Pages

Sunday, October 30, 2011

Time to say goodbye, denting penggorengan

Conte partiro

Hey, titik-titik air hujan sisa hujan deras sore ini, masih sedia menemani aku, saya berkutat dengan lagu-lagu melankolis yang luar biasa romantis *tertawa.

Menggoyang-goyangkan kepala, "shaking my head", seolah-olah hidup itu begitu indah. Oh hey, bukan seolah-olah tetapi hidup memang indah.

Conte partiro sarah brightman berkata "time to say good bye", rekannya yang lain berkata "somewhere over the rainbow" sepertinya hidup ini semakin menjadi indah dengan semua naik dan turunnya, dengan semua yang datang dan perginya.

Hari ini, hujan membasahi, aku masih berkutat dengan suara denting penggorengan dengan pasangan setianya -sutil-. Masih berputar-putar menari dengan titik-titik hujan yang berjatuhan, tepat di atas atap kamar kost-kostan yang sempit, seiprit tapi menarik, sungguh sesuatu yang indah yang kehidupan berikan padaku. Hey maksudku Sang Pemberi Kehidupan.

"Friend shaking hand, singing -how do you do",

Tuesday, October 25, 2011

Bulan, terangi malam

Hujan rintik membasahi bumi parahiyangan ini. Dingin, menjadi semakin dingin. Malam yang gelap, lembab, menemukan diri kembali bersendiri, menyepi bersama bayang-bayang diri, membayangi setiap kali jejak kaki melangkah mantap di bumi Allah yang indah ini.

Sejauh batas mata memandang, yang nampak hanya keindahan. Keindahan dari sudut pandang keikhlasan tentang keniscayaan. Keindahan dari sudut pandang air mata dan penyesalan dari setiap hati sanubari anak manusia yang masih bernafas di muka bumi ini. Ada yang datang ada pula yang pergi.


Ini sebuah guratan-guratan kisah tentang kehidupan. Kehidupan aku, aku yang juga sama manusianya dengan kamu. Aku yang dari sudut pandang mereka yang merasa berada di bawahku, adalah manusia yang lebih. Dan menjadi manusia biasa ketika dilihat dari sudut pandang manusia-manusia luar biasa yang berada di luar sana. Bisa jadi, kamu masuk di dalamnya, manusia luar biasa yang jauh luar biasanya dari aku.

Cintai aku Tuhan ku
Temani Aku
tapi, masih begitu beraninya aku meminta hal seperti itu kepada Mu

Ini sebuah surat cinta
surat cinta itu aku bentuk sedemikian rupa sehingga
aku perturutkan ia bersama tiupan angin sore hari
terbanglah ia melanglang buana
membumbung di angkasa
semoga ia dapat menggapai Mu wahai Tuhan ku

Aku sendiri
Ya, manusia lain berpikir sudah berdua 
tetapi, aku sendiri

Bila aku tak dapat mendengar suara manusia yang lainnya, maka aku akan hadirkan suara-suara itu di sini, di dalam hati, di dalam alam pikiran ini. Kalau aku tak dapat melihat wajahmu, manusia itu, maka aku hadirkan wajah-wajah sejuk, teduh itu di dalam hidupku, hari-hariku.


Menginginkan kedamaian sampai akhir nanti, di sinilah aku kini, berpijak di bumi ini. Seperempat abad usiaku, banyak naik turun yang aku lalui. Tidak mengatakan bahwa jalan hidupku adalah lebih menarik daripada manusia yang lainnya. Hanya saja, tiupan angin, lambaian daun-daun hijau di sore hari, dan keterbatasan serta kesendirian membuat aku menjadi manusia yang tumbuh dengan daya imajinasi. Bayangan tentang bahwa hidup itu, bahwa nikmat Nya begitu menjadi luar biasa indahnya.

Sebagian dari kamu yang merasa kecewa padaku, beberapa dari kamu mungkin membenci aku. Ada dari kamu mungkin ingin meludahi wajahku, atau mungkin melemparkan kotoran itu tepat di atas wajahku, kepalaku. Silahkan, aku mengizinkan, tak akan ada beda, semua bau, semua rasa adalah alam pikiran yang mengendalikannya. Dan aku, di sini tetap lah ingin menjadi manusia yang berbahagia. Menjadi manusia yang berdiri di bawah terpaan sinar rembulan. Sembari menengadahkan kepala, tersenyum senang, senyum tentang kebahagiaan. Senyum yang ada karena tak dapat mengungkapkan rasa bahagia tentang menjadi hamba Nya.

Kamu merasa bosan, merasakan kekesalan, merasakan kekecewaan yang mendalam. Oh manusia di luar sana, kamu tidak sendirian. Lihatlah dunia dari sudut yang berbeda, sakitku tidak menjadi keterbatasan bagi ruang gerak tubuhku, akal dan pikiranku. Hidup manusia yang cukup singkat membuat aku menjadi tersenyum mengetahui bahwa betapa aku beruntung, betapa aku harus bersyukur berada di bumi ini.

Dan, kalau aku tidak bisa menemukan kamu, akan aku temukan diriku
kalau aku tak dapat mendengar suaramu
akan kembali aku perdengarkan, putarkan harmoni kehidupan itu di telingaku
kalau aku tak dapat melihatmu
akan aku ajak kedua mataku berkeliling dunia dengan imajinasiku
akan aku ajak mereka untuk memejamkan mata, menemukan kembali duniaku

aku bahagia
kamu pun harus begitu, siapapun kamu
bahagia dengan caramu sendiri

karena hidup ini hanya satu kali
karena hari tidak akan manunggumu untuk berganti
karena waktu tidak akan manantimu untuk berlari

Sunday, October 16, 2011

short conversation with Cred the lizard

"I do hate promises, when someone said that -yes i can- but definitely he or she can not. This is human being and i don't know why people in Indonesia can simply say yes without thinking about the concequences"

"Maybe you are right" suddenly I heard a voice whisper in my ear

I tried to look into the left and right, no one in this room. Nor is there the moon which is sometime she stay right in front of my window. Nor is there the leaves of the trees that sometimes looked at me, even just to say hello, right in front of my window.

"Ah, the sound was just part of my imagination" I thought so

I keep make my self busy with what i am thinking about. About why do people so often promised, but difficult or indeed forget to keep. Even forget to say that that promise which they just said sometime ago, is only strands of spells that they used like a decoy to attract other humans.

"I do not understand"

"Yes indeed, all of you such a man and as well as you. Humans are not much different in terms of their basic character"

The voice came back, I'm turning my head back, gaze as far as the eye could see. But still i see nothing. Quite strange, because the moon not being with me this time and she is usually talk with me. So from where that voice come?

Thursday, October 13, 2011

Heart this is hard to be hurt

Malam, titik-titik hujan itu menemani kejatuhanku dari dekat, dan mereka semakin dirasa dekat dengan hati, kepala dan alam pikiranku.

Malam ini, pkl 23:13 hujan rintik-rintik membuat basah tanah yang belum lagi kering wahai bumi. Apakah kabarmu hari ini? senang kiranya, karena hujan kembali datang menemanimu, tanpa kompromi, tanpa kesepakatan antara bumi dan langit akan hujan rintik-rintik.

Aku sedang sedih wahai bulan, datanglah kepada ku, temani aku, temani di sini di dalam sini, di salah satu sudut di ruang hati ini. Dia sedang terluka wahai bulan, aku mohon palingkan wajahmu sebentar saja, dengarkan aku bercerita, tanpa perlu membuat 'kesepakatan' antara aku dan kamu, tentang kapan, dimana dan berapa lama tentang cerita yang ingin aku sampaikan.

Bulan menggeliat dalam pekatnya malam, bergerak perlahan, ia berkata "ada apa manusia?" begitu dia menyapa. "Ada apa gerangan, hingga basahlah pipi mu akan titik-titik air mata". begitu dia menambahkan.

"Temani aku, temani aku menangis, kali ini, saat ini, malam ini"
"Sampai pagi menjelang, karena tak dapat tidur, tak dapat lelap raga ini, sulit untuk menutup mata ini"
"Ada apa gerangan?" rembulan bertanya
"kata kesepakatan itu mengusik hatiku, setiap bait kata terasa menghujam akibat dari rasa egoisku"
Bulan menghela nafas panjang, berat, terasa amat berat, hembusan nafasnya mengiringi hembusan angin malam yang bertiup, menyibakkan tirai jendela kamarku. Kamar yang kecil, sempit, seadanya, karena memang aku orang yang tidak punya.

"Aku bukanlah tempat yang tepat untuk keluh kesahmu"
"Aku belum cukup bijak untuk kembali menjadi pendengar setiamu"

Aku menangis tersedu-sedu, rasa sakit itu semakin pilu. Aku terdiam, termangu, begitu menyadari aku hanya seorang diri, kali ini, saat ini. Mungkin memang benar, aku lebih pantas dan baik untuk menjadi sendiri, menjadi pribadi yang berdiri di atas kedua kaki ini.

"Datanglah kepada Nya, Yang Menciptakan kamu, Yang Mengerti akan isi hatimu" begitu rembulan berkata, sembari tersenyum lembut kepadaku.

Tersedu-sedan aku menangis kencang, teriakan hatiku membuat seluruh syaraf yang berada di tubuhku mengejang.

"Aku bodoh wahai bulan"
"Mengadu pada Nya? aku tidak punya cukup keberanian untuk itu"
"Apa yang harus aku katakan? tentang hidupku? mana bagian yang menarik dari hidupku? selain timbunan-timbunan kata-kata palsu"
"Mana lagi bagian dari hidupku yang bisa dijadikan catatan putih dari perjalananku"

Aku berteriak "Aaaaaaaaaaaaaaaaargggghhhh, Tuhan ku, tolong aku. Kembali kan aku ke jalanmu. Biar susaaaaaah, biar payaaaaahh, biar penuh dengan darahhhhh. Kembalikan akuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu"

Wahai bulan, tolonglah aku, sampaikan kepada Tuhanku, Allah Yang Maha segala-galanya itu. Betapa aku merindu, betapa aku ingin merasakan hembusan angin surga itu. Betapa aku mengharapkan cahaya itu kembali menyinari jalan hidupku.

Bahagia itu membuat aku lupa akan betapa bodohnya aku
Uraian tawa itu membuat aku terlena tentang betapa sebenarnya aku sudah termakan tipu daya dunia

"Daging yang tumbuh di dalam tubuhku, yang terkadang mengusik tubuh ringkihku, tidak juga membuat aku bangun dan tersadar akan semua salah dan khilafku. Aku bukan manusia yang pesimis" begitu wanita kurus, tak menarik itu berkata pada dirinya. Dan wanita kurus tak menarik itu adalah aku.

Pergi kemanakah dia yang dulu,  berlari kemanakah kamu kini, wahai manusia yang berusia 25 tahun. Aku tidak tahu, aku tidak tahu, dan aku tidak tahu menahu. Sakit hanya sakit yang aku rasakan, hati berkata "Aku sakit wahai sefta marisa, aku sakit. Dan kamu sudah menyakitiku dengan semua jalan hidupmu". 

Aku terduduk, lemas, lututku tak mampu berdiri. Aku tidak lagi mengenali aku yang kini, tidak lagi jelas tentang apa dan mengapa aku bisa seperti ini. Jalan itu menjadi gelap, malam ini semakin pekat di rasa, lembah itu semakin dirasa lembab. Aku terjerembab, terdiam, terduduk, terjerembab, tak ada pelita, tak ada seorang anak manusia pun yang datang dan menghampiri kemudian tertarik untuk membawaku pergi.

Hanya kesalahan demi kesalahan yang aku rasakan
Hanya tumpukan noda yang dirasa semakin membuat hitam catatan yang aku punya
Bahkan air mata pun enggan untuk datang menemani saat-saat kejatuhanku.

Seperti porak-poranda benteng pertahananku,mengais-ngais dengan jari-jemariku. Hingga tidak terasa kucuran darah segar mulai keluar, menyeruak dari sela-sela kuku jari jemariku. Mengais-ngais rahmat yang Dia tebarkan bagi seluruh umat manusia, mencari-cari kemanakah aku bisa menemukan belas kasih dan ampunan itu. Ampunan bagi masa lalu ku yang merugi itu, belas kasih bagi kekhilafanku yang sungguh memalukan itu. "Aku terjerembab wahai bulan" aku pun menangis tersedu-sedan.

Mengulurkan tangan, sembari berteriak "tolong aku, siapapun yang berada di sana tolonglah aku. Tanpa perlu ada kesepakatan itu. Aku mohon selamatkan aku, karena aku tidak tahu sampai dimana batas usiaku". Tangis ku semakin memecah kesunyian setiap sudut ruang di dalam hatiku. Rasa bersalah, malu, amarah, kecewa atas ke-aku-an ku, membuncah, menyeruak, menusuk setiap sisi-sisi kemanusiaanku, aku kembali menangis pecah karena hal itu.


Tuesday, October 11, 2011

Karena ia tidak akan pernah sama

Kemarin listrik padam, tiba-tiba pada pkl 2.30 pagi waktu Indonesia bagian barat. Nampaknya Allah menginginkan saya berlaku adil pada tubuh yang sudah Dia percayakan pada saya.

Saya, salah satu dari sekian banyak hamba yang berada di bumi ini, yang terkadang membuat gelap mata dan melenakan manusia yang menghuni di dalamnya, termasuk saya.

Sore itu, wanita paling cantik, paling memesona di dunia itu menelepon saya. Katanya “de tadi ibu kirim uang” yah, lagi-lagi soal uang. Lagi-lagi kiriman uang. Lalu “minggu ini pulang gak?”, hah pulang waduh gimana ini, “jeb…jeb…jeb” dirasa pisau kata-kata itu menghujam dalam, hingga membekas di dalam hati dan alam pikiran.

Bingung, bagaimana harus menjawabnya. Entahlah, setahu saya beberapa tahun yang lalu saya merupakan satu dari sekian banyak anak manusia yang ahli dalam membuat alasan. Dan sekarang, sedikit demi sedikit keahlian itu mulai hilang, mungkin, saya juga tidak tahu pasti.

“gak bisa bu, kalau pulang gimana dengan Tugas Akhirnya” begitu jawab saya sekenanya, wanita cantik paruh baya itu diam, kemudian “oh, ya sudah kalau nggak pulang”, telekomunikasi pun terputus setelah wanita cantik itu menutupnya dengan salam.

Saya tidak lagi pandai memberi alasan, setelah ibu saya itu selalu berkata “…nanti kalau sudah menikah, bisa tambah jarang pulang de”, begitu selalu beliau berkata pada saya. Saya hanya terdiam, memejamkan mata, ibu selalu begitu, menjelang kepulangan saya, serta merta ia menyelinap masuk ke kamar belakang, atau lebih tepatnya kamar belakang plus gudang, gudang barang-barang hasil kreatifitas wanita paruh baya itu.

Beliau berbaring, antara tertidur dengan tersadar. Mulai bercerita, berkisah, terkadang mengurai isak tangisnya pada akhirnya. Dan saya kembali hanya bisa terdiam, mendengarkan. Dari wanita yang satu ini, saya banyak belajar, bagaimana wanita bisa menjadi begitu kuat, bagaimana tiba-tiba ia bisa menjadi begitu lemah, dan saya hanya bisa terdiam.

Mengapa manusia harus menikah? Karena itu sunnah, sudah ditentukan di dalam Al Qur’an manusia diciptakan berpasang-pasangan. Mengapa tidak lelaki semua? Atau wanita semua yang menghuni dunia? Tidak bisa seperti itu agaknya. Mengapa harus menikah? Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang di kepala sejak beberapa tahun yang lalu.

Saya tidak ingin menikah, begitu awalnya, sampai mencari-cari alasan agar keinginan saya bisa terkabulkan. Tapi tak bisa, tapi tak dapat, manusia yang genap diennya saja belum tentu masuk surga Nya, bagaimana dengan yang diennya masih separuh seperti saya. Dan keduaorang tua saya, tidak ada setuju-setujunya dengan ide gila yang ada di kepala saya.

Akhirnya, beberapa tahun berikutnya, dengan berat hati, bertarung dengan apa yang ada di dalam diri, kemudian berkata, di atas sejadah tua “saya akan menikah ya Rabb, saya akan menikah, tetapi, dengan hamba Mu yang mencintai Mu, yang mematuhi perintah Mu dan menjauhi larangan Mu”. Dengan berat hati, dengan berat hati.

Dan beberapa bulan belakangan ini, ibu selalu berkata seperti itu, terkadang ayah pun begitu “kalau sudah nikah, nanti pasti susah kalau mau pulang de”, begitu selalu. “Arrrgggghhhhhhhh” saya masih ingin bersama ibu, masih ingin menjahili ayah, masih ingin menggoda ibu. “Memang kalau sudah nikah gak bisa cep? Bisa kali cep” begitu teman-teman, orang-orang di sekeliling saya berkata . Berbeda, tidak akan sama, berbeda.

Mengapa harus menikah ya Allah, kenapa harus menikah?

Monday, October 10, 2011

cerita tentang manusia, cerita yang tua

Lihat bagaimana rasa kenyang bisa mematikan hati, akal dan pikiran.
Saya terjebak dengan bertumpuk-tumpuk makanan siap makan. Dengan beberapa bungkus makanan yang tidak lagi bisa dimakan untuk beberapa hari ke depan. Lihat, lihat lah bagaimana rasa kenyang itu bisa membuat manusia seperti aku, terjebak dalam rasa malas yang terkadang membebaniku dengan bujuk rayunya, dengan tarian-tarian erotisnya yang mengingatkan aku tentang betapa "nikmatnya bergulat dengan kasur empuk itu"

Sial, kenapa harus pula keluar kata "sial" itu, ah anggap saja sebagai bentuk aktualisasi diri. Sebagai ujud dari keinginan untuk dianggap -wah-, meskipun tidak jelas dengan benar, -wah- dari segi apa. Mungkin saja sisi kegelapan yang sedang ingin muncul, yang kemudian diwakilkan dengan kata -sial-.
Baiklah para pembaca dunia maya sekalian, mari hentikan omong kosong tentang aku, yang merupakan manusia sebagian, manusia yang belum juga lengkap otaknya secara implisit. 
Ingin sedikit bercerita tentang profesi memalukan yang semakin lama semakin marak di Indonesia. Profesi ini menjadi sebuah keniscayaan, lahir dari apa yang kita sebut dengan -KEMALASAN-. Muncul ke permukaan sebagai akibat dari hilangnya rasa malu, putusnya urat syaraf malu dari manusia-manusia yang katanya -penghuni- asli bumi ini, penguasa dunia, yah setidaknya begitulah asumsi saya saat ini. 

Profesi ini menjadi bisnis, bisnis yang menguntungkan. Semakin marak karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang kian menjanjikan. Bisnis dan profesi ini memiliki target dan segmen pasar tersendiri. Dengan menyerang rasa iba manusia, dengan mengandalkan rasa belas kasih yang tertanam sejak lahir pada setiap diri anak adam dan hawa. Dengan memposisikan diri seolah-olah sebagai manusia paling menderita dari pada pelanggannya, maka bisnis ini semakin berkembang pesat saja di bumi Indonesia.

This boy, hiding his cellphone from me using his right hand. He is a beggar
MENGEMIS - PENGEMIS - beggar

Dengan omset luar biasa, mari kita asumsikan si -acep- beroperasi dari pkl 7 pagi sampai pkl 9 malam. Di wilayah padat merayap dengan tingkat populasi pejalan kaki, pengendara kendaraan roda dua dan empat yang apabila dikalkulasikan bisa mencapai 1 juta orang setiap harinya. Berasumsi lagi yang beriba memberikan dia uang sekitar 300 - 500 orang setiap harinya. Dengan kisaran -receh- yang didapatkan Rp 300 - Rp 1000 / harinya. Silahkan menghitung berapa omset yang -acep- dapatkan setiap harinya, minimal acep bisa mendapatkan Rp 90.000/hari dan maksimal Rp. 500.000/ hari. Lalu asumsikan dia beroperasi setiap hari selama 1 bulan, jadi jumlah penghasilan si acep, maksimal adalah Rp @#$%^&&& (silahkan hitung sendiri).

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Bayangkan atau tak perlu bayangkan, karena bahkan pengemis pun memiliki ponsel genggam di tangannya. Bahkan pengemis pun memiliki strategi di dalam usahanya. Bahka secara tidak sadar, mengaplikasikan operasi managemen di dalam waktu efektif kerjanya. 

Ada banyak kisah yang menginspirasi mata, akal, pikiran dan hati saya. Merangsang setiap titik-titik syaraf  untuk berpikir tentang apa, mengapa, kenapa. Beberapa kisah, sungguh membuat geli hati karenanya, beberapa meninggalkan luka pedih karenanya. 

Kisah seorang bapak berambut -gondrong-, dia duduk di sudut sebuah pertokoan. Dengan pakaian lusuhnya, menghadapi dinginnya cuaca bumi parahiyangan di malam hari. Tak ada aktifitas bermakna yang dia kerjakan, selain hanya sesekali melihat kantung plastik bawaannya. Sekilas saya pikir dia -pengemis-, tidak jauh berbeda seperti yang lainnya. Tetapi, lelaki paruh baya yang satu ini berbeda, dia bukan pengemis sepertinya. Lebih tepatnya dia manusia yang mengais rezeki dari tempat-tempat pembuangan sisa makanan -tempat sampah-. Mengambil gelas dan botol plastik bekas, sepertinya akan dijual.

Malam yang dingin, rasa sedih, rasa kesal akibat sopir angkutan umum jurusan kalapa-ledeng yang asal. Rasa marah akibat tersasar hingga harus berjalan lumayan jauh, membuat aku kembali menjadi manusia yang lebih banyak pikir -tentang hal tak berguna-, dari pada mengimplementasikannya.

Saat itu, ada rasa ingin menghampiri lelaki paruh baya, sekedar bercakap-cakap sekenanya. Atau mungkin membelikannya sesuatu untuk ia kunyah, telan, kemudian disalurkan menuju sistem pencernaan. Tetapi, yang ada aku hanya diam, berlalu pergi, meninggalkan lelaki paruh baya dengan tumpukan sampah plastiknya. 

Malam semakin larut, dingin semakin menusuk, bersyukur tubuh ku yang kurus dan terlihat ringkih ini terlindungi oleh tebalnya jaket kumal berwarna merah menyala, yang terkadang membuat lelaki itu -tersulut rasa kelelakiannya-. 

Menyusuri jalan raya, dengan kaki yang sudah mulai memberontak, ia melaporkan perbuatanku kepada otak yang berada di dalam kepalaku "hentikan, aku sudah cukup lelah wahai manusia serakah". Aku abaikan pemberontakan kecil itu, sebagai ujud otorisasi kediktatoranku atas tubuh kurusku. "Tap, tap, tap" begitu derap langkah kaki ku, dan sejenak terhenti bersamaan dengan tertegunnya kedua buah bola mataku. Tertumpu pada seorang wanita, seorang ibu dengan seorang bayi berusia beberapa bulan di pangkuannya.

Kisah tentang seorang ibu, apakah mungkin dia ibunya? atau hanya sekedar ibu sementara saja? entahlah. Tapi, benarkah begitu tega seorang ibu membaringkan bayinya dipinggil jalan, di atas trotoar, tepat bersandar pada tiang lampu merah. Drama semakin memilukan ketika plot kejadian diletakkan pada suasana malam hari yang dingin, dengan tiupan angin yang menusuk. Aku terus memaksakan kaki ku untuk berjalan, sembari isi kepala ku mengisyaratkan jari-jemari untuk segera mengambil Hp blackberry dengan sinyal edge itu. 

Ingin meng-capture apa yang dilihat oleh mata, membawanya ke dunia maya, mencoba membuka mata manusia yang lainnya, bahwa inilah wajah indonesia, wajah kota bandung, wajah bumi parahiyangan, dibalik sisi glamor dan borjuisnya. 

Hampir saja saya mengambil gambar anak beranak itu, kalau bukan karena si ibu melihat saya sejenak, kemudian memalingkan wajahnya. Dia duduk bersandar sembari bersenandung untuk bayi kecil yang berada tepat di sampingnya. "yah, mungkin itu anaknya" saya kembali berjalan, sembari berpikir si ibu begitu bertolak belakang dengan lelaki paruh baya yang aku lalui beberapa menit yang lalu. "tapi tunggu" atau mungkin mereka suami istri? siapa yang tahu. Tapi, seperti inilah kehidupan, rasa malas, kebutuhan perut akan makan, menjadi sebuah keniscayaan.

Entahlah, aku sempat terdiam, termangu sesaat, tergugu, hanya tenggelam dalam pikiran, untuk kemudian melangkah pergi, setengah berlari, bersembunyi dari pahitnya sisi muram dari kehidupan. 

Malam yang kelam, rembulan menutup kedua matanya, menangis ia, melihat banyak anak manusia seperti si ibu beserta anaknya. Mencari serpihan-serpihan 'rupiah' di tengah-tengah keramaian hilir mudik kendaraan. Mengabaikan serangan timbal asap kendaraan, demi apa yang kita sebut dengan 'uang'. 

Derap langkah kaki semakin jauh, meninggalkan pemandangan pahit seorang ibu dengan anak bayinya yang berada di tepi jalan. Meninggalkan lelaki paruh baya dengan tumpukan gelas-gelas plastiknya. Rasa lapar yang mulai perlahan menyerang sisi sensitif dari syaraf yang berada di kepala. "Aku sakit" begitu ujar kepala kepada kumpulan syaraf yang berada di sana, "ya kita sakit" begitu sahut yang lainnya. Derap langkah kemudian terhenti, di sebuah warung tenda di pinggir jalan, mencari kenikmatan sesaat bagi lidah, mencoba memenuhi hasrat, mengobat rasa sakit di dalam kepala akibat rasa lapar yang mendera.

Tentang dua orang waria yang pria
"Krincing, krincing" dua orang manusia bernyanyi dengan suara seadanya. Dengan tampilan khas wanita, wanita jalanan yang beroperasi dengan alat musik seadanya. Melahirkan gelak tawa dari aku dan beberapa pengunjung warung yang lainnya. Sedang si penjual martabak asyik masyuk dengan alat penggorengannya, aku beserta jiwa dan ragaku berjibaku mengamati tingkah laku kedua anak manusia yang bernyanyi dengan suara pas-pasan itu.
He is a man, but to earn money he dressed like a girl, he talk like a girl and his act like a girl
"Permisi teh" begitu ujarnya, "walau malam gelap, tiada berbintang. Asalkan lagu ku ....." yah sepenggal lirik yang masih benar, kemudian secara serampangan, silang lintang, jumpalitan. Kacau tidak keruan, tidak beraturan, hingga aku sampai pada kesimpulan, anak manusia berdua ini tidak hapal dengan lirik lagu yang mereka nanyikan.

"Waria", mereka bukanlah wanita, melainkan pria yang berpakaian wanita. Seorang dipanggil dengan sebutan "saya ule' teh, tinggal di kopo, caringin", oh ya, saya tahu caringin, tapi tidak dengan kopo. Interview, sombongnya saya seperti seorang pimpinan perusahaan yang sedang menginterview calon karyawan. Bertanya tentang berapa usia, hingga tentang apakah mereka wanita atau pria sejati mulai dari fisik dan mentalnya. Lalu bertanya tentang sebab dan musabab mengapa meraka bisa menjadi seperti itu rupanya.

his name ule'
"Uang" semua karena uang pada akhirnya, dengan alasan tidak ingin meminta uang dari orang tua, mereka bekerja sekenanya. Pekerjaan yang ringan, hanya 'cring cring' dapat uang. Tidak perlu tenaga, hanya cukup membuang rasa malu jauh-jauh ke tempat yang paling jauh. Seorang berusia 26 tahun, lahir pada tahun 1985, dan kalau tidak salah dengan sekolah menengah pertama pun tidak selesai. Sedang yang seorang yang pemalu berusia 19 tahun. Dengan berkata "main ke tempat teman" seperti itulah cara mereka mengelabuhi kedua orang tuanya. "Tapi, kita gak jual diri teh" begitu selanya, "kalau pagi kita norma" begitu tambahnya, demi membuktikan kesejatian dari gelar lelakinya.

Mengapa dengan wanita, mengapa berdandan sepreti wanita? beberapa survey mengatakan pria percaya bahwa lebih mudah mendapatkan uang bila manusia tersebut adalah wanita. Benar begitu? belum tentu, karena pada kenyataannya ke-perempuan-an ku merasa tersulut api, ketika beberapa profesi meletakkan pria sebagai kriteria utamanya.

Apapun itu, banyak kisah, banyak cerita, cerita tentang anak manusia. Aku pun seorang anak manusia, meng-capture potret-potret kehidupan, pagi, siang, sore dan malam. Mengeksploitasi dari sisi lain kehidupan, aku terjebak dalam alam pikiran tanpa pernah bisa melakukan sesuatu atas potret yang aku ambil dengan kedua indera penglihatanku.

Pun terjebak pada rasa inginku, pada rasa laparku, hingga membuat aku membuang apa yang sebenarnya lebih berguna bila orang lain yang memanfaatkannya.
Rembulan, berpikir apakah dia melihat bulan yang sama dengan yang aku lihat setiap harinya? Apakah begitu wahai rembulan?. Pastinya begitu, mungkin begitu, dan rembulan pun tersenyum dalam diam sembari menatap lekat wajahku.
"Begitu nampak jelas kah wajah kusut ku di hadapanmu, sahabat karib ku" begitu aku bertanya pada rembulan di separuh malam yang kelam. "ya, setidaknya begitu lah yang nampak oleh ku" begitu jawabnya. "Lama rasanya engkau tidak menyapaku, anak manusia yang lupa"

"Ya, aku terlalu sibuk dengan ke-aku-an ku. Terlalu diperbudak oleh mimpi dan angan-anganku tentang dunia yang semua" tak berani aku menengadahkan wajah, menatap wajahnya yang nampak indah dari kejauhan, namun kelam, dingin, pekat bila aku menatapnya dalam dan lekat.

"Nampak semakin rapuh dan angkuh, itulah kamu yang sekarang ini. Senang itu membuat mu lupa akan aku yang dahulu sejatinya menemani malam-malam sendu mu itu" begitu ujar rembulan padaku.


"Entah lah, tapi aku tahu itu, aku tahu. Senang dan sedih, rasa bersalah dan lepas, antara jatuhnya air mata dan bahagia, mereka berlari-lari di dalam hatiku. Di dalam akal dan pikiranku, membuat aku bingung untuk memetakan perasaanku".

Malam semakin larut, bintang-bintang tak nampak dalam jarak beberapa juta kilometer dari rembulan berada. Aku terjebak dengan alam pikiran ku, setidaknya semakin hari aku semakin menyadari itu. Semakin aku pikirkan, semakin aku tidak tahu tentang untuk apa aku berpikir tentang banyak sesuatu itu.

"Manusia, kalian memang selalu begitu. Tidak kah kamu tahu, aku melihat setiap gerak-gerikmu. Aku tatap lekat, aku mengingat setiap tingkah laku dan polahmu. Dan aku malu, aku menangis akan hal itu" ia tutupkan wajahnya, bersembunyi sejenak di balik awan kelabu yang bertebaran di luasnya malam yang gelap gulita. Sedu sedannya sesekali terdengar, terasa menusuk hati, menghujam seluruh tubuh ini. Dan rembulan pun terluka, dan rembulan pun menangis, di tengah malam yang gelap, yang gulita.

"Aku pergi" begitu ujarnya, "Pikirkan tentang apa dan seperti apa kini, kamu wahai anak manusia. Pikirkan dalam dan lekat, kenyataan bahwa saat ini kamu benar-benar terjebak, terjerembab, jatuh ke dalam palung kehidupan yang gelap, kelam, dingin dan lembab. Tak ada sesuatu yang dapat membawa mu kembali ke permukaan, kecuali rasa inginmu untuk itu, kecual rasa belas kasih Nya padamu" begitu rembulan berkata. "Setiap bait kata yang aku sampaikan padamu, bukan sekedar untaian-untaian bait yang tidak bermakna. Dan pikirkan bahwa hidup kalian, manusia tidak akan lama, tak pernah lama kecuali hanya 1 hari saja" 

Dia pergi, menghilang di gelapnya malam. Meninggalkan aku berjalan sendirian, menapaki jalan setapak, berusaha mengingat-ingat setiap kejadian. Serpihan-serpihan memori yang tersimpan hampir usang, dan menjadi sebuah pengingat yang lembut namun menyakitkan.

Helaan nafas itu aku hembuskan, rasa sakit mulai aku rasakan. Tumor ini seperti mulai menunjukkan ke-aku-an nya atas aku yang menjadi inang baginya. "Apa yang harus aku lakukan, tak pernah aku sebuntu ini", begitu kemudian aku berbicara pada layar putih yang berada di hadapanku kini. Namun ia hanya terdiam, tanpa ada sepatah dua patah kata keluar dari dirinya.

Sore semakin menjelang, begitu padat cerita tentang kehidupan. Kembali menelaah dari 1 hari 1 malam yang sekejap, namun meninggalkan bekas, meninggalkan ribuan bahkan jutaan kata yang tak mampu aku sampaikan. Setiap kata, setiap bait, setiap kalimat yang ada, sebagai pengingat untuk ku beberapa hari, minggu, bulan, tahun berikutnya. Dan rembulan tetap tak bergeming, diam, belum ingin, atau memang ia sedang tak berkenan untuk berbicara padaku, sahabat lamanya

Saturday, October 1, 2011

Berbelanja di supermarket, customer review

Saya kurang bisa membedakan apa itu hypermarket dan supermarket, departement store dengan super store. Tapi, saya memiliki beberapa gambar yang saya ambil menggunakan handphone saya. Gambar ini saya ambil hampir 1 bulan yang lalu, saat mendekati hari raya.

Sedikit pembuka wacana, membuka wawasan dan mengingatkan kembali pada anda semua tentang mengapa beberapa dari kita memilih untuk berbelanja di tempat dengan konsep swalayan, supermarket, hypermart atau katakanlah konsep modern.

Mungkin karena beberapa alasan berikut, diantaranya

  1. Nyaman, dalam hal ini mengenai kebersihan saya katakan termasuk kedalam kategori -kenyamanan-
  2. Mudah mencari barang yang kita perlukan, benar begitu? ya setidaknya begitu, karena seingat saya swalayan memiliki aturan tersendiri dalam meletakkan, memposisikan barang-barang, produk-produk bazar yang mereka pasarkan
  3. Rapih, dalam artian penyusunan barang-barang yang berada di dalam swalayan
  4. Ketersediaan barang dan masih banyak lagi alasan lainnya
Tapi dari gambar berikut ini, saya mengajak anda sekalian untuk menganalisa tentang kondisi sebuah swalayan yang berada di tempat saya tinggal. Dimana beberapa rak dibiarkan kosong dan nampak tidak rapih sekali bukan?


Atau lihat gambar berikut ini, 


Kardus-kardus yang dibiarkan bertumpuk, berserakan, kesan tidak rapih alias berantakan begitu nampak.

Gambar di samping mengapa saya beri tanda dengan 'tanda panah', karena memang susunan barang yang ada di sana tidak rapih, berantakan.

Melihatnya saya langsung risih dan bisa dipastikan dengan keadaan yang tidak tertata seperti pada gambar, akan menyulitkan pelanggan untuk mencari produk yang mereka perlukan




Gambar di sebelah kanan, entahlah, tapi gantungan-gantungan itu seharunya penuh dengan makanan yang sejenis. Atau paling tidak, kalau memang stok sedang habis setidaknya susunan produk bisa dirapihkan. 
  1. Beberapa bagian rak yang kosong
  2. Tumpukan kardus yang dibiarkan begitu saja
  3. Ruang yang tersisa cukup besar, sementara produk yang dijual tidak sampai memenuhi separuh dari lebar rak yang ada, seharusnya disusun, dirapihkan kembali 








Masih tetap sama, opini saya mengenai beberapa gambar di atas adalah, berantakan, kardus dibiarkan menumpuk tepat di sebelah rak produk bazar. Selama saya berkeliling mengambil photo dari beberapa sudut supermarket ini, tidak satu pun saya lihat pegawai supermarket tersebut yang nampak membenahi.


 

Dari gambar di atas,
  1. lantai kotor, 
  2. sterofoam pembungkus buah segar dibiarkan tergeletak begitu saja,
  3. dan kembali, rak-rak yang berantakan
  4. kardus berisi tumpukan produk retail-bazar yang bertumpuk-tumpuk tak tersusun rapi 
Dan gambar yang berada di samping, berikut dengan tanda panah berwarna kuningnya. Tidak jauh berbeda dengan gambar-gambar sebelumnya. Kondisi pun tidak jauh berbeda, hanya tempatnya saya yang berbeda. Sisanya? sama, berantakan, tidak tersusun rapi, hanya sekenanya saja.







Sedangkan gambar terakhir ini, diambil ketika saya sudah mulai beranjak dari supermarket tersebut. Saya sudah dapatkan apa yang saya cari. Dan ketika saya hendak keluar dari supermarket tersebut, saya melewati tumpukan baju kok.

Dan seperti apa kondisinya? dapat kita lihat pada gambar. Selain tidak rapi, menumpuk, dan kardus pembungkus pakaian tersebut tergeletak begitu saja di lantai tanpa ada satu orang pun pegawai yang membenahinya. Meskipun tidak jauh dari situ, nampak oleh saya beberapa SPG, tapi tetap saja.

Kesimpulan, apakah anda akan tetap berbelanja di tempat yang menerangkan kondisi seperti pada beberapa gambar di atas? entahlah, karena anda berhak memilih dimana tempat anda berbelanja. Tetapi bagi saya, apabila ada supermarket atau hypermarket lain, maka saya lebih memilih ke tempat yang lain. 

Dari sisi experiental marketing, supermarket ini sudah tidak memenuhi kriteria. Dari sisi kenyamanan, bagi saya, saya sudah merasa tidak nyaman dengan -berantakan-, dengan -kotor- dan sebagainya. Tapi opini anda? anda sendiri yang membangunnya, anda sendiri pula yang menentukan apakah anda akan kembali berbelanja di tempat yang sama, atau tidak.