Aku berlari mengejar lelaki paruh baya itu, lalu terhenti. Menanti, temanku yang satu ini sedang sibuk dengan urusannya dengan petugas dan mesin photo copy-nya.
Mari hentikan menggunakan kata aku yang semakin lama semakin mengganggu. Saya kotak sampah, ya saya kotak sampak. Wanita yang usianya lebih tua dari saya, yang saya panggil dia dengan sebutan kehormatan ‘mbak’ itu, mengajak saya untuk menginap di kamarnya, di kostan-kostan tempat dimana dia tinggal selama beberapa tahun belakangan. Untuk apa? Untuk curhat tentunya. Hhhh maka saya katakan padanya, saya ini sudah seperti kotak sampah rasanya. Di sini, di sana, di tempat liqo sekali pun, sama saja, menutup mulut rapat-rapat untuk mereka-mereka yang datang, diam-diam mendekat lalu berkata ‘cep mbak mau cerita, mau curhat’, ya selalu seperti itu pada akhirnya.
Dan topik permasalahannya adalah tentang jodoh, selalu, selalu itu. Atau tentang masalah dalam keluarganya, hahhhhhhh saya introvert, dan terkadang keadaan membuat saya semakin menjadi introvert sejati.
Malam ini, menemani ‘si mbak’ makan malam, ya karena saya juga pada kenyataannya kelaparan. Berhenti sejenak untuk mengambil hasil phoo copy-an dan saya hanya menunggu sembari duduk dalam diam ditemani angin malam yang bertiup kencang.
Tak lama, lelaki paruh baya itu berlalu di hadapan saya. Mata ini rasa tak ingin melepaskan pandangan dari melihatnya. Ia lelaki paruh baya yang unik menurut saya. Perjumpaan yang pertama kali dengannya ketika saya sedang duduk bersama ibu penjual roti bakar. Lelaki paruh baya itu sibuk mencari-cari barang-barang plastik yang bisa ia jual, yang mungkin bisa ia jadikan alat tukar untuk mencari makan.
Ada sedikit rasa iba, melihat postur tubuhnya yang nampak sudah renta. Tetapi, malam hari dengan cuaca yang tak menentu, ia keluar menarik gerobaknya, padahal beberapa hari belakangan ini angin bertiup sangat kencang, dan saya tahu angin malam tidak baik untuk kesehatan.
Berlagak peduli, saya menghampirinya lalu berkata ‘bapak mau itu, kalau mau nanti saya pesankan’ begitu ujar saya padanya. Normalnya saya pikir ia akan berkata ‘iya nak, terima kasih’. Tapi ternyata ‘terima kasih nak, tapi nggak usah, bapak sudah kenyang’ begitu katanya. Lalu mulailah saya memaksa dengan berkata ‘ndak apa pak, buat bekal’, tetapi kembali dia berkata, bersikukuh dengan keputusannya ‘nggak usah nak, terima kasih, tapi bapak sudah kenyang, untuk kamu saja’. Lelaki paruh baya itu pun pergi meninggalkan, lambat laun semakin lama semakin hilang dari pandangan.
Berpacu dengan waktu, lelaki paruh baya itu sudah beranjak pergi. Gerak saya terlalu lamban, dan ketika kamera handphone sudah siap untuk dipergunakan, lelaki paruh baya itu sudah hilang dari pandangan. Ingin mengejarnya, tetapi si mbak yang bersama saya, belum juga selesai dengan aktifitas photocopy-nya, jadilah saya menunggu dalam rasa penasaran dan tanda tanya yang besar tentang kemana si lelaki paruh baya berada.
Photo copy selesai, bergegas saya beranjak tanpa mempedulikan si mbak yang setengah berlari untuk mengimbangi cara saya berjalan. Kamera handphone sudah saya posisikan standby, dengan modus malam berharap agar hasil gambar yang saya dapatkan tidak mengecewakan.
Angin malam semakin kencang bertiup, kiri kanan jalan semakin ramai saja menurut penglihatan dan pengamatan saya. Manusia-manusia lesehan sudah bertebaran, ada yang makan jagung, ada yang melahap nasi goreng, ada pula yang membeli durian yang besarnya tidak seberapa tetapi sudah pasti mahal dalam harga karena ini belum tiba musimnya. Lelaki paruh baya itu tidak juga saya temukan, bahkan dengan setengah berlari sekalipun, lelaki paruh baya itu sudah luput dari pandangan.
Ia lelaki paruh baya, mungkin menurut sebagian orang lelaki paruh baya itu tidak jauh berbeda dengan lelaki paruh baya lainnya, tapi tidak menurut saya. Ia berbeda, jelas-jelas berbeda, sangat jelas berbeda, dan insya Allah dia memang berbeda.
Mari berkisah dalam gelapnya malam, dalam temaram lampu penerangan. Bulan sabit, tak begitu nampak jelas kilau cahayanya di angkasa, namun cukup terang untuk menerangi bintang-bintang yang ada di sekitarnya.“cep, nginep aja yuk di tempat mbak”, tidak, aku menolaknya serta merta. Pertama karena tidak begitu suka dengan yang namanya menginap di tempat orang, kedua karena memang banyak pekerjaan yang harus aku lakukan, dan itu akan lebih nyaman bila melakukannya di kamar tempat aku tinggal selama beberapa tahun terakhir.
Mari hentikan menggunakan kata aku yang semakin lama semakin mengganggu. Saya kotak sampah, ya saya kotak sampak. Wanita yang usianya lebih tua dari saya, yang saya panggil dia dengan sebutan kehormatan ‘mbak’ itu, mengajak saya untuk menginap di kamarnya, di kostan-kostan tempat dimana dia tinggal selama beberapa tahun belakangan. Untuk apa? Untuk curhat tentunya. Hhhh maka saya katakan padanya, saya ini sudah seperti kotak sampah rasanya. Di sini, di sana, di tempat liqo sekali pun, sama saja, menutup mulut rapat-rapat untuk mereka-mereka yang datang, diam-diam mendekat lalu berkata ‘cep mbak mau cerita, mau curhat’, ya selalu seperti itu pada akhirnya.
Dan topik permasalahannya adalah tentang jodoh, selalu, selalu itu. Atau tentang masalah dalam keluarganya, hahhhhhhh saya introvert, dan terkadang keadaan membuat saya semakin menjadi introvert sejati.
Malam ini, menemani ‘si mbak’ makan malam, ya karena saya juga pada kenyataannya kelaparan. Berhenti sejenak untuk mengambil hasil phoo copy-an dan saya hanya menunggu sembari duduk dalam diam ditemani angin malam yang bertiup kencang.
Tak lama, lelaki paruh baya itu berlalu di hadapan saya. Mata ini rasa tak ingin melepaskan pandangan dari melihatnya. Ia lelaki paruh baya yang unik menurut saya. Perjumpaan yang pertama kali dengannya ketika saya sedang duduk bersama ibu penjual roti bakar. Lelaki paruh baya itu sibuk mencari-cari barang-barang plastik yang bisa ia jual, yang mungkin bisa ia jadikan alat tukar untuk mencari makan.
Ada sedikit rasa iba, melihat postur tubuhnya yang nampak sudah renta. Tetapi, malam hari dengan cuaca yang tak menentu, ia keluar menarik gerobaknya, padahal beberapa hari belakangan ini angin bertiup sangat kencang, dan saya tahu angin malam tidak baik untuk kesehatan.
Berlagak peduli, saya menghampirinya lalu berkata ‘bapak mau itu, kalau mau nanti saya pesankan’ begitu ujar saya padanya. Normalnya saya pikir ia akan berkata ‘iya nak, terima kasih’. Tapi ternyata ‘terima kasih nak, tapi nggak usah, bapak sudah kenyang’ begitu katanya. Lalu mulailah saya memaksa dengan berkata ‘ndak apa pak, buat bekal’, tetapi kembali dia berkata, bersikukuh dengan keputusannya ‘nggak usah nak, terima kasih, tapi bapak sudah kenyang, untuk kamu saja’. Lelaki paruh baya itu pun pergi meninggalkan, lambat laun semakin lama semakin hilang dari pandangan.
Heran, baru kali ini ada yang menolak, biasanya yang ditawarkan akan berkata ‘iya’ dalam artian menerima. Tapi baru kali ini saya temui, lelaki paruh baya itu menolaknya.Beberapa hari berlalu, lama sudah tak berjumpa dengan lelaki paruh baya itu. Sampai malam ini saya melihatnya, maka serta merta phonecell saya keluarkan, modus malam saya aktifkan. Lelaki paruh baya itu masih tetap dengan aktifitasnya beberapa hari yang lalu, mengais-ngais tempat sampah, mengambil botol-botol plastic yang ada, lalu memasukkannya ke dalam gerobak yang ia bawa.
Berpacu dengan waktu, lelaki paruh baya itu sudah beranjak pergi. Gerak saya terlalu lamban, dan ketika kamera handphone sudah siap untuk dipergunakan, lelaki paruh baya itu sudah hilang dari pandangan. Ingin mengejarnya, tetapi si mbak yang bersama saya, belum juga selesai dengan aktifitas photocopy-nya, jadilah saya menunggu dalam rasa penasaran dan tanda tanya yang besar tentang kemana si lelaki paruh baya berada.
Photo copy selesai, bergegas saya beranjak tanpa mempedulikan si mbak yang setengah berlari untuk mengimbangi cara saya berjalan. Kamera handphone sudah saya posisikan standby, dengan modus malam berharap agar hasil gambar yang saya dapatkan tidak mengecewakan.
Angin malam semakin kencang bertiup, kiri kanan jalan semakin ramai saja menurut penglihatan dan pengamatan saya. Manusia-manusia lesehan sudah bertebaran, ada yang makan jagung, ada yang melahap nasi goreng, ada pula yang membeli durian yang besarnya tidak seberapa tetapi sudah pasti mahal dalam harga karena ini belum tiba musimnya. Lelaki paruh baya itu tidak juga saya temukan, bahkan dengan setengah berlari sekalipun, lelaki paruh baya itu sudah luput dari pandangan.
Ia lelaki paruh baya, mungkin menurut sebagian orang lelaki paruh baya itu tidak jauh berbeda dengan lelaki paruh baya lainnya, tapi tidak menurut saya. Ia berbeda, jelas-jelas berbeda, sangat jelas berbeda, dan insya Allah dia memang berbeda.