Ada saat dimana hidup itu bisa menjadi sesuatu yang sangat melelahkan akal dan pikiran, beberapa manusia memilih untuk meninggalkan kehidupan itu dengan cara perlahan, melalui apa yang namanya, stress, kemudian mengalami gangguan kejiwaan, hingga mengidap apa yang kita sebut dengan penyakit gila. Pada tingkatan terparah, manusia yang merasa tidak lagi mampu menghadapi persoalan di dalam hidupnya, yang merasa tidak mampu menyelesaikan persoalan yang diberikan oleh Sang Maha Pemberi Kehidupan, kemudian dengan serta merta merasa menjaid manusia paling menderita di dunia, hingga akhirnya ia memilih mengakhiri hidupnya dengan cara paksa, “membunuh dirinya”
Pada situasi dan pada manusia yang berbeda, ketidak mampuan menghadapi persoalan tentang kehidupan, tidak hanya berdampak negative pada dirinya pribadi seorang, tetapi kemudian mengikut sertakan orang-orang yang berada di sekitarnya. Hingga ada dari mereka yang memilih mengakhiri hidup salah satu atau bahkan beberapa anggota keluarganya dengan alasan “rasa iba”. Dengan asumsi, bila anggota keluarganya tersebut hidup untuk waktu yang lama, maka pastilah akan menderita. Hal itu timbul sebagai akibat dari rasa khawatir berlebihan akan ketidakmampuan sang ayah tentang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Padahal, setiap manusia memiliki rezekinya tersendiri, setiap makhluk di dunia sudah Allah jamin tentang rezekinya dan segala hal lainnya yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh akal pikiran manusia, termasuk saya.
Masih ingat dengan seorang ibu muda yang berdomisili di bandung jawa barat, yang sedemikian rupa sehingga menghabisi nyawa ketiga anaknya, dengan alasan khawatir dengan masa depan mereka. Bila dilihat dari latar belakang pendidikan, sangatlah tidak mungkin ia mampu memiliki pikiran untuk menghabisi nyawa ketiga putra/I nya. Terlebih lagi bila mengingat tempat di mana suaminya bekerja. Tapi persoalan kehidupan tidak hanya melulu tentang latar belakang pendidikan, bukan juga tentang tempat dimana manusia itu bekerja, menghabiskan waktu setiap harinya. Tetapi lebih kepada sejauh mana ia memahami hakekat kehidupan itu sesungguhnya, sejauh mana ia yakin dan percaya kepada Rabb Yang Maha Menjamin setiap kebutuhan hamba Nya.
Nampaknya, untuk beberapa saat hal itu luput dari pandangan si ibu, dan nampaknya si ibu pun sempat luput dari pengamatan si ayah. Beberapa kasus berakhir sama, berujung pada mengakhiri hidup dengan cara paksa. Ada ibu yang meminum racun bersama anaknya, atau mengikut sertakan anak agar turut terbakar bersama dirinya. Sebagian besar untuk alasan yang sama, yaitu mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Ada yang merasa kesal pada suaminya, hingga membakar diri lalu meninggalkan anaknya seorang diri.
Pria dan wanita tidak jauh berbeda, ada yang menyakiti diri sendiri, ada juga yang menyiksa anggota keluarganya, hingga meletakkan buah hatinya pada lintasan kereta api.
Betapa kejam dunia, begitu beberapa manusia berkata. Tetapi tidak ada yang salah dengan dunia, semua bergantung pada manusianya. Perlu waktu panjang untuk memahami kalimat bahwasannya “dunia itu tempat sementara bagi manusia untuk mengumpulkan apa yang namanya amal ibadah sebagai bekal untuk kehidupan yang sesungguhnya”.
Hidup itu indah, amat sangat indah dengan segala persoalan, permasalahan yang ada di dalamnya. Kesadaran manusia akan kebutuhan mereka pada Tuhan yang menciptakan mereka, menjadi tolak ukur sejauh mana ia akan bertahan menghadapi segala persoalan, permasalahan, ujian yang diberikan padanya.
Semakin tipis tingkat kesadaran, semakin besar kecintaan pada dunia, semakin dalam meletakkan dunia di dalam hatinya, maka akan semakin sulit bagi manusia itu sendiri untuk mencari solusi, jawaban dari persoalan, permasalahan, yang Dia ujikan pada dirinya. Sebagian dari kita, menitik beratkan kebahagian, kesejahteraan, kebesaran, pada kuantitas, pada sebanyak apa kita mampu mengumpulkan, menumpuk harta. Pada sejauh mana kita sanggup memenuhi pundi-pundi harta, setinggi apa tahta yang mampu kita capai dan sehebat apa kita mampu memikat wanita dengan harta dan tahta yang kita punya.
Wajar, pada batas kewajaran karena manusia dibekali dengan nafsu, salah satunya adalah nafsu untuk berkompetisi dengan manusia yang lainnya. Tetapi, segala sesuatu yang berlebihan tidak akan baik pada akhirnya. Ambisi akan dunia yang melampaui batasnya, maka akan menimbulkan kehancuran pada si empunya ambisi pada akhirnya.
Akhir dari sebuah catatan panjang adalah bahwasannya hidup itu indah dengan segala apa yang ada, dengan segala apa yang disertakan di dalamnya. Menerima yang satu, maka haruslah dapat menerima yang lainnya. Menerima indahnya dunia, maka terimalah dunia pada bagian tergelap yang ada di dalamnya. Karena memang seperti itulah dunia sesungguhnya, indah dengan segala apa yang ada di dalamnya.
Hidup itu indah, bisa merasakan hidup itu indah, dan pada akhirnya, hidup itu indah dengan segala apa yang Allah sertakan di dalamnya.