihat dari ketinggian 2 meter saja, tapi tidak bila dilihat dari lantai dua. Seperti apa kebun itu, apa dan siapa saja yang berada di sana, dan sedang melakukan apa, dapat dilihat dengan jelas dari lantai dua tempat ku berada.

Tak lama, saat-saat dimana mentari semakin beranjak pergi. Seorang anak kecil berseragam putih merah, entah apa yang ia lakukan, tidak aku tidak juga mentari tahu akan hal itu.

‘kamu lihat anak kecil itu?’ tanyaku padanya

‘ya, ada apa dengannya?’ jawabnya

‘menurutmu, dia akan melakukan apa di hari yang semakin senja ini?’ aku kembali melontarkan tanya

‘umm, mungkin menggembala kambing untuk kembali ke kandangnya? Menurutmu?’ ia berbalik bertanya

‘sepertinya tidak, sudah beberapa hari terakhir ini, aku tidak pernah melihat kambing-kambing itu lagi’ jawabku

‘lalu?’ tanyanya seolah tak mengerti arah pembicaraanku saat itu

‘entahlah, kita lihat saja’ begitu ujarku padanya

Aku dan dia mengamati dalam diam, gerak-gerik anak kecil itu tidak nampak mencurigakan. Lama, semakin jauh dia berjalan, untuk kemudian menghampiri sebuah pohon pisang.
Aku dan dia saling memandang dalam diam, ada apa dengan pohon pisang? Tak lama, bocah kecil itu membuka celana seragamnya, untuk kemudian duduk berjongkok di belakang pohon pisang yang tadi dihampirinya. Dan anak kecil itu pun memulai aktifitasnya, dengan khusyuk masyuk.

Diam, saling pandang, untuk kemudian, senyum itu aku sunggingkan, menahan sesuatu yang seharusnya aku keluarkan. Tak lama, kami pun tertawa tergelak tidak tertahan. Ternyata bocah kecil itu tidak ada urusan dengan si pohon pisang, melainkan dengan hajat yang sebenarnya ingin ia tunaikan.

‘ha…ha….ha…..’ kami pun tertawa

-bersambung-

Friday, April 24, 2009

Jangan berlari, karena aku menanti

Chapter 1

Saya mahasiswa tingkat akhir, mahasiswa biasa, manusia biasa bila menurut manusia yang lainnya, dengan sekelumit akal dan pikiran yang terkadang gila, terkadang waras dan terkadang membuat teman-teman saya berkata ‘kamu ada ada saja’ atau bahkan ‘mungkin kalau orang yang ndak kenal sama kamu, dia malu kali ya jalan sama kamu’ begitu kata seorang teman saya.

Saya mahasiswa, mahasiswa yang mencoba mengais-ngais rahmat, mahasiswa yang mencoba menggapai-gapai kasih, mahasiswa yang mencoba mencari, menemukan, memaknai hingga merasakan apa yang namanya cinta, cinta dari Yang Maha Menciptakan.

Saya mahasiswa, mahasiswa yang berharap akan hikmah dan pelajaran, hikmah dari sebuah perjalanan, pelajaran dari sebuah kehidupan.

Berjalan menyusuri papping-papping jalanan, saya sudah semakin berumur saja. Belum ada prestasi, belum ada sesuatu yang berharga menurut saya yang bisa saya berikan, persembahkan pada Nya, pada Dia yang sudah Menciptakan saya, pada orang tua saya yang sudah melahirkan dan membesarkan saya, pada mereka yang sudah begitu banyak membantu, mengerti, memahami, dan berjasa pada diri ini, tidak juga oh bukan tidak tetapi belum, ya belum, belum juga mampu memberi kontribusi yang berarti terhadap bangsa ini.

Berhenti bercerita tentang diri saya yang sebenarnya mungkin menurut kalian saya mahasiswa yang biasa, tetapi luar biasa menurut saya, dan entah darimana ke-luarbiasaan itu saya menilainya.

Hikmah itu saya temukan, pelajaran itu saya dapatkan di suatu senja. Saat dimana saya berlari mengejar matahari, saat dimana saya berjumpa dengannya dengan nafas yang terengah-engah, dengan peluh keringat yang mengucur deras membasahi, dari kepala hingga ujung kaki ini.

‘hhh, hsh…hsh… jangan pergi mentari, temani aku barang sebentar saja di senja yang sendu ini’ kataku

Ia tersenyum, senyumnya yang merekah mengeluarkan seberkas sinar berwarna kuning keemasan, menyilaukan.

‘jangan berlari, karena kamu memang tidak perlu berlari, kenapa? karena aku menanti’ begitu kata sang mentari

-bersambung-

Wednesday, April 22, 2009

Berdialog dengan bulan

">

Chapter 3


Ia nampak diam sejenak, lalu ‘oh ya, begitu menariknya kehidupan kalian manusia-manusia di dunia’ begitu katanya

‘menarik?’ tanyaku

‘menarik bahwasannya kalian dengan begitu sombongnya, bersedia menjadi khalifah di dunia’ begitu katanya.

Sombong? Sombong, katanya? Darahku mendidih, rasa ego ku sebagai seorang anak manusia muncul ke permukaan, inginku memaki sang bulan karena kata-kata sombong yang ia ucapkan, tapi kemudian tertelan, tertelan dalam wajah cantiknya yang rupawan.

‘sombong? Begitukah yang nampak padamu wahai bulan?’ tanya ku

‘ya begitu, gunung sekalipun merasa tak sanggup menjadi khalifah di muka bumi ini, sedangkan kalian hanya manusia? Apakah kalian sudah merasa sebegitu kuatnya, hingga kalian merasa mampu memikul bebannya?’ begitu jelasnya padaku. Aku hanya menunduk dalam diam, memikirkan apa yang bulan katakan. Ia benar, bulan itu benar.

‘kenapa diam wahai manusia? Benar bukan apa yang aku katakan?’ ia bertanya, tetapi tidak memerlukan jawabnya.

Aku hanya mengangguk dalam diam

‘aku heran, kiranya Allah ciptakan akal dan pikiran, tetapi kalian manusia lebih mempercayai manusia dari pada Tuhannya. Menggelikan kiranya, kalian begitu menggantungkan nasib kepada hal-hal yang gaib’ , aku hanya diam.

‘aku pun heran wahai manusia, bagaimana kiranya kalian dapat dengan senangnya, tertawa memakan daging saudara sesamanya’.

‘aku pun heran wahai manusia, bagaimana kiranya kalian bisa dengan senang tertawa, sedang kalian tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di hadapannya’

‘aku pun heran padamu wahai manusia, kiranya Dia sudah tetapkan seorang panutan bagimu untuk bekal hidup di dunia, tapi sedikit sekali dari kamu yang mau mengerti, sedikit sekali dari kamu yang mau meneladaninya. Seandainya kamu tahu, seperti apa kiranya akhlak Muhammad kekasih Nya itu, demi Allah, tak akan kamu berpaling pada manusia yang lainnya’

‘aku pun heran padamu wahai manusia, mengapa kiranya kamu dan saudara-saudara sesamamu itu begitu mencintai dunia, mengorbankan segalanya demi dunia, padahal kalian berada di dunia tidaklah lama, hanya sebentar saja, sekejap saja’

Aku hanya diam, tidak mampu berkata-kata. Dalam gelap, cahaya rembulan temaram, aku tersungkur, titik-titik air itu jatuh ke bumi, tak tertahan.

‘menangis kembali wahai kamu manusia? Kamu basahi diriku dengan titik-titik air matamu, menyesalkah? Untuk waktu yang tak terhingga? Atau hanya sementara saja’ begitu sang bumi berujar padaku, semua nampak menghujam.

Sang bulan, menusuk dengan tepat ke dalam hati ini, cantiknya ia begitu dirasa membunuh kini. Sang bumi, semakin menyudutkan diri ini, tak terasa sedu sedan itu ku perdengarkan, jangkrik-jangkrik malam, katak-katak yang bersahut-sahutan yang sedari tadi menciptakan harmoni, dirasa turut menghujam ke dalam segumpal darah ini.

Berdialog dengan bulan, bercakap-cakap dengan rembulan, kecantikannya menyakitkan, kata-katanya begitu menghujam jauh ke dalam. Sang bulan kembali dalam diam, meninggalkan aku sendirian setelah sebelumnya berkata ‘tetapi, bagi kalian manusia yang tetap berada di jalan Nya, Ia sudah janjikan surga Nya. Begitu Ia firmankan bukan? Maka bersyukurlah kalian pada Nya wahai manusia, kalian tetaplah hamba yang istimewa di hadapan Nya’

Sedu sedan itu terasa begitu nyaring di telinga, betapa kiranya aku begitu jauh dari rasa syukur itu, betapa kiranya aku begitu dekat dengan rasa sombong itu, betapa kiranya aku terlampau sering menghianati Mu wahai Tuhanku.

Bulan, ia tersenyum, cantik, ia bermain mata, untuk kemudian berlaku seolah-olah di antara aku dan dia tidak pernah terjadi apa-apa.

--END--

Tuesday, April 21, 2009

Dialog atau menjadi sebuah monolog

Chapter 2

Bulan itu, tak lagi nampak suram, gambaran terang sang bulan nampak terlihat jelas dari balik kaca kamar mandi asrama. Sang bulan separuh, sabit, sudah nampak terang benderang, cantik, tanpa cacat namun tidak begitu bila dilihat dari dekat, lekat.

Bulan, dalam diam, aku dan dia saling melemparkan pandangan, tidak ada yang mau memulai membuka sebuah percakapan.

Pikirku ‘apakah malam ini akan menjadi sebuah dialog atau hanya akan berakhir menjadi sebuah monolog, antara aku dan sesuatu yang ada di dalam diriku’

Tak lama, ia menggeliat, menguap, namun ia tetap nampak cantik, tetap nampak anggun dengan apa yang tengah ia lakukan di hadapanku. Begitu nyaman ia melakukan itu di hadapanku, seolah-olah aku tidak sedang berdiri di situ, seolah-olah aku tidak sedang berada di situ.

‘maaf, sudah lama aku tidak berlaku seperti ini’ begitu katanya padaku

Awal yang lumayan dari sebuah percakapan antara aku dan dia yang sudah lama tidak saling bertegur sapa.

‘aku mengenalmu wahai manusia, kamu yang sering kali berjalan sendiri itu bukan?’
Aku mengangguk dalam diam, tak percaya kiranya, akhirnya ia mau berbicara, berkata-kata

‘kamu, yang terkadang suka berbicara sendiri itu bukan?’
Aku kembali mengangguk dalam diam

‘kamu yang suka sekali memandangi saudaraku sang mentari, di saat ia terbit dan tenggelam bukan?’
Aku kembali mengangguk dalam diam

‘kamu juga yang sejak dahulu di bangku SMA yang selalu memandangiku dalam diam bukan? Ya seperti saat ini, kamu masih tetap saja diam, meskipun sesekali kamu mengangguk, tapi tetap saja kamu mengangguk dalam diam’ begitu katanya padaku.

‘ya itu aku, itu aku, darimana kamu tahu akan hal itu? Oh ya aku lupa, kamu berada di atas sana, sudah pasti kamu bisa tahu segala sesuatu tentang aku dan manusia yang lainnya’ begitu balasku

‘hi…3x’ iya tertawa terkekeh, menampakkan barisan giginya yang rapih, putih bersih, ia nampak semakin cantik di mataku.

‘dasar manusia, kamu salah, aku tidak tahu, sama sekali aku tidak tahu akan kamu, sampai Dia yang Menciptakan kamu dan aku yang menceritakannya padaku’ begitu jawabnya padaku

‘oh, aku pikir’ terhenti sampai di situ

‘lalu, bagaimana kabarmu wahai manusia? Ceritakan padaku tentang kamu’ begitu ia bertanya

‘aku?’ sembari menunjuk kepada diriku
‘aku, Alhamdulillah baik-baik saja kiranya. Cerita tentang aku? Ah lupakan, tidak ada yang menarik tentang diriku. Ceritakan saja padaku tentang kamu.’ Begitu jawabku

‘ho…3x’ iya tertawa, menggelegar, menggetarkan
‘tentang aku? Tentang bagaimana terjadinya aku? Atau tentang apanya dari diriku yang ingin kamu tahu? Aku rasa, kamu sudah banyak tahu tentang aku. Sampai tentang permainan yang menyenangkan antara aku dan saudaraku, yang kalian manusia menyebutnya dengan istilah gerhana, bagus juga, kami berdua menyukainya’ begitu katanya.

‘ohhh, ya gerhana itu begitu memukau mataku’ begitu jawabku

‘Dia Yang Ciptakan itu, kami berdua hanya mengikuti perintah Nya saja, tidak lebih, dan seharusnya kalian manusia bisa semakin menyadari seperti apa kuasa Nya’ begitu katanya

‘ya, harusnya semakin bersyukur, harusnya’ jawabku

‘jadi, kamu tidak ingin bercerita tentang sesuatu?’ begitu tanyanya padaku

‘tidak, tidak ada, bagaimana kalau kamu saja yang bercerita. Tidak tentang dirimu pun tidak mengapa, bagaimana kalau pendapatmu tentang dunia, atau tentang manusia yang ada di dunia?’ begitu tawarku padanya

-bersambung-