Pages

Showing posts with label fiksi. Show all posts
Showing posts with label fiksi. Show all posts

Friday, June 1, 2012

Cerita tentang Hilangnya komputer di Kampusku

Ruangan ini sepi dari hampir 15 komputer desktop yang ada, hanya saya dan wanita itu yang berada di ruang laboratorium komputer ini. Wanita yang hilir mudik, kemudian dengan suaranya yang nyaring dia mulai mengganggu konsentrasi ku dalam merangkai kata dan membuai alam pikiranku dengan imajinasi semu.

Hampir menjadi benar-benar sepi, sebelum lelaki yang tergesa-gesa itu datang dan hilir mudik tidak jelas sembari berkata "astaghfirullah kenapa sih ini?" pertanyaan retorika yang dia lontarkan untuk dirinya sendiri. Pertanyaan yang keluar dari alat bicaranya, sebagai imbas dari tidak bekerja dengan baiknya USB yang ia miliki. Dan kemudian dia pergi, entah kemana.

Hampir kembali menjadi sepi, sampai ketika lelaki yang berkaos biru itu duduk tepat di sebelahku. Menyalakan CPU komputer untuk kemudian sibuk dengan handphone selularnya. Kembali teringat dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh seseorang dan saya lupa siapa. Si empunya pernyataan berkata "manusia zaman sekarang, lebih bisa ketinggalan, kehilangan dompet. Daripada kehilangan Handphonenya, Laptopnya". Lihat bagaimana manusia sudah hampir menjadi -cyborg-. Dan bahkan aku sendiri terkadang begitu sibuk dengan aktifitas membaca dan membalas bbm yang diterima oleh BB ku.
===========================================

"Negative, negative signal, bad that's bad" begitu ujar dosen MK Medan Elektromagnetku Rudy Wicaksana. 
Dosen muda baru menyelesaikan S3 nya di luar negeri -itu katanya, kata si dosen muda. Entah kapan tepatnya pak dosen muda datang, yang jelas dia sudah menambah penghuni ruangan komputer ini, menjadi 3 orang termasuk aku.

Hey, perkenalkan namaku budiman, nama yang lumayan tua dan terkesan kuno menurutku. Ketika orang-orang lain yang seumuran dengan ku bernama Akbar, Rizky, atau nama-nama keren lainnya, entah kenapa kedua orang tuaku menamai dengan "budiman". Dan ketika aku bertanya kepada ibuku tentang alasannya,
ibuku berkata "si mbok karo bapakmu, berharap sampean dadi wong sing berbudi, budiman le" 

Atau di saat yang lain ketika aku bertanya kepada mbahku, orang tua dari ibuku, mbah berkata "....wes to ngger, mbokmu bener iku, nama itu doa lho, bocah sekarang didoaken kok ya gak gelem tho........" begitu jawaban mbah putriku saat itu
.
Dan ketika aku sudah beranjak dewasa, datang, kemudian menginjak, lalu duduk di bangku kuliah, aku putuskan rantai pertanyaan tentang "mengapa aku bernama budiman" hanya budiman saja tanpa ada embel-embel lainnya.

Tubuhku? tidak kurus tidak juga gemuk, tapi mbah selalu berkata "mangan sing okeh lho ngger, ben lemu". 

Kulitku? khas anak Indonesia yang berasal dari pulau Jawa, Jawa tengah, Solo tepatnya, lebih ke dalam lagi Karang anyar, dari sana tempatku berasal. Daerah dingin, tetapi jangan berpikiran udara dingin bisa membuat putih kulitku, justru sebaliknya, kulitku hitam, 'hitam manis' begitu kata ibuku. Tapi menurutku kata 'manis' ada demi menyamarkan kata 'hitam' di depannya. 

Dan ketika aku menceritakan itu kepada ibuku 
"hahahahaha, le le koe iki ada-ada saja lho, wes opo sing dikasih sama Gusti Allah, mbok ya disyukuri lho, sing penting waras" itulah ibuku, di dalam ingatanku ibu selalu berkata syukuri.
======================================================

Siang pukul 13.00 kampus negeri di bumi parahiyangan, suhu di sini tidak jauh berbeda dengan daerah tempat aku berasal, dingin.

"Bud, Dud" seseorang memanggilku lirih dari arah belakang
"Oh kamu Den, kenapa?" tanyaku
"Ngapain lo Bud? udah makan siang belom, cari makan yuk?" begitu ujar Deny

Deny alfan teman satu angkatanku, aseli produk bumi parahiyangan tepatnya Garut, mengenai seperti apa fisiknya, ya dengan sangat menyesal aku jelaskan, dia putih, tidak gemuk tidak juga kurus, untuk tinggi badan, mungkin hanya berbeda 2 atau 3 cm dari ku yang 169 cm, cukup tinggi bukan? ya kalau bukan kita yang membanggakan diri sendiri, lalu siapa lagi.

Singkat kata aku pergi bersama Deny mencari pengisi perut untuk siang hari ini dan sebagai mahasiswa pria yang dibatasi uang jajan oleh orang tua dengan alasan -lelaki-, maka -ngirit- sudah menjadi moto kami berdua sehari-hari, dan WARTEG sudah menjadi pilihan kami. Dan lama kelamaan si pemilik warung tegal itu, bu Darmi, lama-lama mengenali wajah dan namaku, Deny serta Timo, Timo Manurung teman dekat ku yang lain. Dan dari namanya, semua bisa tahu bahwa dia berasal dari Sumatera utara.

"Timo mana Den? tumben gak keliatan?" tanya ku
"Timo ngges di warteg Bud, nungguin kita" begitu ujar Deny

Jarak antara kampus dengan warteg tak begitu jauh hanya sekitar 10 sampai 15 meter kira-kira.

Tiba di warteg aku melihat timo sudah duduk dengan sepiring penuh makanan.

Timo berubuh tambun dengan berat badan sekitar 87 Kg sedang tingginya 170 berambut ikal, berkulit hitam dan aku mengucap syukur seperti yang ibuku selalu ajarkan, bahwasannya ada yang lebih hitam daripada aku.

"Udah lama lo 'Mo" begitu ujar aku dan deny
"enggak, baru sampe kok. Laper, lalu awak sms Deny. Sms ke no hp kau tak kau balas-balas Bud" Timo merajuk, dengan pipinya yang gendut.
"Sorry jek, tadi lagi sibuk surfing and browsing cari-cari bahan buat tugas MK nya Pak Dito" begitu ujarku
"Aah iya, awak lupa itu, deadlinenya kapan Bud" tanya Timo
"Masih ada dua hari lagi 'Mo. Nah lo udah Den?" tanya ku
"Hmh gue?" ujar deny sembari sibuk dengan smartphonenya
"Ya iya lo, memangnya gue nanya sama sapa tho?" ujarku gusar
"Loe lama-lama jadi autis Den, disorder, ngapain sih dari tadi gue liat loe sibuk ketak-ketik itu handphone" tambahku
"Ini lagi bales bbm bro. Tugas ya? belon, gua tar malem aja dah. Sekarang makan dulu" ujar Deny

Aku, Deny dan Timo sedang duduk di sebuah bangku panjang. Tepat di depan kami sebuah etalase yang terbuat dari kaca. Memisahkan kami bertiga dengan lauk pauk dan sayur mayur made in Ibu Darmi, yang selalu menjadi penyelamat bagi sistem pencernaan kami bertiga. Sedang asik tenggelam dalam gumaman masing-masing tentang apa yang akan kami siang ini. Tiba-tiba suara seorang wanita paruh baya, suara yang kental dengan logat khas Jawanya, menyapa kami bertiga.

"Jadi trio budet, mau makan apa hari ini?" ujar bu Darmi di tengah-tengah percakapan kami
"Aduh bu Darmi, jangan itu kami bertiga dipanggil budet" Timo memulai protesnya seperti biasa, dengan logat batak kentalnya
"Tanti ada sodara serumpun awak yang dengar, bisa jadi bodat itu budet, malu awak" begitu ujar Timo
Aku dan Deny hanya tertawa

Sejak awal ketika pertama kali bu Darmi memperkenalkan istilah -trio budet- itu, aku tak mengerti mengapa timo memprotes pikiran kreatif ibu Darmi mengenai istilah itu. Tetapi setelah Timo berkata
"kalau dipelesetkan jadi bodat, artinya monyet" begitu ujar timo saat itu sembari mengunyah kepingan-kepingan keripik kentang di dalam mulutnya. Dan kami sendiri tidak tahu sejak kapan Bu Darmi menggunakan singkatan 'BUDET' itu untuk memanggil kami bertiga.

"Ya sok atuh, sekarang acep-acep nu kasep mau makan apa?" begitu ujar bu Darmi ramah
"biasa bu, kalo saya nasi rames pake semur jengkol ya bu" begitu ujar Deny
"Den, kamu gak bosen ya sama itu semur, gua aja dengernya bosen plus gak tahan sama bau mulut lo itu Den" protesku
"Duh, gimana ya Bud, itu makanan kegemaran hahahahha" begitu balas Deny
"kalau saya nasi rames pake ikan ya bu" ujarku
"kalau aku nasi rames pake sambal yang banyak ya bu Darmi, jangan lupa" ujar timo

Kalau deny tidak bisa lepas dari jengkolnya, lain lagi dengan Timo, penduduk Indonesia yang berasal dari Sumatera ini tidak pernah bisa lepas dari yang namanya sambal.  Belakangan, hobi timo pada sambal berguna juga pada akhirnya, atau justru menjadi petaka bagi kami bertiga.

Tak berapa lama, bu Darmi datang dengan pesanan kami dan seperti biasa tanpa banyak bicara kami menghabiskan makan siang kami kali ini dengan damainya. Kami bertiga berbeda namun ada satu hal yang sama yaitu kebiasaan kami yang tidak banyak bicara ketika makanan sedang berada di dalam mulut, alat bicara.

Selesai makan, membayar, kami pun pergi meninggalkan warteg bu Darmi, bergegas pergi karena tepat pukul 13.45 pak Tatang yang juga ketua jurusan kami, akan masuk mengajarkan MK Optik.

Semester 6, kami sudah memiliki dua adik tingkat di bawah kami. Sudah mengenal beberapa karakter dosen yang mengajar, beberapa ada yang kami suka beberapa? kami cukup sering dibuat kesal karenanya. Karena tugas-tugas yang diberikan luar biasa banyak, karena disiplin yang ketat, dan untuk semester ini aku harus berhadapan dengan pak Rudy, pak Dito, pak Tatang, dan beberapa dosen lainnya.

"Gila bud, tugas dari pak Dito banyak kali, bisa mati bediri awak" begitu ujar Timo sembari berbisik
Aku hanya diam sembari memandang ke arah slide-slide bahan perkuliahan yang sedang dijelaskan oleh pak Tatang

"Ya ntar malem kita kerjain aja di lab-komputer" ujar ku sembari berbisik
"ho oh, seperti biasa sambil main game hihihihi" sambung Deny

Dan kami bertiga pun kembali tenggelam dalam kuliah Optik milik pakTatang.

====================================================================
"Bekal buat begadang semalem suntuk udah ada Den?" ujarku
"Sip lah itu, gua sudah beli kopi instant" ujar Deny
"Aku sudah beli makanan hehehe" tambah timo sembari cengar-cengir tidak jelas

Menjelang pukul 18.00, suara azan maghrib mulai berkumandang, aku dan Deny membiarkan timo sendirian di ruang laboratorium sembari sibuk dengan acara surfing dan browsing-nya sementara kami berdua pergi ke masjid untuk sholat maghrib.

"Kita tinggal bentar ya 'Mo" ujar ku
"Ya, ya, sholat yang bener kalian berdua" ujar timo

Selesai sholat maghrib, aku dan Deny membeli nasi bungkus untuk kami bertiga. Sedang asyik bercakap-cakap sembari berjalan menuju lab-komputer, aku dan Deny berpapasan dengan pak Nanang, office boy jurusan kami yang pekerjaannya kadang merangkap tukang potong rumput, bersih-bersih ruang kuliah yang terdiri dari 3 lantai dengan 14 ruangan, ditambah lagi harus membuatkan minum untuk semua dosen yang bertugas di gedung ini, maka kami bertiga menjuluki pak Nanang dengan sebutan "lelaki rumah tangga". Usianya yang sudah mulai lanjut, aku taksir sekitar 55 tahun lebih atau mungkin 60, dibebani dengan segunung pekerjaan setiap harinya, tidak pernah membuat senyum itu hilang dari wajahnya.

"Baru pulang pak?" begitu ujar ku
Seakan terkejut melihat kami berdua, pak nanang sembari terbata-bata berkata
"Oh eh iya, mas Budi sama mas Deny mau begadang lagi ya di Laboratorium?" tanya pak Nanang
dan belum sempat kami menjawab
"Saya duluan ya mas, permisi" begitu tambahnya

Ada yang aneh dari pemandangan kali ini, aku dan deny hanya bisa saling menatap sembari berkata "aneh", kemudian kembali berjalan menuju laboratorium komputer tempat kami meninggalkan Timo di sana.

"Sudah kembali kalian, mana itu nasi bungkus awak. Sudah laparnya ini awak punya perut" ujar Timo
Tanpa banyak bicara, tanpa memikirkan lebih panjang tentang keanehan yang aku dan Deny temukan tadi,  kami bertiga segera melahap makan malam yang sudah mulai dingin itu.

Tidak sulit bagi kami bertiga untuk berada di laboratorium ini sampai pagi, karena memang aku dan Deny diberikan kepercayaan untuk mengelola laboratorium jurusan ini.

Sedang asik melahap makanan dalam diam, tiba-tiba terdengar suara berisik dari luar. kami bertiga saling berpandangan

"Pssttt, ada yang denger gak?" begitu ujarku
"Betul bud, sepertinya itu suara berasal dari ruangan dosen" ujar timo
"Wah, seru ini, ada setan" begitu ujar deny
"Gila kau den, ini bukan setan, tebakkan awak, ini pasti maling" begitu sanggah timo

Kami bertiga kembali berpandangan, sembari membereskan bekas makan kami dalam diam, suara itu masih terdengar, sampai tak berapa lama kemudian, hilang.

"Eh, udah gak ada lagi suaranya Bud" ujar Deny
"Iya ya, apa kita salah dengar mungkin ya? atau itu pak Nanang ya?" ujarku
"He, pak nanang, ada perkara apa pak Nanang jam segini masih di jurusan. Aneh" begitu ujar timo

Ya, aku pun merasakan hal yang aneh, tetapi kami bertiga hanya menganggap angin lalu apa yang kami dengar malam itu. Kembali berkutat dengan tugas-tugas pak Dito, kembali sibuk dengan urusan surfing dan browsing, tanpa curiga dengan apa yang terjadi sebelumnya. Dan betapa bodohnya kami bertiga, karena tidak segera memeriksa darimana arah datangnya suara, sampai keesokan harinya
=======================================

Selasa pkl 9 pagi, handphone ku berdering. Dengan malas aku meraih hp ku dan begitu tiba-tiba, si penelpon mencecarku dengan berbagai macam pertanyaan
"Bud, lo dimana? Ngampus gak? semalem lo darimana bud? Ngapain? dicari sama pak Tatang" ujar si penelpon di pukul 9 pagi
antara sadar dan tidak sadar aku berkata
"Ya biarin aja pak Tatang nyariin gua" begitu ujarku
kemudian
"Bud halo Bud, ini gua Deny, ini serius Bud" suara yang lain lagi dan kali ini aku begitu mengenalnya, suara Deny
"Kenapa Den?" jawabku
"Gila Bud, gawat, itu komputer di ruang dosen, hilang Bud" ujar deny
"hah, hilang? trus apa hubungannya sama gua Den?" tanyaku masih tak mengerti
"Aduh masya Allah Bud, bukan cuma hubungan sama lo doang, tapi sama gua dan Timo juga. Udah lo ke kampus aja dulu, nanti gua ceritain" begitu ujar Deny

Tanpa ba bi bu, aku segera menuju ke kamar mandi, biasanya kalau pagi-pagi selalu terjadi antrian di depan pintu kamar mandi ini, karena satu kamar mandi bisa dipakai oleh 3 sampai 4 orang. Tetapi, karena sebagian penghuni kosan sudah berangkat ke kampus, maka aku tidak perlu membuang waktu ku di depan pintu kamar mandi di pukul 9.30 pagi ini.
===========================================

Ada untungnya memiliki kosan yang tidak berada jauh dari kampus, bisa ditempuh dengan berjalan kaki, itu lah kenapa aku menolak ketika ibuku 'ah aku jadi rindu mbok' menawarkan aku untuk membawa salah satu motor yang ada di rumahku, di Solo.
"Gak usah mbok, nanti nambahi polusi" begitu ujarku saat itu
"Lagian, uang bensinnya kan lumayan mbok" tambahku
Ibuku hanya tersenyum saat itu
"yo wes kalo ndak mau, tapi si mbok sudah nawari kamu lho le'" ujarnya
"Inggih mbok, mboten nopo-nopo" jawabku
===========================================

Sesampainya di kampus, belum sempat aku menarik nafas, Deny dan Timo langsung mendatangi aku
"Sini Bud, kita ngobrol di lab aja" begitu ujar Deny
Aku langsung mengiyakan tanpa banyak bicara, melihat wajah mereka berdua aku semakin sadar bahwa apa yang akan mereka sampaikan adalah hal yang serius

"Gila kau Bud, dari jam delapan awak telepon kau, tapi tiada diangkat juga. Macam kerbau saja kau tidur" protes Timo
"Sorry 'Mo, gua ngantuk berat, kita kan pulangnya jam 3 pagi dari lab" begitu ujarku
"Sudah nanti aja protesnya 'Mo, sekarang yang lebih penting aja" ujar Deny menengahi
"Gini Bud, lo masih inget kan suara berisik yang kita denger tadi malem?" tanya Deny
"Iya, terus?" ujarku masih tak mengerti
"Itu Bud, tadi pagi pak Dito panggil gua sama Timo. Kata pak Dito, komputer di ruangan dosen hilang bud, 2 unit" tambah deny

Aku terdiam, terkejut, bodohnya aku, pikirku. Seharusnya tadi malam kami datangi suara berisik yang terjadi tadi malam.

"Terus pak Dito bilang apa?" tanya ku
"Kamu disuruh temui pak Dito Bud, tadi beliau tanya kunci lab sama gua. Ya gua bilang aja, lo yang pegang" tambah Deny
"pak Dito bicara, dia sudah tanya pak Nanang Bud, dan kata itu bapak, yang terakhir kali di jurusan itu, kita bertiga" begitu tambah Timo
"Sepertinya, kita bertiga jadi tersangka" tambah Timo
"wah keren ya 'Mo, seperti di tipi-tipi, jadi tersangka hahahah" ujar Deny sembari tertawa
"Gila kau Den, awak tidak terima dijadikan tersangka, dalam sejarah keluarga awak, tidak ada itu yang punya catatan kriminal" protes Timo
"Nah itu dia 'Mo, lo jadi yang pertama" begitu balas Deny masih sembari tertawa

Aku biarkan mereka berdua saling bersahut-sahutan, aku biarkan Timo dalam kegelisahannya, dan Deny dalam keinginannya menjadi tersangka sebagai imbas dari obsesinya untuk jadi terkenal dengan cara yang benar belum juga tercapai.

"Gua ke ruang pak Dito dulu ya. Kalian berdua masih mau nunggu di sini atau balik?" tanyaku
"kita bedua tunggu kau di sini sajalah, tidak ada kuliah, lebih baik awak di sini sambil pikir-pikir kenapa itu komputer bisa hilang" ujar Timo
"yo i Bud, kita berdua mau siapkan pidato kalau-kalau nanti kita masuk koran kampus hahaha, karena dituduh mencuri" begitu ujar Deny, masih dalam tawa

Aku tinggalkan ruang komputer itu dalam keadaan tertutup, sepanjang jalan menuju ruangan pak dito aku terus menerus mengingat kejadian semalam. Mulai dari perjumpaan dengan pak Nanang di lobi jurusan, dengan tatapan wajah yang tergesa-gesa dan sedikit ketakukan, begitu yang nampak dari wajah pak nanang saat itu. Tetapi aku masih belum dapat menarik kesimpulan dari apa yang terjadi semalam. Pikiranku terus silang lintang, mencari-cari kemungkinan-kemungkinan tentang siapa pencuri komputer jurusan tadi malam. Sesekali penyesalan itu datang, sesal tentang mengapa aku dan kedua orang temanku tidak punya inistiatif untuk mendatangi sumber suara saat itu.

Tiba di depan ruangan pak Dito, perasaanku campur aduk, antara rasa khawatir di-drop out dari kampus sampai bayangan akan wajah si mbok yang kecewa bahwa nama anaknya tidak sebudiman kelakuannya. Ah, aku tidak mau berpikiran sejauh itu.

"tok tok" aku ketuk pintu ruangan sekretaris jurusan pak dito
"ya masuk" ujarnya dari dalam
Suara yang begitu aku kenal, karena pan Dito adalah pembimbing untuk kelompok konsentrasi yang aku ketuai saat ini. Dengan perasaan gugup aku pegang gagang pintu ruangan itu. Begitu pintu terbuka, nampak sesosok lelaki yang kami panggil dengan sebutan pak Dito. Berperawakan sedang, tidak gemuk, tidak juga kurus.

"silahkan duduk 'Man" begitu ujar pak Dito yang saat itu sedang sibuk membuka laci lemari. Entah apa yang sedang beliau cari saat itu.

Kemudian,

"kamu tahu untuk alasan apa bapak panggil kamu ke ruangan?" tanya pak Dito
"iya, sepertinya saya tahu pak. Tentang 2 unit komputer yang hilang di ruangan dosen? benar begitu pak?" tanyaku

sembari duduk tepat di depanku, pak Dito berkata
"saya tahu, bukan kalian yang berada di balik ini semua. Tetapi, pada saat kejadian, menurut pak Nanang, yang terakhir berada di gedung ini, adalah kalian bertiga" ujar pak Dito
"Pak Dekan dan pak Rektor sudah mendengar tentang kejadian ini. Dan mereka meminta saya untuk menyelidiki kemungkinan bahwa pencurian itu dilakukan oleh orang dalam" tambahnya

Entah sudah berapa lama aku duduk di ruangan ini, aku tak begitu mendengar lagi apa yang pak Dito katakan, yang terdengar dan begitu membekas ketika pak Dito berkata tentang kenyataan bahwa hanya tinggal aku, timo, dan deny di jurusan pada saat itu. Kemudian tentang kemungkinan dikeluarkan dari kampus secara tidak hormat apabila terbukti mencuri. Alam pikiranku mencoba mencerna apa yang ingin disampaikan oleh pak Dito, tetapi yang dapat aku pikirkan hanya -drop out dan penjara-. Lamunan ku terhenti ketika pak Dito menyapaku

"Man, man, Budiman" begitu panggil pak Dito
"oh eh iya pak" jawabku
"kamu melamun?" tanya pak Dito
"bukan pak, saya cuma......, itu pak, ummm penjara sama drop out itu....." jawabku tanpa meneruskan karena pak Dito memotong pembicaraanku
"tidak perlu panik man, saya sudah sampaikan bahwa saya tahu pasti, bukan kalian yang melakukannya. Tapi, saya minta selama 1 minggu ini, kalian bertiga tidak mengikuti perkuliahan terlebih dahulu. Kita anggap kalian di-skors. Dan saya sudah menyampaikan hal ini kepada semua dosen pengasuh MK yang kalian ambil" ujar pak Dito

Tanpa banyak berkata, aku hanya menjawab "baik pak, tapi pak, kunci laboratorium ini bagaimana pak? "
"Oh, kamu gantungkan saja di situ" ujar pak dito sembari menunjuk dinding tempat semua kunci-kunci ruangan yang ada di jurusan ini berada.
"Baiklah, saya masih ada agenda di luar, saya tinggal dulu ya" ujar pak Dito
"iya pak, saya juga permisi, assalammu'alaikum" jawabku
"wa'alaikumsalam" balas pak Dito

Meninggalkan ruangan pak Dito, begitu tiba di luar, Deny dan Timo langsung mencecarku. Kami bertiga mendapatkan keputusan yang sama 1 minggu di-skors dari perkuliahan. Dalam kekalutan, kami memutuskan untuk meneruskan pembicaraan ini di warteg bu Darmi
"sudah, sudah siang, kita makan dulu aja. Kamu juga belum sarapan kan Bud?" ujar Deny
"iya, gua belum sarapan. Makan dulu lah, biar jernih pikiran" jawabku
Timo hanya diam, sepanjang perjalanan sesekali kepalanya mendongak ke atas, entah apa yang dia pikirkan. Aku tak tahu. Aku dan Deny pun ikut terdiam, semua tenggelam ke dalam alam pikiran kami masing-masing.
=========================================

di Warteg Bu Darmi

"aku pesan biasa ya bu" ujar Timo
"saya juga bu" ujar Deny
"saya juga" tambahku
 tanpa banyak bicara, bu Darmi membuatkan pesanan kami bertiga. Beliau sepertinya tahu bahwa suasana hati kami sedang tidak enak saat ini.

"ini makannya, ada apa tho? kok yo tumben, diem semua, cerita sama ibu" begitu ujar Bu Darmi
kami bertiga saling memandang, kemudian Timo melihat sekeliling, seperti mengamati sesuatu, lalu sembari memberi isyarat pada Bu Darmi untuk mendekatkan diri ke arah Timo, Timo berbisik "komputer jurusan ilang 2 buah bu, tertuduhnya kami bertiga" begitu ujar timo

"Sekarang kami bertiga di-skors bu" ujar Deny
Bu Darmi tersenyum "ibu tau bukan kalian yang pelakunya, lalu, apa tindakan kalian selanjutnya?" tanya Bu Darmi
"yaaaa, kami tak kuliah 1 minggu bu" ujar Timo
"horeeeeeeeeeee, yes, gua bisa tidur 1 minggu di kosan" ujar Deny
"alamaaaaaaakk, Deny, kau ini, keadaan sudah segawat ini, masih saja kau bersenang-senang" ujar Timo

"kalau ibu boleh saran, ini cuma saran lho. Kalian buktikan kalau kalian bertiga itu bukan pelakunya" Begitu ujar bu Darmi yang kemudian pergi meninggalkan kami setelah mempersilahkan kami menyantap sarapan sekaligus makan siang kami.
==========================================

"aduh, berat mo. Elu sih, makan gak kira-kira, badan sebesar gajah......." Gerutu Deny
"psssttt, jangan berisik ujarku
"maaf Den, ya deh lain kali awak kurangi makan awak" balas timo dengan nada menyesal
"ayo Den, hitungan ketiga kita dorong Timo ke atas" begitu ujarku
"satu, dua tiiiiga" dengan sekuat tenaga aku dan deny mendorong Timo agar dapat memanjat dinding Laboratorium yang tingginya hampir 3 meter itu. Dan selamatlah timo mendarat di lantai 2 tersebut.

"lempar-lempar amunisi" ujar timo sembari berbisik
satu persatu kami lemparkan bungkusan hitam yang sudah kami bawa. Masing-masing bungkusan berisi kelereng, oli bekas, dan cairan yang dibawa Timo, yang dia minta dari Bu Darmi pagi ini. Omong-omong, setelah bu Darmi berkata "membuktikan bahwa kami bukan pelakunya", sepulang dari sana kami bertiga merencanakan hal ini, mengendap-endap masuk ke jurusan kami, untuk membuktikan bahwa kami tidak bersalah.

Kami bertiga pun sudah sampai di lantai 2, tempat laboratorium komputer berada. Laboratorium ini berada satu lantai di atas ruangan dosen, tempat dimana 2 unit komputer itu hilang.

"kunci lab mana bud?" ujar timo tiba-tiba
"duh, disita sama pak Dito 'mo. kenapa?" ujarku
"awak mau buang hajat bud, aduuuuuh" ujar timo
"allamaaaak, timo, kau, saat-saat begini malah hendak buang itu hajat. Di simpan sajalah, nanti kalau sudah matang baru diangkat" ujar deny sembari meniru logat deny
"aih, kau, kauuuu ini, kau kira ini makanan.........." belum sempat timo menyelesaikan protesnya, tiba-tiba suara berisik seperti kemarin, kembali terdengar.

sembari mengendap-endap kami menuju ke lantai 1, tempat di mana ruang dosen berada. Sesekali suara itu hilang, kemudian kembali terdengar. Kami bertiga menuju sumber suara, dan itu tepat berada di ruangan pak Dito, sekretaris jurusan.

"aih bud, dari ruangan pak Dito. Ada apa di sana bud?" ujar Deny
"sebentar, seingatku, ada beberapa unit komputer beserta monitor LCD baru yang belum terinstalasi, beberapa hari yang lalu, pak Dito pernah minta kita untuk instalkan, tapi gua belum cerita ke kalian, eh kita sudah jadi tersangka.........." ujarku
"eh, jangan-jangan malingnya mau 'ngegarap' itu komputer baru bud" ujar Deny

"mo, mo, plastik yang isinya oli mana mo?" ujarku sembari berbisik
timo memberikan 1 buah plastik yang berisi oli. Setelah memastikan bahwa plastik tersebut berisi Oli, aku pun segera membuka isi plastik tersebut kemudian menaburkannya tepat di depan pintu keluar masuk akses ke ruangan pak Dito.

kemudian sembari berbisik
"plastik yang isinya kelereng ditaburin juga mo, den, tapi pelan-pelan ya. kelerengnya disusun" begitu ujarku
setelah selesai dengan kedua bungkusan itu, kami bertiga bersembunyi di salah satu sudut, di luar ruangan pak Dito.

begitu pintu ruangan pak Dito terbuka, dalam gelap cahaya dan hanya diterangi cahaya bulan, kami bertiga melihat ada 2 orang yang tengah mengendap-endap keluar dari pintu ruangan pak Dito, yang seorang membawa CPU di kiri dan kanan, yang seorang lagi membawa 2 buat monitor LCD.

Kami bertiga menahan nafas ketika dua orang lelaki itu keluar, yang seorang bertubuh gempal, pendek, tambun, sedang yang seorang lagi berperawakan sedang. Dalam keadaan khusyuk masyuk menahan nafas perlahan, tiba-tiba, aku mencium bau tak sedap, lalu

"Gila! woy batak!! lo kentut ya" ujar Deny sembari berbisik
"maaf kawan, awak tak tahan, benar tak tahan" ujar timo
"psssst jangan berisik teman" ujarku sembari menahankan bau yang tak tertahan karena timo berada tepat di depanku

tiba-tiba

"gdubbbrakkkkkk"
kedua pencuri itu terjatuh, mereka berteriak tertahan karena kedua CPU dan LCD itu menimpa tangan dan tubuh mereka. Dan ketika yang seorang dari mereka mencoba berdiri, mereka terjatuh lagi.

Kami berdua masih terbengong-bengong dalam diam, hanya timo yang gelisah tak menentu menahankan perutnya yang sudah sakit tak tertahankan itu.

"Ayo Bud, itu yang maling sudah jatuh" ujar Deny
"Sabar Den, kita kan gak tau kalau mereka bawa senjata tajam atau enggak" ujarku
"Lo cari satpam den, biar gua sama Timo yang di sini" tambahku
"Lo yakin Bud? kalau mereka lari?" bisik Deny
"Gak mungkin lari Den, Paling gak CPU yang beratnya hampir 3 Kg yang menimpa mereka itu, menahan mereka untuk pergi jauh" ujarku

Deny pun segera pergi mencari pertolongan, hanya tersisa aku, timo, dan dua pencuri itu.

"Aneh ya  mo, sudah jatuh ketimpa CPU, itu dua maling gak ada suaranya" ujarku
"iya bud, lagi, kok bisa masuk ruangan pak Dito ya Bud, dari pintu depan pun. Bukan dari jendela, pasti malingnya punya kunci masuk sepertinya Bud" ujar Timo

Lambat laun, kedua pencuri itu mencoba berpegangan pada tiang pintu untuk berdiri. Lalu
"sial, perasaan tadi tidak ada benda yang licin di sini" ujar pencuri 1
"iya pak, tadi tidak ada apa-apa di sini" ujar pencuri 2
"sepertinya lengan saya terkilir pak" ujar pencuri 1
"iya pak, paha saya sepertinya memar hebat tertimpa CPU" ujar pencuri 2

aku dan timo tak dapat mengenali wajah kedua pencuri karena mereka menggunakan penutup kepala, tetapi
"Bud, perasaan awak kenal dengan suara salah satu pencurinya" ujar timo
"ah yang bener kamu mo? suara siapa mo" tanyaku
"entahlah bud, aku lupa, ummm siapa ya bud......." belum selesai timo menebak, tiba-tiba kedua pencuri itu dapat berdir, kemudian mulai mengangkat kembali barang hasil curian mereka.

"sudahlah pak, kita bawa masing-masing 1 saja, lengan saya sepertinya benar-benar terkilir" ujar pencuri 1
seperti mengiyakan dalam diam, pencuri 2 mengikuti saran pencuri 1. Aku dan timo saling berbisik mengapa Deny tak juga datang, sementara kedua pencuri itu sebentar lagi akan pergi.

Kemudian, tiba-tiba, timo mengambil 1 bungkusan yang tersisa dan ternyata di dalam 1 bungkus besar itu terdapat 3 kantung yang berisi air, sembari melihat ke arahnya "cabe 'mo?" tanyaku
"iya, tapi yang satu air cucian piring dari warteg bu Darmi" jawab timo sembari tersenyum
"Sebentar mo, gua cari kayu atau senjata atau apalah mo, mana tau mereka bawa senjata tajam. INget ya mo, kesempatan tembak cuma sekali. Jangan sampe kita terlihat 'mo, habis tembak, kita lari" ujarku

"siap Bud" ujar timo

setelah aku mendapatkan 1 buah kayu dan beberapa buah batu, lalu
"siap mo, cepet mo" ujarku terburu-buru karena kedua pencuri itu sudah mulai beranjak
"hitungan ketiga mo" ujarku
"satu, dua, tiga.........." aku dan timo pun melemparkan kantung-kantung cabe itu ke arah kepala kedua pencuri itu

"ahhhhhhh, air apa ini" teriak pencuri 1
"sial, kampret" ujar pencuri 2

aku dan timo langsung melemparkan batu-batu yang sudah kami kumpulkan tadi. Kami berdua bukan pahlawan seperti spiderman atau pahlawan super lainnya yang memiliki keberanian untuk membekuk dua kawanan pencuri tersebut. Kami berdua hanya dapat melawan dari jarak lebih kurang 4 meter, sembari menunggu Deny datang. Tapi, belum sempat deny datang membawa bala bantuan, kedua pencuri itu sudah pergi tanpa banyak bicara, meninggalkan jurusan tanpa membawa barang hasil curian mereka.

Selepas kedua pencuri itu pergi, Timo dan aku masih terdiam. Tiba-tiba, kami berdua mendengar langkah kaki seseorang, dari arah berlawan dengan arah larinya pencuri. Kami berdua saling berpandangan, sembari tersenyum timo menunjukkan 1 bungkusan sisa yang belum sempat digunakan,
"apa itu mo? cabe?" tanyaku
"bukan, sepertinya sih air cucian piring, baunya tak sedap, bukan bau cabe" ujar timo

Dan begitu sosok itu muncul dari balik dinding,
"Siapa disi.........." belum sempat menyelesaikan kalimatnya, timo sudah melemparkan air cucian piring itu ke arah sosok yang akhirnya aku dan timo tau siapa dia, Pak Rudy. Lampu lantai satu pun menyala, Deny datang dengan 4 orang satpam kampus. Aku dan Timo keluar dari tempat kami bersembunyi. Deny dan keempat satpam itu tidak melihat apa-apa selain sisa-sisa pergumulan aku dan timo dengan kedua pencuri itu, serta pak Rudy yang sudah basah tepat di wajah dan separuh bajunya, dengan air cucian.

"negative, negative" ujar pak Rudy sembari mengusap wajahnya dengan saputangan dari kantung celananya
"ada apa ini? saya dengar ribut-ribut dari lantai 3" ujar pak Rudy

"mana pencurinya?" ujar seorang satpam yang sepertinya kepala satpam di kampus ini
 "pencuri?" tanya pak Rudy
"Iya ada pencuri pak" ujar timo dengan wajah bersalah karena sudah melemparkan bungkusan terakhir itu ke arah pak Rudy
"sudah kabur pak" ujarku
"iya, kelamaan pak, pencurinya kabur. Tapi, barangnya gak sempet dibawa" tambah timo sembari menunjuk dua buah CPU dan LCD yang tergeletak di lantai. Entah masih dapat berfungsi atau tidak, mengingat keempat benda itu sempat terjatuh dari tangan kedua pencuri itu.

"Kacau sekali di sini, negative, so negative" ujar pak Rudy sembari meletakkan kedua tangannya di pinggang
Deny hanya terdiam, murung, seperti kecewa karena tak berhasil menangkap pencurinya.
"Yahh, sudah den, yang penting kita berhasil buktikan bahwa bukan kita pencurinya" ujarku
"hhhhhhhh, padahal gua kan mau ikut menyerang" ujar Deny

"ya sudah, baiklah. Tapi kalian bertiga bisa ikut ke kantor saya, saya perlu keterangan lengkap kalian tentang seperti apa kejadian dan mungkin ada dari kalian yang mengenal ciri-ciri pelaku" ujar kepala keamanan
"iya pak, iya, awak seperti mengenal salah seorang pelaku dari suaranya pak" ujar timo
lalu
"oh kamu kenal dengan suaranya 'mo" tanya pak Rudy
"memang seperti suara siapa mo?" tanya deny
"itu pak, seperti suara, ummm suara siapa ya, awak familiar sekali den, ummmm, suara..........., addduuuhhhhhh" ujar timo memutus penjelasannya

"kenapa mo?" ujar aku dan deny
"perut awak, sakit sekali, awak perlu kamar mandiiiiiiiiiii....." ujar timo sembari menahankan perutnya yang sakit
"pak, di kantor bapak ada toilet kan?" tanyaku
kepala keamanan itu mengangguk, lalu "ayo pak kita segera kesana, teman saya butuh pertolongan" ujar ku

"mari" ujar pak kepala keamanan itu
"kalian bertiga, tolong bereskan ruangan ini ya" ujarnya lagi kepada 3 orang petugas keamanan yang lainnya
"siap pak" jawab mereka bertiga serempak

Akhirnya kami bertiga beserta pak Rudy, pergi mengikuti Kepala keamanan menuju kantor keamanan untuk memberikan penjelasan hal apa yang terjadi di jurusan malam itu.
  ----------------------------------------------

 Esoknya, di sore hari, di ruangan pak Dito kembali

"saya tahu persis siapa yang mengambilnya" begitu ujar pak dito di sore yang sepi, di jurusanku
"dosen lain pun mengetahui hal itu" tambahnya
aku sempat hampir protes, angkat bicara
'sial, kalau kalian tau kenapa kami bertiga yang jadi korban' pikirku sembari mengepalkan jari-jemariku menahan amarah.
"bapak tahu, kalian bertiga yang jadi kambing hitamnya. Tetapi saya dan beberapa dosen di sini tahu siapa dalangnya, sehingga isu-isu tersebut tidak kami tanggapi. Dan pagi ini, saya sudah bicara dengan pak dekan dan pak rektor, bahwa tuduhan yang diarahkan kepada kalian itu tidak benar" ujar pak dito
"saya tidak akan memberi tahu siapa orangnya, kalau kamu mau tahu kamu bisa bertanya pada pak nanang" tambah pak dito
"satu kunci dari saya, yang mengambil dua unit komputer milik jurusan ini adalah orang yang memiliki akses bebas ke ruangan ini, tanpa bisa dicurigai oleh siapapun" 

Pak dito pun beranjak dari kursi tempat ia duduk, aku, deny dan timo masih berkutat dalam pikiran yang menerka-nerka dan mengira-ngira siapakah pelaku di balik ini semua beserta dalang dari fitnah yang mengarahkan kasus pencurian ini kepada kami bertiga

"pak tata........." begitu ujar kami bertiga secara bersamaan
"ssstttt, kita anggap selesai urusan ini oke anak muda" begitu ujar pak dito
"sudah sore, jam 5, jangan lupa tugas yang saya berikan di kumpulkan besok pagi tepat pukul 8, oke selamat sore" begitu ujar pak dito meninggalkan ruangannya

kami bertiga masih terbengong-bengong sembari saling menatap satu sama lain, tatapan tak percaya bahwa pak Tatang ketua jurusan bisa melakukan ini semua dan yang paling mengesalkan adalah mengetahui bahwa pak Tatang pula yang mengarahkan tuduhan kepada kami bertiga

"gila mak, tak sangka aku, pak tiiiiiiit itu yang bikin kacau semua" ujar timo
"iya mo, saya juga gak nyangka, perasaan baik lho mo" ujar deny
"sama aja, saya juga gak abis pikir," ujarku

kembali terdiam, sampai
"maaf mas budet, itu......." belum sempat pak nanang office boy jurusan ini menyelesaikan ucapannya, timo memotong segera
"apa? budet?"  sembari memukul jidatnya
"jangan budet pak nanang, itu budet bisa berubah jadi bodat a.k.a monyet" begitu protes timo

dan kami bertiga pun tertawa

"masya Allah!!!!" ucap deny sembari setengah berteriak
"kenapa, kenapa deny" ujar aku dan timo
"mati kita mo, tugas mo, tugas dari pak dito belum kita kerjain" ujar deny
"Alamaaaaakkk, sudah jatuh tertimpa tangga pula awak" jawab timo

aku dan pak nanang tertawa tertahan melihat deny dan timo yang tenggelam dalam kebingungan

Hari semakin berlalu, kami bertiga tetap berkuliah seperti biasa. Dan cerita mengenai hilangnya 2 unit komputer dari ruangan dosen pun semakin lama semakin lenyap sudah, seakan tidak pernah terjadi. Pak dito masih sibuk dengan tugas-tugas yang diberikannya kepada mahasiswa. Pak rudy tetap sibuk dengan istilah -negative signal- nya dan melupakan kekhilafan timo yang menyiramkan air cucian piring dari warteg bu Darmi, dengan alasan "awak kira pak rudy itu pencuri yang kita cari. Lagi pula saat itu sudah gelap bud, mana bisa awak liat. Kalian kan tau mata awak sudah minus 4, tanpa kacamata awak sama saja buta" ujar timo. Mungkin karena alasan itu pak rudy bersikap seakan-akan itu tidak bernah terjadi, meskipun ketika itu terjadi pak Rudy sempat memaki-maki si pelaku dengan kata-kata asing yang tidak kami mengerti

mahasiswa yang lain? bungkam, entah mereka tahu, entah mereka tidak tahu, entah mereka tak mau tahu, atau mereka sudah tahu bahwa pak ketua jurusan kami itu seperti itu, aku tak tahu, kami bertiga tak tahu. Yang kami tahu, tugas kuliah tetap harus diselesaikan, uang jajan bulanan tetap hanya cukup untuk mangkal di warteg bu Darmi. Dan deny masih tetap dengan jengkolnya, Timo dengan sambel berlauk nasi, bu Darmimasih tetap dengan istilah "budetnya" yang sudah sampai ke seluruh mahasiswa di jurusan. Sampai suatu hari pak dito memanggil kami 

"kalian, trio budet, sini........" begitu ujar pak dito
"hah........." timo hanya dapat membuka lebar-lebar matanya, kaget, terbengong-bengong yang kemudian hilang karena pak dito ingin kami segera mendatanginya dan timo tak mungkin memprotes pak dito dengan panggilan "budet" yang diarahkan kepada kami bertiga

"bah, darimana pula bapak dito bisa tau itu kata budet" begitu gumam timo sembari menepuk jidatnya


Friday, January 27, 2012

sebentar-sebentar

sebentar-sebentar senang
sebentar-sebentar sedih
sebentar-sebentar tertawa
sebentar-sebentar menangis

semua serba sebentar

Malam semakin larut dan selama beberapa hari ini sebentar-sebentar merasakan sakit di pergelangan tangan sebelah kanan. Entah apa sebab? tak taulah awak. Ada nampak bahwa pergelangan tangan awak menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi kepada buruh yang sedang berdemo, menuntut keadilan demi iming-iming "kehidupan yang layak".

Dan bahkan, pergelangan tangan awak lebih manusiawi, lebih cepat bereaksi, daripada diri awak sendiri. Hebat-hebat...........,

"plok plok plok" awak lakukan ritual tepuk tangan itu demi menghargai aksi solidaritas pergelangan tangan awak yang ikut mogok kepada awak.

Tak sedang senang hati awak untuk bercakap-cakap dengan angin sepoi-sepoi yang sedari pagi hari tadi hilir mudik di depan jendela kamar awak.

"Membuat tulang-tulang dan kulit awak menggigil saja, kau angin" awak kata pada angin

Tak sedang bernafsu pula awak, untuk duduk diam bersama bulan sabit yang sejak malam kemarin menunggu awak untuk sekedar berdiskusi tentang malam bersama bintang.

"Lain kali saja lah bulan, awak sedang tak ingin banyak cakap kali ini" 

Kedua sejawat itu, bulan dan bintang pun pergi meninggalkan awak, sendirian. Awak anak melayu yang tak tahu budaya, yang tak dapat bicara logat ibu dan bapak, hanya dapat mendengarkan sembari melongo, seperti kerbau yang dicucuk hidung oleh si empunya nya.

Awak sedang tak senang
bayang-bayang masa lalu awak, mengenangkan kawan yang dulu masih ada, sekarang sudah tiada. Mengingatkan betapa berbedanya awak yang dulu dengan awak yang sekarang.

Awak mengguncang-guncang
anak melayu udik macam awak, terdampar di pulau seberang. Terperangah dengan gedung-gedung tinggi, bingung macam mana itu gedung bisa sampai setinggi itu. Terbengong-bengong awak dengan banyaknya mobil-mobil mahal mondar-mandir. Bingung, orang-orang dari dalam televisi kata, di negeri awak banyak orang miskin, ya macam awak ini lah. Tapi, melihat mobil-mobil itu, tak lama awak nampak rumah-rumah mewah itu, luar biasa. Negeri awak kaya, orang televisi bohongi orang desa macam awak.

Berhari-hari awak mengumpat-umpat televisi yang awak katakan
"kapitalis kau tipi, barang kotak macam kau ini, berani bohongi awak yang lebih besar, lebih tinggi dari pada kau" umpatku

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, teman awak tetap sama, angin, bulan dan bintang. Tapi awak sudah berubah, awak bukan lagi orang kampung suku melayu yang udik macam dulu. Awak sudah tau itu beda kornet dengan internet, awak juga tau kalau taksi dengan angkot itu tak sama, awak pun bukan lagi kutu buku yang tebal berkacamata, dengan celana macam pelawak jojon. Awak sudah berubah, tak lagi awak bercakap dengan sebutan "Awak". Sekarang zamannya "lo dan gue", begitu cakap teman-teman baru awak. 

Tak lagi awak menjadi udik seperti dulu, setidaknya begitu awak pikir beberapa bulan yang lalu.

sampai, teori sebentar-sebentar awak muncul kembali. Ceritanya awak mulai rindu dengan buku-buku, inilah teori sebentar-sebentar yang awal kali keluar ke permukaan. Awak terkena teori "sebentar-sebentar bosan", ya awak bosan dengan keluar masuk mall, cafe. Otak awak berasa kosong.

Ceritanya, awak bertanya pada angin dimana bisa awak dapat buku-buku untuk hilangkan dahaga otak awak, yang sudah hampir terkena dehidrasi ilmu pengetahuan.
Angin kata "dekat dengan tempat menuntut ilmu, bersebelahan dengan tempat mengisi perut, berhadapan dengan tempat teknologi dipamerkan, berselisih dengan tempat wanita suka habiskan waktunya"

Awak melangkah, mengikuti kemana petunjuk angin mengarah

awak berhenti
awak terdiam
awak serta merta kembali menjadi orang udik yang lebih udik daripada orang udik kebanyakan.

awak menghitung
"satu, dua, tiga,.........................., 10, 11" 
awak berjalan
awak bersyukur 
tetapi, kemudian awak kembali terdiam
".....12, 13" 

awak terkena teori sebentar-sebentar, sebentar-sebentar lega, sebentar kemudian awak kembali terbengong-bengong dibuatnya.

bayi, balita, anak-anak, remaja, orang dewasa, orang tua. Duduk, berjalan, berlari kesana dan kemari, 13 orang manusia dari segala generasi. Dengan mangkuk kecil yang biasa awak pakai untuk makan mie, mereka jalan ke sana kemari, meminta-minta.

sebentar kemudian, awak kembali teringat dengan televisi awak, yang awak umpat karena awak sangka berbohong. Televisi awak jujur, dia katakan negeri awak banyak orang miskin. Hari ini awak begitu banyak nampak orang miskin, tepat di depan mata awak.

Semua terasa semakin kabur, awak tak dapat lagi mengingat untuk apa awak berada di jalan ini. Awak pun sudah lupa dengan siapa diri awak, awak pun sudah tak ingat lagi tentang apa yang harus awak ingat. 

Samar-samar awak mendengar

"besok, sodara saya mau dateng dari kampung. Mau ikut ngemis -ceunah-, dari pada di kampung gak ada kerjaan.........." begitu cakap salah seorang pengemis kepada pengemis lainnya, kawan sebayanya, rekannya, relasi mengemisnya.

"brukkk.........." awak jatuh

Pikiran awak melayang bersama kesadaran awak, awak tinggalkan sebentar alam sadar, awak pergi bersama angin petang, membumbung tinggi menghadiri undangan bulan sabit dan bintang. Undangan menonton televisi bersama, sembari minum kopi di atas awan. 

judulnya "orang udik dan sangkaannya tentang negerinya"

Samar awak membuka mata, terkekeh-kekeh ketiga kawan awak. Angin, bulan dan bintang, mereka menonton film orang udik dan sangkaannya. Dan sebentar kemudian, awak kembali tak sadarkan diri, awak memilih tak sadarkan diri. Mengetahui pemeran utama di dalam film orang udik itu, adalah awak sendiri.

"hahahahahaha" tawa ketiga kawan awak, angin, bulan dan bintang, terdengar nyaring, kemudian hilang. 

Awak memilih tak sadarkan diri sampai film "orang udik dan sangkaannya tentang negerinya" itu selesai diputarkan.

Saturday, December 3, 2011

saat itu...........,

Saat itu aku sedang sibuk dengan pekerjaan kantorku, ketika tiba-tiba telepon genggamku berdering

"telepon dari rumah, nomor rumah, nggak biasanya, kenapa ya?" aku bertanya pada diriku sendiri

"pak, ini bi sum" suara wanita yang sudah tua dari seberang sana menyapa ku. Bi sum adalah pembantu di rumahku, rumah kami, aku dan keluargaku

"nyonya masuk rumah sakit pak" begitu ujarnya singkat saat itu, beberapa tahun yang lalu, tepatnya 5 tahun yang lalu.

Aku tak tahu harus menceritakan apa kali ini, tidak banyak yang bisa kuingat dari apa yang terjadi beberapa tahun lalu. Tahun-tahun kelabu, kepergian istriku, selamanya, ya selama-lamanya. Kisah sedih yang sebenarnya tidak ingin aku bagikan kepada siapapun. Tidak juga kepada anakku, putra pratama zata. Melihat putra pertamaku berlari-lari dengan bi sumi, kasihan bi sumi. Wanita uzur yang menjadi bulan-bulanan kenakalan anakku yang baru berumur 8 tahun itu.

"ayah sini, main layangan sama putra" begitu teriaknya
Dia berteriak dari kejauhan, senyumnya mirip amat sangat mirip dengan dia, ibunya, istriku.
"iyaaaa, main sama bi sumi dulu ya. Ayah liat dari jauh aja ya de" begitu jawabku
Putra kecilku itu terdiam sejenak, memajukan bibirnya dan kembali, sama persis seperti ibunya
"yaaa ayah” dia mulai merajuk “Bi sumi gak asik, suka capek" begitu tambahnya
Aku hanya tersenyum
"Ya udah deh, ade main sama bi sumi ajah. Ayo bi', dipegang layangannya......" begitu lanjutnya

Aku tak lagi mendengar celoteh jenaka putra kesayanganku itu, yang aku dengar hanya suara tawa jenakanya yang berlari-lari membuat kelelahan pembantuku yang sudah amat tidak lagi muda itu.

Angin petang yang menyejukkan, wahai dinda ku Rica Artanegara. Aku tak dapat berbuat apa-apa, selain menatap rumput yang basah karena hujan sesaat di siang hari. Kemudian melayangkan pandanganku jauh ke langit yang biru. Tak tahu harus seperti apa mengekspresikan wajahku. Hanya tatapan hampa mengingat wajah manjamu yang benar-benar engkau wariskan pada putra, anak kita berdua.

Orang bilang, sinetron-sinetron itu bercerita, film-film korea atau film asing lainnya, atau bahkan film indonesia, mereka berkata orang yang meninggal, yang baik hati pasti berada di langit yang tinggi. Bersama Tuhannya, Allah swt, kebenarannya? seandainya aku masih anak-anak, ingin aku mempercayai itu. Tetapi, kita berdua tahu, hisab itu ada. Sedang apa kamu di sana, dunia yang sudah berbeda antara aku dan kamu. Semoga kamu tenang berada di sana. 

Waktu begitu cepat berlalu Dindaku sayang, 5 tahun itu tak begitu terasa. Taman ini tak lagi seperti dulu, sudah banyak permainan anak-anak di dalamnya. Aku teringat ketika kamu berkata 

"Mas, kalau aku punya tanah. Mau aku buat taman bermain, biar orang lain pun bisa main di taman itu" begitu ujarnya saat itu

"Amiiiin, iya nanti pasti kita punya" begitu jawabku atas mimpinya beberapa tahun yang lalu

Lamunan-lamunan akan masa-masa itu, kemudian membawa ku ke masa 5 tahun yang lalu

"pak saya izin pulang duluan, istri saya masuk rumah sakit"
"oh ya? ya sudah kalau begitu. Kalau ada kabar apa-apa, kasih tau saya ya, you tau kan kemana harus hubungi saya" begitu pak prasetyo General Manager ku berkata
"baik pak, saya permisi"

Aku bergegas membereskan semua file-fileku. Memasukkannya ke dalam tas, kemudian membawanya pergi. 

Dalam setiap langkahku, aku hanya dapat berdoa, berharap-harap dalam cemas semoga istrimu baik-baik saja. Masih begitu jelas di dalam ingatan ketika pagi ini, dia berkata
“mas mas, kalau sudah sampe kantor bbm aku ya” begitu ujarnya
“iya, insya Allah begitu sampai mas langsung bbm kamu” jawabku sembari memastikan bahwa ujung celana panjangku tidak terselip di dalam kaos kakiku.

“jangan males bbm aku ya mas, kalo males tandanya..........”kalimat istriku terhenti, kemudian
“tandanya kangen” begitu kami berdua menjawab pertanyaan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan jawabannya. Aku dan dia pun tertawa, sampai ketika aku tersadar bahwa jam tanganku sudah menunjukkan pukul 7.30 pagi.

“mas berangkat ya de, putra mana?”
“bi.. bi sumi, putranya bawa sini bi’, ayahnya mau ke kantor” begitu istriku memanggil pembantu kami yang sudah separuh baya itu.
“sini bi, biar saya yang gendong, bibi beres-beres di belakang aja ya” begitu ujar istriku
“putra sayang, ayah pergi dulu ya. Jagain ibu ya, kan jagoan ayah” begitu ujarku pada jagoan pertama di dalam keluarga kecilku itu. 

Putra kecil ku itu mengangguk mantap, tatapan matanya tajam, persis seperti ibunya
“miriiiip banget sama kamu de” begitu ujarku pada istriku pagi itu.
“ya iyalah mas, kan anak aku, hahaha” dia tertawa, tertawa renyah.
“ya udah mas berangkat ya, sini cium tangan mas dulu dong” aku pura-pura merajuk pada istriku
“iya dede cium tangannya” ujar istriku

Dia meraih tangan kananku, menciumnya lama sekali. Pagi itu terasa berbeda, tetapi aku tak merasakannya, atau memang aku yang tidak terlalu peka. 

“putra cium tangan ayah” begitu perintah istriku pada anak lelaki ku itu
“mas berangkat ya, assalammu.......” belum selesai aku mengucap salam, istriku berkata
“mas..........uumm, cuma mau bilang, dd sayaaaaang sekali sama mas azzam” begitu katanya

Pagi itu, pagi ini, dan sekarang, apa yang terjadi pada kamu Rica. Perjalanan ini terasa begitu lama, padahal jalanan tidak begitu ramai, mendekati hari minggu sebagian besar warga kota jakarta, kota metropolitan ini memilih untuk pergi keluar kota. Melepaskan diri dari kepenatan yang sudah mengekang selama berhari-hari.
Dan hari pun mulai beranjak petang, aku menjadi terlalu lama di jalan. Lalu lalang kendaraan, semua ingin pulang ke rumah. Laju kendaraanku terasa begitu lamban, meskipun aku sudah mengupayakan untuk menekan pedal gas agar bisa segera sampai ditujuan. 

Rumah sakit ini, sama seperti istriku, aku tidak suka dengan rumah sakit. Sejak dulu aku selalu berkata “kita harus sehat ya de”, “iya” begitu jawabnya. Tapi hari ini, siapa yang mengira aku akan berada di sini, memarkirkan mobilku. Kemudian bergegas pergi menuju ruangan tempat istriku di rawat.

Sesampainya di sana, adzan maghrib itu memanggilku. Tepat sekali, aku sempat terhenti, berdiri di persimpangan jalan yang menunjukkan arah kiri tempat dimana istriku dirawat. Dan arah kanan tempat mushollah rumah sakit berada.

“mas, jangan ditunda sholatnya” begitu ujar istriku beberapa tahun yang lalu, di hari-hari pertama aku menjadi suaminya.

Langkah kaki dan hatiku, membawaku ke arah kanan, ke tempat dimana istriku ingin aku berada saat ini, ke tempat dimana aku bisa menjernihkan akal pikiranku. 

Mendengar air keran itu mengucur jatuh ke bawah, membasuh wajahku, kedua tanganku, menegakkan sholat 3 rakaat beserta sunnahnya yang berjumlah 2 rakaat itu. Aku selesai, kemudian terpekur, terdiam dalam renungan panjang, mengangkat kedua tangan sembari meminta agar istriku baik-baik saja.

Dan kini, di sinilah aku, di Ruang ICU, ruangan yang mengingatkan aku pada 3 tahun yang lalu. Dan saat itu aku juga berada di ruang yang sama dengan kamu sayang, istriku. Mengingat saat-saat itu, melihat wajahmu yang menangis tersedu sedan di sore menjelang malam, aku tak sanggup. Dan kali ini, kamu yang berada di sini, di atas ranjang rumah sakit ini. Dengan selang infus yang terpasang di lengan kananmu. Dengan selang bercabang yang terpasang di hidungmu, dengan alat bantu nafas itu. Alat yang memunculkan suara "bip bip bip" aku tidak suka itu, kamu tidak seharusnya berada di sini sayang.

Ruang yang didominasi oleh warna putih dan biru, pucat pasi seperti wajahmu saat ini. Aku hanya bisa menarik nafas panjang, melihat istriku, kamu berada di tempat ini. Untuk sakit yang aku tidak begitu mengetahui seperti apa persisnya ia bisa berada di dalam tubuhmu.

Suara derit pintu membuyarkan lamunanku
"Pak Azzam pratama?" seseorang memanggil namaku
"ya saya, saya azzam pratama" begitu jawabku

Lelaki itu berkacamata tebal, dengan stetoskop terlingkar di lehernya. Dia masuk menghampiriku dengan seorang suster perempuan bersamanya, lengkap dengan map yang berisi kertas-kertas yang aku pikir 'itu pasti rekaman hasil pemeriksaan istriku'. Dan aku pikir lelaki itu pastilah dokter yang merawat istriku.
"bisa saya bicara berdua dengan bapak?" ujar dokter tua itu padaku
"oh ya tentu dok" jawabku
"Tidak di sini, supaya tidak mengganggu pasien yang sedang beristirahat" begitu ujar dokter tua itu. 

Aku mengikutinya dari belakang, sembari pikiranku menerawang, menerka-nerka seperti apa kiranya wejangan tentang kesehatan istriku, yang akan dia sampaikan kepadaku.

Dokter itu membawa aku ke ruangannya, yang tidak berada jauh dari tempat istriku dirawat. Rumah sakit ini nampaknya memang membagi ruang berdasarkan jenis penyakitnya. Darahku berdesir begitu aku melihat papan nama yang tertera di pintu masuk ruangannya. Dr. Muhammad Firdaus SpOnk. Onk untuk apa? Onk? seperti pernah mendengarnya, tetapi aku tidak tahu kapan dan dimana tepatnya.

Dokter tua itu membuka pintu ruangannya, dan mempersilahkan aku duduk. Ruangan yang lumayan luas, terdapat dua ranjang pasien di dalamnya. Dengan alat-alat periksa yang aku tak tahu apa namanya dan untuk apa kegunaannya.

"Begini pak azzam, bapak tau ibu Rica sakit apa?" katanya membuka pembicaraan

Aku menggeleng, tidak tahu. Mataku masih liar berkeliling ke sana ke mari, sesekali mencuri pandang ke segala arah. Sampai ketika mataku melihat gambar kesehatan yang terpajang di salah satu sudut ruangan dokter SpOnk ini. Sepasang payudara wanita, gambar itu menjelaskan tentang bagaimana sel-sel kanker terbentuk, seperti apa penyebaran di dalam tubuh si penderita bila sudah memasuki stadium II, III, dan IV. 

Belum sempat mendengar penjelasan dokter itu, lutut ku melemas, bulu romaku merinding tidak jelas, darah ku berdesir, berkali-kali aku mengucap -astaghfirullah-. Dan aku semakin yakin SpOnk itu sebutan untuk spesialis onkologi, istriku pernah bercerita padaku beberapa waktu yang lalu.
"apa yang terjadi pada dirimu, istriku" gumamku
"pak......, pak pak azzam” suara dokter itu membuyarkan lamunanku
"oh, eh iya dok, maaf, jadi ada apa dengan istri saya dok. Istri saya tidak apa-apa kan dok?" tanyaku padanya

Lelaki tua itu hanya terdiam, kemudian berkata
"kami akan berusaha semampunya, kanker istri bapak sudah memasuki stadium IV. Sebenarnya saya sejak awal sudah menyarankan untuk pengangkatan payudara istri bapak, keduanya. Tetapi istri bapak menolak, saya pikir.........."

Kepalaku pusing, aku seperti ditimpa batu yang sangat keras. Kanker payudara stadium IV, hati ku berteriak, aku menjerit di dalam alam pikiranku. Terpekur menatap meja kayu yang mungkin usianya sudah sama seperti dokter Onkologi ini. Aku tak tahu apa yang sedang dokter ini bicarakan, kedua daun telingaku menutup serta merta pendengaranku.

Dengan terbata-bata aku berkata
"jadi maksud dokter, istri saya sekarang dalam keadaan kritis?"
Dokter yang aku pikir usianya sekitar 55 tahun itu menghela nafas panjang.
"Maafkan saya pak, yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah berusaha dan berdoa" 

aku seperti manusia yang lupa bahwa aku beragama, sampai kemudian aku berkata
"tolong dok, lakukan apa saja untuk keselamatan istri saya. Saya akan bayar berapapun dok"
Suara putus asa seorang anak manusia, aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, aku tidak tahu.

"Tenang pak, kami sedang berusaha yang terbaik untuk istri bapak" begitu ujar dokter firdaus saat itu

Aku terdiam, mengenangkan pertanyaan istriku beberapa tahun yang lalu
"mas, kalau kamu enggak ada, aku gimana ya?"
Dan saat ini, aku yang bertanya pada diriku sendiri
"Kalau kamu enggak ada, mas gimana de" 

Aku berdiri, mengucapkan terima kasih dan permisi undur diri. Aku tidak mendengar apa yang dokter itu sampaikan sebelum aku benar-benar meninggalkan ruangannya. Pikiranku silang lintang, liar berlari ke sana kemari. Teringat dengan anak ku yang baru berumur 3 tahun, sedang apa dia, dengan siapa dia di rumah. Belum lagi keluarga istriku di Yogya, bagaimana aku mengabari mereka. Dan bagaimana caraku mengabari ibuku. Pikiranku melayang tidak jelas, asaku hampir terbang bersama petang yang semakin menjalar menjadi malam yang gelap.

Langkahku seolah-olah terpatri dari satu ubin ke ubin lainnya di rumah sakit ini,
"Masya Allah de', kenapa mas gak kamu kasih tau" aku bergumam sendiri di dalam hati sembari memacu langkahku menuju kamar istriku dirawat. 

Dari jauh aku melihat mereka, orang-orang yang aku kenal, mertuaku, keluarga dari istriku, ibuku. Tatapan mereka, tatapan yang menjelaskan bahwa mereka sudah lama tahu tentang sakit istriku itu. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir mereka, selain air mata. Ayah istriku pun menatapku dengan tatapan merah, menahankan tangis.

-ah ya tidak mungkin ayah menangis, ayah lelaki- dan ego lelaki itu tak dapat menahanku untuk menangis di hadapan ibu dan ibu mertuaku.

"Sabar ya zam, kamu yang sabar ya nak" begitu ujar ibu mertuaku

"Mas, mbak rica mau ngomong. Dari tadi ditungguin katanya" begitu ujar tika adik perempuan istriku. Menurut cerita istriku, adik perempuannya ini, Tika Artanegara, lucu. Aku teringat ketika istriku berkata
"Adik perempuanku itu mas, sukanya tidur. Kalau sudah ngantuk, gak liat tempat, di tempat umum aja dia bisa tidur" Dan istriku tergelak menceritakan kebiasaan buruk adiknya itu
"iya, makasih ya tik. Putra sama siapa?" tanyaku
"Putra sama bi sumi di rumah mas, Nina sama nani juga ada di rumah kok" begitu jelasnya
Nina dan nani, ah ya adik kembarku. Setidaknya aku bisa bernapas lega, putra berada di tangan orang-orang yang mengasihinya.

Langkahku terasa begitu berat, gagang pintu ruang ICU itu terasa sama beratnya dengan langkah kakiku saat itu. -Bismillah- aku tidak boleh nampak sedih di depan istriku, harus tersenyum aku harus tersenyum- begitu gumamku di dalam hati.

Dan ketika aku membuka pintu itu, nampak olehku seorang wanita, lengkap dengan jilbabnya, berwarna putih cerah, seperti wajahnya. Wanita itu, yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit itu sudah menjadi istriku selama 3 tahun. Bersamanya merupakan anugerah terindah yang Allah berikan kepadaku. Wanita yang tidak pernah menuntut apa-apa selain 

"aku mau suamiku baik agamanya mas, bukan cuma tau, bukan cuma ngerti, tapi memahami"

Begitu ujarnya suatu hari ketika aku menunda sholat isyaku. Masih jelas wajahnya yang cemberut, memalingkan muka ketika aku berkata
"Nanti de sholatnya, mas gak suka dipaksa-paksa"

Dan sejak saat itu, aku sebisa mungkin membuat jadwal sholatku selalu di awal waktu. Ah istriku melihatmu terbaring seperti sekarang ini, aku tak sanggup. Mengapa kamu berada di situ? mengapa tak kamu beritahu pada suamimu ini tentang penyakitmu.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menerus melanglang buana di dalam kepalaku, sampai ketika suara lembut itu memanggilku

"Mas, mas azzam" suaranya lirih, menahan sakit yang entah seperti apa, aku tak tahu
bergegas aku menghampirinya, menarik kursi yang berada di sebelah menja yang berada tepat di samping ranjang istriku.

Suara kursi itu tetap tak dapat memecah kebisuan antara aku dan istriku
"suara kursinya berisik ya mas, diangkat aja" begitu katanya
"iya ya de, mas kan gendut, jadi kuat angkat kursinya" begitu candaku
Istriku itu hanya tersenyum
"iya mas gendut, baru tau ya" begitu balasnya

Aku letakkan kursi itu tepat di sebelah kanan istriku. Aku hempaskan tubuhku di kursi rumah sakit itu, kemudian menggenggam tangannya, bermain-main dengan jari jemarinya, menggaruk-garuk telapak tangannya.
"apaan sih mas, geli" begitu ujarnya
"biarin geli, habis kamu jahat sama mas. Sakit gak bilang-bilang" jawabku sembari tersenyum
"mas, liat dede" begitu dia memintaku. 

Dia memintaku untuk menatap wajahnya, melihat langsung jauh ke dalam matanya. Selalu seperti itu, bila dia ingin berbicara tentang hal-hal yang serius. Dan kali ini aku tahu dia ingin berbicara tentang apa dan aku pun tahu aku tak akan sanggup untuk itu.
"mas, jagain putra ya" dia terdiam sejenak
"aku minta maaf, enggak bisa jadi istri yang baik" tambahnya

Wanita yang menjadi istriku itu tersenyum sembari menitikkan air mata. Ia menghela nafas panjang sembari menggenggam erat jari jemariku. Aku tak dapat berkata apa-apa, hanya menundukkan kepala menahankan air mata yang akhirnya jatuh juga.

"aku..... aku, mau istirahat panjang. Nanti, kalau mas ketemu dengan yang lebih baik dari aku, nikah aja ya mas. Aku enggak apa-apa, yang penting mas bahagia. Aku cuma minta satu hal, wanita yang akan menggantikan ku, harus sayang sama putra. Aku......." terbata-bata ia menyampaikan pesan-pesannya.

Pesan-pesan yang aku tak ingin mendengarnya, pesan-pesan yang kemudian aku hentikan di tengah jalan, aku hempaskan begitu saja pesan-pesan terakhirnya. Aku biarkan terbang bersama hembusan angin pendingin ruangan yang semakin terasa dingin membekukan seluruh isi kepalaku.

"Sudah ah, istirahat, jangan ngomong terus. Kata dokter dede harus banyak tidur, banyak istirahat, biar obatnya bisa bekerja dengan baik" begitu ujarku

Istriku hanya tersenyum, menatap mataku, dan kali pertama aku tak sanggup menatap jauh, lekat kedua matanya. Secara tersirat ia sudah melambaikan bendera putih tanda menyerah pada kehidupan. Oh tidak dia tidak menyerah, istriku sudah berusaha sekuat tenaga, dan ia pasti sembuh, segera. Atau saat ini aku sedang bermimpi, mimpi yang sedikit lama memang. Tetapi aku yakin ketika terbangun, istriku akan berada tepat di sebelahku, tertidur pulas. Atau, aku sedang tertidur dan istriku akan mencubit lenganku untuk membangunkan aku.

"Mas....... mas"
suaranya kembali membuyarkan anganku akan mimpi-mimpi itu.
"iya, kenapa de?" ujarku sembari menatap lembut wajahnya, membelai rambutnya kemudian memperbaiki letak selimut yang menutupi separuh dari tubuhnya.

"sudah sholat maghrib belum?" dia bertanya
"sudah de?" jawabku
"kalau dede gak ada, sholatnya jangan ditunda ya"
"iya" jawabku
"tiap hari harus push up 5 menit, sit up 5 menit ya"
"iya" jawabku
"sholat tahajud sama sholat dhuhanya jangan lewat ya?"
"iya de" jawabku
"janji sama dede?"
"iya mas janji, udah ah, kamu tidur ya" jawabku sembari mengakhiri kalimatnya, permintaannya bagaikan ucapan perpisahan bagiku. 

"ya udah, dede tidur dulu ya. Dede capek mas, mau istirahat, mas nyanyi ya. Lagu kebangsaan mas itu, yang bahasa inggris" pintanya padaku

Aku terdiam, menatap wajahnya, ya Allah ingatkan aku pada wajah wanita ini, wanita yang sudah menjadi istriku selama beberapa tahun terakhir ini.

"mass... jangan ngelamun, lagunya mana" suara manjanya membuyarkan lamunanku
"iya ini mas nyanyi” ujarku
-i love you, you love me, we are happy family-.
Udah ya, sekarang tidur" pintaku setelah menyanyikan lagu yang aku tidak tahu siapa pencipta lagu itu.
"sekali lagi mas............"
"iya deeh tapi lain kali bayar ya" begitu candaku

Dia hanya tersenyum lemah di atas ranjang rumah sakit yang membuat aku semakin sakit setiap kali melihatnya.

"ayo nyanyi lagi mas.... kok diem, ngelamun ya" katanya
"iya ini nyanyi -i love you, you love me, we are happy family. Udah ya sekarang tidur"
"Nanti dulu, terakhir dede minta mas bacakan surat Ar Rahman. Seperti waktu dulu, waktu mas melamar dede, kan mas kawinnya itu" begitu pinta istriku
"Aduh dede, kamu kan harus tidur" begitu ujarku
"Enggak, dede mau tidur sambil denger mas bacakan surat itu" begitu rajuknya padaku
"Ya deh, mas bacain, tapi kamu sambil tidur ya de. Kan kata dokter kamu harus istirahat" begitu aku meminta pada istriku
"iya, dede sambil tiduran" jawabnya sembari menarik nafas panjang, kemudian memejamkan matanya perlahan

Aku mulai membacakan kalam Allah itu, masih begitu jelas teringat dia yang berkata
"Kalau mau nikah sama aku, kamu harus hapal juz 30. Terus surat Ar Rahman jadi mas kawinnya, kalau enggak bisa ya udah, nikah sama orang lain aja" begitu tantangnya.

Rasa ego lelakiku membuat aku menerima tantangannya dan keberhasilanku itu berbuah dia menjadi istriku beberapa bulan berikutnya, di tahun yang sama.

Setiap ayat dari surat Ar Rahman yang aku bacakan itu, terasa begitu pilu terdengar di telingaku. Sembari menitikkan air mata aku melihat setiap guratan-guratan lelah yang terlihat di wajahnya. Wajah pucat pasi itu tersenyum kepada ku, kemudian berkata

"terima kasih ya mas, mas sayang gak sama dede?"
"iya mas sayaaaaang sama kamu de" begitu ujar ku sembari mengecup kening istriku itu
"dede sayang gak sama mas?" tanyaku
"iya, dede sayaaaaang sekali sama mas" suaranya nyaris hilang, tak terdengar
"sebesar apa?" begitu tanyaku
"sebesar angka 1 dibagi 0" begitu jawabnya
"diteruskan baca Ar Rahmannya" pintanya padaku
Aku melanjutkan bacaan ke ayat berikutnya, sampai ketika aku tiba di surat yang berarti
-nikmat Tuhan yang mana lagikah yang engkau dustakan-,

Aku melihat wajah istriku terpejam, menitikkan air mata. Ia bergumam yang aku tidak ingin tahu apa gumamannya itu, tetapi dengan jelas aku dapat membaca gerak bibirnya,
"ashadualla ilahaillallah, wa ashaduanna muhammadurrasulullah" begitu ucapan terakhir dari bibir wanita yang amat ku sayang itu.

Dan semua terasa terhenti, nafasku pun aku rasakan ingin berhenti. Alat pantau denyut jantung itu tak lagi berbunyi -bip bip bip-, ia sudah berganti dengan bunyi -bip- yang panjang, dan terasa begitu memekakkan telinga.

Aku mundur merapat ke dinding ruangan, menjauh ketika beberapa perawat dan dokter yang merawat istriku datang, membuka pintu kemudian mulai mengupayakan segalanya untuk mengembalikan nafas istriku.
"de, selamat jalan. Mas sayang sama kamu" begitu ujarku





Semua ingatan-ingatan itu seakan-akan ingin pergi dari dalam kepalaku, sekuat tenaga aku menahannya, menyimpannya di dalam memori, aku tidak ingin lupa, tidak ingin melupakannya.


"ricaa......" begitu isak tangis ibu mertuaku
"mbak rica.........." adik iparku tersedu sedan memanggil-manggil kakak perempuannya itu

Riuh ramai terdengar, bercampur dengan suara betapa sibuknya dokter dan perawat-perawat itu menggunakan alat-alat yang aku tak tahu apa namanya, yang aku tahu pasti, mereka ingin mengembalikan denyut jantung istriku. Tapi, aku tahu Allah menginginkan sesuatu yang lebih baik daripada itu, Dia mengambil apa yang sudah Dia titipkan padaku beberapa tahun yang lalu.

Bayang-bayang RIca seakan berlari-lari di depan mataku. Masih begitu nampak jelas wajahnya ketika pertama kali menjejakkan kaki di kampus ku. Ketika itu aku dan dia secara tidak sengaja berpapasan di depan lab komputer tempat aku biasa menghabiskan waktu bersama teman-teman satu jurusanku . Sejak saat itu aku tahu bahwa, wanita berkerudung itu sudah menarik hati ku.

Masih segar pula di dalam ingatanku, ketika dia berkata melalui pesan singkatnya, di tahun 2006
"Azzam, saya punya tumor lho" begitu dia memberitahuku dalam canda dan tawanya

Dan saat itu, sebagai temannya, aku hanya bisa mendengarkan, memberikan saran padanya untuk memeriksakan benjolan yang ada di dadanya, tetapi

"enggak ah, malu, dokternya cowok semua" begitu katanya

Tahun-tahun berlalu sejak tahun 2006 itu, Aku tak lagi berkirim pesan padanya. Egoku berkata, aku harus menghentikan komunikasi yang terjadi antara aku dan dia. Aku tinggalkan dia dalam keadaan terluka, sampai ketika di tahun 2011 aku mencoba memetakan sejauh mana kesempatan yang aku punya untuk menjadi pendamping hidupnya.

"Ummmmm, tapi saya sakit lho zam. Itu lho, tumor yang dulu, sekarang malah ada dua" begitu ujarnya. Dan kembali dia hanya tertawa begitu menyampaikan hal itu padaku. Entah dia memang menganggap tidak ada apa-apa dengan tumornya itu, atau dia mencoba menyembunyikan rasa kekhawatirannya dariku.
"Enggak apa, kan bisa diobati" begitu ujarku saat itu.

Tak lama berselang, sebuah pesan singkat dia kirimkan kepadaku. Pesan itu aku terima di akhir bulan november di tahun yang sama, 

Katanya "zam, tumornya jadi 3, sakit......." begitu pesannya

Serta merta aku meneleponnya, mendengarkan dia menangis terisak-isak, dia bilang
"Aku takut zam, aku takut......., kamu nikah sama orang lain aja ya. Aku sakit" begitu ujarnya dalam suara tangis yang tersedu sedan.

"Enggak, saya sudah bilang. Kalau saya mau nikah sama kamu, ya sama kamu. Kalau sakit, nanti kita bisa obati, kamu yang sabar ya" begitu aku mencoba menenangkan perasaannya saat itu

Dan kini, beberapa tahun setelah itu. Di sinilah aku, berdiri, menggendong putra yang tidak tahu apa-apa. Akalnya masih belum dapat mencapai tentang apa yang terjadi pada ibunya.

"Ayah, kenapa ibu masuk di dalam lobang?" begitu tanyanya padaku
"ibunya putra, lagi mau tidur, ibu capek" begitu kataku
"ooo capek ya, karena putla ya 'yah?" dia kembali bertanya, dan aku semakin tak tahu harus menjawab apa kecuali tersenyum kemudian mengusap-usap rambutnya.

"bukan, bukan karena putra kok. Kata ibu, putra jangan nakal ya, nurut sama ayah" jawabku atas pertanyaannya dan aku tahu jawabanku itu belum akan cukup memenuhi rasa keingintahuannya itu.

"iya, tapi nanti putla bisa ketemu ibu lagi kan?" putraku itu kembali bertanya

Pertanyaan itu membuatku terdiam, tak mampu menjawab. Aku tak tahu harus menjawab apa, aku tak bisa membohonginya, meskipun aku tahu dia pasti tidak akan tahu kalau aku sedang membohonginya saat itu.

"Putra...., sini sama Oma ya, kita liat mobil-mobilan putra di mobil ayah ya" begitu ibuku mencoba membujuk cucunya.

Untuk beberapa saat, aku terbebas dari pertanyaannya yang terasa begitu pilu ketika mendengarnya. Tapi, entah aku harus menjawab apa bila di hari-hari berikutnya dia bertanya tentang dimana ibunya.
"zam, mau ikut ke dalam gak?" suara ayah mertuaku membuyarkan lamunanku
"iya yah, saya ikut" begitu ujarku

Aku turun ke dalam liang lahat istriku, membenarkan posisi jasadnya, membuka tali kain kaffannya dan ayah mertuaku mencium lama dahi anak perempuan pertamanya itu. 

"Baik-baik di sini ya nak? ayah doakan dari jauh" begitu ujar ayah mertuaku itu.

Dia menegakkan tubuhnya, sesaat untuk pertama kalinya aku melihat ia menitikkan mata. Semua sudah tertutup dengan papan, hanya tinggal wajah istriku, yang pucat dan dingin.

"Kamu pernah bilang de, kamu akan bagaimana kalau mas gak ada. Sekarang, mas yang balik bertanya pada diri mas sendiri, bagaimana mas kalau kamu enggak ada"

Untuk terakhir kalinya, aku melihat lama, berusaha menghapal, mengingat wajah istriku itu, sebelum kemudian papan terakhir itu menutupi wajahnya, kepalanya.

Lengan tua renta itu mengangkat aku ke atas, lengan ayah mertuaku. Bersama-sama kami menutup liang lahat itu dengan tanah merah. Berkali-kali aku kuatkan diriku, mengucap istighfar agar aku sadar bahwa istriku kembali ke tempat dimana dia berasal. Suatu hari entah kapan, aku pun akan ke sana, menyusulnya.
"Selamat jalan de, tunggu mas di sana ya" begitu gumamku

Lambat laun, lubang itu tertutup sempurna. Tak dapat lagi aku melihat wajah istriku, yang ada hanya wajahnya yang tertanam di dalam ingatanku. Semakin lama, semakin terbentuk gundukan yang tinggi, terpasang sebuah nisan bernama Rica Artanegara. Aku melemas, entah mengapa aku merasa begitu lemas, tak dapat menahan beban tubuhku yang sekarang sudah tidak segemuk dulu

"mas sudah kurus de, seandainya kamu tahu. Kehilangan kamu membuat mas kehilangan hampir separuh berat badan mas" begitu ujarku

Tiba-tiba kepalaku terasa begitu berat, semua yang berada di sekelilingku kurasakan gelap, berputar-putar, kemudian yang aku dengar hanya bunyi sesuatu yang jatuh ke tanah, dan aku pikir itu adalah aku.

Aku terbangun, ketika sesuatu aku rasakan menyentuh lengan kananku, ‘mencubit’ ya seseorang sudah mencubit lenganku.

“indra bangun.....” begitu suara itu terdengar di telingaku

Tapi siapa indra, aku tidak mengenalnya, aku azzam pratama seorang manager dari perusahaan BUMN yang bertugas di Jakarta.

“indraaaaaaa..... banguuun.....” suara itu semakin terdengar nyaring di telingaku. Aku heran, kenapa orang yang dipanggil dengan nama itu tidak juga mendatangi arah suara.

“’ndra, kalau kamu gak bangun juga, ibu siram pake air” begitu ujar wanita itu, wanita? Ibu? Siram pakai air?
Aku masih merasakan sakit di lengan kananku, membuka perlahan mataku. Tepat di hadapanku setumpuk pakaian kotor yang aku tidak tahu pakaian siapa itu. 

Mengusap-usap wajahku, kemudian mengangkat kepalaku, melihat ke sekelilingku, dan 

“byurrr” air dingin kota bandung benar-benar membangunkanku

“ibu bilang bangun, ya bangun. Kuliah!!! ini sudah jam 8 pagi”

Begitu ujar ibuku, ya wanita yang tadi memanggil-manggil itu adalah ibuku

“hah jam 8 bu’?” tanyaku

“iya jam 8, makanya ibu sudah bilang sama kamu, jangan tidur habis shubuh, gini akibatnya kalo gak denger omongan orang tua” begitu kuliah perdanaku di pagi yang cerah ini

Aku terdiam, terbangun di atas meja belajarku

‘meja belajar?’ Hahahaha pada kenyataannya aku tidak pernah menggunakannya untuk belajar.
Menyibakkan gorden biru di kamarku, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamarku. Membuka jendela dan membiarkan udara segar berebutan untuk masuk ke dalam kamarku. Menggantikan udara kamar yang pengap, untuk terbang ke udara berbaur dengan segarnya udara di pagi ini.

Azzam pratama
Putra pratama zata
Rica artanegara
 Ketiga nama itu begitu membekas di dalam kepalaku, mimpi yang nampak begitu nyata bagiku.

Aku berjalan, berdiri tepat di depan jendela kamarku. Mengabaikan jadwal kuliah pagi ini, menarik nafas panjang sembari mengangkat kedua tanganku. 

“Alhamdulillah, semua cuma mimpi”

Begitu ujarku di pagi yang cerah ini.

Tuesday, November 29, 2011

KETIKA

Ketika, lelaki itu serta merta mengatakan -tidak suka- ketika aku berandai-andai dengan kata ketika yang tersirat dalam kata lainnya -bagaimana-.

"Mas, gimana yang kalau kamu enggak ada? aku gimana?" 
Begitu aku lontarkan pertanyaan pada suamiku hari itu

"hush, gak boleh ngomong gitu ah, mas gak suka"
Jawaban singkat sebelum kemudian ia kembali sibuk dengan setumpuk pekerjaannya yang ia bawa ke rumah.

"Ya sudah deh, aku tidur duluan ya, gak apa ya mas? nanti kalau perlu apa-apa bangunin aja ya"
"Iya" begitu jawabnya

Aku tidak tahu suamiku itu tidur pukul berapa, yang jelas pagi itu dia membangunkan aku seperti biasa untuk sholat tahajud kemudian menanti shubuh bersamanya, sampai pagi tiba.

Air keran pagi itu terasa begitu dingin menyentuh pori-pori kulitku yang tipis. Setiap basuhan air wudhu yang menyentuh terasa membangunkan setiap direktori-direktori syaraf yang tersebar di seluruh tubuhku. Melihat dia membentangkan sajadahnya di musholla kecil yang kami punya, musholla yang menjadi bagian dari rumah sederhana aku dan dia, yang sama mungilnya dengan musholla yang juga sama kecilnya dengan jumlah keluargaku, hanya aku dan dia.

Sunday, November 20, 2011

"aku dan bayang hitam itu" dalam seberapa penting

pernah bertanya seberapa pentingkah kita bagi orang lain? 
pernah bertanya, seberapa penting diri kamu bagi teman mu? 

jangan bertanya seberapa penting dirimu, bagi orang tuamu
jangan juga bertanya seberapa penting diri kamu bagi keluargamu

tapi, bertanya seberapa penting orang tuamu di dalam kehidupanmu
penting, ya hanya ketika kamu membutuhkan tempat bersandar yang kuat, tangguh,  dan tetap. Tidak berpindah tempat seperti teman-teman yang hilir mudik datang dan pergi. Ada teman yang karena ketulusan, kesamaan nasib dan cerita awal, ada teman yang sejalan karena kesamaan dalam kepentingan.

Orang tua dan keluarga memiliki kesan yang berbeda, memiliki guratan di dalam kain kanvas pelukis dengan garis-garis tegas, yang kadang hitam bila kita melihat dari sisi ego sentris kita sebagai manusia. Memiliki garis lembut, cerah, mengharukan, luar biasa memiliki makna, bila kita melihat dari sudut pandang yang berbeda, sisi manusia yang menghargai bahwa apa-apa yang keluarga, orang tua kita lakukan, semua karena mereka mengetahui pasti tentang kita.

Sebesar apapun kebaikan orang, manusia yang lalu lalang di hadapanmu, semua memiliki kepentingan yang jelas dari dirimu sebagai individu.

Lalu seberapa pentingkah dirimu bagi temanumu

Berdasarkan hasil pemikiran, mengamati, menganalisa, mencoba menarik sebuah kesimpulan. Ketika kita berada dalam satu karakter, bisa jadi kira dekat dengan dia. Ketika kita berada dalam satu kepentingan bisa menjadi kedekatan yang dipaksakan. Ketika itu berdasarkan agama, suku, ras dan golongan, rasa senasib dan sepenanggungan, maka keterikatan emosional antara kita dengan dia, akan semakin besar dirasa.

Tetapi, ketika semua sudah terpenuhi, cerita tidak lagi seperti awal mula dia terjadinya. Maka keterikatan itu bisa terkikis secara simultan sampai mungkin dia habis.

Aku dan bayangan hitam itu

"Apakah kamu merindukan kedua orang tuamu"
bayangan hitam itu menunjuk kepada ku
"aku? ya aku merindukan keduanya"
dia mendekat, bergerak menjauh dari tempat dia terbentuk. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan -kenapa kamu tidak menelepon mereka-
"aku? ya, kamu benar, aku terlalu lemah mengakui bahwa aku terlalu keras kepala untuk memulai semua itu"

Bayangan hitam itu semakin mendekat
Berdiri di sebelahku
Tepat di samping telingaku
Rasa dingin yang tiba-tiba datang, membuat seluruh rambut-rambut di tubuhku meremang. 

Secara tiba-tiba ia meniupkan angin yang sejuk ke telinga sebelah kananku

Cahaya putih yang tadinya nampak hanya seperti sebuah titik dari kejauhan di tengah dia, bayangan yang hitam, semakin nampak jelas. Semakin lama semakin membesar, semakin terlihat.

Bayangan itu menggambarkan tentang sesuatu yang aku masih mencoba menelaah ada apa di balik cahaya yang dia tunjukkan. 

Banyak orang yang hilir mudik, tanpa menghiraukan aku yang melihat tidak jauh dari keramaian yang terbentuk, terlihat secara tiba-tiba di depan mata. Ada ketiga orang saudara ku di sana, duduk diam. Melihat kakak perempuan ku memeluk satu-satunya keponakanku, yang selalu tidak bisa diam. Lucunya dia "hafizh diem ya, liat itu bakas sama kajutnya......" aku tak lagi mendengar apa yang kakak perempuanku katakan kepada anak lelakinya itu. Bayangan hitam itu menutup kedua telingaku, aku melihat ke arahnya, 

"kenapa?"
Ia meletakkan jari telunjuknya ke bibirnya -sssst- ia ingin aku diam
"baiklah, aku diam" aneh, pikirku
Masih berdiri melihat dari kejauhan, sebuah drama yang aku masih tidak mengerti maksudnya.
Bayangan itu mengarahkan telunjuknya ke depan, ke arah seorang anak perempuan yang lain, adik perempuan ku, dia membaca Al qur'an
"kamu tahu, diantara kami berempat, aku merasa dia yang akan berada di surga yang paling atas" begitu aku memamerkan adik perempuanku kepada bayangan hitam itu.
Sembari tersenyum memandang adik perempuanku aku berkata
"dia paling rajin membaca Al quran. Hey, kenapa dia menangis?" 
Aku segera menggerakkan kedua kakiku, sampai bayangan itu menahan ku, dengan menarik lengan kananku.
Dingin, tangan bayangan hitam itu begitu dingin

Dia kembali memintaku untuk diam, melihat.
semakin ramai saja yang datang, kakak perempuan ku masih duduk dalam diam. Dia memberikan keponakanku kepada ayahnya, kakak iparku. Mengikuti apa yang adik perempuanku lakukan, membaca Al Quran. 

Kali ini, bayangan itu menunjuk ke satu sudut ruang dimana aku melihat seorang pemuda tanggung. Diam, -terbengong-bengong-, dia nampak bingung atas apa yang terjadi saat ini. Dia nampak melihat ke sana- ke mari, ingin bertanya, tapi nampak bingung untuk bertanya pada siapa.

Air mataku jatuh
lemas, dia adik lelaki ku, satu-satunya adik lelakiku. Tak pelak itu membuat hatiku berteriak, dengan mata berkaca-kaca
"ada apa dengan ini semua?"
Bayangan itu membuka tabir yang nampak buram sebelumnya di depan mataku. Dia menarik tirai putih yang sedari tadi menutupi penglihatanku.

Ada tubuh yang terbujur kaku di depan kakak dan adik perempuanku. Terbungkus kain putih, dengan kapas di sana-sini, menutup hidung dan telinga.

Aku lemas, meremang, ingin menjerit, ya aku menjerit, aku berteriak
mereka adalah kedua orang tuaku, ayah dan ibuku. Aku berlari, mencoba mendekati tubuh kaku kedua orang tuaku yang sudah tak lagi bernyawa itu.
Aku tak mampu, aku tak dapat.
Aku melihat ke arah bayangan itu
"kenapa? kenapa aku tidak bisa menghampiri mereka"
Bayangan itu hanya diam, tak bergeming

Sekuat tenaga aku berusaha
Mengeluarkan segala kemapuanku
Tangis ku semakin pecah, tak tertahankan
Melihat adik lelakiku yang diam, tak mengerti akan apa yang terjadi

Melihat saudara perempuanku menangis dalam isak tertahan, melihat keponakanku menyentuh kakek dan neneknya dengan kedua tangan kecilnya, tetapi tak ada yang ia dapat selain kebekuan, bisu, diam, tak bergerak.

Aku menyerah
Aku lelah, sekuat apapun aku mencoba tetap tak dapat mendekati tubuh kaku ayah dan ibuku.

"Setidaknya, biarkan aku mendekati adik lelakiku, biarkan aku memeluknya"
Aku menangis berteriak
"biarkan aku menjelaskan kepada adik lelaki ku, tentang apa yang terjadi"
"tidak tahukah kamu, dia begitu dekat dengan ibu dan ayah ku"
"tidakkah kamu merasa iba pada dia, adik ku itu tidak normal, tidak seperti anak-anak yang lainnya"
"Tolonglah, aku mohon"
Aku mengiba-mengiba pada bayang-bayang hitam itu

Dia mendekat kepadaku, angin dingin itu kembali menghampiriku
Dia meniupkan angin itu kembali ke telingaku, semua hilang, pergi entah kemana. Semua yang ada di depan mataku, saudara perempuanku, adik lelakiku, semua pergi.

"kemana, orang-orang yang tadi lalu lalang"
"kemana kakak dan adikku?"
"kemana jasad ayah dan ibuku?"

Bayangan hitam itu, masih diam, tak bergeming. Kali ini yang dia lakukan hanya menutup kedua mataku beberapa saat, untuk kemudian membukanya kembali.

Nampak nyata, semua orang orang yang secara tiba-tiba kembali berada di depanku. Mereka menangis terisak, aku berlari, bertanya mendekat kepada mereka. Tapi tampak tak ada satupun yang dapat melihatku. Dan siapakah itu, yang sedang dimasukkan ke dalam lubang itu, liang lahat itu.

Aku menoleh kepada bayangan hitam itu, ia mempersilahkan aku mendekat, melihat dari dekat.

Aku terdiam, tersungkur di atas gundukan tanah galian yang merah. Aku begitu mengenal dia, wajah yang terbungkus kain putih itu, seluruh persendianku, tulang-tulangku tak dapat menopang tubuh ringkih ku. Jasad itu, itu adalah aku, itu aku, seperti itu kah rupaku, begitu kurus, tirus, pucat.

Aku melihat ke sekelilingku, ayah dan ibuku. Terlebih ibuku, menangis terisak ia, sesekali membenamkan wajahnya di tubuh lelaki itu, dia adalah ayahku. Guratan tua itu semakin nampak jelas di wajah mereka, nampak ayahku menahankan rasa sedihnya. Adik perempuan dan kakak perempuan ku menangis terisak-isak tak dapat menahankan, dan adik lelakiku, ia hanya diam dalam kebingungan.

Aku berlari, mendekat ke arah ibuku, mencoba memeluknya, mencium tangannya, tapi tak dapat, aku kini hanya bayang-bayang, seperti bayangan hitam itu.
"ibu, aku di sini, ade' di sini bu"
"ayah ade' di sini" 
Aku mencoba memeluk ayah ku, aku tak mampu

Aku berlari ke sana, ke mari, mencari bayangan hitam itu. Aku ingin bertanya apa arti dari semua ini, apakah Aku sudah mati? dimanakah aku kini? 

Bayangan hitam itu pergi, yang nampak hanya jubah hitamnya dari kejauhan, sesuatu berbisik kepadaku, kata-kata itu membuatku lemas, merinding, dan aku tahu selama beberapa waktu ini aku berteman dengan siapa. Suara itu berkata "dialah malaikat maut itu".

"Astaghfirullah"
hanya itu yang dapat aku ucapkan

Dari kejauhan, dia melepaskan penutup kepalanya, malaikat maut itu tersenyum kepadaku. Senyum yang lembut, tetapi membuat aku semakin takut.

aku tak ingat lagi akan apa yang terjadi pada diriku setelah itu, yang aku tahu aku sudah berada tepat di dalam kamar kostan ku di jalan pelesiran no 28. Aku masih hidup, kedua orang tuaku, mereka berdua pun masih ada, alhamdulillah, semua hanya halusinasi dari sebuah cerita.