Pages

Friday, March 30, 2012

Anak perempuan itu dan manusia warna-warni

"Angin dingin bertiup, aku kedinginan, meskipun kamu, matahari, sedari tadi mengikuti aku kesana dan kemari"

Aku bercerita tentang seorang anak manusia, seorang perempuan, yang sudah beranjak matang dalam usianya, tetapi masihlah mentah dalam cara berpikirnya.

Anak perempuan itu mematut dirinya di depan kaca, hampir satu jam lamanya. Dia melilitkan kesana-kemari kain penutup kepalanya. senyumnya beberapa waktu yang lalu kecut bukan alang kepalang, rasa kesalnya meradang memenuhi hati dan kepala. Membuatnya berpikir "ihhhh ini jilbab kenapa sih, susahnya" begitu ujarnya pada dirinya sendiri.

Satu jam hampir berlalu, dia selesai dengan kegiatan merias diri sendiri. Untuk orang lain, mungkin dia tidaklah cantik, tidak begitu menarik. Tetapi untuk dirinya sendiri, untuk ibunya untuk ayahnya, dia tetaplah seorang anak perempuan yang akan selalu cantik di mata kedua orang tuanya.

Angin dingin bertiup, kamar yang berdindingkan triplek, beratapkan asbes itu semakin membuat panas kepalanya. Semakin membuatnya ingin segera beranjak pergi dari tempat dimana saat itu dia berdiri, mematut diri, di depan kaca.

"Aku cukup cantik" begitu ujarnya dengan penuh percaya diri.

Anak gadis ayahnya itu segera membereskan tas ranselnya, memasukkan beberapa perlengkapan menulisnya. Satu unit netbook beserta kabel powernya, tidak lupa satu kotak jus instan dia bawa, untuk pelepas dahaganya.

Hari sudah beranjak sore, hampir pukul 14.00 siang. Tujuan pertama adalah salah satu bank negara yang tak berada jauh dari tempat dia tinggal, kamar kosnya. Dengan langkah kaki yang penuh percaya diri dia menapakkan kaki di bumi "hap hap hap" anak perempuan ayahnya itu menantang matahari. 

Senyumnya terkembang, dia lupakan semua kesakitan, dia lupakan semua kesalahan, dia lupakan semua yang ingin dia lupakan, dia anggap tidak pernah ada di dalam hidupnya, bahkan meskipun untuk satu detik saja. 

Sesekali ia menghela nafas panjang, entah apa yang ia pikirkan, tetapi sepertinya alam pikiran bawah sadarnya sedang membebankan sesuatu kepada hatinya.

Lamunannya akan indahnya bercengkrama dengan aku Sang matahari, terhenti. Ketika ia sampai di depan sebuah gedung yang bertuliskan Bank Negara Indonesia. Seorang pria berusia hampir 30 tahun membukakan pintu sembari berkata "selamat siang, ada yang bisa saya bantu" begitu ujar lelaki berpostur tegap itu.

"saya mau print buku tabungan" begitu ujar anak perempuan ayahnya itu

Dengan ramah, lelaki yang berprofesi sebagai satpam itu memandu anak perempuan ayahnya itu untuk mengambil nomor antrian, kemudian berkata "mbak ini nomor antriannya, nanti langsung ke teller saja" begitu katanya

Anak perempuan ayahnya itu tersenyum, senyum yang manis untuk seseorang yang sudah mendedikasikan diri untuk pekerjaaannya dengan sepenuh hati, sembari mengucapkan "terima kasih pak"

Tak lama, "nomor A 196 silahkan ke teller ........."
anak perempuan itu segera menyelesaikan urusannya, mencetak bukti transfer yang dibutuhkan oleh ibu dan kakaknya, yang saat ini sedang berada jauh di desa.

"Ada lagi yang bisa saya bantu mbak" begitu ujar teller cantik itu
"Sudah, sudah mbak, terima kasih ya" ujar anak perempuan itu kepada orang yang sudah melayaninya dengan senyuman.

Dia beranjak pergi, lalu duduk sejenak, menghilangkan panas, meredakan produksi keringat yang memenuhi punggungnya, yang mengalir deras karena sinar matahari yang tak henti dari pagi hari hingga siang ini. Anak perempuan itu duduk, sembari melayangkan pandangan matanya ke sana ke mari, kemudian bertumpu pada layar televisi. Melihat apa yang sedang dilakukan semua Anggota Dewan yang terhormat di Gedung DPR hari ini, siang ini, saat ini. 

Pandangan matanya tertumpu, terdiam, kemudian tiba-tiba nanar, melihat lautan manusia yang berbaju merah, kuning, ungu, hijau, dengan atribut-atribut bendera lengkap di tangan mereka. Anak perempuan itu hanya terdiam, pikirannya silang lintang, hatinya tidak tentu, tidak tenang. Pemandangan seperti itu mengingatkannya pada kejadian di tahun 1998 lalu.

Pikirannya kembali kepada khutbah jumat siang itu "...............mahasiswa merusak fasilitas umum, ini, itu, membakar..........., yang dibakar, yangn dirusak itu dibangun, dibeli dengan uang siapa? uang rakyat? uang saya juga" begitu ujar khotib jumat siang itu

Anak perempuan itu tersenyum kecut, dia memilih berhenti mengarahkan pandangan ke layar televisi berukuran 24" itu. Dia beranjak pergi, kembali diiringi senyuman seorang petugas keamanan bank "terima kasih mbak" dan seperti biasa, dia membalas dengan senyuman yang terbaik yang dapat dia berikan.

Ia melangkahkan kakinya, berat, sembari pikirannya melayang kemana-mana, tentang kenapa, mengapa. Tentang kenapa bangsa ini begini, tentang kenapa mahasiswa yang berbaju warna-warni itu seperti itu. Tentang kenapa mereka harus merusak, tentang kenapa orang-orang yang duduk di kursi nyaman itu berlaku seperti itu. Ia berpikir tentang perkataan khotib jumat siang itu, tentang wakil rakyat yang benar-benar mewakili rakyat
"....., mewakili rakyat untuk tinggal di rumah mewah, mewakili rakyat untuk naik mobil mewah, mewakili rakyat untuk jalan-jalan keluar negeri.........." begitu sindiran sinis khutbah jumat siang itu.
tentang "........, mengantarkan rakyat indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, hanya sebatas gerbang, pintu gerbang, belumlah sampai ke-kemerdekaan yang sebenarnya, karena dari dulu kita hanya sampai di depan pintu gerbang" begitu seloroh khotib sholat jumat siang itu.

Anak perempuan itu menghentikan langkahnya

"Kita berhenti di sini, angin. Kita akan bersama-sama merenung di sini matahari" begitu ujarnya pada ku dan angin siang ini.

Kami temani dia duduk, aku tetap bersinar, angin tetap bertiup agar dia tidak begitu merasakan panasnya pancaran sinarku siang ini.

Ketika suara azan berkumandang, ketika iqamah mengajak para jamaah yang berada di masjid Salman untuk berdiri, menegakkan sholat, anak perempuan itu khusyuk masyuk dengan netbooknya. Dia menceritakan tentang pengalamannya siang ini, menceritakan tentang kegundahan yang ada di dalam hatinya, mengabaikan keberadaan aku dan angin yang menemaninya. 

Katanya

"temani aku, duduk di sini" begitu ujarnya sembari tersenyum

Dan seperti biasa, aku dan angin tak dapat menolak setiap permintaannya.

Jari jemarinya menari ke sana kemari, bertumbukan dengan tuts-tutus keyboard netbooknya yang berwarna putih. Tidak ia pedulikan tiupan angin yang dengan jahilnya membuat daun-daun berterbangan disekelilingnya. Dia tetap dengan kesibukannya, melupakan apa yang terjadi di sekitarnya. Dia terhenti sejenak ketika seorang lelaki yang usianya tak jauh berbeda dengan dia menghampirinya, kemudian berkata 
"Assalammu'alaikum teh, bisa minta uang 2000" begitu ujar lelaki tampan itu
Anak perempuan itu hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala, kemudian lelaki tampan itu beranjak pergi sembari berbicara pada diri sendiri. Lelaki tampan itu sudah kehilangan kesadarannya akan dirinya sendiri, lelaki itu sudah tidak normal lagi, ia sudah gila, sebenarnya gila.

"Kalian lihat dia, dia gila" begitu ujar anak perempuan itu padaku
"Kemana angin" begitu dia bertanya
"Aku di sini" ujar angin sembari bertiup ke sana kemari. Sibuk dengan kesenangannya menerbangkan dedaunan yang sudah tua, menguning, kemudian jatuh ke tanah, lalu kembali terbang kesana dan kemari. Terkadang membuat kesal petugas taman yang membersihkan taman ini"

Anak perempuan itu tersenyum, melihat ulah temannya yang sedang asyik dengan kesibukan barunya.

"Aihat lelaki tadi wahai matahari?" begitu dia bertanya padaku
"Iya, jelas sekali" begitu jawabnya
Sembari mendongakkan kepalanya, melihat ke arahku. Dia memejamkan matanya, kemudian tersenyum, sembari berkata "aku sedih melihatnya. Aku tersenyum dibalik kegilaannya, aku menghela nafas menyadari seperti apa yang ada di dalam hati dan pikirannya saat ini"
aku terdiam, mendengarkan anak perempuan itu bercerita.

Anak perempuan itu kembali terdiam, kembali sibuk dengan jari-jemarinya yang berlari kesana dan kemari. Aku tinggalkan dia sendiri, sibuk dengan kesenangannya bercerita di dalam dunianya. 

Tak lama, banyak manusia menghampirinya, manusia yang berpakaian merah, kuning, hijau, ungu, semua warna lengkap dengan bendera di tangan mereka. Persis sama seperti apa yang anak perempuan itu lihat di televisi siang ini. 

Aku memanggil angin dari kejauhan, bergegas menghampiri anak perempuan itu yang tak menyadari apa yang akan dia hadapi, apa yang akan dia alami siang ini.

"Aku gak suka lihat kekerasan, lihat dari televisi aja bisa bikin nangis. Jadi inget tragedi tahun 1998" begitu ujarnya padaku ketika bercerita tentang apa yang dilihatnya dari televisi yang berukuran kira-kira 24" siang ini.

Aku terlambat, orang-orang itu sudah meringsek masuk ke dalam taman yang berada di belakang masjid salman itu. Semakin lama semakin mendekat ke arah anak perempuan itu. Aku hanya terdiam, memejamkan mata tak ingin melihat apa yang akan terjadi pada anak perempuan ayahnya itu.

Aku melewatkan kejadian dimana anak perempuan itu terbelalak kedua matanya, duduk diam tak beranjak dari tempat awal dia berada. Ketika orang-orang yang berpakaian warna-warni itu, yang berteriak-teriak "tolak kenaikan harga BBM" itu, berkejar-kejaran dengan aparat keamanan, yang secara sadar atau pun tidak tiba-tiba mengambil netbook putih anak perempuan itu. Kemudian terhempas ke tanah, terinjak, patah menjadi dua. Dan ketika tas anak perempuan itu melayang, terlempar beberapa meter dari tempat dia berada. Anak perempuan itu masih terdiam, terbengong-bengong dengan apa yang terjadi pada dirinya, termenung melihat netbooknya satu-satunya terbagi menjadi dua.

Tak sampai beberapa menit, kerumunan itu sudah menjauh, terbawa angin, pergi ke tempat yang lain, masih berkejar-kejaran dengan aparat kepolisian. Taman itu kembali hening, angin tetap bertiup memberikan kesejukan pada anak perempuan itu, agar berkurang sedih di dalam dadanya.

Anak perempuan itu beranjak dari tempat duduknya, aku beranjak mendekatinya, ku isyaratkan pada angin agar tak bertiup terlalu kencang,
"berikan anak perempuan itu kesejukan, supaya tak terlampau sedih hatinya" begitu ujarku pada angin

"Maafkan aku........." begitu ujarku dan belum selesai aku mengemukakan alasan mengapa aku tak dapat membantunya, anak perempuan itu berkata sembali memungut kertas-kertas yang berterbangan, sembari mengambil tas ranselnya yang terlempar, sembari memungut layar netbook beserta keyboardnya yang sudah terpisah.
"itulah kenapa aku tidak suka kekerasan"
"itu kenapa sedari tadi rasanya aku ingin berkata pada manusia yang berpakaian warna-warni yang berada di dalam televisi itu untuk pulang" anak perempuan itu berbicara dengan ekspresinya yang datar.

"Seperti inilah negeriku" begitu ujarnya sembari berusaha menyatukan layar dengan keyboard netbooknya

Ia memasukkan kedua benda yang sudah terpisah itu ke dalam tas ranselnya, lalu
"mari kita pulang" begitu ujarnya padaku
aku mengajak angin beranjak pergi, memaksanya berhenti bermain-main dengan dedaunan yang berguguran.

Anak perempuan itu beranjak pergi meninggalkan taman yang hening itu, meninggalkan burung-burung yang berkicau bebas di taman itu. 

Dia melangkahkan kaki, derap langkahnya "hap hap hap" sembari tersenyum kepada ku dan angin di sore itu.


Thursday, March 1, 2012

"Selamat malam bulan" begitu katanya

menghela nafas panjang

seorang wanita yang duduk mengamati kelap-kelip layar netbooknya yang menemani sekaligus menebarkan radiasi dalam skala kecil dari hari ke hari.

kembali menghela nafas panjang, seperti orang yang sedang mengalami kesusahan.

wanita itu atau anak perempuan ini, tinggal di dalam sebuah kamar berukuran 4 x 4 meter. Dengan berbalut dinding tipis yang ketika panas maka dia akan kepanasan, ketika dingin dia akan menggigil kedinginan.

ketika hujan? maka suara hujan akan begitu nyaring terdengar. seperti sebuah tong kosong yang dilempari dengan batu kerikil. Kecil memang, tetapi dengan intensitas yang tinggi, dapat membuat yang tertidur jadi tidak ingin tidur, meskipun saat itu cuaca sedang mendung mendukung, dan udara saat itu sedang sejuk bertiup.

anak perempuan itu tinggal di sebuah kamar kecil yang lantainya terbuat dari kayu, yang memuai ketika panas, yang menghasilkan bunyi derit "ngikkkk, ngeeeekk" setiap kali dia menapakkan kakinya tepat di bagian lantai yang tidak rata permukaannya. Dan aku sudah katakan, anak perempuan itu tinggal di kamar yang berdinding tipis bukan? yang bahkan bisa mendengar tangis anak lelaki yang berteriak-teriak karena ibunya belum juga menongolkan wajahnya ke kamar mandi, untuk mencuci *maaf pantatnya yang baru saja selesai dari buang hajat.

dan anak perempuan itu bahkan dapat mendengar "curhat" seorang suami kepada istrinya. Dan bahkan anak perempuan itu dapat mendengar suara gadis remaja, kelas 1 SMA yang berteriak-teriak kepada neneknya atau pamannya. Untuk terakhir kalinya, dari dinding kamar yang tipis itu pula, anak perempuan itu dapat mendengar seorang lelaki tua, renta, "abah" begitu anak perempuan itu menyebutnya, membawakan ayat-ayat suci Al Quran, dengan cara yang lama, lambat, berat, tepat setiap habis maghrib dan selepas isya.

"hhhhhh, menyenangkan" begitu ujarnya suatu ketika

anak perempuan itu mengusap-usap matanya. Ia tidak belia, tidak juga tua. Dewasa? dari sisi usia? atau prilakunya? entah lah aku tak tahu. Aku hanya salah satu dari sekian banyak makhluk Tuhan yang diberikan kesempatan untuk berada di dunia. Menerangi dengan bantuan cahaya matahari, karena aku tidak dapat berdiri sendiri. Lalu, siapakah aku? ya, aku tahu, kita tidak sedang bermain "kuis siapa dia" yang dibawakan oleh Aom kusman, yang sudah meninggal beberapa waktu yang lalu.

"flying to the moon" sekarang, kamu sudah mengenal aku?

ya aku bulan, yang nampak jauh dari keindahan, tapi begitu dingin, gelap, lembab, tak mulus begitu kamu mendekat, melihat dengan lekat.

anak perempuan itu menguap, pukul 21.31 malam. Dia masih terjaga, jari-jemarinya menekan tuts keyboard netbooknya. Dia mulai menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya mungkin tidak gatal, sembari menahan mulutnya agar tidak terbuka ketika rasa kantuk melanda.

sesat, beberapa waktu yang lalu, anak perempuan itu menangis tersedu. Anak perempuan itu terkadang ingin seperti manusia yang lainnya, teman-teman sebayanya. Tetapi, dia berada pada garis hidup yang berbeda. Berhentilah tangisnya seketika, dia sibuk membenahi setiap letak barang-barang yang ada di dalam kamar kecilnya.

Sembari sesekali menitikkan air mata, ketika dia mulai teringat dengan ibu dan bapaknya di desa, jauh di sana. Sembari menyeka air matanya, ketika dia teringat pada suatu pagi, melihat seorang lelaki muda, seorang mahasiswa, yang berjalan di depannya, tergesa-gesa, terseok-seok, menahankan sepatu sebelah kirinya, yang sudah lepas alasnya, yang memaksa lelaki muda itu berjalan dengan menggeser kakinya, agar tak semakin terbuka lubang di dasar sepatunya.

anak perempuan itu terus saja menangis, ketika melihat seorang tukang strika, janda, yang memakan 3 bungkus kue sekedar untuk menahan lapar, karena si majikan belum membelikan apa-apa untuk makan siangnya.

dan ketika anak perempuan itu melayangkan pandangan matanya berkeliling ke setiap sudut kamarnya, dia terdiam, menghitung berapa jumlah pakaian yang tergantung, yang terlipat, yang tersimpan di dalam lemarinya, di kamar ini, dan di rumahnya, di desa.

"hhhhhhh" dia menghela nafas panjang
"hhhhhh" kembali menghela nafas panjang

"apa yang kamu pikirkan?" begitu aku bertanya
"aku menghitung berapa banyak yang harus aku pertanggungjawabkan" jawab anak perempuan itu

"tanggung jawab apa? pada siapa?" tanyaku tak mengerti
"semua yang aku punya"
"pertanggungan jawab pada Dia, Allah azza wajalla" begitu jawabnya

aku terdiam, aku tak mengerti apa yang sedang ia pikirkan. Pertanggungjawab-an apa? semua yang dia punya? memangnya dia memiliki apa? yang aku tahu, dia tidak memiliki apa-apa. Rumah, kendaraan, harta benda? dia tidak memiliki itu semua.

"maaf, tapi aku tak mengerti" ujarku

"hhhhhhh" anak perempuan itu kembali menghela nafas panjang

dia menjatuhkan tubuhnya tepat ke atas kasur busa. Menatap langit-langit kamarnya, lalu

"itu, kamu lihat tumpukan pakaian yang belum sempat aku strika"
begitu jawabnya tanpa melihat, dia mengarahkan telunjuknya ke arah kiri.

aku mengangguk

"itu, kamu liat juga kan, berapa yang digantung?" katanya

aku kembali mengangguk

"di dalem lemari, kamu juga liat kan" katanya

aku kembali mengangguk

"yang di rumah, di desa, kamu juga tau kan" begitu ujarnya

aku kembali mengangguk

"hhhhh" dia kembali menghela nafas panjang. Dia menutup kedua matanya, dengan kedua telapak tangannya. Lalu.......

"rasulullah aja, waktu meninggal, cuma punya beberapa helai pakaian" begitu lanjutnya
"terus, katanya, setiap apa yang kita punya, nanti diminta pertanggungjawabannya. Dari mana asalnya, untuk apa, semuanya, semuanya ditanya" begitu tambahnya
"terus, semakin banyak yang kita punya, semakin lama kita dihisabnya, semakin banyak ditanyanya" begitu jawabnya

"hhhhh" dia kembali menghela nafas panjang

"sekarang kamu tau kan, aku ini kenapa?" ujar perempuan itu

aku kembali mengangguk.

aku temani dia dengan pantulan cahaya, bukan dari aku, tetapi dengan bantuan sinar matahari yang sedang menerangi bagian yang lain dari bumi ini.

perempuan itu tetap menutupi kedua matanya, sembari berkata

"aku belum bisa berbuat apa-apa. Aku merasa tersindir ketika membaca sebuah tulisan yang berkata -jangan cuma bisa 'ngritik' atau mikir tapi gak kreatif-. Aku merasa, aku seperti itu  'Lan" ujar perempuan itu.

"aku merasa sedih, melihat seorang lelaki, pergi menuntut ilmu, dengan sepatu yang sudah rusak alasnya. kamu tau, dia terseok-seok, susah payah menahan supaya dapat berjalan dengan sepatunya itu. Sementara aku? kamu tau kan ada berapa jumlah sepatu ku?".

"aku merasa ingin menangis, melihat seorang janda, hampir setengah abad, makan keripik untuk menahankan rasa laparnya".

"dan aku cuma bisa terdiam, ketika melihat seorang anak remaja, kusut, lusuh, duduk di depan pagar sembari makan biskuit, yang entah dia dapatkan darimana"

"dan aku merasa malu, karena -ketidak syukuranku- sekali waktu atas apa yang sudah Dia berikan padaku"

"dan aku cuma bisa menangis, kamu tau 'Lan, aku cuma bisa menangis. Ketika semua yang enak tidak berpihak pada orang miskin, tidak berpihak pada orang yang lemah".

"aku seperti berteriak-teriak sendiri tanpa ada yang mendengar 'Lan. Kepada penguasa negeri ini, kepada orang-orang kaya, kepada pejabat-pejabat yang berpendidikan tapi tidak ada satupun dari mereka yang mendengarkan teriakan ku. Mereka seperti tuli, mereka seperti buta melihat saudara-saudara mereka yang tidak mampu".

"mereka seperti seolah-olah enggak tau, seperti enggak melihat, di kiri dan kanan mereka yang cuma bisa makan dengan -kerak nasi-, yang hanya bisa makan dengan tempe, yang hanya bisa makan nasi 1 hari sekali. Kemana hati nurani mereka pergi 'Lan".

"dan sampai kering tenggorokanku, mengata-ngatai mereka yang tega menghisap darah saudaranya sendiri. Bagaimana bisa mereka menelan apa yang bukan hak mereka 'Lan? apa tidak cukup dengan rumah mewah, fasilitas serba ada, masih juga ingin mengambil yang bukan milik mereka, masih juga tak henti-hentinya mencari selah untuk mengkorupsi uang 1000 rupiah milik saudara mereka sendiri".

anak perempuan itu terdiam, dia tidak menangis, dia terlalu lelah untuk menangis, dia terlalu malu untuk menangis, dia hanya dapat

"hhhhhhh" menghela nafas, menarik nafas sedalam-dalamnya, karena hanya itu yang tersisa dari negeri ini, yang gratis, tak berbayar, yang dapat dinikmati oleh semua makhluk Nya tanpa memandang strata, usia, status dan kedudukan atau ras bangsanya.

"hhhhh" dia menarik nafas panjang, berat

untuk semua pertanyaan yang tak pernah ada jawabnya, atau sama saja jawabnya.
untuk semua kebuntuan yang belum ia temukan jalan keluarnya
untuk semua cita-cita, keinginan yang ada di dalam kepalanya, yang masih terpenjara, terkekang, terkurung oleh pikirannya tentang "keterbatasan, keberanian, kegagalan, kesombongan"

anak perempuan itu, beristirahat di dalam pikirannya, di dalam pejam-an kedua matanya

"selamat malam bulan" katanya

"selamat malam anak manusia" begitu jawabku