Pages

Showing posts with label hati. Show all posts
Showing posts with label hati. Show all posts

Sunday, November 20, 2011

"aku dan bayang hitam itu" dalam seberapa penting

pernah bertanya seberapa pentingkah kita bagi orang lain? 
pernah bertanya, seberapa penting diri kamu bagi teman mu? 

jangan bertanya seberapa penting dirimu, bagi orang tuamu
jangan juga bertanya seberapa penting diri kamu bagi keluargamu

tapi, bertanya seberapa penting orang tuamu di dalam kehidupanmu
penting, ya hanya ketika kamu membutuhkan tempat bersandar yang kuat, tangguh,  dan tetap. Tidak berpindah tempat seperti teman-teman yang hilir mudik datang dan pergi. Ada teman yang karena ketulusan, kesamaan nasib dan cerita awal, ada teman yang sejalan karena kesamaan dalam kepentingan.

Orang tua dan keluarga memiliki kesan yang berbeda, memiliki guratan di dalam kain kanvas pelukis dengan garis-garis tegas, yang kadang hitam bila kita melihat dari sisi ego sentris kita sebagai manusia. Memiliki garis lembut, cerah, mengharukan, luar biasa memiliki makna, bila kita melihat dari sudut pandang yang berbeda, sisi manusia yang menghargai bahwa apa-apa yang keluarga, orang tua kita lakukan, semua karena mereka mengetahui pasti tentang kita.

Sebesar apapun kebaikan orang, manusia yang lalu lalang di hadapanmu, semua memiliki kepentingan yang jelas dari dirimu sebagai individu.

Lalu seberapa pentingkah dirimu bagi temanumu

Berdasarkan hasil pemikiran, mengamati, menganalisa, mencoba menarik sebuah kesimpulan. Ketika kita berada dalam satu karakter, bisa jadi kira dekat dengan dia. Ketika kita berada dalam satu kepentingan bisa menjadi kedekatan yang dipaksakan. Ketika itu berdasarkan agama, suku, ras dan golongan, rasa senasib dan sepenanggungan, maka keterikatan emosional antara kita dengan dia, akan semakin besar dirasa.

Tetapi, ketika semua sudah terpenuhi, cerita tidak lagi seperti awal mula dia terjadinya. Maka keterikatan itu bisa terkikis secara simultan sampai mungkin dia habis.

Aku dan bayangan hitam itu

"Apakah kamu merindukan kedua orang tuamu"
bayangan hitam itu menunjuk kepada ku
"aku? ya aku merindukan keduanya"
dia mendekat, bergerak menjauh dari tempat dia terbentuk. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan -kenapa kamu tidak menelepon mereka-
"aku? ya, kamu benar, aku terlalu lemah mengakui bahwa aku terlalu keras kepala untuk memulai semua itu"

Bayangan hitam itu semakin mendekat
Berdiri di sebelahku
Tepat di samping telingaku
Rasa dingin yang tiba-tiba datang, membuat seluruh rambut-rambut di tubuhku meremang. 

Secara tiba-tiba ia meniupkan angin yang sejuk ke telinga sebelah kananku

Cahaya putih yang tadinya nampak hanya seperti sebuah titik dari kejauhan di tengah dia, bayangan yang hitam, semakin nampak jelas. Semakin lama semakin membesar, semakin terlihat.

Bayangan itu menggambarkan tentang sesuatu yang aku masih mencoba menelaah ada apa di balik cahaya yang dia tunjukkan. 

Banyak orang yang hilir mudik, tanpa menghiraukan aku yang melihat tidak jauh dari keramaian yang terbentuk, terlihat secara tiba-tiba di depan mata. Ada ketiga orang saudara ku di sana, duduk diam. Melihat kakak perempuan ku memeluk satu-satunya keponakanku, yang selalu tidak bisa diam. Lucunya dia "hafizh diem ya, liat itu bakas sama kajutnya......" aku tak lagi mendengar apa yang kakak perempuanku katakan kepada anak lelakinya itu. Bayangan hitam itu menutup kedua telingaku, aku melihat ke arahnya, 

"kenapa?"
Ia meletakkan jari telunjuknya ke bibirnya -sssst- ia ingin aku diam
"baiklah, aku diam" aneh, pikirku
Masih berdiri melihat dari kejauhan, sebuah drama yang aku masih tidak mengerti maksudnya.
Bayangan itu mengarahkan telunjuknya ke depan, ke arah seorang anak perempuan yang lain, adik perempuan ku, dia membaca Al qur'an
"kamu tahu, diantara kami berempat, aku merasa dia yang akan berada di surga yang paling atas" begitu aku memamerkan adik perempuanku kepada bayangan hitam itu.
Sembari tersenyum memandang adik perempuanku aku berkata
"dia paling rajin membaca Al quran. Hey, kenapa dia menangis?" 
Aku segera menggerakkan kedua kakiku, sampai bayangan itu menahan ku, dengan menarik lengan kananku.
Dingin, tangan bayangan hitam itu begitu dingin

Dia kembali memintaku untuk diam, melihat.
semakin ramai saja yang datang, kakak perempuan ku masih duduk dalam diam. Dia memberikan keponakanku kepada ayahnya, kakak iparku. Mengikuti apa yang adik perempuanku lakukan, membaca Al Quran. 

Kali ini, bayangan itu menunjuk ke satu sudut ruang dimana aku melihat seorang pemuda tanggung. Diam, -terbengong-bengong-, dia nampak bingung atas apa yang terjadi saat ini. Dia nampak melihat ke sana- ke mari, ingin bertanya, tapi nampak bingung untuk bertanya pada siapa.

Air mataku jatuh
lemas, dia adik lelaki ku, satu-satunya adik lelakiku. Tak pelak itu membuat hatiku berteriak, dengan mata berkaca-kaca
"ada apa dengan ini semua?"
Bayangan itu membuka tabir yang nampak buram sebelumnya di depan mataku. Dia menarik tirai putih yang sedari tadi menutupi penglihatanku.

Ada tubuh yang terbujur kaku di depan kakak dan adik perempuanku. Terbungkus kain putih, dengan kapas di sana-sini, menutup hidung dan telinga.

Aku lemas, meremang, ingin menjerit, ya aku menjerit, aku berteriak
mereka adalah kedua orang tuaku, ayah dan ibuku. Aku berlari, mencoba mendekati tubuh kaku kedua orang tuaku yang sudah tak lagi bernyawa itu.
Aku tak mampu, aku tak dapat.
Aku melihat ke arah bayangan itu
"kenapa? kenapa aku tidak bisa menghampiri mereka"
Bayangan itu hanya diam, tak bergeming

Sekuat tenaga aku berusaha
Mengeluarkan segala kemapuanku
Tangis ku semakin pecah, tak tertahankan
Melihat adik lelakiku yang diam, tak mengerti akan apa yang terjadi

Melihat saudara perempuanku menangis dalam isak tertahan, melihat keponakanku menyentuh kakek dan neneknya dengan kedua tangan kecilnya, tetapi tak ada yang ia dapat selain kebekuan, bisu, diam, tak bergerak.

Aku menyerah
Aku lelah, sekuat apapun aku mencoba tetap tak dapat mendekati tubuh kaku ayah dan ibuku.

"Setidaknya, biarkan aku mendekati adik lelakiku, biarkan aku memeluknya"
Aku menangis berteriak
"biarkan aku menjelaskan kepada adik lelaki ku, tentang apa yang terjadi"
"tidak tahukah kamu, dia begitu dekat dengan ibu dan ayah ku"
"tidakkah kamu merasa iba pada dia, adik ku itu tidak normal, tidak seperti anak-anak yang lainnya"
"Tolonglah, aku mohon"
Aku mengiba-mengiba pada bayang-bayang hitam itu

Dia mendekat kepadaku, angin dingin itu kembali menghampiriku
Dia meniupkan angin itu kembali ke telingaku, semua hilang, pergi entah kemana. Semua yang ada di depan mataku, saudara perempuanku, adik lelakiku, semua pergi.

"kemana, orang-orang yang tadi lalu lalang"
"kemana kakak dan adikku?"
"kemana jasad ayah dan ibuku?"

Bayangan hitam itu, masih diam, tak bergeming. Kali ini yang dia lakukan hanya menutup kedua mataku beberapa saat, untuk kemudian membukanya kembali.

Nampak nyata, semua orang orang yang secara tiba-tiba kembali berada di depanku. Mereka menangis terisak, aku berlari, bertanya mendekat kepada mereka. Tapi tampak tak ada satupun yang dapat melihatku. Dan siapakah itu, yang sedang dimasukkan ke dalam lubang itu, liang lahat itu.

Aku menoleh kepada bayangan hitam itu, ia mempersilahkan aku mendekat, melihat dari dekat.

Aku terdiam, tersungkur di atas gundukan tanah galian yang merah. Aku begitu mengenal dia, wajah yang terbungkus kain putih itu, seluruh persendianku, tulang-tulangku tak dapat menopang tubuh ringkih ku. Jasad itu, itu adalah aku, itu aku, seperti itu kah rupaku, begitu kurus, tirus, pucat.

Aku melihat ke sekelilingku, ayah dan ibuku. Terlebih ibuku, menangis terisak ia, sesekali membenamkan wajahnya di tubuh lelaki itu, dia adalah ayahku. Guratan tua itu semakin nampak jelas di wajah mereka, nampak ayahku menahankan rasa sedihnya. Adik perempuan dan kakak perempuan ku menangis terisak-isak tak dapat menahankan, dan adik lelakiku, ia hanya diam dalam kebingungan.

Aku berlari, mendekat ke arah ibuku, mencoba memeluknya, mencium tangannya, tapi tak dapat, aku kini hanya bayang-bayang, seperti bayangan hitam itu.
"ibu, aku di sini, ade' di sini bu"
"ayah ade' di sini" 
Aku mencoba memeluk ayah ku, aku tak mampu

Aku berlari ke sana, ke mari, mencari bayangan hitam itu. Aku ingin bertanya apa arti dari semua ini, apakah Aku sudah mati? dimanakah aku kini? 

Bayangan hitam itu pergi, yang nampak hanya jubah hitamnya dari kejauhan, sesuatu berbisik kepadaku, kata-kata itu membuatku lemas, merinding, dan aku tahu selama beberapa waktu ini aku berteman dengan siapa. Suara itu berkata "dialah malaikat maut itu".

"Astaghfirullah"
hanya itu yang dapat aku ucapkan

Dari kejauhan, dia melepaskan penutup kepalanya, malaikat maut itu tersenyum kepadaku. Senyum yang lembut, tetapi membuat aku semakin takut.

aku tak ingat lagi akan apa yang terjadi pada diriku setelah itu, yang aku tahu aku sudah berada tepat di dalam kamar kostan ku di jalan pelesiran no 28. Aku masih hidup, kedua orang tuaku, mereka berdua pun masih ada, alhamdulillah, semua hanya halusinasi dari sebuah cerita.

Sunday, October 30, 2011

Time to say goodbye, denting penggorengan

Conte partiro

Hey, titik-titik air hujan sisa hujan deras sore ini, masih sedia menemani aku, saya berkutat dengan lagu-lagu melankolis yang luar biasa romantis *tertawa.

Menggoyang-goyangkan kepala, "shaking my head", seolah-olah hidup itu begitu indah. Oh hey, bukan seolah-olah tetapi hidup memang indah.

Conte partiro sarah brightman berkata "time to say good bye", rekannya yang lain berkata "somewhere over the rainbow" sepertinya hidup ini semakin menjadi indah dengan semua naik dan turunnya, dengan semua yang datang dan perginya.

Hari ini, hujan membasahi, aku masih berkutat dengan suara denting penggorengan dengan pasangan setianya -sutil-. Masih berputar-putar menari dengan titik-titik hujan yang berjatuhan, tepat di atas atap kamar kost-kostan yang sempit, seiprit tapi menarik, sungguh sesuatu yang indah yang kehidupan berikan padaku. Hey maksudku Sang Pemberi Kehidupan.

"Friend shaking hand, singing -how do you do",

Tuesday, October 25, 2011

Bulan, terangi malam

Hujan rintik membasahi bumi parahiyangan ini. Dingin, menjadi semakin dingin. Malam yang gelap, lembab, menemukan diri kembali bersendiri, menyepi bersama bayang-bayang diri, membayangi setiap kali jejak kaki melangkah mantap di bumi Allah yang indah ini.

Sejauh batas mata memandang, yang nampak hanya keindahan. Keindahan dari sudut pandang keikhlasan tentang keniscayaan. Keindahan dari sudut pandang air mata dan penyesalan dari setiap hati sanubari anak manusia yang masih bernafas di muka bumi ini. Ada yang datang ada pula yang pergi.


Ini sebuah guratan-guratan kisah tentang kehidupan. Kehidupan aku, aku yang juga sama manusianya dengan kamu. Aku yang dari sudut pandang mereka yang merasa berada di bawahku, adalah manusia yang lebih. Dan menjadi manusia biasa ketika dilihat dari sudut pandang manusia-manusia luar biasa yang berada di luar sana. Bisa jadi, kamu masuk di dalamnya, manusia luar biasa yang jauh luar biasanya dari aku.

Cintai aku Tuhan ku
Temani Aku
tapi, masih begitu beraninya aku meminta hal seperti itu kepada Mu

Ini sebuah surat cinta
surat cinta itu aku bentuk sedemikian rupa sehingga
aku perturutkan ia bersama tiupan angin sore hari
terbanglah ia melanglang buana
membumbung di angkasa
semoga ia dapat menggapai Mu wahai Tuhan ku

Aku sendiri
Ya, manusia lain berpikir sudah berdua 
tetapi, aku sendiri

Bila aku tak dapat mendengar suara manusia yang lainnya, maka aku akan hadirkan suara-suara itu di sini, di dalam hati, di dalam alam pikiran ini. Kalau aku tak dapat melihat wajahmu, manusia itu, maka aku hadirkan wajah-wajah sejuk, teduh itu di dalam hidupku, hari-hariku.


Menginginkan kedamaian sampai akhir nanti, di sinilah aku kini, berpijak di bumi ini. Seperempat abad usiaku, banyak naik turun yang aku lalui. Tidak mengatakan bahwa jalan hidupku adalah lebih menarik daripada manusia yang lainnya. Hanya saja, tiupan angin, lambaian daun-daun hijau di sore hari, dan keterbatasan serta kesendirian membuat aku menjadi manusia yang tumbuh dengan daya imajinasi. Bayangan tentang bahwa hidup itu, bahwa nikmat Nya begitu menjadi luar biasa indahnya.

Sebagian dari kamu yang merasa kecewa padaku, beberapa dari kamu mungkin membenci aku. Ada dari kamu mungkin ingin meludahi wajahku, atau mungkin melemparkan kotoran itu tepat di atas wajahku, kepalaku. Silahkan, aku mengizinkan, tak akan ada beda, semua bau, semua rasa adalah alam pikiran yang mengendalikannya. Dan aku, di sini tetap lah ingin menjadi manusia yang berbahagia. Menjadi manusia yang berdiri di bawah terpaan sinar rembulan. Sembari menengadahkan kepala, tersenyum senang, senyum tentang kebahagiaan. Senyum yang ada karena tak dapat mengungkapkan rasa bahagia tentang menjadi hamba Nya.

Kamu merasa bosan, merasakan kekesalan, merasakan kekecewaan yang mendalam. Oh manusia di luar sana, kamu tidak sendirian. Lihatlah dunia dari sudut yang berbeda, sakitku tidak menjadi keterbatasan bagi ruang gerak tubuhku, akal dan pikiranku. Hidup manusia yang cukup singkat membuat aku menjadi tersenyum mengetahui bahwa betapa aku beruntung, betapa aku harus bersyukur berada di bumi ini.

Dan, kalau aku tidak bisa menemukan kamu, akan aku temukan diriku
kalau aku tak dapat mendengar suaramu
akan kembali aku perdengarkan, putarkan harmoni kehidupan itu di telingaku
kalau aku tak dapat melihatmu
akan aku ajak kedua mataku berkeliling dunia dengan imajinasiku
akan aku ajak mereka untuk memejamkan mata, menemukan kembali duniaku

aku bahagia
kamu pun harus begitu, siapapun kamu
bahagia dengan caramu sendiri

karena hidup ini hanya satu kali
karena hari tidak akan manunggumu untuk berganti
karena waktu tidak akan manantimu untuk berlari

Sunday, October 16, 2011

short conversation with Cred the lizard

"I do hate promises, when someone said that -yes i can- but definitely he or she can not. This is human being and i don't know why people in Indonesia can simply say yes without thinking about the concequences"

"Maybe you are right" suddenly I heard a voice whisper in my ear

I tried to look into the left and right, no one in this room. Nor is there the moon which is sometime she stay right in front of my window. Nor is there the leaves of the trees that sometimes looked at me, even just to say hello, right in front of my window.

"Ah, the sound was just part of my imagination" I thought so

I keep make my self busy with what i am thinking about. About why do people so often promised, but difficult or indeed forget to keep. Even forget to say that that promise which they just said sometime ago, is only strands of spells that they used like a decoy to attract other humans.

"I do not understand"

"Yes indeed, all of you such a man and as well as you. Humans are not much different in terms of their basic character"

The voice came back, I'm turning my head back, gaze as far as the eye could see. But still i see nothing. Quite strange, because the moon not being with me this time and she is usually talk with me. So from where that voice come?

Thursday, October 13, 2011

Heart this is hard to be hurt

Malam, titik-titik hujan itu menemani kejatuhanku dari dekat, dan mereka semakin dirasa dekat dengan hati, kepala dan alam pikiranku.

Malam ini, pkl 23:13 hujan rintik-rintik membuat basah tanah yang belum lagi kering wahai bumi. Apakah kabarmu hari ini? senang kiranya, karena hujan kembali datang menemanimu, tanpa kompromi, tanpa kesepakatan antara bumi dan langit akan hujan rintik-rintik.

Aku sedang sedih wahai bulan, datanglah kepada ku, temani aku, temani di sini di dalam sini, di salah satu sudut di ruang hati ini. Dia sedang terluka wahai bulan, aku mohon palingkan wajahmu sebentar saja, dengarkan aku bercerita, tanpa perlu membuat 'kesepakatan' antara aku dan kamu, tentang kapan, dimana dan berapa lama tentang cerita yang ingin aku sampaikan.

Bulan menggeliat dalam pekatnya malam, bergerak perlahan, ia berkata "ada apa manusia?" begitu dia menyapa. "Ada apa gerangan, hingga basahlah pipi mu akan titik-titik air mata". begitu dia menambahkan.

"Temani aku, temani aku menangis, kali ini, saat ini, malam ini"
"Sampai pagi menjelang, karena tak dapat tidur, tak dapat lelap raga ini, sulit untuk menutup mata ini"
"Ada apa gerangan?" rembulan bertanya
"kata kesepakatan itu mengusik hatiku, setiap bait kata terasa menghujam akibat dari rasa egoisku"
Bulan menghela nafas panjang, berat, terasa amat berat, hembusan nafasnya mengiringi hembusan angin malam yang bertiup, menyibakkan tirai jendela kamarku. Kamar yang kecil, sempit, seadanya, karena memang aku orang yang tidak punya.

"Aku bukanlah tempat yang tepat untuk keluh kesahmu"
"Aku belum cukup bijak untuk kembali menjadi pendengar setiamu"

Aku menangis tersedu-sedu, rasa sakit itu semakin pilu. Aku terdiam, termangu, begitu menyadari aku hanya seorang diri, kali ini, saat ini. Mungkin memang benar, aku lebih pantas dan baik untuk menjadi sendiri, menjadi pribadi yang berdiri di atas kedua kaki ini.

"Datanglah kepada Nya, Yang Menciptakan kamu, Yang Mengerti akan isi hatimu" begitu rembulan berkata, sembari tersenyum lembut kepadaku.

Tersedu-sedan aku menangis kencang, teriakan hatiku membuat seluruh syaraf yang berada di tubuhku mengejang.

"Aku bodoh wahai bulan"
"Mengadu pada Nya? aku tidak punya cukup keberanian untuk itu"
"Apa yang harus aku katakan? tentang hidupku? mana bagian yang menarik dari hidupku? selain timbunan-timbunan kata-kata palsu"
"Mana lagi bagian dari hidupku yang bisa dijadikan catatan putih dari perjalananku"

Aku berteriak "Aaaaaaaaaaaaaaaaargggghhhh, Tuhan ku, tolong aku. Kembali kan aku ke jalanmu. Biar susaaaaaah, biar payaaaaahh, biar penuh dengan darahhhhh. Kembalikan akuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu"

Wahai bulan, tolonglah aku, sampaikan kepada Tuhanku, Allah Yang Maha segala-galanya itu. Betapa aku merindu, betapa aku ingin merasakan hembusan angin surga itu. Betapa aku mengharapkan cahaya itu kembali menyinari jalan hidupku.

Bahagia itu membuat aku lupa akan betapa bodohnya aku
Uraian tawa itu membuat aku terlena tentang betapa sebenarnya aku sudah termakan tipu daya dunia

"Daging yang tumbuh di dalam tubuhku, yang terkadang mengusik tubuh ringkihku, tidak juga membuat aku bangun dan tersadar akan semua salah dan khilafku. Aku bukan manusia yang pesimis" begitu wanita kurus, tak menarik itu berkata pada dirinya. Dan wanita kurus tak menarik itu adalah aku.

Pergi kemanakah dia yang dulu,  berlari kemanakah kamu kini, wahai manusia yang berusia 25 tahun. Aku tidak tahu, aku tidak tahu, dan aku tidak tahu menahu. Sakit hanya sakit yang aku rasakan, hati berkata "Aku sakit wahai sefta marisa, aku sakit. Dan kamu sudah menyakitiku dengan semua jalan hidupmu". 

Aku terduduk, lemas, lututku tak mampu berdiri. Aku tidak lagi mengenali aku yang kini, tidak lagi jelas tentang apa dan mengapa aku bisa seperti ini. Jalan itu menjadi gelap, malam ini semakin pekat di rasa, lembah itu semakin dirasa lembab. Aku terjerembab, terdiam, terduduk, terjerembab, tak ada pelita, tak ada seorang anak manusia pun yang datang dan menghampiri kemudian tertarik untuk membawaku pergi.

Hanya kesalahan demi kesalahan yang aku rasakan
Hanya tumpukan noda yang dirasa semakin membuat hitam catatan yang aku punya
Bahkan air mata pun enggan untuk datang menemani saat-saat kejatuhanku.

Seperti porak-poranda benteng pertahananku,mengais-ngais dengan jari-jemariku. Hingga tidak terasa kucuran darah segar mulai keluar, menyeruak dari sela-sela kuku jari jemariku. Mengais-ngais rahmat yang Dia tebarkan bagi seluruh umat manusia, mencari-cari kemanakah aku bisa menemukan belas kasih dan ampunan itu. Ampunan bagi masa lalu ku yang merugi itu, belas kasih bagi kekhilafanku yang sungguh memalukan itu. "Aku terjerembab wahai bulan" aku pun menangis tersedu-sedan.

Mengulurkan tangan, sembari berteriak "tolong aku, siapapun yang berada di sana tolonglah aku. Tanpa perlu ada kesepakatan itu. Aku mohon selamatkan aku, karena aku tidak tahu sampai dimana batas usiaku". Tangis ku semakin memecah kesunyian setiap sudut ruang di dalam hatiku. Rasa bersalah, malu, amarah, kecewa atas ke-aku-an ku, membuncah, menyeruak, menusuk setiap sisi-sisi kemanusiaanku, aku kembali menangis pecah karena hal itu.


Tuesday, October 11, 2011

Karena ia tidak akan pernah sama

Kemarin listrik padam, tiba-tiba pada pkl 2.30 pagi waktu Indonesia bagian barat. Nampaknya Allah menginginkan saya berlaku adil pada tubuh yang sudah Dia percayakan pada saya.

Saya, salah satu dari sekian banyak hamba yang berada di bumi ini, yang terkadang membuat gelap mata dan melenakan manusia yang menghuni di dalamnya, termasuk saya.

Sore itu, wanita paling cantik, paling memesona di dunia itu menelepon saya. Katanya “de tadi ibu kirim uang” yah, lagi-lagi soal uang. Lagi-lagi kiriman uang. Lalu “minggu ini pulang gak?”, hah pulang waduh gimana ini, “jeb…jeb…jeb” dirasa pisau kata-kata itu menghujam dalam, hingga membekas di dalam hati dan alam pikiran.

Bingung, bagaimana harus menjawabnya. Entahlah, setahu saya beberapa tahun yang lalu saya merupakan satu dari sekian banyak anak manusia yang ahli dalam membuat alasan. Dan sekarang, sedikit demi sedikit keahlian itu mulai hilang, mungkin, saya juga tidak tahu pasti.

“gak bisa bu, kalau pulang gimana dengan Tugas Akhirnya” begitu jawab saya sekenanya, wanita cantik paruh baya itu diam, kemudian “oh, ya sudah kalau nggak pulang”, telekomunikasi pun terputus setelah wanita cantik itu menutupnya dengan salam.

Saya tidak lagi pandai memberi alasan, setelah ibu saya itu selalu berkata “…nanti kalau sudah menikah, bisa tambah jarang pulang de”, begitu selalu beliau berkata pada saya. Saya hanya terdiam, memejamkan mata, ibu selalu begitu, menjelang kepulangan saya, serta merta ia menyelinap masuk ke kamar belakang, atau lebih tepatnya kamar belakang plus gudang, gudang barang-barang hasil kreatifitas wanita paruh baya itu.

Beliau berbaring, antara tertidur dengan tersadar. Mulai bercerita, berkisah, terkadang mengurai isak tangisnya pada akhirnya. Dan saya kembali hanya bisa terdiam, mendengarkan. Dari wanita yang satu ini, saya banyak belajar, bagaimana wanita bisa menjadi begitu kuat, bagaimana tiba-tiba ia bisa menjadi begitu lemah, dan saya hanya bisa terdiam.

Mengapa manusia harus menikah? Karena itu sunnah, sudah ditentukan di dalam Al Qur’an manusia diciptakan berpasang-pasangan. Mengapa tidak lelaki semua? Atau wanita semua yang menghuni dunia? Tidak bisa seperti itu agaknya. Mengapa harus menikah? Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang di kepala sejak beberapa tahun yang lalu.

Saya tidak ingin menikah, begitu awalnya, sampai mencari-cari alasan agar keinginan saya bisa terkabulkan. Tapi tak bisa, tapi tak dapat, manusia yang genap diennya saja belum tentu masuk surga Nya, bagaimana dengan yang diennya masih separuh seperti saya. Dan keduaorang tua saya, tidak ada setuju-setujunya dengan ide gila yang ada di kepala saya.

Akhirnya, beberapa tahun berikutnya, dengan berat hati, bertarung dengan apa yang ada di dalam diri, kemudian berkata, di atas sejadah tua “saya akan menikah ya Rabb, saya akan menikah, tetapi, dengan hamba Mu yang mencintai Mu, yang mematuhi perintah Mu dan menjauhi larangan Mu”. Dengan berat hati, dengan berat hati.

Dan beberapa bulan belakangan ini, ibu selalu berkata seperti itu, terkadang ayah pun begitu “kalau sudah nikah, nanti pasti susah kalau mau pulang de”, begitu selalu. “Arrrgggghhhhhhhh” saya masih ingin bersama ibu, masih ingin menjahili ayah, masih ingin menggoda ibu. “Memang kalau sudah nikah gak bisa cep? Bisa kali cep” begitu teman-teman, orang-orang di sekeliling saya berkata . Berbeda, tidak akan sama, berbeda.

Mengapa harus menikah ya Allah, kenapa harus menikah?

Friday, March 25, 2011

Inilah aku di suatu hari, 25 Maret, Jumat di tahun ini, 2011

Jumat, 25 maret 2011

Pagi, menjelang, seperti biasa aktifitas sehari-hari saya lakukan. Menyibukkan diri, menguras sedikit energi, demi menghilangkan rasa sepi, penat, akan sesuatu yang terlepas. Burung-burung pagi itu bernyanyi 'cuit cuit' seperti itu setiap hari. Alhamdulillah masih ada sedikit tempat untuk mereka bertengger, menegakkan sarang sebagai tempat berlindung dari panasnya matahari dan dinginnya hujan.

Meretas asa, menembus bayang-bayang gelap yang remang. Sudah ku coba menghidupkan pelita, pelita asa yang temaram, yang hampir saja padam. Tetapi angin pilu itu sungguh kuat menusuk sumsum tulang jiwa, sungguh menyayat sanubari, membuat hati tersengal-sengal, terengah-engah menjaga asa yang hampir padam.

Entah mengapa hari ini terasa begitu pilu wahai awan pagi, entah mengapa hati ini terasa begitu melankoli, titik-titik air itu hampir membasahi bumi ini, sedih. Aku ingin pergi, melangkahkan kaki, kemana? entahlah aku tak tau, menembus angin pagi, memburu nafas yang serasa ingin pergi meninggalkan diri ini. Aku pergi, ku cium tangan wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan aku, dia lah ibuku. Wanita yang menatap dunia lebih dari separuh abad. Wanita yang menghabiskan sisa-sisa harinya di atas lantai yang dingin, wanita yang mempersingkat waktu tidurnya, demi berkutat dengan dinginnya angin malam, demi berkawan dengan terik matahari dan dinginnya angin dikala hujan datang.

Dia ibu ku, aku sayang, meski terkadang lidah yang tak bertulang milik ku, yang ia lahirkan, tanpa sengaja menghujam hatinya, jauh masuk hingga mungkin terasa sakit ia ketika mendengarnya. Dia ibuku, tak lagi muda, kerut keriput mulai menghiasi wajahnya. Aku pergi, begitu kata ku, dan ketika dia bertanya kemana arah dan tujuan ku, ku katakan 'aku tak tahu' ya aku memang tak tahu. Dalam kebingungan, kekhawatiran, ia menatapku dari kejauhan. Sembari kembali mengulang 'ade, mau kemana?', aku katakan suatu tempat yang ibu memang sudah tau itu. "hati-hati" begitu kata-kata itu meluncur dari bibirnya yang tak lagi muda, mengikuti seluruh tubuhnya. Ya Allah aku menyayanginya, menyayanginya, sungguh.

Dan titik-titik air ini menggenang di kelopak mata, hangat, sedih dan rasa bersalah itu menyeruak, aku menyayangimu, wahai wanita tua, separuh abad, yang mencari nafkah siang dan malam itu, untuk aku dan ketiga saudaraku.

Bus Ekonomi, tujuan terminal raja basa,

Ia melaju kencang, ia datang setelah hampir setengah jam aku menunggu, dan menunggu hingga menjadi perhatian segelintir orang. TIdak ada teman, pembunuh rasa sepi hanya sebuah alat komunikasi, aku berbicara melalui kata dengannya, ibuku yang jauhnya beberapa ratus meter dari tempatku berdiri. Ia mencoba menghubungiku berkali-kali, membujukku untuk tidak jadi pergi, menemani ia berseloroh, bercengkrama, menghabiskan hari-hari membantu meringankan sedikit pekerjaannya. Tapi, 'maaf ibu, aku harus pergi, untuk hari ini, sore hari aku akan pulang kembali'. "Tapi, mau kemana de?" begitu tanya nya."sekedar melangkahkan kaki, menenangkan diri", demi membunuh rasa jenuh akibat -menganggur, tanpa aktifitas otak'.

Hilir mudik orang-orang, manusia yang berada di kota ini, dari desa yang satu, desa yang lainnya. Dengan berbagai macam rupa, warna, corak, bahasa, kulit mereka. Dengan berbagai macam pikiran yang silang lintang di dalam kepala mereka. Bus ekonomi ini penuh sesak, semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Asap rokok yang mengepul, menambah kadar carbon di bumi yang hijau ini, semakin tinggi. Menyedihkan, kesadaran manusia akan betapa berharganya -bumi- yang Allah berikan, masih amat kurang.

Manusia Indonesia, mungkin manusia-manusia lain yang berada di belahan bumi lain, -no idea- bahwa ada manusia seperti kami ini, bagian dari bumi ini, bagian dari bangsa ini, di sini.

Tenggelam dalam pikiran, lelah, lelap selama perjalanan. Entah seperti apa rupa, entah seperti apa bentuk ketika mata terpejam, ketika jiwa jauh berada di dalam alam bawah sadar, aku tertidur kemudian. Entah sudah berapa kali mobil ini menaik dan menurunkan penumpang, entah sudah berapa kali pula ia berhenti dan berjalan, aku tak tahu, aku tak sadar akan hal itu

"19.23, adza isya pun berkumandang, rasa sakit dari salah satu titik syaraf dirasa mulai mengganggu. Bodohnya aku, sebentuk butiran di wajahku yang ku rasa mengganggu, sudah ku usik keberadaannya dengan menekannya sekuat tenaga. -Jerawat- itu mulai memprotes tindakannya, ia meradang, hingga rasa sakit itu muncul ke permukaan. Mari kita rehat sejenak, sholat, karena kita tidak pernah tahu, kapan Dia akan meminta malaikat mautnya menjemput kita untuk selamanya

Terminal raja basa

Kota ini penuh sesak, menghabiskan waktu bersama ibu angkatku. Ibu dari seorang lelaki yang hampir saja menikahiku. Lelaki itu kemudian menghembuskan nafas terakhirnya dalam sebuah kecelakaan maut yang merenggut nyawanya, ia pergi untuk selama-lamanya. Lebih menyedihkan ketika, karena kecelakaan itu terjadi setelah ia pulang dari rumah kedua orang tua ku. Hancur, aku, kedua orang tuanya, keluarganya, teman-temanku dan semua orang yang mengenalnya, ketika lelaki bernama Dyan Isworo itu pergi, meninggalkan dunia ini dan tidak akan kembali.

Bayang-bayang masa lalu, melambai-lambai menghantui setiap jejak yang aku langkahkan di bumi ini. Seperti apa pun berusaha mencoba untuk menegakkan kepala, menatap dunia, tetap saja, rasa pilu itu diam-diam merayap, merambat, mencabik-cabik jiwa, hati dan rasa. Sesak, tersengal-sengal, hingga terisak-isak, sedih itu tak tertahankan.

Aku, sefta marisa dwipasari jn, -jobless, unemployed, pengangguran-, ya itu kini yang tersematkan.

Hari mulai menjelang petang, wanita yang usianya lebih dari separuh abad itu, sedikit lebih tua dari usia ibu kandungku. Ia sudah bagai ibu bagi ku, ibu dari Dyan Isworo Fisika Instrumentasi 2004. Menghabiskan separuh dari hari ku bersamanya, mendengarkan ia bercerita, berkisah tentang kedua anaknya, anak lelaki yang tersisa, yang masih menjadi tumpuan harapannya. Kakak-kakak dari Dyan isworo, mereka lah yang membuat wanita paruh baya itu, mempertahankan, memperjuangkan senyumnya, walau rasa kehilangan seorang anak bungsu, anak kesayangan, benar-benar memukulnya jatuh, telak jauh ke dalam palung jiwanya.

Aku pulang, ku cium tangan wanita itu, ibu angkatku. Ku cium pipinya, aku pamit, 'hati-hati de' begitu katanya. Aku menyayanginya, begitu pun ia, akulah pengganti anak bungsunya, Dyan Isworo yang sudah meninggalkan kami semua. 

BUS DAMRI jurusan Tanjung karang - terminal Rajabasa

Penuh sesak dengan manusia, beragam usia, beragam bau, peluh keringat bercampur di dalamnya. AC yang menyejukkan sedikit menurunkan tingkat emosi manusia, akibat dari cuaca panas yang menghembuskan nafasnya.

Sudah hampir 2 bulan, murni aku tidak bekerja. Sudah hampir 5 bulan, hal bernama -gaji- itu tidak aku terima. Ibu angkat ku menyadarkan aku akan hal itu, senyum miris aku sunggingkan, menyembunyikan rasa kekhawatiran akan sesuatu yang bernama -uang-. 

Bus ini terus melaju, kencang, semua ingin segera mengakhiri penderitaan dari duduk, berdiri berdesakan, dan dari bau keringat manusia yang beragam macam, yang sudah bercampur baur dengan bau matahari dan asap kendaraan.

ketika Supir bus DAMRI berteriak ANJING!!!

-Anjing- begitu teriak supir bus DAMRI, beberapa saat setelah sesuatu menyebabkan ia menginjak pedal rem secara tiba-tiba, hingga membuat beberapa penumpang wanita berteriak terkejut karenanya. Apa gerangan, emosi pak supir terpancing tiba-tiba. -Ooo- begitu ujar beberapa penumpang, mengetahui bahwa yang menyebabkan pak supir tersulut emosinya adalah ketika seorang wanita bersama seorang bocah lelaki di belakangnya, mengendarai motor dengan tidak hati-hati, membahayakan nyawa orang lain dan diri sendiri.

Di sini lah aku, kembali, terminal Raja Basa

-Aku pulang-,

di dalam bus, terlena dalam setiap lantunan lagu yang membangkitkan memori, yang menstimulus setiap ujung-ujung syaraf yang berada di kepala. Mereka bersinkronisasi dengan hati, rasa pilu itu kembali menyeruak, masa lalu itu kembali lagi. Helaan nafas panjang, berat, sesak, itu yang aku rasa, itu yang aku rasa.

Pabrik itu masih seperti dulu, hanya pagar biru itu membuat ia seperti sesuatu yang baru, karena dahulunya pagar itu lusuh, begitu menampakkan ketuaannya. Aku melongokkan sedikit kepala ku, melihat dari dalam bus Penantian Utama jurusan kotabumi, yang melaju kencang. Beberapa detik, aku menatap, tumpukan-tumpukan karet itu sudah mulai meramaikan. -Ya, pabrik itu sebentar lagi akan beroperasi, sebentar lagi akan berjalan, seperti dahulu, ketika pertama kali aku bekerja di situ-.

Titik-titik air hangat itu menggenang, ada setitik rasa yang ingin menimbulkan, memunculkan kata, rasa -penyesalan-. Seandainya dahulu aku tidak menerima tawaran kerja di Perusahaan Otoparts itu, tentunya aku masih bisa berada di situ, di pabrik itu. Mengasah otak, menghibur alam pikiran ku, dengan ilmu pengetahuan yang selalu baru dari waktu ke waktu. Tapi, itu sudah berlalu, pabrik karet itu tinggal masa lalu, aku bukan lagi bagian dari mereka, aku hanya mantan -Kepala Laboratorium- yang dulu pernah berada di sana.

Berpikir, sedih, pilu itu, sesal itu menghantui, tapi apakah perlu? Keputusan sudah diambil, penyesalan tidak akan berujung pada sesuatu yang membawa matahari di dalam hati ini cerah kembali. Aku, saya, bukan tipikal manusia yang senang menyesali sesuatu yang sudah terlepas dari tangan. Mengundurkan diri, mungkin memang itu jalan yang harus saya lakukan. Memang saat ini aku tidak berpenghasilan, -tidak apa-, sesuatu itu memang sedang Dia sembunyikan, sebagai pengganti dari apa, dari pekerjaan yang sudah aku lepaskan.

Mengingat sebuah perusahaan Otoparts yang membatalkan pekerjaanku, karena Jilbabku, karena pakaianku. Menyesal? tidak, aku tidak mau itu, percaya, aku percaya, sinar matahari itu akan menyinari setiap pori-pori hidup ku. Aku percaya, angin kehidupan itu akan kembali menghembuskan sejuknya, di setiap bulu roma jiwaku. Penyesalan akan waktu yang terbuang, beberapa bulan (sebagai akibat dari gelar PENGANGGURAN) yang nampaknya menyebabkan otakku, kepalaku, pikiranku, membeku, membisu, kaku? Tidak, tidak perlu itu, ilmu itu akan aku dapatkan, sudah aku dapatkan, ilmu itu tentang kehidupan, ilmu itu tentang bagaimana mengikhlaskan setiap apa-apa yang terlepas dari tangan.

Ilmu tentang dunia, tentang kalkulasi matematis, tentang analisis, ya memang belum aku dapatkan, karena aku masihlah seorang pengangguran. Tapi, ilmu tentang kehidupan, ilmu tentang keikhlasan, ilmu tentang kesabaran, itu yang saat ini sedang dalam genggaman. Dia mengajariku banyak hal, Allah memberitahu semua hal itu, ilmu pengetahuan itu, Dia mengosongkan pikiran ku dari ilmu dunia yang silang lintang membutakan mata hati yang aku punya.

Ini memang jalannya

Dan pilu itu, sedih itu, tusukan rasa yang menghujam jiwa itu bukan karena -Gelar pengangguran itu-, bukan hanya karena -tidak ada aktifitas otak tentang ilmu analisis dunia itu-, tetapi karena sesuatu, sesuatu yang meninggalkan ku, yang selalu meninggalkan ku, orang-orang yang penting di dalam hidup ku, yang menjadi penghuni di dalam hati ku, yang berkata -mencintai ku- untuk kemudian pergi, melangkah, meninggalkan aku dengan serpihan hati yang tercecer, tertiup angin di suatu hari yang kelabu, pekat, dan menyayat.

Aku tidak ingin menyesal, aku tidak ingin menyesal, aku ingin melepaskan, aku ingin mengikhlaskan setiap anak manusia yang datang, kemudian pergi meninggalkan. Sisakan harapan, secuil harapan, sisakan cahaya, walaupun temaram. Bila ia datang, biarkan temaram itu menjadi terang benderang. Bila ia sudah melupakan, biarkan temaram itu tetap temaram atau relakan ia untuk padam. Mari membuka jendela jiwa, mari kembali menata cahaya hati agar ia hidup kembali, agar ia mampu kembali menerangi setiap sudut yang ada di dalam jiwa ini

itu memang jalannya, itu memang jalan Nya 

Tuesday, March 15, 2011

Earthquake, Tsunami, Nuclear disaster in Japan 2011

Feel so sad, tear drop from my eyes, hear about Japan. What kind of disaster is that my Lord?

I try to hold on my tear so not drop to the earth, but i can not. Was so sad, even they aren't my family, i don't even know who they are, don't know even where they live. But, that tears always drop from my eyes. What kind of disaster is that my Lord.

Rasanya sedih itu belum juga mau beranjak pergi, sial, sifat dasar sensitif yang saya miliki kadang seperti berlebihan bagi orang lain. Fading like a flower roxette menemani saya menghabiskan malam sebagai seorang hamba yang berusaha menjemput rezeki. Tetapi, rezeki dalam bentuk materi itu belum bisa saya dapatkan, saya masih lah seorang pengangguran.

spending my time, i miss you so much, where have you been right now.

I am sensitive, yes i am, japanese people is in suffer. Imagine when nuclear radiation frightened all people in that country. And from news, i read that the radiation in 10 hour will reach Tokyo. Oh my God, my Lord please help them there. Help them to fix all of those things, tsunami, earthquake i still can take a deep breath about that. At least, die yes some people die, disappear, but nuclear radiation? it will cos lots of causes. For the children, from the human, for the environtment there, for the 

saya tidak tahu lagi harus berkata apa
tidak dapat menceritakan apa-apa. Rasanya seluruh persendian saya melemas, kehilangan kemampuan untuk menopang jiwa ini. Semua yang luluh lantak, semua yang tersapu, terbawa arus air yang deras menyisakan tangis, luka, trauma yang mendalam bagi mereka semua. 

saya tidak mengerti bahasa mereka, tidak pula budaya mereka, tapi yang saya tahu mereka sama manusia seperti saya, sama memiliki perasaan seperti yang saya punya. 

Don' be sad my friends in Japan, i always pray from here for the best of you and your country. I hope your nuclear can get better, and not harmfull anybody there. Please smile for all of my friends in Japan, it's true that i don't know all of you, but i know how's feeling to be you, how's feel to stand in your position right now

saya tidak tahu lagi harus berkata apa, dinding kamar menjadi saksi dari setiap air mata yang menetes dari pipi saya. Begitu sedih rasanya menyaksikan apa yang mereka rasakan, tidak sanggup rasanya membayangkan nasib mereka yang sudah terpapar radiasi tingkat berbahaya. Tidak ingin pula rasanya saya membayangkannya. Bencana yang mereka rasakan sungguh luar biasa, belum lagi tsunami selesai, reaktor nuklir menghantui ratusan, ribuan nyawa yang berada di sana.

Berkaca pada chernobyl pada tahun 1986, semoga, saya berharap, saya berdoa, Tuhan ku, Allah saya memohon, selamat kan lah mereka yang berada di sana. Berikan kesabaran, kekuatan kepada mereka.

Tuesday, March 8, 2011

I still can barely remember my past

I can barely remember my past
Everything seems to disappear so fast
But I recall being jealous and alone
Gazing at the dreams going by

I started my life when you knocked on the door
Found something inside I didn't dare to ignore
Now I do believe in flowers on the moon
I'll swim beside the golden tide

You crashed by the gate
Captured my fate
Salvation
My eyes couldn't see
I hardly breathed
I was diving so deep
Salvation

I'm down in the study holding on to my luck
Will you still love me when I call you up?
I gave you my body, the power over me
Come on, bring out the best in me

You crashed by the gate
Captured my fate
Salvation
My eyes couldn't see
I hardly breathed
My heart was asleep
Salvation
Some will get broken
Others will get lucky like me meeting you
Don't pass me by

You crashed by the gate
Captured my fate
Salvation
My eyes couldn't see
I hardly breathed
I was down on my knees
Salvation
Some will get broken
Others will get lucky like me meeting you
Don't pass me by


Where ever you are, What ever you do, I hope i can see you, meet you, take you, bring you

Spending My Time

oleh: Roxette


What's the time? Seems it's already morning
I see the sky, it's so beautiful and blue
The TV's on, but the only thing showing
Is a picture of you
Oh I get up and make myself some coffee
I try to read a bit but the story's too thin
I thank the lord above that you're not here to see me
In this shape I'm in

Spending my time watching the days go by
Feeling so small I stare at the wall
Hoping that you think of me too
I'm spending my time

I try to call but I don't know what to tell you
I leave a kiss on your answering machine
Oh help me please, is there someone who can make me
Wake up from this dream?

Spending my time watching the days go by
Feeling so small I stare at the wall
Hoping that you think of me too
I'm spending my time (spending my time)
Watching the sun go down
I fall asleep to the sound of "Tears of a clown"
A prayer gone blind
I'm spending my time

My friends keep telling me
"Hey life will go on"
Time will make sure I get over you oh
This silly game of love
You play, you win, only to lose

Spending my time watching the days go by
Feeling so small I stare at the wall
Hoping that you think of me too
I'm spending my time (spending my time)
Watching the sun go down
I fall asleep to the sound of "Tears of a clown"
A prayer gone blind
I'm spending my time

I still spending my time, waiting for you

Thursday, September 2, 2010

Ada apa dengan negeri ini

Tarik tarik tarik nafas panjang

ada apa dengan negeri ini
semua muda mudi, orang dewasa mengagumi artis luar negeri, memasang memajang wajah idolanya menjadi -poto propil- di situsnya

ada apa dengan negeri ini
semua muda-mudi, orang dewasa gemar mengeluh di situs publik tempat akun dia berada. Semua aktifitas-aktifitas tidak penting menyeruak, merebak, macam nyamuk yang terbang, mendengung mencari, mencoba menarik perhatian kedua belah tangan manusia

ada apa dengan negeri ini
Ini bulan ramadhan
kerusuhan di Sulawesi sampai 8 orang yang tewas, tapi 6 orang itu menurut aparat keamanan

ada apa dengan negeri ini
harga diri negeri terinjak-injak negara tetangga, tetapi pemimpin negeri hanya 'seperti tak berdaya', setidaknya begitu menurut sebagian besar rakyat yang menghuni negeri ini

ADA APA DENGAN NEGERI INI!!!!!!
sungai CITARUM jawa barat menjadi sungai TERPOLUSI di BUMI ini

ada apa dengan negeri ini
anak manusia gemar bergosip di sana sini
menjadikan yang haram ke arah yang remang-remang, lalu -ah halal saja-, begitu setidaknya yang terjadi pada kasus suap dan sogok untuk menjadi pegawai negeri atau aparat negara di negeri ini

ada apa dengan diri ini ya Allah
ada apa dengan negeri ini
aku tak mengerti
aku tak mengerti

susahnya hidup dirasakan manusia di sana sini
tapi dewan kehormatan di negeri ini, ingin tegakkan gedung tinggi dengan uang triliunan hasil keringat anak negeri, hasil keringat orang-orang miskin yang bahkan tak mampu membeli beras RASKIN

ADA APA DENGAN NEGERI INI YA RABB
aku bertanya pada Mu karena tak ada, belum ada manusia yang mampu menjawab semua pertanyaanku. Dimanakah manusia-manusia itu ya RABB, manusia-manusia peduli, manusia-manusia yang Engkau siapkan untuk merubah diri, negeri, dan bumi ini ya RABB

BUmi ini sudah cukup tua
TAk kan lama KIAMAT akhir dari dunia akan segera tiba
Ya RAbb, aku bertanya
aku mengeluh
aku bercerita
aku berkisah tentang dunia tempat aku berada

Friday, August 27, 2010

Ini tentang jaman Dulu, saya belum kalah

Dulu, pikir-pikir puasa itu ya menahan lapar dan dahaga. Tahapan paling berat menahan lidah, mata, hati dan telinga dari mengomentari orang-orang yang agak-agak aneh. Hingga akhirnya itu manusia-manusia ciptaan Allah, menjadi bahan berita layaknya selebrita.


Tahapan lain adalah sabar dan menahan amarah. Ketika memang ada sudut-sudut kosong yang dimanfaatkan oleh si setan untuk memancing titik kesabaran untuk sampai di ambang batas. Lalu berusaha menggeser-geser paradigma, agar akal pikiran saya berkata bahwa 'kesabaran ada batasnya', hingga rasa amarah itu tiba dan muncul ke muka. Tapi, nampaknya masih bisa lulus, meskipun tersendat-sendat, tergopoh-gopoh sembari terengah-engah


Tahun ini

Semakin bertambah usia, bahan uji mengenai apa dan seperti apa inti dari berpuasa, semakin berat dirasa

Mungkin saya tidak lulus untuk ujian tahun ini, dan harus mengulang di tahun depan

Tapi, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah saya diberikan untuk mengulang ujian tahun depan????

Belum tentu, definetly not sure


Seorang teman

tahun lalu, dia masih bersama dengan saya dan rekan-rekan yang lainnya

merasakan buka puasa bersama, di rumahnya

tapi tahun ini, dia sudah mendahului kami semua


kita memang tidak pernah tahu akan usia

bisa jadi, puasa tahun ini menjadi yang terakhir bagi saya atau kamu atau kalian atau manusia yang lainnya

bahan uji tahun ini memang luar biasa, semua dirasa menyerang dari segala sudut kosong yang ada


Setan-setan itu nampak berpesta pora ketika saya sedang berusaha

tidak dengan terengah-engah, tetapi saya mulai merangkak, saya merasa kewalahan, saya hampir kalah

Dulu saya berada pada kursi penonton, hanya memperhatikan, menjadi komentator yang berlagak bijak dengan bahasa-bahasa tidak jelas dan seolah-olah saya mengerti tentang panggung kehidupan yang saya tonton


Sekarang, beberapa bulan terakhir ini

saya menjadi pemainnya

saya merasakan cemoohan penonton akan peran yang saya lakoni

mencoba memperbaiki, saya hampir tenggelam dalam gelap


Tahun ini

Puasa yang sesungguhnya


Harusnya saya bisa bertahan di tengah terjangan setan-setan yang berusaha mendobrak dinding-dinding keimanan saya

Tahun ini saya baru tahu puasa yang sebenarnya itu seperti apa, tepat ketika semua bahan uji itu dihadapkan pada saya

Inilah ujian yang sesungguhnya bagi saya

Inilah tentang menahan nafsu yang sebenarnya

Mungkin inilah hakikat yang sebenarnya dari menahan nafsu itu


Saya tidak mau kalah

Tapi, bila memang saya kalah, biarkan saya kalah dengan terhormat

Biarkan saya kalah setelah saya berusaha dengan semua energi dari keimanan yang tersisa

Tapi saya belum kalah


Setidaknya ya Rabb

Berikan saya kesempatan untuk kembali

Sebelum malaikat maut Mu menjemput saya suatu hari nanti

Wednesday, August 25, 2010

Aku mau ke masjid pak, mau sholat di masjid bu

saya mau sholat di masjid pak
saya mau sholat di masjid bu

tapi, katanya sholat di rumah itu lebih utama bagi wanita dan di sunnahkan oleh Rasul kekasih Nya
tapi, katanya sholat di rumah itu lebih mengurangi mudharat bagi wanita yang melakukannya

tapi kan, pengin sholat di masjid pak
mau sholat di masjid bu

Liat temen-temen pada jalan ke masjid, sholat tarawih. Lihat anak-anak kecil, wanita-wanita yang lain berjalan mengenakan mukena, berjalan, melangkahkan kaki ke rumah Nya. Sementara saya sholat tarawih sendirian di rumah. Gak ada dengar ceramah, cuma selesai sholat langsung baca Al qur'an atau tutup mata. Tidur terlelap, hingga dini hari menjemput, membangunkan diri untuk segera mengisi perut, memenuhi sunnah yang lain, makan sahur.

Tapi, kalau saya sholat di masjid.....
takut mengganggu bu, khawatir terganggu pak
Pandangan mereka yang bukan muhrim saya, dirasa mengganggu. Meskipun itu hanya Pandangan biasa, seperti "selayang pandang, sekedar menatap saja". Tapi saya tidak nyaman Pak dibuatnya, tidak enak bu rasanya

Tapi, kalau saya sholat di masjid
Khawatir mudharat yang saya dapat, khawatir mudharat yang saya timbulkan.
Saya bingung bu, saya bingung pak
Lagi pun, kalau saya berangkat sholat di masjid, pastilah pergi dan pulang sendiri, tak ada teman muhrim yang menyertai.

Kedua orang teman saya, tidaknya menyukai saya. Berjalan dengan mereka di depan, dan saya di belakang, atau dengan saya berjalan sendiri di depan dan mereka berdua di belakang. Akan menimbulkan tanda tanya bagi yang melihatnya. Ujung-ujungnya fitnah, gosip, isu juga yang dirasakan oleh hati dan didengar oleh telinga

akhirnya teman saya berkata "nd usah ngiri cep, pan malah meraih keutamaan, kaidahnya mencegah mudharat lebih utama dan berpahala dibanding meraih manfaat"

jadi lega rasanya

Tuesday, July 27, 2010

ketika Mas Dyan pergi


Pertama

Sore itu di 3 Januari 2010, sepulang dari kerja. Seorang teman menghubungi saya "cup, sabar ya. Dyan kecelakaan". Oh, kecelakaan, pikir saya saat itu, tak apa mungkin saya akan ambil izin beberapa hari untuk menjaganya di rumah sakit, yang berada tidak jauh dari mes tempat saya tinggal.

Sesampainya di rumah sakit, bapak angkat saya keluar, menjemput saya. Beliau membawa saya ke ruang Instalasi gawat darurat, lalu seorang perawat wanita berkata "kuat kan mbak?", saya yang tidak tahu apa-apa saat itu menjawab "iya, insya Allah saya kuat". Perawat itu membawa saya ke sebuah ruangan dengan pintu terbuka, lalu ia meninggalkan saya bersama bapak angkat saya.

saya terdiam, mematung, lelaki muda itu terbaring, kaku. saya tidak tahu ia siapa, perawat sedang menjahit bagian kanan kepalanya. Satu-satunya yang membuat saya mengenali dia, ketika saya melihat telapak kakinya, pucat pasi, meninggalkan bekas terbakar matahari. Dia Mas Dyan, dia benar-benar Mas Dyan, Dyan Isworo, teman satu angkatan, satu Jurusan Fisika Universitas Lampung, satu konsentrasi Instrumentasi.

Lalu "Pak, mas dyan kenapa pak?" saya bertanya pada bapak angkat saya. Saya keluar, tak tahu harus bagaimana, duduk diam sembari memukul wajah saya, apakah benar yang saya lihat? apa saya tidak bermimpi?

Tak lama kemudian, saya lemas tak berdaya "ya Allah, dia sudah meninggal, Mas Dyan sudah meninggal. Dia lelaki yang katanya akan melamar saya dan menikahi saya bulan Juni tahun 2010 ini.

Noted : catatan ini terhenti, saya ternyata belum cukup kuat untuk menuliskan cerita tentang dia, lelaki yang sempat menawarkan diri untuk menjadi pendamping hidup saya nantinya

Wednesday, November 11, 2009

Hidup itu melelahkan

Ada saat dimana hidup itu bisa menjadi sesuatu yang sangat melelahkan akal dan pikiran, beberapa manusia memilih untuk meninggalkan kehidupan itu dengan cara perlahan, melalui apa yang namanya, stress, kemudian mengalami gangguan kejiwaan, hingga mengidap apa yang kita sebut dengan penyakit gila. Pada tingkatan terparah, manusia yang merasa tidak lagi mampu menghadapi persoalan di dalam hidupnya, yang merasa tidak mampu menyelesaikan persoalan yang diberikan oleh Sang Maha Pemberi Kehidupan, kemudian dengan serta merta merasa menjaid manusia paling menderita di dunia, hingga akhirnya ia memilih mengakhiri hidupnya dengan cara paksa, “membunuh dirinya”


Pada situasi dan pada manusia yang berbeda, ketidak mampuan menghadapi persoalan tentang kehidupan, tidak hanya berdampak negative pada dirinya pribadi seorang, tetapi kemudian mengikut sertakan orang-orang yang berada di sekitarnya. Hingga ada dari mereka yang memilih mengakhiri hidup salah satu atau bahkan beberapa anggota keluarganya dengan alasan “rasa iba”. Dengan asumsi, bila anggota keluarganya tersebut hidup untuk waktu yang lama, maka pastilah akan menderita. Hal itu timbul sebagai akibat dari rasa khawatir berlebihan akan ketidakmampuan sang ayah tentang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Padahal, setiap manusia memiliki rezekinya tersendiri, setiap makhluk di dunia sudah Allah jamin tentang rezekinya dan segala hal lainnya yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh akal pikiran manusia, termasuk saya.

Masih ingat dengan seorang ibu muda yang berdomisili di bandung jawa barat, yang sedemikian rupa sehingga menghabisi nyawa ketiga anaknya, dengan alasan khawatir dengan masa depan mereka. Bila dilihat dari latar belakang pendidikan, sangatlah tidak mungkin ia mampu memiliki pikiran untuk menghabisi nyawa ketiga putra/I nya. Terlebih lagi bila mengingat tempat di mana suaminya bekerja. Tapi persoalan kehidupan tidak hanya melulu tentang latar belakang pendidikan, bukan juga tentang tempat dimana manusia itu bekerja, menghabiskan waktu setiap harinya. Tetapi lebih kepada sejauh mana ia memahami hakekat kehidupan itu sesungguhnya, sejauh mana ia yakin dan percaya kepada Rabb Yang Maha Menjamin setiap kebutuhan hamba Nya.

Nampaknya, untuk beberapa saat hal itu luput dari pandangan si ibu, dan nampaknya si ibu pun sempat luput dari pengamatan si ayah. Beberapa kasus berakhir sama, berujung pada mengakhiri hidup dengan cara paksa. Ada ibu yang meminum racun bersama anaknya, atau mengikut sertakan anak agar turut terbakar bersama dirinya. Sebagian besar untuk alasan yang sama, yaitu mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Ada yang merasa kesal pada suaminya, hingga membakar diri lalu meninggalkan anaknya seorang diri.

Pria dan wanita tidak jauh berbeda, ada yang menyakiti diri sendiri, ada juga yang menyiksa anggota keluarganya, hingga meletakkan buah hatinya pada lintasan kereta api.

Betapa kejam dunia, begitu beberapa manusia berkata. Tetapi tidak ada yang salah dengan dunia, semua bergantung pada manusianya. Perlu waktu panjang untuk memahami kalimat bahwasannya “dunia itu tempat sementara bagi manusia untuk mengumpulkan apa yang namanya amal ibadah sebagai bekal untuk kehidupan yang sesungguhnya”.

Hidup itu indah, amat sangat indah dengan segala persoalan, permasalahan yang ada di dalamnya. Kesadaran manusia akan kebutuhan mereka pada Tuhan yang menciptakan mereka, menjadi tolak ukur sejauh mana ia akan bertahan menghadapi segala persoalan, permasalahan, ujian yang diberikan padanya.

Semakin tipis tingkat kesadaran, semakin besar kecintaan pada dunia, semakin dalam meletakkan dunia di dalam hatinya, maka akan semakin sulit bagi manusia itu sendiri untuk mencari solusi, jawaban dari persoalan, permasalahan, yang Dia ujikan pada dirinya. Sebagian dari kita, menitik beratkan kebahagian, kesejahteraan, kebesaran, pada kuantitas, pada sebanyak apa kita mampu mengumpulkan, menumpuk harta. Pada sejauh mana kita sanggup memenuhi pundi-pundi harta, setinggi apa tahta yang mampu kita capai dan sehebat apa kita mampu memikat wanita dengan harta dan tahta yang kita punya.

Wajar, pada batas kewajaran karena manusia dibekali dengan nafsu, salah satunya adalah nafsu untuk berkompetisi dengan manusia yang lainnya. Tetapi, segala sesuatu yang berlebihan tidak akan baik pada akhirnya. Ambisi akan dunia yang melampaui batasnya, maka akan menimbulkan kehancuran pada si empunya ambisi pada akhirnya.

Akhir dari sebuah catatan panjang adalah bahwasannya hidup itu indah dengan segala apa yang ada, dengan segala apa yang disertakan di dalamnya. Menerima yang satu, maka haruslah dapat menerima yang lainnya. Menerima indahnya dunia, maka terimalah dunia pada bagian tergelap yang ada di dalamnya. Karena memang seperti itulah dunia sesungguhnya, indah dengan segala apa yang ada di dalamnya.

Hidup itu indah, bisa merasakan hidup itu indah, dan pada akhirnya, hidup itu indah dengan segala apa yang Allah sertakan di dalamnya.

Tuesday, October 27, 2009

KoNTempLasi, belajar dari kontemplasi tak berarti

Menunggu yang pernah berkata "belum punya 'GUTS' itu"
Menunggu yang berkata "misalkan...." itu
Menunggu dalam diam dalam temaram dalam sesuatu yang serba tidak pasti
Menunggu yang memang nampaknya tidak ingin 'ditunggu' oleh siapapun itu.

Sampai akhirnya "apa lagi yang harus ditunggu?"
Sampai akhirnya "untuk apa menunggu yang tidak pernah berkata 'ingin ditunggu' itu"
Sampai akhirnya beberapa bulan kedepan "akan tetap menunggu"

Sampai tiba masa berkata "sesuatu itu memang tidak perlu ditunggu"
Sampai tiba masa angkat bicara "sesuatu itu memang tidak ingin ditunggu"
Sampai tiba masa yang lain berkata "mari pergi melangkahkan kaki bersamaku, tinggalkan yang itu, tinggalkan masa lalu itu"

Sampai akhirnya, dengan berat pada saat itu mau tidak mau harus berkata "baiklah, mari bantu aku untuk meninggalkan sesuatu yang pernah membekas untuk beberapa waktu itu"

Wahai sesuatu itu apakah kamu membaca jalan pikiranku
Apakah kamu mengetahui apa yang sedang bergemuruh di dalam pikiranku
Apakah kamu tahu perdebatan yang sedang terjadi di dalam kepalaku

Bila kamu mengetahui itu, beritahu aku
Bila kamu menyadari itu, katakanlah sesuatu

Tapi, kembali yang ada hanya diam
Kembali yang tersisa hanya desir angin malam
Kembali yang tersisa hanya riak-riak daun bambu.
Hanya gemuruh dedaunan yang terhempas kesana kemari diombang-ambingkan oleh angin kehidupan

Kamu memang begitu
Kamu memang seperti itu
Kamu memang selalu begitu

Thursday, October 22, 2009

aku-kontemplasi-berdamai dengan diri

Diary itu sudah lama ditinggalkan, hanya sesekali menjumpainya untuk mencatat sesuatu, untuk merekamnya sebagai sebuah kebanggaan kemudian menjadi sombong diri merasa itu sebagai sebuah prestasi.

Kadang mereka tak ubahnya menjadi sebuah koleksi pribadi di dalam diary, kadang menjadi alat penghibur ketika hati memang benar-benar butuh untuk dihibur meskipun diary itu sendiri mati, tak bernyawa tak juga dapat berkata-kata.

Ada yang katakan hebat, entah darimana letak hebatnya, aku tak tahu. Mungkinkah karena permainan kata-kata itu? Aku pun tak tahu. Aku manusia semua tahu akan hal itu, tidak lebih hebat dari manusia yang lainnya, tidak juga mulia karena memang aku bukan manusia yang pantas dimuliakan oleh manusia yang lainnya. Pada dasarnya, aku hanya manusia biasa dengan sekelumit kisah, dengan segunung atau mungkin lebih, aib yang Dia simpankan, yang Dia sembunyikan dari manusia yang lainnya. Tetapi inilah aku, maka jangan sekali-sekali menganggap lebih tentang aku.

Dahulu, sebelumnya mari kenali diriku, aku adalah wanita. Sebut saja aku begitu, karena memang begitu jarang aku meminta manusia yang lainnya untuk menyebut aku dengan sebutan “Wanita”.

Wanita biasa, memahami cita-cita dahulu. Dengan seabrek aktifitas, sempat aku berpikir bahwasannya aku akan menjadi orang besar, berpengaruh yang kemudian dengan pengaruh itu aku bisa mengubah apa-apa yang ada di sekelilingku. Bisa membuat sesuatu yang biasa menjadi nampak berbeda, bisa membuat sesuatu yang bukan apa-apa menjadi sesuatu yang bermakna. Dan pada puncaknya, aku ingin menjadi manusia yang hebat di mata manusia yang lainnya, bodohnya, sombongnya.

Beberapa tahun berlalu, ada beberapa hal yang semula kaku, seperti beku, mulai memuai, mencair, mulai mengalir seiring dengan perjalanan waktu, seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam diri dan aku menyebutnya dengan “proses pendewasaan diri”. Idealisme-idealisme yang kadang membuat buntu, falsafah-falsafah yang kadang kaku hingga membuat diri sendiri terganggu, hingga membuat bagian terdalam di dalam diri berteriak “AArrrgghhh aku tak tahan lagi dengan segala ke-perfeksionis-an yang kamu pertahankan itu”.

Meledak, hampir meledak, perlu waktu untuk berdamai kemudian meredamnya hingga memunculkan berbagai resolusi-resolusi bahwa diri tidak bisa terus begini. Berputar-putar, berpikir, berkutat di dalam ruang berpikir untuk mendapatkan hasil dari pemikiran yang mendekati kematangan sebagai akibat dari sebuah kontemplasi yang panjang. Hingga akhirnya, semua berubah ketika niat untuk merubah itu berubah dari yang besar menjadi mendasar. Dari yang fenomenal menjadi fundamental.

Aku pikir, saat ini aku dan wanita itu berpikir. Mungkin aku tidak bisa menjadi manusia yang hebat di mata manusia yang lainnya. Mungkin juga aku tidak bisa menjadi wanita yang hebat di mata wanita yang lainnya.

Baiklah, mari berdamai dengan sisi ego yang bersemayam di dalam diri. Mari mengubah sudut pandang hingga yang negative dapat berubah menjadi positif, hingga yang nampak tak bermakna bisa berubah menjadi sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi semua. Mungkin aku bukanlah apa-apa di mata manusia yang lainnya, tapi aku akan menjadi apa-apa di mata keluarga. Mungkin aku wanita biasa di mata wanita dan manusia yang lainnya, tapi aku akan menjadi wanita luar biasa di hadapan dia yang Dia tunjukkan, yang Dia tuliskan bahwa dia yang akan menjadi teman hidupku nantinya.

Mungkin aku adalah wanita-wanita pada umumnya, tapi aku akan menjadi wanita yang penuh dengan sesuatu yang bermakna ketika berjumpa dengannya teman hidup yang Allah berikan padaku nantinya. Mungkin aku bukan wanita hebat di mata mereka, tapi aku akan berusaha menjadi wanita yang hebat di mata suami dan anak-anaknya.

Kadang, berpikir, akan kubuat dia yang Dia berikan padaku menjadi manusia, hamba Allah yang paling beruntung di dunia karena bisa menjadi teman hidupku, karena dia yang Dia pilihkan untukku, sudah mencintaiku karena besarnya cintanya pada Nya.


ha...ha...ha.. aku tertawa, terpaksa, seperti inilah aku kiranya.