Pages

Wednesday, July 29, 2009

Aku berlari mengejar lelaki paruh baya itu

Aku berlari mengejar lelaki paruh baya itu, lalu terhenti. Menanti, temanku yang satu ini sedang sibuk dengan urusannya dengan petugas dan mesin photo copy-nya.
Mari berkisah dalam gelapnya malam, dalam temaram lampu penerangan. Bulan sabit, tak begitu nampak jelas kilau cahayanya di angkasa, namun cukup terang untuk menerangi bintang-bintang yang ada di sekitarnya.
“cep, nginep aja yuk di tempat mbak”, tidak, aku menolaknya serta merta. Pertama karena tidak begitu suka dengan yang namanya menginap di tempat orang, kedua karena memang banyak pekerjaan yang harus aku lakukan, dan itu akan lebih nyaman bila melakukannya di kamar tempat aku tinggal selama beberapa tahun terakhir.

Mari hentikan menggunakan kata aku yang semakin lama semakin mengganggu. Saya kotak sampah, ya saya kotak sampak. Wanita yang usianya lebih tua dari saya, yang saya panggil dia dengan sebutan kehormatan ‘mbak’ itu, mengajak saya untuk menginap di kamarnya, di kostan-kostan tempat dimana dia tinggal selama beberapa tahun belakangan. Untuk apa? Untuk curhat tentunya. Hhhh maka saya katakan padanya, saya ini sudah seperti kotak sampah rasanya. Di sini, di sana, di tempat liqo sekali pun, sama saja, menutup mulut rapat-rapat untuk mereka-mereka yang datang, diam-diam mendekat lalu berkata ‘cep mbak mau cerita, mau curhat’, ya selalu seperti itu pada akhirnya.

Dan topik permasalahannya adalah tentang jodoh, selalu, selalu itu. Atau tentang masalah dalam keluarganya, hahhhhhhh saya introvert, dan terkadang keadaan membuat saya semakin menjadi introvert sejati.

Malam ini, menemani ‘si mbak’ makan malam, ya karena saya juga pada kenyataannya kelaparan. Berhenti sejenak untuk mengambil hasil phoo copy-an dan saya hanya menunggu sembari duduk dalam diam ditemani angin malam yang bertiup kencang.

Tak lama, lelaki paruh baya itu berlalu di hadapan saya. Mata ini rasa tak ingin melepaskan pandangan dari melihatnya. Ia lelaki paruh baya yang unik menurut saya. Perjumpaan yang pertama kali dengannya ketika saya sedang duduk bersama ibu penjual roti bakar. Lelaki paruh baya itu sibuk mencari-cari barang-barang plastik yang bisa ia jual, yang mungkin bisa ia jadikan alat tukar untuk mencari makan.

Ada sedikit rasa iba, melihat postur tubuhnya yang nampak sudah renta. Tetapi, malam hari dengan cuaca yang tak menentu, ia keluar menarik gerobaknya, padahal beberapa hari belakangan ini angin bertiup sangat kencang, dan saya tahu angin malam tidak baik untuk kesehatan.

Berlagak peduli, saya menghampirinya lalu berkata ‘bapak mau itu, kalau mau nanti saya pesankan’ begitu ujar saya padanya. Normalnya saya pikir ia akan berkata ‘iya nak, terima kasih’. Tapi ternyata ‘terima kasih nak, tapi nggak usah, bapak sudah kenyang’ begitu katanya. Lalu mulailah saya memaksa dengan berkata ‘ndak apa pak, buat bekal’, tetapi kembali dia berkata, bersikukuh dengan keputusannya ‘nggak usah nak, terima kasih, tapi bapak sudah kenyang, untuk kamu saja’. Lelaki paruh baya itu pun pergi meninggalkan, lambat laun semakin lama semakin hilang dari pandangan.
Heran, baru kali ini ada yang menolak, biasanya yang ditawarkan akan berkata ‘iya’ dalam artian menerima. Tapi baru kali ini saya temui, lelaki paruh baya itu menolaknya.
Beberapa hari berlalu, lama sudah tak berjumpa dengan lelaki paruh baya itu. Sampai malam ini saya melihatnya, maka serta merta phonecell saya keluarkan, modus malam saya aktifkan. Lelaki paruh baya itu masih tetap dengan aktifitasnya beberapa hari yang lalu, mengais-ngais tempat sampah, mengambil botol-botol plastic yang ada, lalu memasukkannya ke dalam gerobak yang ia bawa.

Berpacu dengan waktu, lelaki paruh baya itu sudah beranjak pergi. Gerak saya terlalu lamban, dan ketika kamera handphone sudah siap untuk dipergunakan, lelaki paruh baya itu sudah hilang dari pandangan. Ingin mengejarnya, tetapi si mbak yang bersama saya, belum juga selesai dengan aktifitas photocopy-nya, jadilah saya menunggu dalam rasa penasaran dan tanda tanya yang besar tentang kemana si lelaki paruh baya berada.

Photo copy selesai, bergegas saya beranjak tanpa mempedulikan si mbak yang setengah berlari untuk mengimbangi cara saya berjalan. Kamera handphone sudah saya posisikan standby, dengan modus malam berharap agar hasil gambar yang saya dapatkan tidak mengecewakan.

Angin malam semakin kencang bertiup, kiri kanan jalan semakin ramai saja menurut penglihatan dan pengamatan saya. Manusia-manusia lesehan sudah bertebaran, ada yang makan jagung, ada yang melahap nasi goreng, ada pula yang membeli durian yang besarnya tidak seberapa tetapi sudah pasti mahal dalam harga karena ini belum tiba musimnya. Lelaki paruh baya itu tidak juga saya temukan, bahkan dengan setengah berlari sekalipun, lelaki paruh baya itu sudah luput dari pandangan.

Ia lelaki paruh baya, mungkin menurut sebagian orang lelaki paruh baya itu tidak jauh berbeda dengan lelaki paruh baya lainnya, tapi tidak menurut saya. Ia berbeda, jelas-jelas berbeda, sangat jelas berbeda, dan insya Allah dia memang berbeda.

Tuesday, July 28, 2009

saya tidak lihat mobilnya, tapi lihat orangnya

Pagi, selamat datang pagi. Tidur malam ini benar-benar tidur yang panjang, bagaimana tidak, selepas adzan maghrib berkumandang, selepas memenuhi kebutuhan sistem pencernaan akan makan, saya putuskan untuk istirahat sebentar, melelapkan diri di atas kasur tercinta yang sudah tidak berjumpa beberapa jam lamanya.

Niatan awalnya sih, mau bangun sekitar jam-jam 9 atau sepuluh malam, tapi tiba-tiba ketika adzan kembali berkumandang, yang saya lihat bukan jam 7.30 malam, tetapi jam 5 shubuh. whuaaaa ternyata saya tidurnya kebablasan, tapi gak papa, gak papa, nasi sudah menjadi bubur, niat mau mengerjakan macromedia flash kembali cuma sekedar niat.

Hari sudah pagi, saya beranjak bangun, meninggalkan kasur tercinta dengan berat hati. Air keran kamar mandi mulai mengalir deras, perlahan tapi pasti mulai memenuhi bak kamar mandi yang semalaman tidak terisi. Karena lama, saya pikir 'ngapain berlama-lama di kamar mandi', segera keluar, melangkah pergi. Pagi ini belum ada pekerjaan yang berarti kecuali mencuci, pakaian baru direndam, tidak mungkin langsung dicuci, hasilnya yaaa saya tidur lagi ha...3x, yah namanya mahasiswa, tidak bisa lihat kasur 'nganggur'.

Tapi aksi malas-malasan itu tak lama, hanya beberapa saat saja. Kenapa beberapa saat? ya karena saya ingat, pagi ini saya harus menemui pembimbing saya kalau memang mau wisuda cepat. Byar, byur, semua pekerjaan selesai dalam waktu singkat, dannn aku siap, aku siap, aku siap.

Tiba di kampus, gedung dekanat tempat pada pejabat. Kali ini saya tidak akan salah, tidak saya lihat lagi itu mobil pembimbing, karena memang itu mobil sedang tidak ada di tempat, tidak ada di pelataran parkir dekanat tempat para pejabat. Tap tap tap, ehh ketemu dengan bapak sekretaris dekanat, kata si bapak, kali ini dia ndak akan menunggu di bawah, ndak akan juga memberi informasi pada saya bahwa pak pejabat dekanat yang juga pembimbing saya belum datang karena mobilnya tidak terlihat. Tapi, tak lama office boy dekanat berkata 'pak warsitonya belum tiba', gdubbRAkkkkk ha...3x ternyata kali ini tidak hanya mobilnya yang tidak terlihat, tetapi orangnya pun belum akan tampak.

TApi tak apa, tak mengapa, akan saya tunggu sampai beliau tiba, meskipun dalam keadaan lapar yang mendera, karena pagi ini sarapan itu belum ada satu pun yang 'nyangkut' di sistem pencernaan saya. Tak lama, pak pejabat utama, bapak dekan fakultas MIPA tiba, lalu berkata pada bapak sekretaris dekanat yang sedang bercakap-cakap dengan saya, katanya "pak tolong bukakan pintu saya, kunci saya di dalam mobil, mobilnya dipinjam pak warsito ke metro"

Hahhh, Gdubbrakk, gdubbbraaakk, gdubbbraaakk, ampe tiga kali gdubrakknya. Pantas saja pagi ini mobil pak pembimbing belum terlihat, pantas saja mendekati pkl 8 pagi pak pembimbing belum ada di tempat, ternyata beliau pergi keluar kota, tiba-tiba sepertinya.

Whuaaaahh, ya sudah, hari ini tidak jadi lagi berjumpa dengan pembimbing I tugas akhir saya. Melangkah pergi dengan pasti, karena rasa lapar itu semakin menarik hati untuk segera diisi. Lantai 1 gedung ini, di pelataran parkir saya jumpai mobil pembimbing I tanpa penghuni, yahh lagi-lagi yang saya lihat cuma mobilnya, bukan orangnya.

Monday, July 27, 2009

Jangan lihat mobilnya, tapi lihat orangnya

Pagi, hujan mengguyur kota ini sejak dini hari, dingin, dalam rintik hujan dan kebasahan, dalam ketergesa-gesaan dan kekhawatiran akan 'kesiangan', saya berjalan setengah berlari. Berbekal uang seribu hasil 'meminta' pada seorang kawan untuk 'ongkos pulang' ha..ha...ha, mengingatkan saya pada lirik lagu mbah surip yang terkesan asal comot dan serampangan, tetapi cukup ringan dan mengibur untuk didengarkan.

Semalaman sudah merepotkan beberapa orang kawan, salah satunya bernama Dyan, hanya demi tugas akhir saya, temannya. Sepulang kantor pkl 21.00 malam ia langsung meluncur bersama sepeda motornya, untuk menghinggapkan diri di laboratorium pemodelan fisika kampus ini. Dengan alasan 'besok pagi, saya ada janji dengan pembimbing skripsi, mau memperlihatkan alat tugas akhir saya' begitu alasan saya padanya, hingga kesimpulan bersama dibuat, dan inilah dia, pagi-pagi saya sudah kembali berada di kampus ini, setelah sebelumnya bersama teman-teman mencoba menembus batas kemampuan tubuh untuk tetap terjaga. Teman saya yang satu ini, hampir serupa dengan seorang teman saya yang berada jauh beberapa ratus kilometer dari saya, khafidl namanya.

Pagi pun tiba, tak nampak hujan akan reda, hingga akhirnya saya putuskan untuk pulang, janji dengan pembimbing I, harus ditunaikan, menemui beliau pkl 7.30 pagi, atau bahkan lebih pagi karena beliau memang sudah punya janji dengan orang lain lagi.

Kampus ini masih sepi, tidak ada mahasiswa yang terlihat, mungkin masih setia bergumul dengan selimut mereka yang sudah nampak usang dan tua, karena sejak tahun 2004 hingga tahun 2009 selalu bersama atau masih betah berdiam diri di dalam sarungnya karena hujan yang masih belum juga mau reda, turut meramaikan suasana, hingga aksi bangun kesiangan mereka lakukan bersama-sama.

Lupakan, semua alur cerita bertele-tele yang saya sampaikan sebagai pembuka. Pagar pembatas antara fakultas dengan kantor POS unila pun dibuka. Suatu ketika saya sempat bertanya pada pak pos yang bertugas di kantor itu mungkin sejak beberapa tahun yang lalu, 'kenapa pintu gerbangnya ditutup pak?', 'satpamnya reseh, waktu itu pernah nggak ditutup, trus satpamnya marah-marah, katanya -kalau ada yang hilang gimana, bapak mau tanggung jawab-', begitu ujar si bapak pos pada saya.

'whuaaahh' bergaya juga itu satpam fakultas MIPA, padahal biasanya kerja mereka hanya duduk-duduk sambil menghisap racun nikotin dan menghembuskan asapnya ke udara. Atau, mencari mangsa dengan mengerjai mahasiswa-mahasiswi unila yang kedapatan duduk berduaan, dan sebagian mahasiswa/i UNILA tahu apa yang saya maksudkan.

Pintu pun dibuka, orang DEKANAT yang pertama kali saya temui adalah bapak sekretaris Dekan FMIPA yang merangkap sebagai sekretaris bagi pejabat-pejabat dekanat lantai 2 lainnya.
'pripun kabare?' bapak bertanya 'sae mawon jawab saya' lalu 'pak war nya ada ndak pak?', agak ragu si bapak menjawab, lalu 'belum datang sepertinya.

Duduk dalam diam, di dalam gedung dekanat FMIPA unila. Rasa dingin itu masih merayap saja, meskipun saya sudah memakai pakaian tebal sebagai pelindung bagi tubuh saya yang beratnya tidak seberapa. Tak lama, bayangan kaca itu menampakkan sesosok yang saya amat sangat mengenalnya, sejak tahun 2005, saya mengenali hentakan kakinya, cara berjalannya, meskipun saya tidak melihatnya melainkan hanya melalui pantulan kaca, dia lah pembimbing saya, rupanya dia benar-benar sudah datang sejak pagi-pagi buta (hiperbola).

Senyum simpul saya berkata 'bapak sudah datang ya?', lalu 'bapak sudah mau pergi ya?', ya tanpa beliau jawab pun saya sudah tahu dia akan segera pergi, meninggalkan gedung ini. 'Saya sudah dari tadi sefta' begitu katanya. 'Mobil bapak nggak ada di parkiran' hingga saya pikir beliau belum datang. Lalu beliau pun menjawab 'jangan liat mobilnya sefta, tapi liat orangnya', tak lama, bapak pun pergi melangkahkan kaki setelah sebelumnya bertanya apa yang ingin saya sampaikan padanya. 'Draftnya dititip sama sekretaris saja', kira-kira begitu instruksinya.

Bapak pun pergi meninggalkan saya dengan mobil dinasnya. Mau tertawa rasanya, benar-benar mau tertawa bila mengingat sehari sebelumnya saya sudah merepotkan teman-teman untuk menemani saya merampungkan alat tugas akhir sampai membuka mata hingga pagi tiba. Dan pada akhirnya, hasil dari perjuangan yang sampai sempat membuat saya lumpuh tidak dapat bergerak untuk beberapa saat itu, adalah bahwa pembimbing saya pergi meninggalkan saya ke rektorat UNILA untuk beberapa saat lamanya.

Beberapa jam untuk perjumpaan yang tidak sampai 5 menit rasanya. Ah, maaf, maaf sekali pada mereka-mereka yang sudah direpotkan untuk berada di laboratorium pemodelan malam ni. Mungkin lain kali, saya memang benar-benar harus "melihat orangnya, bukan sekedar mobilnya".

Thursday, July 23, 2009

Pandai-pandailah bersyukur

Sebuah kontemplasi bagi cacat diri
Keenam


Sehari yang lalu, rawa belakang asrama, langit-langit yang dipenuhi awan putih yang beranjak kelabu, burung-burung yang terbang sore itu, senja itu, angin yang tak berhembus itu, mereka mengajak saya berpikir akan sesuatu.

Ada yang membuat saya kecewa, ada yang membuat saya sakit hati, ada yang membuat saya ingin dihargai, ingin dihormati, ada pula yang membuat saya tersinggung.

Burung-burung layang itu terbang, hilir mudik, menjelang senja mereka semakin ramai berkumpul di angkasa. Berpikir, kenapa harus kecewa, kecewa akan apa, untuk apa, pada siapa. Mengapa harus sakit hati, pada apa, pada siapa? Manusia? Untuk apa? Karena toh manusia wajar berbuat salah pada manusia yang lainnya. Untuk apa sakit hati, karena hati ini bukan saya yang punya, bukan saya yang miliki kuasa atasnya.

Untuk apa ingin dihargai, untuk apa ingin dipuji, untuk apa pula saya merasa tersinggung. Untuk apa ingin dipahami, untuk apa pula ingin dimengerti, untuk apa pula ingin di dengarkan, tidak menjadi begitu penting itu semua, ketika, manakala saya menyadari bahwa saya tidak punya hak apa-apa atas diri saya, atas pemikiran, atas perasaan, atas hati, atas fisik yang Allah anugerahkan.

Lebih baik menghargai, lebih baik memuji, lebih baik memahami, lebih baik mengerti, lebih baik mendengarkan, lebih baik menjaga perasaan, lebih baik mengalah, lebih baik diam. Pujian-pujian yang manusia tujukan pada saya, saya tidak punya sedikit pun hak atasnya, melainkan Allah yang memiliki kuasa, hak atas segalanya.

Pujian dalam hal fisik? Tak punya hak untuk bangga, karena Allah yang berikan, anugerahkan fisik, rupa, bentuk, ini pada saya. Pujian karena pola pikir, karena tulisan, tak perlu merasa senang, karena akal dan pikiran itu Allah yang berikan dan mengapa saya bisa menulis, mengapa saya bisa berpikir sedikit berbeda dari manusia yang lainnya, semua itu karena Allah, karena Rabb, karena Dia yang arahkan, saya hanya menjalankan, saya hanya meneruskan, saya hanya menikmati hasil.

Dan bilamana saya dikatakan sopan, berbudi pekerti baik dan terpuji, jangan merasa senang hati wahai manusia, karena saya bisa seperti ini karena peran serta mereka-mereka yang berada di dekat saya, yang sudah membantu proses terbentuknya watak dan paradigm berpikir saya saat ini. Hingga, sampailah pada intinya bahwasannya, saya benar-benar tidak memiliki apa-apa untuk disombongkan, bahwasannya saya tidak pula memiliki sesuatu sehingga layak untuk dipuji akan sesuatu itu.

Saya tidak pernah dapat menciptakan karena Mencipta itu adalah kuasa Nya, tidak pula dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna kecuali kotoran hasil pembuangan dari system pencernaan. Sisanya, semua Allah yang punya, dan bila mereka memuji saya, tak perlu merasa senang, tak perlu merasa bangga cukuplah berkata Alhamdulillah karena setidaknya kamu tidak membuat Allah malu, tidak membuat Allah murka, tidak membuat Allah marah dan kecewa. Dan bila manusia yang lainnya menyakiti hati, melukai perasaan ini, menyinggung sisi sensitive dari diri ini, maka agar rasa sakit itu tidak ada, katakanlah bahwa “mereka manusia, wajar kiranya berbuat salah” dan “kembalikanlah kepada Yang Memiliki hati agar kiranya Dia berkenan menentramkan hati hingga tidak pernah merasa tersakiti”.

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
QS. al-Isra' (17) : 37

Mencoba mensyukuri semua yang Dia berikan, meskipun ada yang katakan bahwa suara yang saya punya seperti suara lelaki begitu kata mereka, bahwa tubuh saya tidak proporsional adanya, dan masih banyak lagi kekurangan lainnya.

Berpikir-berpikir, sampai ketika ada seorang wanita yang berkata “bla…bla…”, saya menjawabnya dengan berkata “ini yang Allah berikan pada saya, saya hanya mencoba mensyukuri dengan menjaganya”, seperti ini pun, saya sudah merasa begitu sempurna, begitu subhanallah karena saya tidak pernah bisa menciptakannya. Hingga ketika mereka katakan suara saya begini, rupa saya begini, bentuk saya begini dan cara berjalan saya begini, maka saya balas dengan berkata bahwa “saya hanya mensyukuri apa yang Allah berikan pada saya”.

--selesai--

00:46 dini hari

Memanajemen sedih
menghisap semua energi yang ingin mengeluarkan air mata
tak banyak yang keluar, kecuali hanya beberapa titik saja
karena ia jatuh tertahan

Memanajemen sedih agar tidak berkepanjangan
Ya Rabbi, izinkanlah aku kembali pada Mu

Membuka lembaran layer Macromedia Flash 8
bereksperimen dengan layer-layer yang ada
membuat animasi-animasi picisan agar dapat bergerak menyegarkan mata yang melihatnya,
sedih itu lambat laun hilang, ia tergantikan

helaan nafas panjang
semua sudah Allah gariskan
semua ada hikmahnya meskipun bukan sekarang ini saya melihatnya
semua demi kebaikan saya juga pada akhirnya
maka, bersabarlah, lambat laun kamu akan berkata
Alhamdulillah semua itu terjadi pada saya

Lebih baik terzalimi daripada sebaliknya
terzalimi hati, berusaha sekuat tenaga, dengan segala daya upaya untuk memaafkan si manusia dengan berkata "dia hanya manusia, tak luput dari kesalahan seperti halnya manusia yang lainnya. Dari pada menzalimi, belumlah tentu si terzalimi mau dengan lapang hati memaafkan diri.

Angin malam berhembus, dingin menusuk.

Mencoba menembus batas dengan membuka mata hingga waktu sepertiga malam tiba. Nyamuk-nyamuk itu hilir mudik, sesekali hinggap, namun tak lama. Anggota tubuh ini dengan refleknya mengibas-ngibaskan diri agar nyamuk-nyamuk itu tak berlama-lama hinggap untuk kemudian menghisap.

Saya sedih
Aku sedih

Putus asa, inginnya, tapi Allah melarang hamba Nya yang beriman untuk berputus asa. Teori itu lebih mudah dari pada prakteknya. Mencoba menanamkan bahwa semua yang terjadi saat ini, belakangan ini, pasti ada hikmahnya, insya Allah akan berbuah manis pada akhirnya. Dan bila frasa-frasa itu diucapkan oleh hati, hingga menstimulus otak untuk bekerja, hingga diri dapat dengan tegarnya menegakkan kepala, dengan penuh semangat. Maka semua penat, sedih, sakit, marah, itu sirna dalam sekejap mata.

Tapi, ada kala dia datang lagi, putus asa itu melambai-lambaikan tangannya, hingga yang ada hanyalah air mata. Bodohnya saya, 'cengeng' sebagai seorang anak manusia. Baiklah blog, untuk kali ini izinkan saya berkata "saya juga manusia, tempatnya lupa dan alpa, pernah pula merasa putus asa, ingin pula rasanya berkeluh kesah. Meskipun hanya pada kamu, benda mati tak bernyawa. Tapi tak apa, melegakan rasanya, membuat beban yang menimpa terasa ringan meskipun tidak semuanya.

Beri saya kesabaran ya Allah, beri saya kemampuan untuk memaafkan, melupakan dan tidak mendendam. Beri saya kesabaran ya Rabb, karena hanya itu yang saya punya, karena hanya itu pula yang tersisa dari diri saya.

Wednesday, July 22, 2009

---- ---- ---

Oke Blog, kali ini izinkan saya menangis,

izinkan saya menangis,
izinkan saya menangis,
izinkan saya menangis,
izinkan saya menangis.

Temani saya menangis
temani saya menangis
temani saya menangis
temani saya menangis
temani saya menangis
temani saya menangis

ternyata saya bisa juga menangis
maka menangis lah

Pegawai paruh baya itu

Sebuah kontemplais bagi cacat diri
Kelima


Keinginan untuk segera keluar dari kampus hujau unila membuat saya berkenalan dengan seorang bapak pegawai dekanat FMIPA, umurnya berapa? Saya tidak begitu mengetahuinya, tetapi nampaknya tidak begitu jauh berbeda dengan usia ayah saya, sudah separuh abad, ya ayah saya sudah tua, tetapi beliau selalu berkata “ayah masih muda de, masih ganteng” begitu kelakarnya pada saya putrinya.

Saya sadar, pada saat menjajakan pop mie, di kereta kelas ekonomi, bahwa saya sudah berlaku sombong, mungkin rasa sombong itu sudah muncul dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tetapi, bapak petugas dekanat itu berkata, menasehati saya, ketika saya bercerita tentang pengalaman saya berjualan di kereta, dan berakhir pada kalimat “saya sudah sombong pak… bla..bla..bla”, beliau menimpali dengan berkata “gak boleh sombong, apa yang kita lakukan, orang lain juga bisa lakukan, hanya mungkin ada yang langsung bisa, ada yang perlu belajar untuk bisa”. Diam, saya hanya diam, bapak sekretaris itu benar, apa yang saya lakukan, orang lain pun bisa lakukan.

Antasida mulai bekerja, system pencernaan sudah mulai kembali normal bekerja sepertinya.

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. QS. al-Isra' (17) : 37

Berat, nafas itu berat tertahan, mendengarkan bapak pegawai dekanat.

Allah sudah memuliakan manusia, melebihkan manusia di atas makhluk Nya yang lainnya. Dia berikan dunia dan segala isinya, Dia anugerahkan akal dan pikiran, Dia ciptakan manusia, dengan sebaik-baiknya bentuk. Dan bila ada satu dari kita yang berkata “si fulanah atau si fulan mengalami cacat fisik atau mengalami cacat mental”, itu hanya sekedar sudut pandang yang manusia hasilkan.

Di sisi lain, Dia katakan kita, manusia, sombong, lemah, tergesa-gesa, mudah berputus asa, gemar bekeluh kesah. Ketika ditimpa musibah, kita meratap, kita menghamba, dan bila musibah itu terlepas, bila anugerah nikmat itu didapat, kita lupa, kita khianat. Kita diibaratkan seekor kera, seekor keledai, seekor anjing, yang tercipta dari air mani, air yang hina. Sebegitu hinanya kita, hingga bila bukan karena rahmat dan kasih Nya, aku, kamu, mereka dan kita semua, bukan apa-apa, bukanlah apa-apa.

Manusia tidak pernah dapat menciptakan selain menemukan dan menghasilkan, itu pun karena rahmat dan kasih Nya pada manusia hingga manusia dapat gunakan akal dan pikiran yang ia ciptakan.

Saya sombong, padahal saya tidak memiliki apa-apa, sama sekali. Bahkan hingga tulisan ini saya munculkan, bisa jadi saya pun sudah merasa sombong, riya, ujub, hanya saja, mungkin saja, mereka bersembunyi, terselubung oleh kabut yang berada di dalam hati dan kepala, hingga yang nampak hanya remang-remang saja.

Beberapa orang katakan, kamu pandai menulis, kamu pandai berbicara di depan khalayak ramai, ada juga yang katakan, budi pekerti mu baik, bapak pegawai dekanat itu pun berkata “sampeyan niki wes ayu, baik, sopan, sopo sing jadi bojo mu nduk, beruntung sekali” begitu ujar si bapak, tersenyum, saya malu.

-bersambung-

Monday, July 20, 2009

Beda bangsa jepang dengan bangsa kita


Malam semakin larut, kalimat ini seperti lirik sebuah lagu. Tapi mari tinggalkan lirik lagu yang saya tak tahu apa judul, siapa pula pelantun lagu itu.

kejadian beberapa hari ini benar-benar tidak menarik tetapi menarik, tidak menyenangkan tetapi menyenangkan. Diam karena kebosanan tetapi tidak kebosanan, liburan benar-benar tidak menyenangkan tetapi menyenangkan bagi manusia yang biasa bergerak tanpa henti setiap hari. Dari pagi hingga petang menjelang. Bingung, bingung, bingung, biuuunggg....

Liburan, pesta pora bagi alam pikiran, bagi syaraf-syaraf penstimulus tawa dan pengundang ketegangan. Serial Naruto, sinchan, bleach, avatar menjadi teman pengusir kebosanan di asrama annisa tercinta yang sepi bukan alang kepalang.

Perbedaan antara bangsa Jepang dengan bangsa kita. Mengenal serial komik inuyasha yang difilmkan?? mengenal pula serial naruto? kyo samurai deeper? atau mungkin bleach yang selalu tayang setiap hari minggu di stasion televisi yang menjadi pemutar setia sinetron inayah dan kanjeng dosonya????

Lihat bagaimana bangsa jepang dengan apik mengemas setan-setan, hantu-hantunya, dan budayanya ke dalam sebuah serial komik yang kemudian karena alur ceritanya yang luar biasa, berubahlah itu komik-komik menjadi animasi bergerak yang menghasilkan efek luar biasa, hingga penggemarnya sampai ke seluruh dunia (mungkin), itulah serial Inuyasha, itulah serial Bleach dengan dewa kematianya, itulah serial Kyo dengan samurainya, itulah serial Naruto dengan rasenggannya.

Bukan rasa takut yang timbul, bukan pula kesan "norak dan tidak mendidik" yang nampak, tapi justru sebaliknya. Silahkan search di "mbah google", saksikan bagaimana masyarakat dunia "menggandrungi" tokoh-tokoh yang dilahirkan oleh penulisnya ke dunia, hingga Jepang terkenal sebagai negara MANGA di dunia.

Berbeda dengan kita, serial hantu, film-film horor, yang dibumbui kesan porno, dengan tali sling untuk aksi terbang yang terlihat di layar kaca, benar-benar "no comment" rasanya. Entah kita yang kurang pandai mengemasnya, atau karena kita yang hanya ingin meraup keuntungan darinya tanpa mempedulikan nilai estetika, budaya, moral, dan paling penting AGAMAaaa dan parahnya, sebagian dari kita menyukainya.

Hasil yang ada, Anak-anak masih tetap saja takut pada hantu-hantu hasil cerita kakek, nenek, ayah, ibu, orang-orang dewasa di sekitarnya, yang dengan mudahnya menggunakan senjata "hantu" untuk menakut-nakuti dengan alasan untuk mendidik katanya. Tetapi, yang ada justru sebaliknya, proses mendidik yang salah, mereka diajarkan bukan takut pada Tuhannya tetapi pada makhluk yang sama lemahnya dengan makhluk ciptaan Nya yang lainnya.



Tanah air ku Indonesia
Negeri Elok damba ku cinta
....
Tanah air ku tidak ku lupakan
yang masyur permai di kata orang
...
Indonesia, indonesia
tapi saya tetap cinta

Sombong itu 'memalukan'

Sebuah Kontemplasi bagi cacat diri
Keempat


Saya tidak mengingat kesombongan-kesombongan yang lainnya, yang saya hasilkan, yang saya nampakkan pada saat saya duduk di bangku sekolah dasar, di bangku SLTP tidak juga di bangku SMA. Maka, mari mereview kembali kesombongan yang saya hasilkan pada saat saya menginjak masa-masa dewasa.

Hari itu hari sabtu sepertinya, tanggal berapa saya lupa tepatnya, tapi insya Allah kejadian itu berlangsung satu tahun yang lalu, ya kurang lebih begitu.

Di dalam kereta menuju desa kelahiran saya, baturaja. Bukan karena ingin pulang ke kampong halaman, tetapi adik lelaki ibu saya yang nomor Sembilan, menikah pada hari minggunya. Singkat cerita, saya mengambil kesimpulan bahwa kereta ekonomi tidak begitu menyenangkan, karena asap rokok yang sedianya selalu lalu lalang, mengganggu pernapasan.

Inilah sombong yang ketiga, rasa sombong itu ada ketika seorang penjual pop mie di kereta jurusan tanjung karang – baturaja, belum berhasil menjajakan dagangannya. Tiba-tiba hati ini berkata, antara sisi putih dengan sisi hitamnya.

Sisi putih berkata “hitung-hitung cari pengalaman, bagaimana rasanya menjadi mereka yang mencari apa yang namanya penghidupan di atas kereta yang berjalan, di atas kereta yang penuh sesak, di atas kereta yang bercampur baur segala macam bau manusia”.

Sisi hitam berkata “mari buktikan, masak kamu tidak bisa menjual satu buah saja. Kamu seorang sefta, pedagang pop mie itu saja bisa, lantas mengapa kamu ndak bisa”, yak benar sekali, sisi hitam itu pada saat itu, pada hari itu, lebih mendominasi hati dalam berniat, sombong sekali rasanya. Dan saya baru sadari itu beberapa saat kemudian, dalam keadaan malu, karena ternyata satu pop mie pun tidak ada yang laku.

Berjalan dari gerbong yang satu ke gerbong yang lainnya, sudah mandi peluh dan keringat saya saat itu, tetapi Allah menggariskan di dalam buku catatan kehidupan saya, bahwasannya saya tidak akan dapat menjual satu pun pada saat itu, hari itu, di atas kereta itu.

Saya sudah dewasa, bukan anak TK, bukan SD, bukan SLTP, bukan pula SMA, maka tak berapa lama, saya pikir, saya kira, hati dan kepala saya berkata, mereka mencoba membantu saya menarik satu benang merah, dari sekian banyak benang yang berwarna-warni yang menghalang rintang di dalam kepala saya saat itu.

Pertama, ternyata mencari uang itu bukanlah hal yang mudah, bahkan menjual satu buah mie instant pun, saya belum dapat, meskipun sejatinya saya sudah hilir mudik menjajakan, mengesampingkan rasa malu, mengesampingkan panas terik matahari yang menyinari atap gerbong kereta pada saat itu, hingga produksi keringat tubuh saya meningkat.

Kedua, ini yang membuat saya malu, betapa saya sudah diliputi rasa ujub, sombong , dengan beranggapan bahwa “tidak mungkin saya tidak bisa menjual satu buah mie instant pun” saat itu.

Hari ini, nikmat itu sedang berkurang satu, tubuh saya mengalami disfungsi, system pernapasan ini terganggu, berimbas pada system syaraf yang lainnya hingga rasa demam itu sedikit mendera. Lama, nikmat yang lainnya berkurang pula, penyakit maag itu mendera system pencernaan saya, kalau sudah begini, tak berguna bersombong-sombong ria.

-bersambung-

Sunday, July 19, 2009

Sombong itu menyakitkan

Sebuah kontemplasi bagi cacat diri
Ketiga


Sombong yang berikutnya benar-benar sombong yang menyakitkan, menyesakkan, dan memalukan.

Jam pelajaran olah raga itu tiba, semua murid bebas bermain di luar, asalkan gelarnya tetap berolah raga, bukan hanya diam, tertawa “Cekikikan” tidak jelas, seperti yang teman-teman perempuan saya lakukan. Main kasti, setidaknya begitu kesepakatan yang timbul antara kami para murid dengan guru yang mengajar olah raga pada saat itu.

Baiklah, pemukul kasti sudah ada di tangan seorang teman saya, bola sudah diambil alih oleh teman saya yang lainnya. Semua sudah berada pada posisi jaga, termasuk saya. Dan ketika teman saya berkata “jangan di depan situ sef, nanti kena bola” begitu kata teman saya, lelaki. Tidak menggubris, saya sudah katakan saya ini sombong bukan, maka inilah sombongnya. Saya pikir, saya pasti bisa menghalau bola kuning bergaris, berdiameter tak sampai 10 cm itu.

Dan bila saya bisa menangkap bola yang dipukul itu, lalu melemparkannya tepat ke tubuh tim lawan saat itu, maka saya pikir tim saya bisa menang.

Keras kepala, satu lagi fakta yang saya temui tentang saya selain introvert adalah bahwa saya sudah keras kepala sejak kecil nampaknya. Maka, “ya sudahlah”, mungkin seperti itu yang ada di kepala teman-teman saya saat itu. Bola pun dilempar, dengan kecepatan yang saya tidak tahu berapa kilometer/jam, atau berapa knots untuk ukuran kecepatan kapal. Seorang teman saya, yang menjadi lawan dalam permainan pun sudah siap dengan pemukulnya, tak lama, “hap”, bola dan pemukul itu bertemu, lalu tiba-tiba semua terasa menyesakkan. Bola yang dipukul, tapi mengapa saya merasakan sakit yang luar biasa bahkan hingga tidak bisa bernapas dengan leluasa.

“brukkk, saya terjatuh”, setelah sebelumnya terdiam menahan rasa sakit tepat di bawah tulang rusuk. Nampak remang-remang, rekan-rekan silih berganti bertanya “kamu gak papa sef?”, si pemukul berkata sembari tersenyum menampakkan barisan gigi-giginya “tu kan, sudah saya bilang, jangan dekat-dekat sef, ujung-ujungnya kena bola kan?”

Setidaknya itulah yang saya ingat, saya memang berhasil menangkap bola kuning itu, tetapi bukan dengan kedua tangan saya, melainkan dengan perut saya. “udah ke UKS aja yuk” begitu ujar teman-teman yang perempuan, tetapi dengan sombongnya saya berkata “gak apa, gak papa kok”, senyum tidak jelas itu saya sunggingkan, senyum menahan rasa sakit, senyum menahan rasa sesak karena tidak dapat bernafas bebas untuk beberapa saat. Saya “sok” kuat, padahal saat itu rasa sakit yang amat sangat sudah mendera system syaraf yang berada di sekitar perut saya yang terkena lemparan bola. Tapi, demi menyelamatkan muka yang sebenarnya bukan milik saya, dengan sombongnya saya berkata “tidak apa-apa”.

Inilah sombong yang kedua dan konyol, lucu rasanya, karena saya menyadari kesombongan saat itu baru beberapa hari yang lalu.

-bersambung-

Saturday, July 18, 2009

Sombong yang pertama

Sebuah kontemplasi bagi cacat diri
Kedua


Saya introvert, ya saya baru menyadari bahwa saya introvert dari seorang teman saya yang berkata bahwa “dari cerita kamu, saya bisa ambil kesimpulan bahwa kamu itu sudah merasa nyaman dengan kesendirian, itulah kenapa ketika ada orang lain yang mencoba untuk masuk, kamu menjadi begitu sulit untuk menerimanya”, ya saya pikir memang begitu, saya pikir sepertinya saya memang seperti itu. Entah mengapa, sendiri itu menyenangkan.

Pada saat saya duduk di bangku Taman Kanak-kanak, sepulang sekolah, saya selalu sibuk dengan urusan saya sendiri, tak perlu berganti seragam, begitu sampai ke rumah, tas sekolah saya tinggalkan, saya keluar bermain, sendirian, entah, sepertinya saat itu saya punya dunia sendiri, dan tidak ingin ada orang lain yang masuk, kemudian mengganggu kesenangan saya saat itu.

Sekolah dasar negeri 3 kotabumi, pagi itu, pemimpin upacara berkata “pembacaan undang-undang dasar 1945”, saya maju, karena memang itu tugas saya pada saat itu. Dag dig dug bercampur rasa bangga, gugup bercampur rasa ujub, sombong sekali rasanya saya pada saat itu merasa senang tampil di muka, merasa riang ketika saya berbiaca lantang, semua mata tertuju pada saya, benar-benar sombong.

“undang-undang dasar 1945, pembukaan, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu, segala bentuk penjajahan harus di hapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Dan perjuangan Indonesia, telah sampailah ke depan pintu gerbang kemerdekaan, dengan selamat, santausa..bla..bla…bla” saya lupa apa lagi berikutnya.

Ini sombong yang pertama
-bersambung-


Thursday, July 16, 2009

Kamu tahu? kamu tak tahu

Sebuah kontemplasi bagi cacat diri
Pertama


Kamu tau, burung-burung itu kembali berkicau lagi di pagi ini, matahari itu kembali bersinar lagi, dan hari ini usia saya sudah bertambah lagi 1 hari. Selalu begitu akan terus seperti itu siklus yang akan saya hadapi, yang harus saya hadapi. Ingin hidup seribu tahun lagi, ingin tetap berada pada usia ini,23 tahun dan terhenti hingga tidak pernah bertambah lagi. Inginnya ada sesuatu yang tercipta abadi, selama-lamanya, tidak akan pernah berubah, tidak berubah karena waktu, tidak pula berubah karena bertambahnya usia.

Berpikir, sia-sia, bila semuanya berada pada keadaan dimana segala sesuatu bersifat kekal, abadi, selamanya. Maka anak-anak kecil itu akan tetap seperti itu, remaja-remaja itu akan terus seperti itu, orang-orang dewasa, orang-orang tua itu, akan selalu begitu, dalam bentuk dan rupa, dalam pola pikir mereka. Berpikir, kekal, abadi itu akan berujung pada sesuatu yang tidak baik, tidak menyenangkan, tidak indah pada akhirnya. Akan muncul apa yang namanya rasa bosan, karena selalu berada pada usia 23, tidak bertambah tidak pula berkurang. Akan ada rasa jenuh, ketika semuanya nampak sama, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, dari abad ke abad. Benar kiranya, segala sesuatu sudah berada pada porsinya, sudah Ia tetapkan masing-masing ketentuannya. Benar pula kiranya, bahwa segala sesuatu yang berlebihan tidak akan baik pada akhirnya.

Manusia-manusia itu terus lahir, kemudian tumbuh, kemudian mereka berkembang biak, hingga tua itu menyapa, hingga nikmat itu sedikit demi sedikit Ia kurangi seiring dengan bertambahnya usia. Ada yang berkurang dalam penglihatan, ada yang berkurang dalam pendengaran, ada pula yang berkurang dalam ingatan, semua kembali seperti awal mula ia diciptakan, awal mula ia ada, awal mula ia lahir ke dunia.

Saya sombong, aku sombong, seseorang pernah berkata “mengapa aib dibuka, bila nyatanya Allah sudah menutup aib kita, manusia”, maka saya mencoba mencari pembenaran, dengan berkata bahwasannya saya tidak sedang membuka aib saya, tetapi saya lebih suka menyebutnya “saya sedang mencoba untuk jujur pada diri saya sendiri, agar rasa sombong itu pergi, atau paling tidak, ia merasa jera untuk sering muncul ke permukaan dan menampakkan diri”.

Sekolah dasar negeri 3 kotabumi, kabupaten kecil yang dari dulu hingga sekarang tidak banyak perubahan yang saya rasakan. Kecuali manusia-manusianya yang datang dan pergi, yang awalnya anak-anak hingga menjadi dewasa dan memilih tinggal atau bahkan meninggalkan tanah kelahirannya.

Saya dilahirkan pada tanggal 20 maret 1986, hari kamis,ba’da shubuh, setidaknya begitu yang kedua orang tua saya katakan, setidaknya begitu yang tertera pada akta kelahiran saya. Nama saya, sefta marisa dwipasari Jn, dengan Jn singkatan dari nama ayah saya, Junaidin. Tidak begitu mengerti mengapa ayah saya menamai saya dengan naman sepanjang itu, selain “ayah ketemunya itu de, ya kalau dulu ayah ngerti nama-nama dari al qur’an, pasti nama kalian sudah diambil dari al qur’an” begitu kira-kita jawab ayah saya, ketika saya bertanya apa makna dari nama yang beliau berikan pada saya.

Tapi yah sudahlah, frasa bahwa “nama itu adalah doa” saya mengerti, saya setuju, sangat setuju akan hal itu. Tapi, bila saya sudah terbentur pada dinding hingga yang tersisa hanya bertahan manakala mereka bertanya apa makna dari nama saya yang begitu panjang, maka saya akan berkata, berkilah, menyelamatkan harga diri yang sebenarnya itu tidak begitu penting bagi manusia macam saya. Saya akan berkata “menurut Shakespeare, apalah arti sebuah nama”, ya begitu, selalu begitu. Dan mereka yang merasa tidak terima, akan kembali berkata “nama itu doa”, di dalam hati “siapa juga yang ndak mau didoakan melalui namanya”, tapi sudahlah, pada akhirnya saya bangga dengan nama yang panjang yang ayah saya berikan, sematkan pada saya anak perempuannya.

-bersambung-

Wednesday, July 15, 2009

Saya yang sok tahu

chapter 3

Saya tidak tahu pasti apa yang ada di dalam pikiran mereka, yang saya tahu yang ada di dalam kepala saya adalah “mengapa mereka semua ingin menjadi pemimpin, ingin menjadi presiden???”, betapa berat beban menjadi seorang pemimpin, hingga bila ia salah di dalam langkahnya, maka NERAKA lah tempatnya. Bila memang sejatinya mereka pro pada rakyatnya, mereka benar-benar memikirkan rakyatnya, mengapa tidak dengan legowo berkata “silahkan, saya percayakan negeri ini untuk saudara pimpin, insya Allah kami mendukung sepenuhnya selama saudara masih memegang syariat Nya, selama saudara benar-benar tulus ingin bekerja dan mengabdi untuk rakyat Indonesia”.

Tidak ada yang dengan legowonya berkeinginan untuk percaya kepada saudaranya untuk menjadi pemimpin, belum ada yang bersedia menjadikan saudaranya sebagai pemimpinnya. Semua ingin bersuara, semua ingin menjadi presiden, seperti halnya semua ingin menjadi anggota legislative, mulai dari artis, tukang sate, tukang somay, sampai tukang becak. Apa salah? Tidak, tidak ada yang salah, semua memang mempunyai hak, tapi “segala urusan bila tidak diserahkan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.

Saya pikir, sampai beberapa hari kedepan, penghitungan akan terus dilakukan, entah itu manual entah itu dengan menggunakan system quick count. Akan sangat bijak bagi kita bila berpendapat bahwasannya siapapun yang menang nantinya, mari bekerja bersama, mari turut mensukseskan program-program yang digulirkan ia bersama kabinetnya, dan mari berkata siapapun yang menjadi pemimpin negeri ini nantinya, insya Allah itulah yang terbaik yang Allah putuskan bagi nasib bangsa ini kedepannya.

Ada hikmah, ada pelajaran dari debat, sindiran, kritikan, atau bahkan celaan dan sanggahan yang mereka sampaikan melalui media massa, elektronik, cetak. Baik yang disampaikan secara resmi, terbuka, blak-blakkan, mau pun yang disampaikan secara tersembunyi melalui permainan kata-kata.

Akan sangat bijak, bila dia yang terpiih nantinya, mau dengan lapang hati memanajemen sindiran, kritikan dari lawannya dengan beranggapan “mungkin memang seperti itulah saya, maka saya harus berubah, karena ternyata sikap yang seperti itu merugikan Negara, mempersulit rakyat Indonesia” atau jika memang dia tidak seperti itu adanya, maka alangkah bijaknya bila ia beranggapan bahwa “berarti sikap seperti itu tidak disukai oleh bangsa ini, maka insya Allah akan saya hindari”.

Akan sangat bijak bila kiranya, ia yang nantinya menjadi pemimpin bagi bangsa ini mau dengan berlapang dada, merealisasikan setiap program kerja yang rencananya akan digulirkan oleh masing-masing lawannya bila nantinya mereka menjadi salah satu pemenangnya.

Merebahkan diri sejenak, tubuh ini kembali mengalami disfungsi, ahh beberapa hari ini, disfungsi itu selalu datang dan pergi silih berganti. Saya manusia yang pandai bicara, pandai melihat keluar, ke sekeliling yang ada, yang dapat dijangkau oleh pandangan mata, yang dapat dirasa, diraba, hingga dapat didengar oleh telinga.

Tetapi saya buta, buta mata, hati, pendengaran dan buta akan rasa, karena sejatinya, cacat manusia yang lainnya begitu mudah dicari, begitu mudah ditelusuri, begitu mudah dicermati, tetapi cacat diri sendiri seperti tak nampak, berlagak sempurna padahal justru sebaliknya. Saya kosong, penuh dengan cacat dan carut marut di dalamnya, saya nampak bergerak tetapi sejatinya saya diam, hingga akhirnya diam itu = m.a.t.i, kalau bukan karena kemurahan hati Sang Maha yang sudah menciptakan diri ini.
-selesai-

Tuesday, July 14, 2009

Family tree


Tiga bersaudara

Sebenarnya empat bersaudara, yang satu adik bungsu saya, lelaki, tidak ada sedang bersama kami bertiga. Nah, yang kecil itu? itu sepupu, sepupu yang keberapa??? haduh saya lupa, soalnya kakek saya punya 13 orang anak dari 3 orang istri.

Mari sedikit mengulas keluarga besar yang saya punya. Kakek saya dari istri yang pertama, memiliki satu orang anak dan sekarang anaknya yang saya panggil dengan sebuatan "uwak" atau dalam bahasa jawa "bu de", sudah memiliki 6 orang anak dengan 5 orang cucu kalau saya tidak salah.

Sedangkan dari istri kedua, nenek kandung saya, beliau memiliki 10 orang anak, yang sudah menikah 9 orang.

Ibu saya anak pertama, dengan 4 orang anak dengan 3 perempuan dan 1 orang anak lelaki. Lalu tante saya dalam bahasa kami disebut "bi' sak atau bibi yang besak" dalam bahasa kami "besar itu memiliki arti sama dengan "besak", ia memiliki 4 orang anak, dengan 1 lelaki dan 3 orang perempuan. Kemudian tante saya yang berikutnya disebut "bi' ngah atau bibi yang tengah". Ia memiliki 4 orang anak, dengan 1 orang putri dengan 3 orang lelaki, yang paling bungsu baru berumur 4 tahun kalau tidak salah.

Berikutnya, anak kakek saya yang nomor 4 adalah lelaki, kami memanggilkan "mang sak atau mamang besak", dia memiliki 2 orang anak, tadinya saya pikir akan menjadi 3, tetapi menjelang hari kelahirannya, ia meninggal di dalam kandungan ibunya.

selanjutnya, anak kakek yang nomor 5, kembali perempuan. Kami memanggilkan "bi' cik atau bibi kecik". Dalam bahasa daerah kami, "kecik itu sama arti dengan kecil" dalam bahasa indonesia. Dia memiliki 2 orang anak, seorang perempuan dan seorang lelaki.

Anak kakek yang nomor 6, kembali perempuan. Masih disebut "bi' cik", dia memiliki 2 orang anak, seorang lelaki dan seorang perempuan. Nah yang perempuan itu yang saya p
"pangku" di dalam photo di atas.

Anak kakek yang nomor 7, perempuan lagi. Masih disebut "bi' cik" juga, dia tidak memiliki anak kandung, tetapi memiliki 1 orang anak angkat, putri. Dan bagi kami keluarga besar, mau anak kandung, mau bukan, sama saja, saudara semuaaaaaa.

Anak kakek yang nomor 8, lelaki. Kami menyebutnya "ma' ngah atau mamang tengah atau mamang yang berada di tengah". Dia memiliki 1 (satu) orang anak, perempuan, mau memasuki usia Taman kanak-kanak kalau tidak salah.

Anak kakek yang nomor 9, lelaki juga. Kami menyebutnya "ma' cik atau ma' cek atau mamang kecik atau mamak kecik atau mamang yang kecil. Dia memiliki 1 (satu) orang anak, perempuan, belum ada satu tahun.

Anak kakek yang nomor 10, yang bungsu dari istri kedua. Masih disebut "ma' cik atau ma' cek". Karena dia belum menikah, jadi ya tentu saja dia belum memiliki anak.

Istri kakek yang ketiga, Saya tidak pernah tahu seperti apa wajahnya, tapi dari istri ketiga kakek saya ini. Beliau memiliki 2 orang anak, perempuan semua.

Anak pertama, kami menyebutkan "bi' cik atau bibi kecik", dia memiliki 2 orang anak kalau saya tidak salah. Dan anak kedua kakek saya ini, belum menikah, jadi ya tentu saja dia belum memiliki anak.

Jadi, kalkulasi semuanya, kakek saya memiliki 3 orang istri, 13 orang anak, dan 27 orang cucu, serta 5 orang cicit.

Mari menatap hari

Pagi tanggal 14 juli 2009, sedih itu sudah hilang, mencoba memaafkan sumber kesedihan, karena ia memang menyedihkan. Mencoba menelan pil pahit akibat janji-janji yang selalu diabaikan, yang kerap dibatalkan dengan kata-kata andalan melalui pesan "afwan", selalu begitu, selalu seperti itu.

Sehari yang lalu, kemarin tepatnya tanggal 13 juli 2009, ia sudah kerap kali berjanji untuk kemudian mengabari kembali melalui sebuah pesan singkat dengan berkata "afwan sefta". Aku manusia, mencoba menembus batas ke-manusiaan ku dari berkata, beranggapan bahwa "sabar ada batasnya". Mencoba mengenyahkan jauh-jauh dengan berkata "tidak apa, ya sudah", pada awalnya. Berkali-kali, kepala dan hati diliputi rasa bosan dengan janji yang sudah beberapa kali tidak pernah ditepati oleh nya, oleh dia. Dengan mengemukakan berbagai macam alasan, hingga menurut kepala saya lebih tepatnya dia mengajukan alasan sebagai pembenaran.

Kemarin, 13 juli 2009, satu pelajaran "jangan pernah berharap pada manusia", pada akhirnya kecewa itu muncul ke permukaan. Untuk kesekian kali, janjinya ia batalkan, rasa marah, sedih, kesal, bercampur baur di dalam hati saya. Enggan untuk segera beranjak angkat kaki dari masjid kampus Al wasi'i, ada rasa sedih di dalam hati yang harus aku obati, segera agar tidak berbuah penyakit hati suatu hari nanti.

Air mata itu hampir jatuh rasanya akibat rasa kesal dan kecewa yang sudah memuncak rasanya. Tapi, tarikan nafas panjang itu meredakan, mencoba merebahkan diri, sembari menata hati dan pikiran, menanamkan, menancapkan dengan sekuat tenaga di dalam hati dan pikiran bahwa "dia hanya manusia" serta sesekali mematri di dalam hati "coba posisikan dirimu pada posisinya". Sudah, selesai, sebuah pesan saya kirimkan, pesan yang terkirim karena saya memang sudah tidak dapat lagi berbuat apa-apa, bersama pesan itu saya katakan "terserah saja, saya sudah lelah, sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa".

Saat itu, ingin menangis keras rasanya, ingin mendengar suara ayah, suara ibu lalu berkata "ibu saya sedang sedih". Tapi itu hanya sebatas angan, keinginan itu saya batalkan, saya biarkan rasa sedih itu berlalu bersamaan dengan dentang jarum jam "tik tak, tik tak". Saat itu adalah saat itu, maka beberapa jam kemudian, di dalam gelap remang-remang dini hari, hari ini.

Di dalam diam, hening yang sesekali diselingi lolongan anjing tanpa henti sejak pkl 23.39 malam tadi, saya bercerita, saya tumpahkan semua, saya mengadukan apa yang saya rasakan, hingga helaan nafas itu membantu menjernihkan pikiran dengan berkata "maafkan saja", ya hanya itu yang saya punya, rasa memaafkan sembari berharap agar Dia memberikan kesabaran.

Beberapa jam berlalu, pagi ini, membukan hari dengan mengucap doa selepas bangun dan terjaga dari tidur yang tak sampai 3 jam rasanya. Semanga itu harus ada, harus tetap ada, senyum itu harus tetap disunggingkan, ditampakkan pada manusia yang lainnya, karena ada hak mereka atas diri saya. Pagi ini, yang kemarin ya itulah kemarin, sudah berlalu beberapa jam yang lalu, harus tetap melangkah, menatap hari dengan senang.


Menghirup udara pagi dalam-dalam, mendengarkan kicau burung-burung yang semakin lama semakin riuh terdengar. Sesungguhnya terdapat tanda-tanda kekuasaan Nya di balik pergantian siang dan malam, ada kuasa Nya pada burung-burung yang terbang hilir mudik mencari makan, membuat sarang, yang berkicau setiap harinya.

Cinta sebening embun, mari menatap hari dengan semangat tinggi, tidak terlampau berlebihan di dalam kurang, tidak pula terlampau berlebihan di dalam lebih. Tidak boleh kalah dengan matahari, tidak juga boleh mengalah pada burung-burung pagi, tidak juga mengalah pada hembusan angin di pagi hari, hari ini.

Monday, July 13, 2009

Semua demi apa yang namanya DEMOCRACY

Kontemplasi 8 Juli 2009
chapter 2


"mari merenung sejenak"

Berapa banyak kertas yang dihabiskan, berapa banyak plastik dan kain yang akhirnya hanya menjadi tumpukan, onggokan, dan berapa banyak cat warna yang habis hanya untuk pudar sia-sia dimakan cuaca yang semakin tidak menentu saja. Hingga, berapa banyak lagi pohon-pohon yang harus ditebang karena kebutuhan manusia akan kertas yang semakin meningkat setiap harinya.

Berangkat dari rasa muak, karena sikap berlebihan tim sukses masing-masing pasangan dalam mengiklankan, dalam berjanji, maka saya bingung hingga akhirnya saya putuskan, kali ini saya tidak akan memilih sepertinya. Tetapi ini lah saya kini, manusia dengan noda biru tua di jari kelingkingnya, noda itu saya dapatkan tepat setelah saya memilih satu dari tiga calon presiden yang ada di dalam kertas, di dalam bilik suara.

Quick count, manusia bersifat tergesa-gesa, dan karena sifat ketergesa-gesaan itu pulalah akal dan pikirannya berkata, “mengapa tidak membuat sebuah inovasi dengan menggunakan system penghitungan cepat untuk mendapatkan hasil yang paling tidak mendekati akurat”, maka terlahirlah system quick count ke dunia.

Salah satu capres dipastikan menang dan pilpres nampaknya benar-benar akan menjadi satu putaran. Bangsa ini benar-benar membutuhkan orang dewasa yang berpikiran dewasa, sejatinya bagi yang menang semakin merendah ia, hatinya. Laksana padi yang semakin padat berisi bulirnya, maka semakin merunduklah ia karena isinya. Seperti itu pula harapannya pada manusia, seperti itu pula seharusnya yang terjadi pada capres yang diprediksikan unggul oleh media. Dan bagi yang kalah, seyogyanya menerima kekalahan dengan lapang dada.

Bukan dengan mengumbar “bla…bla…bla.. menang” atau “bla….bla..bla… terjadi kecurangan”, yang satu takabur, yang satu sibuk mencari kesalahan, mencari kambing hitam, hingga yang saya khawatirkan karena ia dilengkapi dengan 9 perasaan dan 1 logika, maka ia akan berkata “pemilu harus diulang”, maka saya akan berkata “masya Allah, demi Allah, semakin gila manusia”, mereka katakan proses demokrasi, ada juga yang katakan “untuk belajar berdemokrasi, tak mengapa banyak dana dihabiskan”.

Baiklah, Ok, saya marah, “astaghfirullah, sontoloyo, gila, edan, mual rasanya”. Demokrasi ??? demokrasi macam apa yang ada di kepalamu, demokrasi macam apa, bila rakyat di luar sana menggelandang, busung lapar, gizi buruk. Demokrasi macam apa hingga hampir semua anggaran Negara dikucurkan ke sana, untuk dana kampanye, bilik suara, kertas suara, dan segala macam tetek bengek lainnya.

-bersambung-

Saturday, July 11, 2009

Prologue

Kontemplasi 8 juli 2009,
chapter 1


"mari mengulas kembali"

Kadang apa yang menurut kita penting, belum tentu menurut orang lain penting. Miris, seperti menagih simpati dari sesama kalangan manusia. Malang, laksana seorang lebay yang tak ada satu orang pun mau memperhatikan.

Mari berkisah di sebuah halaman word berwarna biru tua, pekat, ditemani nyanyian orchestra jangkrik-jangkrik rawa, sembari sesekali terdengar suara riuh ramai kendaraan yang lalu lalang di luar sana, sembari sesekali dijeda dengan deru klakson transportasi paling egois abad ini, kereta api. Entah mengapa hingga kini masih dinamai kereta api, padahal seumur hidup saya, tidak pernah melihat kereta itu mengeluarkan api.

Hari ini, tgl 8 juli 2009, menjadi hari paling bersejarah bagi rakyat Indonesia yang beragam macam suku bangsa, agama, dan budaya. Pemilihan umum presiden secara langsung untuk kedua kalinya setelah yang pertama kali dilakukan pada tahun 2004 silam.

Tidak ingin memilih pada awalnya, tak lain dan tak bukan, karena di lingkungan asrama, kami-kami mahasiswa sudah sejak lama kehilangan hak pilihnya, entah mengapa. Bahkan saya yang sudah bertahun-tahun berada di daerah ini pun, tetap saja tidak mendapatkan hak untuk memilih, kecuali pada pemilu tahun 2004 lalu.

Ibu saya bilang, “pulang, sayang satu suara, usahakan untuk pulang”. Nampaknya kali ini, kami satu keluarga memiliki satu suara, memilih calon yang sama. Agak malas sebenarnya, karena beberapa hari yang lalu, karena pulang pergi, akhirnya tubuh ini menunjukkan keeksistensiannya atas diri saya. Sebagian besar mengalami disfungsi, dimulai dari sakit kepala yang luar biasa, disusul dengan flu dan batuk yang tak terhingga, lalu demam hingga akhirnya penyakit maag itu pun ikut bersuara, ia turut andil dalam acara “pesta mogok” yang dilakukan oleh tubuh saya.

Benar-benar tim yang solid, benar-benar kolaborasi yang sempurna. Akhirnya, traumatic, saya putuskan untuk tidak pulang, tidak memilih, “toh, yang terpilih pun tidak akan bisa membantu menyelesaikan tugas akhir saya” begitu kata saya pada ibu. Dan keesokan harinya “bu, tolong surat undangan untuk memilih saya dibawa, insya Allah saya sampai di rumah pkl 11”, begitu kiranya bunyi pesan saya pagi ini.

Memutuskan untuk pulang pergi, entahlah, panggilan nurani, ya saya menamakan ketololan saya kali ini dengan sebutan “panggilan nurani”. Saya tiba di kotabumi, perjalanan 2 jam dari tanjung karang, tempat saya menuntut ilmu. Kata ibu “langsung saja ke tempat Om wustho”, ya rumah pak RT masih tetap menjadi tempat pemungutan suara. Entah sejak tahun berapa bapak yang satu itu menduduki jabatannya, yang jelas, sepertinya ia memang tidak pernah ada yang menggantikannya. Apakah pak RT itu ingin seperti bung karno yang berkeinginan menjadi presiden seumur hidupnya???? Sepertinya tidak, sepertinya bukan. Karena setahu saya RT tidak digaji, selain dari pada tanggung jawab yang menanti.

Perbedaan antara kedua jabatan itu adalah bahwa jabatan yang pertama RT tentunya, bisa dihitung dengan jari orang-orang yang mau mengembannya, atau memang tidak ada, bahkan meskipun RT sebelumnya ingin menyerahkan tampuk kekuasaannya dengan sukarela, tetap saja, tidak akan ada yang mau mengembannya menggantikan pejabat sebelumnya.

Berbeda dengan jabatan yang satunya, presiden. Manusia rela mati demi mendapatkannya, capres-capres menghabiskan dana yang tak terbayangkan oleh gelandangan-gelandangan yang kelaparan di luar sana, yang mungkin memegang uang 50ribu rupiah saja sudah bukan main senangnya. Milyaran rupiah tidak tanggung-tanggung mereka keluarkan.

Muak, saya muak, melihat iklan-iklan yang bertebaran, ditambah lagi dengan spanduk, baliho, papan reklame, semua ada, semua lengkap, setiap sudut jalan tidak akan luput dari gambar-gambar yang hanya akan menjadi sampah pada akhirnya.

------

Friday, July 3, 2009

Rujak bebeg-rujak bebegk atau rujak bejeg ???

Rujak bebeg atau sebenarnya rujak bebegk, ah entahlah, pertama kali mendengar, pertama kali tahu tentang makanan atau panganan ini kira-kira pada saat saya sedang duduk di bangku sekolah dasar, kelas berapa sudah tentu saya sudah lupa.

Menurut penuturan ibu saya, pada saat saya masih amat sangat bengal, bandel, dan super duper nakal, saya begitu "lapar mata", melihat apa-apa yang muncul di televisi, maka serta merta saya akan berkata "ibu, beliin itu ya", selalu begitu, mungkin itulah kenapa ibu saya begitu melarang saya berdiam diri di depan kotak ajaib yang kadang membuat saya lapar mata, ingin membeli, ingin memiliki semua yang ada, yang muncul dari dalamnya.

Hari itu hari apa, sudah pasti saya lupa, karena sudah beberapa tahun yang lalu. Seingat saya, saat itu siang hari, film aktor legendaris yang juga humoris dan seorang budayawan, sedang diputarkan. Judulnya apa, sudah tentu pula saya lupa, yang saya ingat si dia, si babe, si benyamin, sedang menjajakan dagangannya, sembari berteriak-teriak berkeliling kampung, "rujak bebeg, rujak bebeg" begitu katanya.

Penasaran, seperti apa rupanya, seperti apa pula rasanya itu makanan yang bernama rujak bebeg. Bertahun-tahun berlalu, saya bukan lagi anak ibu yang begitu sedemikian sehingga lapar mata, manakala melihat sesuatu yang menurut orang lain menggiurkan selera. Mungkin karena saat masih kanak-kanak penyakit lapar mata itu sudah puas merajalela, menguasai hati dan kepala, hingga ketika dewasa, yang tersisa hanya rasa bosan saja.

Saya tidak lagi ingat dengan itu "rujak bebeg", sama sekali tidak. Sampai suatu hari, ketika saya dan dua orang teman saya bertandang ke kota jakarta untuk sebuah acara tahunan IPA di JCC Hall. Beberapa hari kami berada di ibukota indonesia tempat segala macam suku, budaya, bahasa, bangsa dan agama ada. Mendekati hari kepulangan, mereka sengaja menemani saya mencari MP3, teman yang ujung-ujungnya ternyata lebih dari sekedar teman bagi saya beberapa tahun kemudian. Tapi bukan MP3 yang akan saya kisahkan kali ini, tetapi tentang rujak bebeg dan si abang pedagang rujak bebeg di kota ini.

Mendekati stasiun kota Jakarta, melewati jalan sempit untuk menyebrang menuju ITC mangga dua, ya kalau saya tidak salah. Tanpa dinyana, tanpa saya duga, di sepanjang jalan sempit itu, banyak sekali pedagang yang mencari rezeki dari setiap manusia yang lalu lalang. Awalnya saya tidak peduli, hingga mata saya tertumpu pada sebuah tulisan "rujak bebeg". Hhahhh gak salah, rujak bebeg, ibarat pucuk di cinta ulam tiba, melayang-layang rasanya, hingga saya merasa akhirnya saya dapat merasakan juga seperti apa itu rasanya rujak bebeg.

"bang saya beli satu"

Dua tahun atau mungkin lebih, sudah berlalu. Tak perlu lagi mencari hingga ke ibukota negeri ini untuk mendapatkan itu rujak bebeg, karena ternyata lambat laun itu rujak mulai merambah pasar propinsi lampung yang saya tinggali ini.


-Lapar, alhamdulillah abang dog-dog sudah datang, nasi goreng plus mie goreng pedas, sebentar lagi insya Allah sudah bisa mengobati rasa rindu ini pencernaan pada apa yang namanya makanan-

Suatu kali, saya membeli itu panganan tepat di sebelah jalan masuk swalayan. Khas-khasnya pedagang rujak bebeg, tidak dengan gerobak tetapi dengan memanggul barang dagangannya. Kenapa dikatakan rujak bebeg, ya karena itu rujak dibejeg-bejeg dengan kayu yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai "alu", tapi lebih kecil tentunya.

Saya cerewet, tidak bisa diam barang sekejap saja, maka jadilah si abang pedagang sibuk berlipat ganda. Di satu sisi, dia menyelesaikan pesanan saya, di sisi lain si abang meladeni pertanyaan-pertanyaan tidak penting yang saya ajukan. Mulai dari "asalnya darimana bang?" dan si abang menjawab "dari jawa mbak". Lalu, "sudah lama jualan rujak bebeg bang?" si abang kembali menjawab "baru berapa bulan mbak".

"emang ini makanan aslinya dari mana tho bang?" si abang masih sabar rupanya "dari jawa barat mbak, tapi rata-rata yang jualan dari jawa tengah kesana mbak". Ooo baru tau saya kalau ternyata rujak bebeg itu makanan asli propinsi jawa barat, saya pikir makanan asli betawi, ya karena yang pertama kali saya lihat mempopulerkan makanan jenis ini yang bang benyamin itu.

Saya masih terus bertanya, seputar "sering dipalak gak bang? biasanya sehari dapet berapa bang?" sampai "kenapa milih jualan rujak bang", begitu kira-kira pertanyaan terakhir saya. Lalu, dia berkata seperti ini pada saya, he..3x "Daripada mencuri mbak, daripada minta-minta, malu". Begitu katanya, begitu ujar si abang penjual rujak bebeg itu.

Whuuuiiiih, si abang canggih, begitu kira-kira perasaan saya saat itu. Ahh si abang jadi mengingatkan saya pada si dani penjual koran di perempatan. Si abang jadi mengingatkan saya pada penjual pop mie di atas kereta jurusan rajabasa-kotabumi.

Lama, tidak lagi berjumpa dengan itu abang pedagang. Sampai siang ini, keinginan untuk merasakan rujak bebeg itu kembali datang, "satu bang", "pedes mbak?" begitu tanya si abang "yups, pedes baaangett bang", begitu saya berkata sembari memberi penegasan.

Imbas dari penegasan "pedes bangettt" baru terasa beberapa jam kemudian. Itu rujak bebeg bekerja seperti obat pencahar, bekerja seperti aktivia, bekerja lakasana dulcolax dan vegeta. Hahhh, sudah dzalim pada sistem pencernaan saya ternyata, dan malamnya saya kelaparan. Imbas dari "pedas banget" berbuntut panjang, semua yang ada di dalam pencernaan dikeluarkan dengan paksa, seperti tanpa sisa. Buntutnya, rasa lapar itu mendera hingga akhirnya abang dog-dog menjadi sasaran utama "bang, satu nasi goreng sama mie goreng pedes banget ya"....

Lagi-lagi makan pedas, tapi baiklah jangan fokus pada seperti apa pola makan saya. Mari menitik beratkan pada si abang penjual rujak bebeg yang ternyata masih bisa berkata "dari pada menjadikan mencuri sebagai propesi, daripada menjadikan meminta-minta sebagai mata pencahariannya, si abang lebih memilih berjualan gaya bang ben beberapa tahun silam -rujak bebeg- menjadi pilihan".

Semoga Allah melapangkan rezeki si abang dan abang-abang lainnya yang bekerja demi apa yang namanya sebuah penghidupan.

Wednesday, July 1, 2009

Listrik padam, alhamdulillah

Listrik padam, menulis atau lebih tepatnya mengetik di dalam kegelapan, ditemani alunan musik toshiro masuda, meraba-raba tuts keyboard laptop yang tak terlihat kerana gelap, tapi subhanallah insting yang Dia ciptakan, tak banyak kesalahan yang saya lakukan.

Listrik padam, sebagian besar aktivitas di jalan kopi, di Asrama Annisa ini terhenti, tidak ada suara nyaring televisi, tidak pula suara-suara merdu penyanyi-penyanyi band pendatang baru, atau pun suara musik gila yg berasal dari kost-kostan tetangga.

Beberapa orang kawan yang berasal dari jurusan yang sama, jurusan fisika, yang berdomisili tidak jauh dari tempat saya berada. Terkadang sering kali menggoda bila listrik padam itu tiba, “belum bayar listrik” begitu katanya. Saya hanya tertawa, tertawa penuh tanda Tanya atas kelakar mereka. Kadang rasa kesal itu tiba, bertanya, berpikir, bagaimana mungkin sekaliber propinsi bisa acap kali mengalami apa yang namanya pemadaman bergilir, terkadang bukan lagi pemadaman bergilir, tetapi lebih nampak pemadaman tak tentu waktu.

Lebih mengesalkan lagi karena wilayah kampus terkadang terkena imbas dari pemadaman, berpikir, pantas saja kiranya propinsi ini tidak maju-maju begitu kata kepala dan hati saya pada saat itu, dan saya sudah lupa kapan kiranya kepala dan hati saya mengatakan itu.

Tak selamanya yang nampak negative itu begitu negative, pun sebaliknya. Tak selamanya yang nampak positif itu sebenarnya positif, kamu tak mengerti, saya pun tak mengerti.

Sisi lain dari listrik yang padam malam ini, bahwasannya ada pemandangan lain yang lebih indah dari pada sekedar memandangi pemandangan yang ada pada saat lampu-lampu itu menyala, dari pada pemandangan buatan yang televisi tampakkan melalui ketampanan, melalui kecantikan, melalui kemolekan tubuh pria dan wanita yang sebenarnya hanya kamuflase belaka, yang saya pikir, semua itu keindahan yang sia-sia.

Keindahan itu ada pada gugusan bintang-bintang yang nampak tersebar, nampak mengacak, nampak tak beraturan tetapi justru sebaliknya. keindahan itu ada pada malam yang Ia ciptakan, malam yang sudah menggantikan siang pada hari ini, malam yang dipenuhi dengan bintang-bintang yang bertaburan.

Ada kesenangan, ada ketenangan, ada kebahagiaan yang muncul dari listrik yang padam pada malam ini hari ini. Setidaknya terhentilah semua nyanyian-nyanyian duniawi yang melenakan, yang dilantunkan oleh suara-suara merdu yang Allah ciptakan, anugerahkan pada manusia-manusia agar dengan suara merdu yang mereka dapatkan, mereka dapat bersyukur dan bertasbih menyebut asma Nya, tapi entahlah, waallahu alam, seberapa banyak dari mereka, kita, manusia yang menyadari itu semua.

Alunan-alunan musik dunia, picisan, roman-roman cinta sia-sia yang melenakan, semua terhenti. Pada kenyataannya, menurut hati dan kepala diri saat ini, ada alunan musik yang lebih indah dari itu semua, ada harmoni yang lebih merdu dari pada sekedar tabuh genderang, petikan gitar, atau dentingan piano yang manusia hasilkan dari gerak tangannya. Alunan musik itu muncul dari jangkrik-jangkrik yang mengerik, harmoni itu tercipta dari serangga-serangga yang menghuni rawa yang berada tepat di belakang asrama.

Hingga pada akhirnya, Alhamdulillah untuk listrik yang padam, yang menyala tak berapa lama kemudian. Tidak ada suara televisi yang terdengar meskipun listrik sudah menyala yang menghasilkan terang benderang. Manusia-manusia itu sudah lelah dalam aktivitas seharinya, manusia-manusia itu sebagian besar memilih mengakhiri harinya di dalam lelapnya, di dalam dengkurannya, di dalam nyenyak tidurnya.

Cinta, aku cinta, suka aku suka, ada keindahan di balik kegelapan, ada kesejukan di balik dinginnya, derasnya air hujan, ada semangat di balik panas matahari yang menyengat, pada akhirnya dengan menyebut nama Nya, akal, pikiran berkata Alhamdulillah untuk itu semua.