Pages

Thursday, December 8, 2011

Jambu biji untuk flu dan kanker

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Jambu biji memang tidak sepopuler jeruk atau semahal apel. Jika Anda berpikir jeruk adalah yang terbaik untuk vitamin C, Anda perlu mencoba jambu biji.

Satu jambu biji memiliki 165 miligram (mg) vitamin C. Sementara, satu jeruk hanya mengandung 69 mg saja. Kandungan vitamin C pada jambu biji ini efektif dalam mengobati infertilitas pria.

Di bawah kulitnya yang hijau, jambu biji memiliki banyak manfaat yang ditawarkan. Satu buah jambu sehari berguna mengurangi resiko penyakit mulai dari flu biasa, gusi bengkak, tekanan darah tinggi, obesitas, diabetes sampai kanker.

Jambu biji memiliki serat makanan berlimpah sehingga baik dikonsumsi bagi yang mengalami sembelit. Bagi yang sedang mencoba untuk menurunkan berat badan, tingginya kandungan serat jambu biji juga sangat bermanfaat.

Buah ini kaya vitamin, serat dan mineral. Jika dijadikan bagian dari makanan sehari-hari, penelitian menunjukkan jambu biji sangat efektif mencegah kanker dan penyakit jantung. Buah yang memiliki nama latin Psidium guajava ini membantu tubuh memerangi radikal bebas yang dihasilkan selama metabolisme.

Para peneliti bekerja untuk departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) telah menemukan bahwa jambu biji mungkin di antara buah terkaya antioksidan. Buah yang lezat ini juga memiliki beta karoten, kalium dan serat larut.

Jambu biji dapat meningkatkan kesehatan jantung dengan mengendalikan tekanan darah dan kolesterol. Kemampuan jambu biji untuk menurunkan tekanan darah disebabkan adanya kandungan kalium. Kalium merupakan elektrolit yang penting untuk reaksi listrik dalam tubuh termasuk pada jantung.

Buah ini juga dikenal bisa menyembuhkan luka eksternal serta mengobati pendarahan hidung dan gusi. Buah yang hidup di daerah tropis ini bisa juga mencegah penyakit 'orang tua' seperti pikun dan katarak. Adanya karbohidrat kompleks dan kandungan serat yang tinggi bisa bermanfaat untuk menurunkan kadar kolesterol dan gula darah.

Makan satu jambu biji untuk sarapan memberikan dosis harian yang sangat dibutuhkan seperti zat besi, asam folat, kalsium, serat, protein, karbohidrat, vitamin A, B dan banyak vitamin C. Kandungan lemak total satu jambu biji sekitar 0,9 gram atau 84 kalori. Dibandingkan dengan apel, buah ini memiliki 38 persen lemak dan 42 persen kalori yang lebih sedikit.

sumber yahoo.com

Wi-Fi bisa buat lelaki tidak subur

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Penelitian terbaru, meskipun dalam skala kecil menunjukkan bahwa penggunaan Wi-Fi dapat merusak sperma dan menurunkan kesuburan pria. Penyebabnya, menurut Reuters Health, disebabkan karena radiasi elektromagnetik yang dihasilkan oleh perangkat komunikasi nirkabel.

Dalam studi yang dipublikasikan dalam jurnal Fertility and Sterility, peneliti mengambil sampel semen dari 29 sukarelawan sehat. Semen diletakkan di bawah laptop Wi-Fi-enabled dan terhubung ke internet. Setelah empat jam, 25 persen sperma tak lagi berenang. Sembilan persen dari semen yang diuji bahkan mengalami kerusakan DNA. Sementara itu, sampel semen yang diletakkan di dekat laptop yang dihidupkan tapi tak terhubung dengan internet menunjukkan kerusakan minimal. Begitu pula dengan sampel yang disimpan secara terpisah.

"Penelitian kami menunjukkan bahwa penggunaan komputer laptop terhubung ke Internet dan diposisikan dekat organ reproduksi laki-laki dapat menurunkan kualitas sperma," demikian ditulis oleh para peneliti dalam jurnal tersebut. Namun, mereka masih belum yakin apakah temuan ini berlaku pada semua perangkat nirkabel, atau ada faktor lain yang berpengaruh.

Temuan ini cukup mencemaskan jutaan pria yang biasa menggunakan laptop di pangkuan mereka, atau menyimpan smartphone di saku. Menurut American Urological Association, hampir satu dari enam pasangan Amerika mengalami kesulitan hamil. Setengah dari kesulitan kehamilan itu disebabkan karena masalah pada kesuburan pria.

Untuk kesuburan yang optimal, seorang pria harus memiliki 70 juta sperma per milimeter. Faktor lingkungan merupakan salah satu yang cukup berpengaruh dalam menurunkan jumlah sperma. Studi yang diterbitkan pada awal November menunjukkan bahwa panas yang dihasilkan karena memegang laptop selama 10-15 menit berbahaya untuk merusak sperma.

Beberapa ilmuwan mengatakan mereka tidak percaya menggunakan laptop akan membuat pria mandul. Tapi, dalam kasus ini mereka menyarankan agar menggunakan laptop di meja, tidak di pangkuan.

diambil dari yahoo.com

Saturday, December 3, 2011

saat itu...........,

Saat itu aku sedang sibuk dengan pekerjaan kantorku, ketika tiba-tiba telepon genggamku berdering

"telepon dari rumah, nomor rumah, nggak biasanya, kenapa ya?" aku bertanya pada diriku sendiri

"pak, ini bi sum" suara wanita yang sudah tua dari seberang sana menyapa ku. Bi sum adalah pembantu di rumahku, rumah kami, aku dan keluargaku

"nyonya masuk rumah sakit pak" begitu ujarnya singkat saat itu, beberapa tahun yang lalu, tepatnya 5 tahun yang lalu.

Aku tak tahu harus menceritakan apa kali ini, tidak banyak yang bisa kuingat dari apa yang terjadi beberapa tahun lalu. Tahun-tahun kelabu, kepergian istriku, selamanya, ya selama-lamanya. Kisah sedih yang sebenarnya tidak ingin aku bagikan kepada siapapun. Tidak juga kepada anakku, putra pratama zata. Melihat putra pertamaku berlari-lari dengan bi sumi, kasihan bi sumi. Wanita uzur yang menjadi bulan-bulanan kenakalan anakku yang baru berumur 8 tahun itu.

"ayah sini, main layangan sama putra" begitu teriaknya
Dia berteriak dari kejauhan, senyumnya mirip amat sangat mirip dengan dia, ibunya, istriku.
"iyaaaa, main sama bi sumi dulu ya. Ayah liat dari jauh aja ya de" begitu jawabku
Putra kecilku itu terdiam sejenak, memajukan bibirnya dan kembali, sama persis seperti ibunya
"yaaa ayah” dia mulai merajuk “Bi sumi gak asik, suka capek" begitu tambahnya
Aku hanya tersenyum
"Ya udah deh, ade main sama bi sumi ajah. Ayo bi', dipegang layangannya......" begitu lanjutnya

Aku tak lagi mendengar celoteh jenaka putra kesayanganku itu, yang aku dengar hanya suara tawa jenakanya yang berlari-lari membuat kelelahan pembantuku yang sudah amat tidak lagi muda itu.

Angin petang yang menyejukkan, wahai dinda ku Rica Artanegara. Aku tak dapat berbuat apa-apa, selain menatap rumput yang basah karena hujan sesaat di siang hari. Kemudian melayangkan pandanganku jauh ke langit yang biru. Tak tahu harus seperti apa mengekspresikan wajahku. Hanya tatapan hampa mengingat wajah manjamu yang benar-benar engkau wariskan pada putra, anak kita berdua.

Orang bilang, sinetron-sinetron itu bercerita, film-film korea atau film asing lainnya, atau bahkan film indonesia, mereka berkata orang yang meninggal, yang baik hati pasti berada di langit yang tinggi. Bersama Tuhannya, Allah swt, kebenarannya? seandainya aku masih anak-anak, ingin aku mempercayai itu. Tetapi, kita berdua tahu, hisab itu ada. Sedang apa kamu di sana, dunia yang sudah berbeda antara aku dan kamu. Semoga kamu tenang berada di sana. 

Waktu begitu cepat berlalu Dindaku sayang, 5 tahun itu tak begitu terasa. Taman ini tak lagi seperti dulu, sudah banyak permainan anak-anak di dalamnya. Aku teringat ketika kamu berkata 

"Mas, kalau aku punya tanah. Mau aku buat taman bermain, biar orang lain pun bisa main di taman itu" begitu ujarnya saat itu

"Amiiiin, iya nanti pasti kita punya" begitu jawabku atas mimpinya beberapa tahun yang lalu

Lamunan-lamunan akan masa-masa itu, kemudian membawa ku ke masa 5 tahun yang lalu

"pak saya izin pulang duluan, istri saya masuk rumah sakit"
"oh ya? ya sudah kalau begitu. Kalau ada kabar apa-apa, kasih tau saya ya, you tau kan kemana harus hubungi saya" begitu pak prasetyo General Manager ku berkata
"baik pak, saya permisi"

Aku bergegas membereskan semua file-fileku. Memasukkannya ke dalam tas, kemudian membawanya pergi. 

Dalam setiap langkahku, aku hanya dapat berdoa, berharap-harap dalam cemas semoga istrimu baik-baik saja. Masih begitu jelas di dalam ingatan ketika pagi ini, dia berkata
“mas mas, kalau sudah sampe kantor bbm aku ya” begitu ujarnya
“iya, insya Allah begitu sampai mas langsung bbm kamu” jawabku sembari memastikan bahwa ujung celana panjangku tidak terselip di dalam kaos kakiku.

“jangan males bbm aku ya mas, kalo males tandanya..........”kalimat istriku terhenti, kemudian
“tandanya kangen” begitu kami berdua menjawab pertanyaan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan jawabannya. Aku dan dia pun tertawa, sampai ketika aku tersadar bahwa jam tanganku sudah menunjukkan pukul 7.30 pagi.

“mas berangkat ya de, putra mana?”
“bi.. bi sumi, putranya bawa sini bi’, ayahnya mau ke kantor” begitu istriku memanggil pembantu kami yang sudah separuh baya itu.
“sini bi, biar saya yang gendong, bibi beres-beres di belakang aja ya” begitu ujar istriku
“putra sayang, ayah pergi dulu ya. Jagain ibu ya, kan jagoan ayah” begitu ujarku pada jagoan pertama di dalam keluarga kecilku itu. 

Putra kecil ku itu mengangguk mantap, tatapan matanya tajam, persis seperti ibunya
“miriiiip banget sama kamu de” begitu ujarku pada istriku pagi itu.
“ya iyalah mas, kan anak aku, hahaha” dia tertawa, tertawa renyah.
“ya udah mas berangkat ya, sini cium tangan mas dulu dong” aku pura-pura merajuk pada istriku
“iya dede cium tangannya” ujar istriku

Dia meraih tangan kananku, menciumnya lama sekali. Pagi itu terasa berbeda, tetapi aku tak merasakannya, atau memang aku yang tidak terlalu peka. 

“putra cium tangan ayah” begitu perintah istriku pada anak lelaki ku itu
“mas berangkat ya, assalammu.......” belum selesai aku mengucap salam, istriku berkata
“mas..........uumm, cuma mau bilang, dd sayaaaaang sekali sama mas azzam” begitu katanya

Pagi itu, pagi ini, dan sekarang, apa yang terjadi pada kamu Rica. Perjalanan ini terasa begitu lama, padahal jalanan tidak begitu ramai, mendekati hari minggu sebagian besar warga kota jakarta, kota metropolitan ini memilih untuk pergi keluar kota. Melepaskan diri dari kepenatan yang sudah mengekang selama berhari-hari.
Dan hari pun mulai beranjak petang, aku menjadi terlalu lama di jalan. Lalu lalang kendaraan, semua ingin pulang ke rumah. Laju kendaraanku terasa begitu lamban, meskipun aku sudah mengupayakan untuk menekan pedal gas agar bisa segera sampai ditujuan. 

Rumah sakit ini, sama seperti istriku, aku tidak suka dengan rumah sakit. Sejak dulu aku selalu berkata “kita harus sehat ya de”, “iya” begitu jawabnya. Tapi hari ini, siapa yang mengira aku akan berada di sini, memarkirkan mobilku. Kemudian bergegas pergi menuju ruangan tempat istriku di rawat.

Sesampainya di sana, adzan maghrib itu memanggilku. Tepat sekali, aku sempat terhenti, berdiri di persimpangan jalan yang menunjukkan arah kiri tempat dimana istriku dirawat. Dan arah kanan tempat mushollah rumah sakit berada.

“mas, jangan ditunda sholatnya” begitu ujar istriku beberapa tahun yang lalu, di hari-hari pertama aku menjadi suaminya.

Langkah kaki dan hatiku, membawaku ke arah kanan, ke tempat dimana istriku ingin aku berada saat ini, ke tempat dimana aku bisa menjernihkan akal pikiranku. 

Mendengar air keran itu mengucur jatuh ke bawah, membasuh wajahku, kedua tanganku, menegakkan sholat 3 rakaat beserta sunnahnya yang berjumlah 2 rakaat itu. Aku selesai, kemudian terpekur, terdiam dalam renungan panjang, mengangkat kedua tangan sembari meminta agar istriku baik-baik saja.

Dan kini, di sinilah aku, di Ruang ICU, ruangan yang mengingatkan aku pada 3 tahun yang lalu. Dan saat itu aku juga berada di ruang yang sama dengan kamu sayang, istriku. Mengingat saat-saat itu, melihat wajahmu yang menangis tersedu sedan di sore menjelang malam, aku tak sanggup. Dan kali ini, kamu yang berada di sini, di atas ranjang rumah sakit ini. Dengan selang infus yang terpasang di lengan kananmu. Dengan selang bercabang yang terpasang di hidungmu, dengan alat bantu nafas itu. Alat yang memunculkan suara "bip bip bip" aku tidak suka itu, kamu tidak seharusnya berada di sini sayang.

Ruang yang didominasi oleh warna putih dan biru, pucat pasi seperti wajahmu saat ini. Aku hanya bisa menarik nafas panjang, melihat istriku, kamu berada di tempat ini. Untuk sakit yang aku tidak begitu mengetahui seperti apa persisnya ia bisa berada di dalam tubuhmu.

Suara derit pintu membuyarkan lamunanku
"Pak Azzam pratama?" seseorang memanggil namaku
"ya saya, saya azzam pratama" begitu jawabku

Lelaki itu berkacamata tebal, dengan stetoskop terlingkar di lehernya. Dia masuk menghampiriku dengan seorang suster perempuan bersamanya, lengkap dengan map yang berisi kertas-kertas yang aku pikir 'itu pasti rekaman hasil pemeriksaan istriku'. Dan aku pikir lelaki itu pastilah dokter yang merawat istriku.
"bisa saya bicara berdua dengan bapak?" ujar dokter tua itu padaku
"oh ya tentu dok" jawabku
"Tidak di sini, supaya tidak mengganggu pasien yang sedang beristirahat" begitu ujar dokter tua itu. 

Aku mengikutinya dari belakang, sembari pikiranku menerawang, menerka-nerka seperti apa kiranya wejangan tentang kesehatan istriku, yang akan dia sampaikan kepadaku.

Dokter itu membawa aku ke ruangannya, yang tidak berada jauh dari tempat istriku dirawat. Rumah sakit ini nampaknya memang membagi ruang berdasarkan jenis penyakitnya. Darahku berdesir begitu aku melihat papan nama yang tertera di pintu masuk ruangannya. Dr. Muhammad Firdaus SpOnk. Onk untuk apa? Onk? seperti pernah mendengarnya, tetapi aku tidak tahu kapan dan dimana tepatnya.

Dokter tua itu membuka pintu ruangannya, dan mempersilahkan aku duduk. Ruangan yang lumayan luas, terdapat dua ranjang pasien di dalamnya. Dengan alat-alat periksa yang aku tak tahu apa namanya dan untuk apa kegunaannya.

"Begini pak azzam, bapak tau ibu Rica sakit apa?" katanya membuka pembicaraan

Aku menggeleng, tidak tahu. Mataku masih liar berkeliling ke sana ke mari, sesekali mencuri pandang ke segala arah. Sampai ketika mataku melihat gambar kesehatan yang terpajang di salah satu sudut ruangan dokter SpOnk ini. Sepasang payudara wanita, gambar itu menjelaskan tentang bagaimana sel-sel kanker terbentuk, seperti apa penyebaran di dalam tubuh si penderita bila sudah memasuki stadium II, III, dan IV. 

Belum sempat mendengar penjelasan dokter itu, lutut ku melemas, bulu romaku merinding tidak jelas, darah ku berdesir, berkali-kali aku mengucap -astaghfirullah-. Dan aku semakin yakin SpOnk itu sebutan untuk spesialis onkologi, istriku pernah bercerita padaku beberapa waktu yang lalu.
"apa yang terjadi pada dirimu, istriku" gumamku
"pak......, pak pak azzam” suara dokter itu membuyarkan lamunanku
"oh, eh iya dok, maaf, jadi ada apa dengan istri saya dok. Istri saya tidak apa-apa kan dok?" tanyaku padanya

Lelaki tua itu hanya terdiam, kemudian berkata
"kami akan berusaha semampunya, kanker istri bapak sudah memasuki stadium IV. Sebenarnya saya sejak awal sudah menyarankan untuk pengangkatan payudara istri bapak, keduanya. Tetapi istri bapak menolak, saya pikir.........."

Kepalaku pusing, aku seperti ditimpa batu yang sangat keras. Kanker payudara stadium IV, hati ku berteriak, aku menjerit di dalam alam pikiranku. Terpekur menatap meja kayu yang mungkin usianya sudah sama seperti dokter Onkologi ini. Aku tak tahu apa yang sedang dokter ini bicarakan, kedua daun telingaku menutup serta merta pendengaranku.

Dengan terbata-bata aku berkata
"jadi maksud dokter, istri saya sekarang dalam keadaan kritis?"
Dokter yang aku pikir usianya sekitar 55 tahun itu menghela nafas panjang.
"Maafkan saya pak, yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah berusaha dan berdoa" 

aku seperti manusia yang lupa bahwa aku beragama, sampai kemudian aku berkata
"tolong dok, lakukan apa saja untuk keselamatan istri saya. Saya akan bayar berapapun dok"
Suara putus asa seorang anak manusia, aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, aku tidak tahu.

"Tenang pak, kami sedang berusaha yang terbaik untuk istri bapak" begitu ujar dokter firdaus saat itu

Aku terdiam, mengenangkan pertanyaan istriku beberapa tahun yang lalu
"mas, kalau kamu enggak ada, aku gimana ya?"
Dan saat ini, aku yang bertanya pada diriku sendiri
"Kalau kamu enggak ada, mas gimana de" 

Aku berdiri, mengucapkan terima kasih dan permisi undur diri. Aku tidak mendengar apa yang dokter itu sampaikan sebelum aku benar-benar meninggalkan ruangannya. Pikiranku silang lintang, liar berlari ke sana kemari. Teringat dengan anak ku yang baru berumur 3 tahun, sedang apa dia, dengan siapa dia di rumah. Belum lagi keluarga istriku di Yogya, bagaimana aku mengabari mereka. Dan bagaimana caraku mengabari ibuku. Pikiranku melayang tidak jelas, asaku hampir terbang bersama petang yang semakin menjalar menjadi malam yang gelap.

Langkahku seolah-olah terpatri dari satu ubin ke ubin lainnya di rumah sakit ini,
"Masya Allah de', kenapa mas gak kamu kasih tau" aku bergumam sendiri di dalam hati sembari memacu langkahku menuju kamar istriku dirawat. 

Dari jauh aku melihat mereka, orang-orang yang aku kenal, mertuaku, keluarga dari istriku, ibuku. Tatapan mereka, tatapan yang menjelaskan bahwa mereka sudah lama tahu tentang sakit istriku itu. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir mereka, selain air mata. Ayah istriku pun menatapku dengan tatapan merah, menahankan tangis.

-ah ya tidak mungkin ayah menangis, ayah lelaki- dan ego lelaki itu tak dapat menahanku untuk menangis di hadapan ibu dan ibu mertuaku.

"Sabar ya zam, kamu yang sabar ya nak" begitu ujar ibu mertuaku

"Mas, mbak rica mau ngomong. Dari tadi ditungguin katanya" begitu ujar tika adik perempuan istriku. Menurut cerita istriku, adik perempuannya ini, Tika Artanegara, lucu. Aku teringat ketika istriku berkata
"Adik perempuanku itu mas, sukanya tidur. Kalau sudah ngantuk, gak liat tempat, di tempat umum aja dia bisa tidur" Dan istriku tergelak menceritakan kebiasaan buruk adiknya itu
"iya, makasih ya tik. Putra sama siapa?" tanyaku
"Putra sama bi sumi di rumah mas, Nina sama nani juga ada di rumah kok" begitu jelasnya
Nina dan nani, ah ya adik kembarku. Setidaknya aku bisa bernapas lega, putra berada di tangan orang-orang yang mengasihinya.

Langkahku terasa begitu berat, gagang pintu ruang ICU itu terasa sama beratnya dengan langkah kakiku saat itu. -Bismillah- aku tidak boleh nampak sedih di depan istriku, harus tersenyum aku harus tersenyum- begitu gumamku di dalam hati.

Dan ketika aku membuka pintu itu, nampak olehku seorang wanita, lengkap dengan jilbabnya, berwarna putih cerah, seperti wajahnya. Wanita itu, yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit itu sudah menjadi istriku selama 3 tahun. Bersamanya merupakan anugerah terindah yang Allah berikan kepadaku. Wanita yang tidak pernah menuntut apa-apa selain 

"aku mau suamiku baik agamanya mas, bukan cuma tau, bukan cuma ngerti, tapi memahami"

Begitu ujarnya suatu hari ketika aku menunda sholat isyaku. Masih jelas wajahnya yang cemberut, memalingkan muka ketika aku berkata
"Nanti de sholatnya, mas gak suka dipaksa-paksa"

Dan sejak saat itu, aku sebisa mungkin membuat jadwal sholatku selalu di awal waktu. Ah istriku melihatmu terbaring seperti sekarang ini, aku tak sanggup. Mengapa kamu berada di situ? mengapa tak kamu beritahu pada suamimu ini tentang penyakitmu.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menerus melanglang buana di dalam kepalaku, sampai ketika suara lembut itu memanggilku

"Mas, mas azzam" suaranya lirih, menahan sakit yang entah seperti apa, aku tak tahu
bergegas aku menghampirinya, menarik kursi yang berada di sebelah menja yang berada tepat di samping ranjang istriku.

Suara kursi itu tetap tak dapat memecah kebisuan antara aku dan istriku
"suara kursinya berisik ya mas, diangkat aja" begitu katanya
"iya ya de, mas kan gendut, jadi kuat angkat kursinya" begitu candaku
Istriku itu hanya tersenyum
"iya mas gendut, baru tau ya" begitu balasnya

Aku letakkan kursi itu tepat di sebelah kanan istriku. Aku hempaskan tubuhku di kursi rumah sakit itu, kemudian menggenggam tangannya, bermain-main dengan jari jemarinya, menggaruk-garuk telapak tangannya.
"apaan sih mas, geli" begitu ujarnya
"biarin geli, habis kamu jahat sama mas. Sakit gak bilang-bilang" jawabku sembari tersenyum
"mas, liat dede" begitu dia memintaku. 

Dia memintaku untuk menatap wajahnya, melihat langsung jauh ke dalam matanya. Selalu seperti itu, bila dia ingin berbicara tentang hal-hal yang serius. Dan kali ini aku tahu dia ingin berbicara tentang apa dan aku pun tahu aku tak akan sanggup untuk itu.
"mas, jagain putra ya" dia terdiam sejenak
"aku minta maaf, enggak bisa jadi istri yang baik" tambahnya

Wanita yang menjadi istriku itu tersenyum sembari menitikkan air mata. Ia menghela nafas panjang sembari menggenggam erat jari jemariku. Aku tak dapat berkata apa-apa, hanya menundukkan kepala menahankan air mata yang akhirnya jatuh juga.

"aku..... aku, mau istirahat panjang. Nanti, kalau mas ketemu dengan yang lebih baik dari aku, nikah aja ya mas. Aku enggak apa-apa, yang penting mas bahagia. Aku cuma minta satu hal, wanita yang akan menggantikan ku, harus sayang sama putra. Aku......." terbata-bata ia menyampaikan pesan-pesannya.

Pesan-pesan yang aku tak ingin mendengarnya, pesan-pesan yang kemudian aku hentikan di tengah jalan, aku hempaskan begitu saja pesan-pesan terakhirnya. Aku biarkan terbang bersama hembusan angin pendingin ruangan yang semakin terasa dingin membekukan seluruh isi kepalaku.

"Sudah ah, istirahat, jangan ngomong terus. Kata dokter dede harus banyak tidur, banyak istirahat, biar obatnya bisa bekerja dengan baik" begitu ujarku

Istriku hanya tersenyum, menatap mataku, dan kali pertama aku tak sanggup menatap jauh, lekat kedua matanya. Secara tersirat ia sudah melambaikan bendera putih tanda menyerah pada kehidupan. Oh tidak dia tidak menyerah, istriku sudah berusaha sekuat tenaga, dan ia pasti sembuh, segera. Atau saat ini aku sedang bermimpi, mimpi yang sedikit lama memang. Tetapi aku yakin ketika terbangun, istriku akan berada tepat di sebelahku, tertidur pulas. Atau, aku sedang tertidur dan istriku akan mencubit lenganku untuk membangunkan aku.

"Mas....... mas"
suaranya kembali membuyarkan anganku akan mimpi-mimpi itu.
"iya, kenapa de?" ujarku sembari menatap lembut wajahnya, membelai rambutnya kemudian memperbaiki letak selimut yang menutupi separuh dari tubuhnya.

"sudah sholat maghrib belum?" dia bertanya
"sudah de?" jawabku
"kalau dede gak ada, sholatnya jangan ditunda ya"
"iya" jawabku
"tiap hari harus push up 5 menit, sit up 5 menit ya"
"iya" jawabku
"sholat tahajud sama sholat dhuhanya jangan lewat ya?"
"iya de" jawabku
"janji sama dede?"
"iya mas janji, udah ah, kamu tidur ya" jawabku sembari mengakhiri kalimatnya, permintaannya bagaikan ucapan perpisahan bagiku. 

"ya udah, dede tidur dulu ya. Dede capek mas, mau istirahat, mas nyanyi ya. Lagu kebangsaan mas itu, yang bahasa inggris" pintanya padaku

Aku terdiam, menatap wajahnya, ya Allah ingatkan aku pada wajah wanita ini, wanita yang sudah menjadi istriku selama beberapa tahun terakhir ini.

"mass... jangan ngelamun, lagunya mana" suara manjanya membuyarkan lamunanku
"iya ini mas nyanyi” ujarku
-i love you, you love me, we are happy family-.
Udah ya, sekarang tidur" pintaku setelah menyanyikan lagu yang aku tidak tahu siapa pencipta lagu itu.
"sekali lagi mas............"
"iya deeh tapi lain kali bayar ya" begitu candaku

Dia hanya tersenyum lemah di atas ranjang rumah sakit yang membuat aku semakin sakit setiap kali melihatnya.

"ayo nyanyi lagi mas.... kok diem, ngelamun ya" katanya
"iya ini nyanyi -i love you, you love me, we are happy family. Udah ya sekarang tidur"
"Nanti dulu, terakhir dede minta mas bacakan surat Ar Rahman. Seperti waktu dulu, waktu mas melamar dede, kan mas kawinnya itu" begitu pinta istriku
"Aduh dede, kamu kan harus tidur" begitu ujarku
"Enggak, dede mau tidur sambil denger mas bacakan surat itu" begitu rajuknya padaku
"Ya deh, mas bacain, tapi kamu sambil tidur ya de. Kan kata dokter kamu harus istirahat" begitu aku meminta pada istriku
"iya, dede sambil tiduran" jawabnya sembari menarik nafas panjang, kemudian memejamkan matanya perlahan

Aku mulai membacakan kalam Allah itu, masih begitu jelas teringat dia yang berkata
"Kalau mau nikah sama aku, kamu harus hapal juz 30. Terus surat Ar Rahman jadi mas kawinnya, kalau enggak bisa ya udah, nikah sama orang lain aja" begitu tantangnya.

Rasa ego lelakiku membuat aku menerima tantangannya dan keberhasilanku itu berbuah dia menjadi istriku beberapa bulan berikutnya, di tahun yang sama.

Setiap ayat dari surat Ar Rahman yang aku bacakan itu, terasa begitu pilu terdengar di telingaku. Sembari menitikkan air mata aku melihat setiap guratan-guratan lelah yang terlihat di wajahnya. Wajah pucat pasi itu tersenyum kepada ku, kemudian berkata

"terima kasih ya mas, mas sayang gak sama dede?"
"iya mas sayaaaaang sama kamu de" begitu ujar ku sembari mengecup kening istriku itu
"dede sayang gak sama mas?" tanyaku
"iya, dede sayaaaaang sekali sama mas" suaranya nyaris hilang, tak terdengar
"sebesar apa?" begitu tanyaku
"sebesar angka 1 dibagi 0" begitu jawabnya
"diteruskan baca Ar Rahmannya" pintanya padaku
Aku melanjutkan bacaan ke ayat berikutnya, sampai ketika aku tiba di surat yang berarti
-nikmat Tuhan yang mana lagikah yang engkau dustakan-,

Aku melihat wajah istriku terpejam, menitikkan air mata. Ia bergumam yang aku tidak ingin tahu apa gumamannya itu, tetapi dengan jelas aku dapat membaca gerak bibirnya,
"ashadualla ilahaillallah, wa ashaduanna muhammadurrasulullah" begitu ucapan terakhir dari bibir wanita yang amat ku sayang itu.

Dan semua terasa terhenti, nafasku pun aku rasakan ingin berhenti. Alat pantau denyut jantung itu tak lagi berbunyi -bip bip bip-, ia sudah berganti dengan bunyi -bip- yang panjang, dan terasa begitu memekakkan telinga.

Aku mundur merapat ke dinding ruangan, menjauh ketika beberapa perawat dan dokter yang merawat istriku datang, membuka pintu kemudian mulai mengupayakan segalanya untuk mengembalikan nafas istriku.
"de, selamat jalan. Mas sayang sama kamu" begitu ujarku





Semua ingatan-ingatan itu seakan-akan ingin pergi dari dalam kepalaku, sekuat tenaga aku menahannya, menyimpannya di dalam memori, aku tidak ingin lupa, tidak ingin melupakannya.


"ricaa......" begitu isak tangis ibu mertuaku
"mbak rica.........." adik iparku tersedu sedan memanggil-manggil kakak perempuannya itu

Riuh ramai terdengar, bercampur dengan suara betapa sibuknya dokter dan perawat-perawat itu menggunakan alat-alat yang aku tak tahu apa namanya, yang aku tahu pasti, mereka ingin mengembalikan denyut jantung istriku. Tapi, aku tahu Allah menginginkan sesuatu yang lebih baik daripada itu, Dia mengambil apa yang sudah Dia titipkan padaku beberapa tahun yang lalu.

Bayang-bayang RIca seakan berlari-lari di depan mataku. Masih begitu nampak jelas wajahnya ketika pertama kali menjejakkan kaki di kampus ku. Ketika itu aku dan dia secara tidak sengaja berpapasan di depan lab komputer tempat aku biasa menghabiskan waktu bersama teman-teman satu jurusanku . Sejak saat itu aku tahu bahwa, wanita berkerudung itu sudah menarik hati ku.

Masih segar pula di dalam ingatanku, ketika dia berkata melalui pesan singkatnya, di tahun 2006
"Azzam, saya punya tumor lho" begitu dia memberitahuku dalam canda dan tawanya

Dan saat itu, sebagai temannya, aku hanya bisa mendengarkan, memberikan saran padanya untuk memeriksakan benjolan yang ada di dadanya, tetapi

"enggak ah, malu, dokternya cowok semua" begitu katanya

Tahun-tahun berlalu sejak tahun 2006 itu, Aku tak lagi berkirim pesan padanya. Egoku berkata, aku harus menghentikan komunikasi yang terjadi antara aku dan dia. Aku tinggalkan dia dalam keadaan terluka, sampai ketika di tahun 2011 aku mencoba memetakan sejauh mana kesempatan yang aku punya untuk menjadi pendamping hidupnya.

"Ummmmm, tapi saya sakit lho zam. Itu lho, tumor yang dulu, sekarang malah ada dua" begitu ujarnya. Dan kembali dia hanya tertawa begitu menyampaikan hal itu padaku. Entah dia memang menganggap tidak ada apa-apa dengan tumornya itu, atau dia mencoba menyembunyikan rasa kekhawatirannya dariku.
"Enggak apa, kan bisa diobati" begitu ujarku saat itu.

Tak lama berselang, sebuah pesan singkat dia kirimkan kepadaku. Pesan itu aku terima di akhir bulan november di tahun yang sama, 

Katanya "zam, tumornya jadi 3, sakit......." begitu pesannya

Serta merta aku meneleponnya, mendengarkan dia menangis terisak-isak, dia bilang
"Aku takut zam, aku takut......., kamu nikah sama orang lain aja ya. Aku sakit" begitu ujarnya dalam suara tangis yang tersedu sedan.

"Enggak, saya sudah bilang. Kalau saya mau nikah sama kamu, ya sama kamu. Kalau sakit, nanti kita bisa obati, kamu yang sabar ya" begitu aku mencoba menenangkan perasaannya saat itu

Dan kini, beberapa tahun setelah itu. Di sinilah aku, berdiri, menggendong putra yang tidak tahu apa-apa. Akalnya masih belum dapat mencapai tentang apa yang terjadi pada ibunya.

"Ayah, kenapa ibu masuk di dalam lobang?" begitu tanyanya padaku
"ibunya putra, lagi mau tidur, ibu capek" begitu kataku
"ooo capek ya, karena putla ya 'yah?" dia kembali bertanya, dan aku semakin tak tahu harus menjawab apa kecuali tersenyum kemudian mengusap-usap rambutnya.

"bukan, bukan karena putra kok. Kata ibu, putra jangan nakal ya, nurut sama ayah" jawabku atas pertanyaannya dan aku tahu jawabanku itu belum akan cukup memenuhi rasa keingintahuannya itu.

"iya, tapi nanti putla bisa ketemu ibu lagi kan?" putraku itu kembali bertanya

Pertanyaan itu membuatku terdiam, tak mampu menjawab. Aku tak tahu harus menjawab apa, aku tak bisa membohonginya, meskipun aku tahu dia pasti tidak akan tahu kalau aku sedang membohonginya saat itu.

"Putra...., sini sama Oma ya, kita liat mobil-mobilan putra di mobil ayah ya" begitu ibuku mencoba membujuk cucunya.

Untuk beberapa saat, aku terbebas dari pertanyaannya yang terasa begitu pilu ketika mendengarnya. Tapi, entah aku harus menjawab apa bila di hari-hari berikutnya dia bertanya tentang dimana ibunya.
"zam, mau ikut ke dalam gak?" suara ayah mertuaku membuyarkan lamunanku
"iya yah, saya ikut" begitu ujarku

Aku turun ke dalam liang lahat istriku, membenarkan posisi jasadnya, membuka tali kain kaffannya dan ayah mertuaku mencium lama dahi anak perempuan pertamanya itu. 

"Baik-baik di sini ya nak? ayah doakan dari jauh" begitu ujar ayah mertuaku itu.

Dia menegakkan tubuhnya, sesaat untuk pertama kalinya aku melihat ia menitikkan mata. Semua sudah tertutup dengan papan, hanya tinggal wajah istriku, yang pucat dan dingin.

"Kamu pernah bilang de, kamu akan bagaimana kalau mas gak ada. Sekarang, mas yang balik bertanya pada diri mas sendiri, bagaimana mas kalau kamu enggak ada"

Untuk terakhir kalinya, aku melihat lama, berusaha menghapal, mengingat wajah istriku itu, sebelum kemudian papan terakhir itu menutupi wajahnya, kepalanya.

Lengan tua renta itu mengangkat aku ke atas, lengan ayah mertuaku. Bersama-sama kami menutup liang lahat itu dengan tanah merah. Berkali-kali aku kuatkan diriku, mengucap istighfar agar aku sadar bahwa istriku kembali ke tempat dimana dia berasal. Suatu hari entah kapan, aku pun akan ke sana, menyusulnya.
"Selamat jalan de, tunggu mas di sana ya" begitu gumamku

Lambat laun, lubang itu tertutup sempurna. Tak dapat lagi aku melihat wajah istriku, yang ada hanya wajahnya yang tertanam di dalam ingatanku. Semakin lama, semakin terbentuk gundukan yang tinggi, terpasang sebuah nisan bernama Rica Artanegara. Aku melemas, entah mengapa aku merasa begitu lemas, tak dapat menahan beban tubuhku yang sekarang sudah tidak segemuk dulu

"mas sudah kurus de, seandainya kamu tahu. Kehilangan kamu membuat mas kehilangan hampir separuh berat badan mas" begitu ujarku

Tiba-tiba kepalaku terasa begitu berat, semua yang berada di sekelilingku kurasakan gelap, berputar-putar, kemudian yang aku dengar hanya bunyi sesuatu yang jatuh ke tanah, dan aku pikir itu adalah aku.

Aku terbangun, ketika sesuatu aku rasakan menyentuh lengan kananku, ‘mencubit’ ya seseorang sudah mencubit lenganku.

“indra bangun.....” begitu suara itu terdengar di telingaku

Tapi siapa indra, aku tidak mengenalnya, aku azzam pratama seorang manager dari perusahaan BUMN yang bertugas di Jakarta.

“indraaaaaaa..... banguuun.....” suara itu semakin terdengar nyaring di telingaku. Aku heran, kenapa orang yang dipanggil dengan nama itu tidak juga mendatangi arah suara.

“’ndra, kalau kamu gak bangun juga, ibu siram pake air” begitu ujar wanita itu, wanita? Ibu? Siram pakai air?
Aku masih merasakan sakit di lengan kananku, membuka perlahan mataku. Tepat di hadapanku setumpuk pakaian kotor yang aku tidak tahu pakaian siapa itu. 

Mengusap-usap wajahku, kemudian mengangkat kepalaku, melihat ke sekelilingku, dan 

“byurrr” air dingin kota bandung benar-benar membangunkanku

“ibu bilang bangun, ya bangun. Kuliah!!! ini sudah jam 8 pagi”

Begitu ujar ibuku, ya wanita yang tadi memanggil-manggil itu adalah ibuku

“hah jam 8 bu’?” tanyaku

“iya jam 8, makanya ibu sudah bilang sama kamu, jangan tidur habis shubuh, gini akibatnya kalo gak denger omongan orang tua” begitu kuliah perdanaku di pagi yang cerah ini

Aku terdiam, terbangun di atas meja belajarku

‘meja belajar?’ Hahahaha pada kenyataannya aku tidak pernah menggunakannya untuk belajar.
Menyibakkan gorden biru di kamarku, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamarku. Membuka jendela dan membiarkan udara segar berebutan untuk masuk ke dalam kamarku. Menggantikan udara kamar yang pengap, untuk terbang ke udara berbaur dengan segarnya udara di pagi ini.

Azzam pratama
Putra pratama zata
Rica artanegara
 Ketiga nama itu begitu membekas di dalam kepalaku, mimpi yang nampak begitu nyata bagiku.

Aku berjalan, berdiri tepat di depan jendela kamarku. Mengabaikan jadwal kuliah pagi ini, menarik nafas panjang sembari mengangkat kedua tanganku. 

“Alhamdulillah, semua cuma mimpi”

Begitu ujarku di pagi yang cerah ini.

Tuesday, November 29, 2011

KETIKA

Ketika, lelaki itu serta merta mengatakan -tidak suka- ketika aku berandai-andai dengan kata ketika yang tersirat dalam kata lainnya -bagaimana-.

"Mas, gimana yang kalau kamu enggak ada? aku gimana?" 
Begitu aku lontarkan pertanyaan pada suamiku hari itu

"hush, gak boleh ngomong gitu ah, mas gak suka"
Jawaban singkat sebelum kemudian ia kembali sibuk dengan setumpuk pekerjaannya yang ia bawa ke rumah.

"Ya sudah deh, aku tidur duluan ya, gak apa ya mas? nanti kalau perlu apa-apa bangunin aja ya"
"Iya" begitu jawabnya

Aku tidak tahu suamiku itu tidur pukul berapa, yang jelas pagi itu dia membangunkan aku seperti biasa untuk sholat tahajud kemudian menanti shubuh bersamanya, sampai pagi tiba.

Air keran pagi itu terasa begitu dingin menyentuh pori-pori kulitku yang tipis. Setiap basuhan air wudhu yang menyentuh terasa membangunkan setiap direktori-direktori syaraf yang tersebar di seluruh tubuhku. Melihat dia membentangkan sajadahnya di musholla kecil yang kami punya, musholla yang menjadi bagian dari rumah sederhana aku dan dia, yang sama mungilnya dengan musholla yang juga sama kecilnya dengan jumlah keluargaku, hanya aku dan dia.

Sunday, November 20, 2011

"aku dan bayang hitam itu" dalam seberapa penting

pernah bertanya seberapa pentingkah kita bagi orang lain? 
pernah bertanya, seberapa penting diri kamu bagi teman mu? 

jangan bertanya seberapa penting dirimu, bagi orang tuamu
jangan juga bertanya seberapa penting diri kamu bagi keluargamu

tapi, bertanya seberapa penting orang tuamu di dalam kehidupanmu
penting, ya hanya ketika kamu membutuhkan tempat bersandar yang kuat, tangguh,  dan tetap. Tidak berpindah tempat seperti teman-teman yang hilir mudik datang dan pergi. Ada teman yang karena ketulusan, kesamaan nasib dan cerita awal, ada teman yang sejalan karena kesamaan dalam kepentingan.

Orang tua dan keluarga memiliki kesan yang berbeda, memiliki guratan di dalam kain kanvas pelukis dengan garis-garis tegas, yang kadang hitam bila kita melihat dari sisi ego sentris kita sebagai manusia. Memiliki garis lembut, cerah, mengharukan, luar biasa memiliki makna, bila kita melihat dari sudut pandang yang berbeda, sisi manusia yang menghargai bahwa apa-apa yang keluarga, orang tua kita lakukan, semua karena mereka mengetahui pasti tentang kita.

Sebesar apapun kebaikan orang, manusia yang lalu lalang di hadapanmu, semua memiliki kepentingan yang jelas dari dirimu sebagai individu.

Lalu seberapa pentingkah dirimu bagi temanumu

Berdasarkan hasil pemikiran, mengamati, menganalisa, mencoba menarik sebuah kesimpulan. Ketika kita berada dalam satu karakter, bisa jadi kira dekat dengan dia. Ketika kita berada dalam satu kepentingan bisa menjadi kedekatan yang dipaksakan. Ketika itu berdasarkan agama, suku, ras dan golongan, rasa senasib dan sepenanggungan, maka keterikatan emosional antara kita dengan dia, akan semakin besar dirasa.

Tetapi, ketika semua sudah terpenuhi, cerita tidak lagi seperti awal mula dia terjadinya. Maka keterikatan itu bisa terkikis secara simultan sampai mungkin dia habis.

Aku dan bayangan hitam itu

"Apakah kamu merindukan kedua orang tuamu"
bayangan hitam itu menunjuk kepada ku
"aku? ya aku merindukan keduanya"
dia mendekat, bergerak menjauh dari tempat dia terbentuk. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan -kenapa kamu tidak menelepon mereka-
"aku? ya, kamu benar, aku terlalu lemah mengakui bahwa aku terlalu keras kepala untuk memulai semua itu"

Bayangan hitam itu semakin mendekat
Berdiri di sebelahku
Tepat di samping telingaku
Rasa dingin yang tiba-tiba datang, membuat seluruh rambut-rambut di tubuhku meremang. 

Secara tiba-tiba ia meniupkan angin yang sejuk ke telinga sebelah kananku

Cahaya putih yang tadinya nampak hanya seperti sebuah titik dari kejauhan di tengah dia, bayangan yang hitam, semakin nampak jelas. Semakin lama semakin membesar, semakin terlihat.

Bayangan itu menggambarkan tentang sesuatu yang aku masih mencoba menelaah ada apa di balik cahaya yang dia tunjukkan. 

Banyak orang yang hilir mudik, tanpa menghiraukan aku yang melihat tidak jauh dari keramaian yang terbentuk, terlihat secara tiba-tiba di depan mata. Ada ketiga orang saudara ku di sana, duduk diam. Melihat kakak perempuan ku memeluk satu-satunya keponakanku, yang selalu tidak bisa diam. Lucunya dia "hafizh diem ya, liat itu bakas sama kajutnya......" aku tak lagi mendengar apa yang kakak perempuanku katakan kepada anak lelakinya itu. Bayangan hitam itu menutup kedua telingaku, aku melihat ke arahnya, 

"kenapa?"
Ia meletakkan jari telunjuknya ke bibirnya -sssst- ia ingin aku diam
"baiklah, aku diam" aneh, pikirku
Masih berdiri melihat dari kejauhan, sebuah drama yang aku masih tidak mengerti maksudnya.
Bayangan itu mengarahkan telunjuknya ke depan, ke arah seorang anak perempuan yang lain, adik perempuan ku, dia membaca Al qur'an
"kamu tahu, diantara kami berempat, aku merasa dia yang akan berada di surga yang paling atas" begitu aku memamerkan adik perempuanku kepada bayangan hitam itu.
Sembari tersenyum memandang adik perempuanku aku berkata
"dia paling rajin membaca Al quran. Hey, kenapa dia menangis?" 
Aku segera menggerakkan kedua kakiku, sampai bayangan itu menahan ku, dengan menarik lengan kananku.
Dingin, tangan bayangan hitam itu begitu dingin

Dia kembali memintaku untuk diam, melihat.
semakin ramai saja yang datang, kakak perempuan ku masih duduk dalam diam. Dia memberikan keponakanku kepada ayahnya, kakak iparku. Mengikuti apa yang adik perempuanku lakukan, membaca Al Quran. 

Kali ini, bayangan itu menunjuk ke satu sudut ruang dimana aku melihat seorang pemuda tanggung. Diam, -terbengong-bengong-, dia nampak bingung atas apa yang terjadi saat ini. Dia nampak melihat ke sana- ke mari, ingin bertanya, tapi nampak bingung untuk bertanya pada siapa.

Air mataku jatuh
lemas, dia adik lelaki ku, satu-satunya adik lelakiku. Tak pelak itu membuat hatiku berteriak, dengan mata berkaca-kaca
"ada apa dengan ini semua?"
Bayangan itu membuka tabir yang nampak buram sebelumnya di depan mataku. Dia menarik tirai putih yang sedari tadi menutupi penglihatanku.

Ada tubuh yang terbujur kaku di depan kakak dan adik perempuanku. Terbungkus kain putih, dengan kapas di sana-sini, menutup hidung dan telinga.

Aku lemas, meremang, ingin menjerit, ya aku menjerit, aku berteriak
mereka adalah kedua orang tuaku, ayah dan ibuku. Aku berlari, mencoba mendekati tubuh kaku kedua orang tuaku yang sudah tak lagi bernyawa itu.
Aku tak mampu, aku tak dapat.
Aku melihat ke arah bayangan itu
"kenapa? kenapa aku tidak bisa menghampiri mereka"
Bayangan itu hanya diam, tak bergeming

Sekuat tenaga aku berusaha
Mengeluarkan segala kemapuanku
Tangis ku semakin pecah, tak tertahankan
Melihat adik lelakiku yang diam, tak mengerti akan apa yang terjadi

Melihat saudara perempuanku menangis dalam isak tertahan, melihat keponakanku menyentuh kakek dan neneknya dengan kedua tangan kecilnya, tetapi tak ada yang ia dapat selain kebekuan, bisu, diam, tak bergerak.

Aku menyerah
Aku lelah, sekuat apapun aku mencoba tetap tak dapat mendekati tubuh kaku ayah dan ibuku.

"Setidaknya, biarkan aku mendekati adik lelakiku, biarkan aku memeluknya"
Aku menangis berteriak
"biarkan aku menjelaskan kepada adik lelaki ku, tentang apa yang terjadi"
"tidak tahukah kamu, dia begitu dekat dengan ibu dan ayah ku"
"tidakkah kamu merasa iba pada dia, adik ku itu tidak normal, tidak seperti anak-anak yang lainnya"
"Tolonglah, aku mohon"
Aku mengiba-mengiba pada bayang-bayang hitam itu

Dia mendekat kepadaku, angin dingin itu kembali menghampiriku
Dia meniupkan angin itu kembali ke telingaku, semua hilang, pergi entah kemana. Semua yang ada di depan mataku, saudara perempuanku, adik lelakiku, semua pergi.

"kemana, orang-orang yang tadi lalu lalang"
"kemana kakak dan adikku?"
"kemana jasad ayah dan ibuku?"

Bayangan hitam itu, masih diam, tak bergeming. Kali ini yang dia lakukan hanya menutup kedua mataku beberapa saat, untuk kemudian membukanya kembali.

Nampak nyata, semua orang orang yang secara tiba-tiba kembali berada di depanku. Mereka menangis terisak, aku berlari, bertanya mendekat kepada mereka. Tapi tampak tak ada satupun yang dapat melihatku. Dan siapakah itu, yang sedang dimasukkan ke dalam lubang itu, liang lahat itu.

Aku menoleh kepada bayangan hitam itu, ia mempersilahkan aku mendekat, melihat dari dekat.

Aku terdiam, tersungkur di atas gundukan tanah galian yang merah. Aku begitu mengenal dia, wajah yang terbungkus kain putih itu, seluruh persendianku, tulang-tulangku tak dapat menopang tubuh ringkih ku. Jasad itu, itu adalah aku, itu aku, seperti itu kah rupaku, begitu kurus, tirus, pucat.

Aku melihat ke sekelilingku, ayah dan ibuku. Terlebih ibuku, menangis terisak ia, sesekali membenamkan wajahnya di tubuh lelaki itu, dia adalah ayahku. Guratan tua itu semakin nampak jelas di wajah mereka, nampak ayahku menahankan rasa sedihnya. Adik perempuan dan kakak perempuan ku menangis terisak-isak tak dapat menahankan, dan adik lelakiku, ia hanya diam dalam kebingungan.

Aku berlari, mendekat ke arah ibuku, mencoba memeluknya, mencium tangannya, tapi tak dapat, aku kini hanya bayang-bayang, seperti bayangan hitam itu.
"ibu, aku di sini, ade' di sini bu"
"ayah ade' di sini" 
Aku mencoba memeluk ayah ku, aku tak mampu

Aku berlari ke sana, ke mari, mencari bayangan hitam itu. Aku ingin bertanya apa arti dari semua ini, apakah Aku sudah mati? dimanakah aku kini? 

Bayangan hitam itu pergi, yang nampak hanya jubah hitamnya dari kejauhan, sesuatu berbisik kepadaku, kata-kata itu membuatku lemas, merinding, dan aku tahu selama beberapa waktu ini aku berteman dengan siapa. Suara itu berkata "dialah malaikat maut itu".

"Astaghfirullah"
hanya itu yang dapat aku ucapkan

Dari kejauhan, dia melepaskan penutup kepalanya, malaikat maut itu tersenyum kepadaku. Senyum yang lembut, tetapi membuat aku semakin takut.

aku tak ingat lagi akan apa yang terjadi pada diriku setelah itu, yang aku tahu aku sudah berada tepat di dalam kamar kostan ku di jalan pelesiran no 28. Aku masih hidup, kedua orang tuaku, mereka berdua pun masih ada, alhamdulillah, semua hanya halusinasi dari sebuah cerita.

Monday, November 7, 2011

Gaun seharga 600ribu, worthed or not worthed

Consumer behavior, bicara tentang leadership opinion, influencer, dan worthed or not worthed

Bicara mengenai gaun seharga Rp. 600.000, menurut saya yang tipikal -cuek-, sebenarnya gaun itu tidak menarik, tidak seberapa menarik. Tetapi, menjadi menarik, ketika si penjual berkata "dicoba saja mbak", lalu diikuti dengan -leadership opinion- dari seorang ibu yang usianya kira-kira 50 tahun, yang berkata "baju itu bagus kok untuk mbak, kalau buat saya gak enak, karena saya terlalu gemuk".

Begitu cerita awalnya

Alih-alih, karena ternyata saya masih-lah wanita, dan mudah dipengaruhi, saya pun mencobanya. Dan -walla-, penjual dan ibu yang pembeli, yang juga secara tidak langsung berperan ganda sebagai si-leadership opinion- plus -influencer-, berkata "cocok".

Sebagai calon pembeli yang sekaligus seorang wanita, saya terpengaruh, saya pun mulai bertanya tentang harganya. Kemudian penjual berkata "Rp. 675.000 mbak". -Wow- saya langsung mengernyitkan -hati-, karena kalau saya mengernyitkan dahi, si penjual tentu langsung bisa mengenali bahwa saya begitu keberatan dengan harga itu. 

Penawaran pun dimulai, karena saya terus terang menjadi terpengaruh oleh si pembeli yang berperan ganda tersebut, dan  terpengaruh oleh kata-kata manis pedagang. Pas nya berapa mbak "600.000" begitu katanya. Menimbang, saya terus menimbang, saya menjadi berpikir bahwa harga itu pantas untuk gaun yang memang dibuat "khusus - hanya satu" begitu informasi pedagang. 

Apakah saya jadi membelinya? 

Saya menundanya, kemudian beranjak pergi setelah sebelumnya saya meminta brosur yang sudah tertera no kontak yang bisa saya hubungi. 

Lama, setelah berada agak jauh dari tempat gaun itu dijual, seperti tersadar dari hipnotis si pedagang "hahahaha". Jadi inilah yang dinamakan dunia marketing, saya jadi teringat dengan apa yang dosen marketing saya sampaikan tentang kekuatan "leadership opinion" tentang peran "influencer" yang bisa memberi pengaruh besar kepada calon pembeli. Kalau saya tidak segera pergi dari tempat itu, mungkin saya sudah menjadi pembeli yang membeli karena "leadership opinion dan influencer", bukan membeli karena hasil observasi, yang saat ini sudah jarang ditemui.

Kembali mengenai mata kuliah marketing yang sedang saya ambil semester ini, alasan lain mengapa saya tidak jadi membeli "gaun Rp 600.000 itu", karena dosen Marketing saya berkali-kali berkata "biaya produksi T-shirt yang paling bagus, bisa berkisar antara Rp. 100.000 sampai Rp.150.000 rupiah". Sepanjang jalan saya semakin jadi tersenyum-senyum, sembari mencoba menganalisa berapa biaya produksi yang dikeluarkan oleh si produsen. Dan silahkan baca kutipan berikut ini
Ada 3 lokasi yang biasanya dijadikan tempat berburu bahan pakaian di Jakarta. Pasar Tanah Abang, Pasar Mayestik, dan Pasar Baru.


Harga kain chiffon (polos) biasanya dijual mulai harga Rp10.000,00 per meter . Tapi biasanya kalau kamu mencari yang benar-benar chiffon agak sulit. Mereka lebih banyak menjual "high count" atau "double high count" (terutama di Tanah Abang dan Mayestik). Kedua kain ini mirip dengan chiffon. Pedagang akan mulai membuka harga dari Rp15.000,00 sampai Rp17.500,00. Terus tawar serendah mungkin, bahkan sebetulnya bisa mencapai sedikit di bawah Rp10.000,00.


Harga kain satin biasanya dijual mulai Rp17.500,00. Jenisnya pun bermacam-macam. Yang cukup populer satin biasa dan satin "jeruk" (karena teksturnya mirip kulit jeruk). Di beberapa toko satin biasanya dijual dengan harga Rp20.000,00 per meter bahkan lebih. Tapi seperti biasa, tawarlah hingga harga yang diinginkan.


Mudah-mudahan informasi ini cukup membantu. Rekan lain mungkin punya informasi yang lebih lengkap.
Dan bahan gaun yang saat itu hampir saja saya beli adalah, chiffon. Bayangkan kalau saya jadi membeli gaun itu, dan kemudian saya membaca artikel di atas, bisa menyesal berlipat-lipat saya "Hahaha". Tapi baiklah, kita melihat dari sisi marketing management tentang "leadership opinion dan peran influencer" kemudian semakin mendalam dengan melihat sisi "consumer behavior" yang saat itu saya sebagai consumer-nya.

Gaun yang seharga "Setengah juta lebih Rp. 100.000" itu, 

Positioning dari gaun tersebut kira-kira sebagai pakaian muslimah

Memiliki segment yang kira-kira seperti ini
  1. Gender : Female
  2. Age : 17 tahun - 55 tahun
  3. Occupation : career women, student, housewife
  4. Salary : > 3.000.000 IDR
  5. Social state : Middle class
  6. Education : start from senior high school
  7. Living area : city, urban
Sedangkan target mereka adalah wanita yang usianya 17 tahun - 55 tahun, muslimah,  dengan main target female working or not working from middle class, Secondary target is student from middle class family with income > Rp. 3.000.000.

Terlepas dari harga gaun tersebut, beserta biaya produksinya yang menurut saya jauh "gdubrak" dengan harga jualnya. Mari kita melihat dari sisi tentang bagaimana sebuah kreatifitas dan inovasi, tentang bagaimana sesuatu yang berbeda bisa dihargai dengan nilai tinggi. Selain itu, kalau melihat dari target mereka dan nampak jelas sekali mereka menyasar "niche market", dengan value dari produk yang ditawarkan berupa ke-eksklusif-an. Kenapa? karena menurut info penjual, gaun itu hanya dibuat satu atau dua. Dalam arti, mereka tidak memproduksi massal, make to order.

9 November 2011

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, bahwa semester ini saya sedang mengambil mata kuliah marketing dengan Mr. Satya Wibowo sebagai dosen pengajarnya. Serta alasan bahwa saya kadang seperti mengalami in-konsistensi mengenai Segmenting, targeting dan positioning. Maka, saya meminta dosen saya tersebut untuk mengoreksi ulasan saya di atas. Berikut koreksi yang beliau berikan pada saya melalui emailnya (dengan edit seperlunya),
Ada beberapa input yang dapat dijadikan perhatian. Opinion leadership pada artikel tersebut tidak tepat, karena apabila anda datang ke toko tersebut, beserta seseorang yg anda kenal, yang selama ini anda anggap sebagai orang yang mengerti tentang dunia fashion atau penampilannya fashionable, kemudian bisa diandalkan untuk memberikan advise mengenai pakaian, maka dia adalah opinion leader. Atau di toko tersebut anda bertemu seseorang yang terkenal dan anda percaya bahwa dia ahli untuk masalah fashion.
Mengenai target, target adalah segmen yang diambil dari segmentasi. Pada bagian segmentasi dapat ditambahkan muslim, middle and middle up. Maka target marketnya lebih spesifik lagi muslimah yang memperhatikan penampilan, middle up, sebaiknya usia dibuat lebih spesifik disesuaikan dengan gaun tersebut, misalnya 25 -35. 
Untuk harga jual agar dipertimbangkan / dibahas juga; ongkos buat, ongkos distribusi dan added value karena Design dan Brand.
Maka, segmenting  dari gaun tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Gender : Female
  2. Age : 17 tahun - 55 tahun
  3. Occupation : career women, student, housewife
  4. Salary : > 3.000.000 IDR
  5. Social state : Middle, middle up
  6. Education : start from senior high school
  7. Living area : city, urban
  8. For : muslim
Sedangkan target mereka adalah wanita yang usianya 25 tahun - 40 tahun, muslimah yang mementingkan penampilan,  dengan main target female working or not working from middle up class. Secondary target is student from middle up family with income > Rp. 3.000.000.

------------------------------------------------------END-------------------------------------------------
Demikian ulasan mengenai Segmenting, Targeting, positioning serta Leadership Opinion. Semoga bisa bermanfaat 

Sunday, November 6, 2011

Idul adha, dimanche 3 novembre 2011

pantas atau tidak, hari yang cerah. Sungguh hari yang indah, yang luar biasa, diwarnai dengan cerita yang luar biasa pula.

dimanche 3 novembre atau minggu di 3 november 2011.

Idul adha, untuk kedua kalinya merayakan idul adha di negeri orang, yang sebenarnya cuma berjarak beberapa ribu kilometer saja dari rumah tinggal kedua orang tua saya. Atau 12 jam bila ditempuh dengan jalur darat, dan kurang lebih 1 jam via udara.

Sholat ied, saya tidak tahu menahu kalau sholat ied di sini, taman sari, plesiran, bandung. Dimulai pkl 6.30 pagi dan tidak tahu juga kalau ternyata, tempat sholat pun bisa berbeda antara sholat ied fitri dengan ied adha setiap tahunnya. Jadi, dengan mukena putih pemberian ibu angkat dari almarhum Dyan Isworo, yang tidak lagi putih, karena terkena luntur selendang merahku, sebagai akibat dari kecerobohanku.

Berjalan tergesa-gesa bersama ibu kost, nenek lebih tepatnya. Menghindari jalan yang tergenang, becek, berwarna kecokelatan. Melalui gang-gang sempit antara bangun satu dengan bangunan yang lainnya. Dan sampailah di tempat sholat ied berjamaah.

Sendal tabur di sana dan di sini, berserakan di samping dan di belakang masjid. Pikir saya saat itu "ini masjid?" yang benar saja, tidak lebih besar dari rumah ibu kost, nenek lebih tepatnya. Terdiri dari dua lantai, lantai bawah diisi oleh jemaah lelaki dan lantai atas diisi jemaah wanita. Bersempal-sempalan, berjejal, kalau dihitung, masjid itu mungkin hanya menampung sekitar 50 sampai 70 orang, atau bahkan kurang.

Saya terlambat dan saya belum pernah terlambat sholat ied. Maka, dalam rasa tawakal saya serahkan pada Allah apakah ied saya yang di-masbuk diterima oleh Nya atau tidak.

Ied selesai, tak sempat mendengarkan khotbah sampai selesai, pikir lebih baik saya dengarkan dari kamar kostan saya saja. Terus terang, saya segera beranjak pergi karena tidak merasa nyaman dengan masjid yang saya jadikan tempat sholat itu. Sajadahnya kaku, mengeras karena debu yang melekat, dan entah kapan terakhir kali pengurus masjid mencuci sajadah yang ada di masjid itu. 

Tempat yang sempit, bahkan ketika saya sholat pun, terpaksa memiringkan tubuh saya ketika harus ruku', "Oh Tuhan, benar-benar"

saya segera pulang, sembari mengingat-ingat dari arah mana saya datang. Karena banyak sekali gang-gang kecil yang belum pernah saya lalui dan baru kali ini saya temui. Bertanya ke sana dan ke mari, saya pun berhasil keluar dari jalan tikus yang sempat membuat saya bingung untuk beberapa saat.

"Nenek gak sholat" begitu todong saya
"Habis, nenek cuma bawa bagian bawah mukena, yang atasnya enggak"
sembari menunjukkan dua buah bawahan mukena yang terselip di dalam sajadah miliknya.

saya pun  tertawa

Pelajaran hari ini

  1. dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Artinya, gak lantas karena sholat ied di daerah asal kamu mulai pukul 7 lantas menyamaratakan dengan daerah tempat kamu merantau, itu salah besar.
  2. kalau gak tau, ya tanya, supaya gak telat seperti saya sholat ied nya
  3. pastikan di dalam gulungan sajadah mu itu "mukena lengkap bagian yang atas dan bawahnya" supaya gak seperti nenek hahahha. Kasihan nenek, sudah jauh-jauh datang, mukenanya salah pula.
  4. Bangun pagi, langsung mandi. Jangan seperti saya, sudah tau mau sholat ied, pakai acara "menggeliat ke sana ke mari seperti kucing. Padahal gak tau, tempat sholatnya dimana.

Tadinya, saya begitu percaya diri bahwa sholat ied dilaksanakan di masjid dekat saya tinggal, hanya beberapa meter dari rumah nenek. Tapi ternyata, ya seperti yang saya ceritakan di atas, saya salah.

Anyway ini idul adha, semoga Allah menerima ibadah kita semua


Sunday, October 30, 2011

Time to say goodbye, denting penggorengan

Conte partiro

Hey, titik-titik air hujan sisa hujan deras sore ini, masih sedia menemani aku, saya berkutat dengan lagu-lagu melankolis yang luar biasa romantis *tertawa.

Menggoyang-goyangkan kepala, "shaking my head", seolah-olah hidup itu begitu indah. Oh hey, bukan seolah-olah tetapi hidup memang indah.

Conte partiro sarah brightman berkata "time to say good bye", rekannya yang lain berkata "somewhere over the rainbow" sepertinya hidup ini semakin menjadi indah dengan semua naik dan turunnya, dengan semua yang datang dan perginya.

Hari ini, hujan membasahi, aku masih berkutat dengan suara denting penggorengan dengan pasangan setianya -sutil-. Masih berputar-putar menari dengan titik-titik hujan yang berjatuhan, tepat di atas atap kamar kost-kostan yang sempit, seiprit tapi menarik, sungguh sesuatu yang indah yang kehidupan berikan padaku. Hey maksudku Sang Pemberi Kehidupan.

"Friend shaking hand, singing -how do you do",

Tuesday, October 25, 2011

Bulan, terangi malam

Hujan rintik membasahi bumi parahiyangan ini. Dingin, menjadi semakin dingin. Malam yang gelap, lembab, menemukan diri kembali bersendiri, menyepi bersama bayang-bayang diri, membayangi setiap kali jejak kaki melangkah mantap di bumi Allah yang indah ini.

Sejauh batas mata memandang, yang nampak hanya keindahan. Keindahan dari sudut pandang keikhlasan tentang keniscayaan. Keindahan dari sudut pandang air mata dan penyesalan dari setiap hati sanubari anak manusia yang masih bernafas di muka bumi ini. Ada yang datang ada pula yang pergi.


Ini sebuah guratan-guratan kisah tentang kehidupan. Kehidupan aku, aku yang juga sama manusianya dengan kamu. Aku yang dari sudut pandang mereka yang merasa berada di bawahku, adalah manusia yang lebih. Dan menjadi manusia biasa ketika dilihat dari sudut pandang manusia-manusia luar biasa yang berada di luar sana. Bisa jadi, kamu masuk di dalamnya, manusia luar biasa yang jauh luar biasanya dari aku.

Cintai aku Tuhan ku
Temani Aku
tapi, masih begitu beraninya aku meminta hal seperti itu kepada Mu

Ini sebuah surat cinta
surat cinta itu aku bentuk sedemikian rupa sehingga
aku perturutkan ia bersama tiupan angin sore hari
terbanglah ia melanglang buana
membumbung di angkasa
semoga ia dapat menggapai Mu wahai Tuhan ku

Aku sendiri
Ya, manusia lain berpikir sudah berdua 
tetapi, aku sendiri

Bila aku tak dapat mendengar suara manusia yang lainnya, maka aku akan hadirkan suara-suara itu di sini, di dalam hati, di dalam alam pikiran ini. Kalau aku tak dapat melihat wajahmu, manusia itu, maka aku hadirkan wajah-wajah sejuk, teduh itu di dalam hidupku, hari-hariku.


Menginginkan kedamaian sampai akhir nanti, di sinilah aku kini, berpijak di bumi ini. Seperempat abad usiaku, banyak naik turun yang aku lalui. Tidak mengatakan bahwa jalan hidupku adalah lebih menarik daripada manusia yang lainnya. Hanya saja, tiupan angin, lambaian daun-daun hijau di sore hari, dan keterbatasan serta kesendirian membuat aku menjadi manusia yang tumbuh dengan daya imajinasi. Bayangan tentang bahwa hidup itu, bahwa nikmat Nya begitu menjadi luar biasa indahnya.

Sebagian dari kamu yang merasa kecewa padaku, beberapa dari kamu mungkin membenci aku. Ada dari kamu mungkin ingin meludahi wajahku, atau mungkin melemparkan kotoran itu tepat di atas wajahku, kepalaku. Silahkan, aku mengizinkan, tak akan ada beda, semua bau, semua rasa adalah alam pikiran yang mengendalikannya. Dan aku, di sini tetap lah ingin menjadi manusia yang berbahagia. Menjadi manusia yang berdiri di bawah terpaan sinar rembulan. Sembari menengadahkan kepala, tersenyum senang, senyum tentang kebahagiaan. Senyum yang ada karena tak dapat mengungkapkan rasa bahagia tentang menjadi hamba Nya.

Kamu merasa bosan, merasakan kekesalan, merasakan kekecewaan yang mendalam. Oh manusia di luar sana, kamu tidak sendirian. Lihatlah dunia dari sudut yang berbeda, sakitku tidak menjadi keterbatasan bagi ruang gerak tubuhku, akal dan pikiranku. Hidup manusia yang cukup singkat membuat aku menjadi tersenyum mengetahui bahwa betapa aku beruntung, betapa aku harus bersyukur berada di bumi ini.

Dan, kalau aku tidak bisa menemukan kamu, akan aku temukan diriku
kalau aku tak dapat mendengar suaramu
akan kembali aku perdengarkan, putarkan harmoni kehidupan itu di telingaku
kalau aku tak dapat melihatmu
akan aku ajak kedua mataku berkeliling dunia dengan imajinasiku
akan aku ajak mereka untuk memejamkan mata, menemukan kembali duniaku

aku bahagia
kamu pun harus begitu, siapapun kamu
bahagia dengan caramu sendiri

karena hidup ini hanya satu kali
karena hari tidak akan manunggumu untuk berganti
karena waktu tidak akan manantimu untuk berlari

Sunday, October 16, 2011

short conversation with Cred the lizard

"I do hate promises, when someone said that -yes i can- but definitely he or she can not. This is human being and i don't know why people in Indonesia can simply say yes without thinking about the concequences"

"Maybe you are right" suddenly I heard a voice whisper in my ear

I tried to look into the left and right, no one in this room. Nor is there the moon which is sometime she stay right in front of my window. Nor is there the leaves of the trees that sometimes looked at me, even just to say hello, right in front of my window.

"Ah, the sound was just part of my imagination" I thought so

I keep make my self busy with what i am thinking about. About why do people so often promised, but difficult or indeed forget to keep. Even forget to say that that promise which they just said sometime ago, is only strands of spells that they used like a decoy to attract other humans.

"I do not understand"

"Yes indeed, all of you such a man and as well as you. Humans are not much different in terms of their basic character"

The voice came back, I'm turning my head back, gaze as far as the eye could see. But still i see nothing. Quite strange, because the moon not being with me this time and she is usually talk with me. So from where that voice come?

Thursday, October 13, 2011

Heart this is hard to be hurt

Malam, titik-titik hujan itu menemani kejatuhanku dari dekat, dan mereka semakin dirasa dekat dengan hati, kepala dan alam pikiranku.

Malam ini, pkl 23:13 hujan rintik-rintik membuat basah tanah yang belum lagi kering wahai bumi. Apakah kabarmu hari ini? senang kiranya, karena hujan kembali datang menemanimu, tanpa kompromi, tanpa kesepakatan antara bumi dan langit akan hujan rintik-rintik.

Aku sedang sedih wahai bulan, datanglah kepada ku, temani aku, temani di sini di dalam sini, di salah satu sudut di ruang hati ini. Dia sedang terluka wahai bulan, aku mohon palingkan wajahmu sebentar saja, dengarkan aku bercerita, tanpa perlu membuat 'kesepakatan' antara aku dan kamu, tentang kapan, dimana dan berapa lama tentang cerita yang ingin aku sampaikan.

Bulan menggeliat dalam pekatnya malam, bergerak perlahan, ia berkata "ada apa manusia?" begitu dia menyapa. "Ada apa gerangan, hingga basahlah pipi mu akan titik-titik air mata". begitu dia menambahkan.

"Temani aku, temani aku menangis, kali ini, saat ini, malam ini"
"Sampai pagi menjelang, karena tak dapat tidur, tak dapat lelap raga ini, sulit untuk menutup mata ini"
"Ada apa gerangan?" rembulan bertanya
"kata kesepakatan itu mengusik hatiku, setiap bait kata terasa menghujam akibat dari rasa egoisku"
Bulan menghela nafas panjang, berat, terasa amat berat, hembusan nafasnya mengiringi hembusan angin malam yang bertiup, menyibakkan tirai jendela kamarku. Kamar yang kecil, sempit, seadanya, karena memang aku orang yang tidak punya.

"Aku bukanlah tempat yang tepat untuk keluh kesahmu"
"Aku belum cukup bijak untuk kembali menjadi pendengar setiamu"

Aku menangis tersedu-sedu, rasa sakit itu semakin pilu. Aku terdiam, termangu, begitu menyadari aku hanya seorang diri, kali ini, saat ini. Mungkin memang benar, aku lebih pantas dan baik untuk menjadi sendiri, menjadi pribadi yang berdiri di atas kedua kaki ini.

"Datanglah kepada Nya, Yang Menciptakan kamu, Yang Mengerti akan isi hatimu" begitu rembulan berkata, sembari tersenyum lembut kepadaku.

Tersedu-sedan aku menangis kencang, teriakan hatiku membuat seluruh syaraf yang berada di tubuhku mengejang.

"Aku bodoh wahai bulan"
"Mengadu pada Nya? aku tidak punya cukup keberanian untuk itu"
"Apa yang harus aku katakan? tentang hidupku? mana bagian yang menarik dari hidupku? selain timbunan-timbunan kata-kata palsu"
"Mana lagi bagian dari hidupku yang bisa dijadikan catatan putih dari perjalananku"

Aku berteriak "Aaaaaaaaaaaaaaaaargggghhhh, Tuhan ku, tolong aku. Kembali kan aku ke jalanmu. Biar susaaaaaah, biar payaaaaahh, biar penuh dengan darahhhhh. Kembalikan akuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu"

Wahai bulan, tolonglah aku, sampaikan kepada Tuhanku, Allah Yang Maha segala-galanya itu. Betapa aku merindu, betapa aku ingin merasakan hembusan angin surga itu. Betapa aku mengharapkan cahaya itu kembali menyinari jalan hidupku.

Bahagia itu membuat aku lupa akan betapa bodohnya aku
Uraian tawa itu membuat aku terlena tentang betapa sebenarnya aku sudah termakan tipu daya dunia

"Daging yang tumbuh di dalam tubuhku, yang terkadang mengusik tubuh ringkihku, tidak juga membuat aku bangun dan tersadar akan semua salah dan khilafku. Aku bukan manusia yang pesimis" begitu wanita kurus, tak menarik itu berkata pada dirinya. Dan wanita kurus tak menarik itu adalah aku.

Pergi kemanakah dia yang dulu,  berlari kemanakah kamu kini, wahai manusia yang berusia 25 tahun. Aku tidak tahu, aku tidak tahu, dan aku tidak tahu menahu. Sakit hanya sakit yang aku rasakan, hati berkata "Aku sakit wahai sefta marisa, aku sakit. Dan kamu sudah menyakitiku dengan semua jalan hidupmu". 

Aku terduduk, lemas, lututku tak mampu berdiri. Aku tidak lagi mengenali aku yang kini, tidak lagi jelas tentang apa dan mengapa aku bisa seperti ini. Jalan itu menjadi gelap, malam ini semakin pekat di rasa, lembah itu semakin dirasa lembab. Aku terjerembab, terdiam, terduduk, terjerembab, tak ada pelita, tak ada seorang anak manusia pun yang datang dan menghampiri kemudian tertarik untuk membawaku pergi.

Hanya kesalahan demi kesalahan yang aku rasakan
Hanya tumpukan noda yang dirasa semakin membuat hitam catatan yang aku punya
Bahkan air mata pun enggan untuk datang menemani saat-saat kejatuhanku.

Seperti porak-poranda benteng pertahananku,mengais-ngais dengan jari-jemariku. Hingga tidak terasa kucuran darah segar mulai keluar, menyeruak dari sela-sela kuku jari jemariku. Mengais-ngais rahmat yang Dia tebarkan bagi seluruh umat manusia, mencari-cari kemanakah aku bisa menemukan belas kasih dan ampunan itu. Ampunan bagi masa lalu ku yang merugi itu, belas kasih bagi kekhilafanku yang sungguh memalukan itu. "Aku terjerembab wahai bulan" aku pun menangis tersedu-sedan.

Mengulurkan tangan, sembari berteriak "tolong aku, siapapun yang berada di sana tolonglah aku. Tanpa perlu ada kesepakatan itu. Aku mohon selamatkan aku, karena aku tidak tahu sampai dimana batas usiaku". Tangis ku semakin memecah kesunyian setiap sudut ruang di dalam hatiku. Rasa bersalah, malu, amarah, kecewa atas ke-aku-an ku, membuncah, menyeruak, menusuk setiap sisi-sisi kemanusiaanku, aku kembali menangis pecah karena hal itu.