Pages

Showing posts with label langkah kaki. Show all posts
Showing posts with label langkah kaki. Show all posts

Friday, June 1, 2012

Dunia benar panggung sandiwara

Mari berbual-bual tentang kehidupan. Malam semakin larut, adzan isya baru saja selesai dikumandangkan, dan itu berarti tak berapa lama lagi orang-orang kampung akan datang ke rumah ini, untuk memulai tahlilan. Tahlilan yang sudah berlangsung sejak hari minggu yang lalu dan malam ini memasuki malam ke 6.

Di dusun ini, apabila ada yang meninggal, terkadang ada keluarga yang memutuskan untuk -mentahlilkan- anggota keluarganya tersebut sampai 7 malam berturut-turut. Bahkan, memberikan bingkisan tanda terima kasih pada tamu undangan yang datang, bayangkan kalau ada 1000 orang yang datang, sementara si keluarga yang ditinggalkan notabenenya adalah keluarga yang tidak mampu. Kalau begitu, setiap keluarga akan berdoa supaya anggota keluarganya tidak pernah meninggal, karena meninggal itu ternyata -mahal- harganya.

Setiap yang hidup akan merasai mati, hal yang pasti. Ketika kita berpikir, berangan-angan tentang yang tak pasti, merencanakan yang belum pasti, tetapi seringkali terlupa tentang yang pasti, MATI.

Dunia ini panggung sandiwara, benar-benar panggung sandiwara. Menjadi -familiar- ketika gelar sandiwara itu berubah nama menjad -drama, sinetron- dan sebagainya. Lingkungan sekitar kita tak ubahnya seperti cerita dalam sebuah sinetron kejar tayang, yang setiap hari tayang di televisi, dari hari ke hari. Tayangan yang menjadi konsumsi ibu-ibu, ibunya ibu, sebagai pengganti drama telenovela beberapa tahun yang lalu, yang dulu.

Aku bercerita tentang lingkungan tempat dimana aku tinggal, suasana yang begitu asing, atmosfer yang aku hindari, sejatinya benar-benar aku hindari, tetapi pada kenyataannya Allah menginginkan aku berada di lingkungan itu, berada di sini.

Para lelaki sudah berada tepat di bawah kamar ku, mereka sebentar lagi akan memulai membaca doa-doa, yang sebenarnya kalau diartikan dalam bahasa indonesia, doa itu untuk diri sendiri dan keluarga si pembaca doa, bukan untuk yang meninggal, karena 'doa anak yang sholeh dan sholehah' yang sebenarnya akan cepat sampai ke Almarhum, sebut saja namanya Pak Imam. Dan almarhum adalah seorang lelaki yang sudah beranak dan bercucu.

Sepeninggalnya, cucunya menangis tersedu-sedu, begitu juga ketiga anaknya, yang dua orang lelaki dan seorang perempuan. Tetapi, kepada salah seorang cucunya aku berpikir "tangismu akan terhenti ketika matamu dihadapkan pada uang -sumbangan- para pelayat itu" lalu "sedihmu pun tak akan lama, begitu diberikan mobil dari orang tuamu" begitu pikirku saat itu, dan -wallahhh- hari kedua sang cucu sudah tertawa terbahak-bahak, memerintah neneknya yang sudah tua, berkata kasar, menyanyi seperti seseorang yang gagal rencana keartisannya. Pikirku "tebakkanku sungguh jitu"

Dan untuk anak lelaki si almarhum, sebut saja namanya Ridwan yang lebih banyak diam, tenggelam dalam alam pikirannya. Bersyukurnya almarhum, karena dari ketiga anaknya, hanya dialah yang menunaikan sholat wajibnya. Harapanku saat itu, semoga anak tak lupa mendoakan bapaknya, yang sudah berada di alam sana.

Anak perempuannya sebut saja namanya Nindi, yang hanya terlihat di hari kematiannya, sisanya? dia tidak pernah nampak, karena memang sudah berpindah agama, menjadi seorang nashara/nasrani. Tetangga kiri dan kanan bergumam "sungguh berat beban almarhum, karena anak perempuannya berpindah agama". Dan pada suatu ketika, anak lelaki almarhum yang lain berkata, "dia (anak perempuan) bilang, tidak menemukan ketenangan ketika sholat, tetapi menemukan ketenangan di dalam agama barunya" begitu ceritanya.

Dan anak lelakinya yang lain, kita sebut dia dengan nama Rio, menurut cerita tetangga kiri dan kanannya, menurut cerita si nenek yang adalah ibunya si anak lelaki ini (*sebut saja namanya Yati). Katanya, tabiatnya yang buruk, tidak dapat diandalkan, melulu hanya berpikir, berbicara tentang uang. Bahkan ketika si almarhum sudah tak ada, anak lelaki ini berkata "biar saya yang urus pensiun bapak". Ibunya hanya diam, tak ingin semakin membuat kusam situasi yang memang sudah runyam.

Dunia ini seperti panggung sandiwara, benar-benar panggung sandiwara, dan keluarga ini tak ubahnya seperti cerita di dalam sebuah sinetron kejar tayang. Ketika si ibu bercerai secara agama dengan almarhum, kemudian ketika si ibu yang sudah renta itu melulu membanggakan anak perempuannya yang sudah berpindah agama, melulu menegatifkan anak lelakinya yang terakhir itu, dan begitu mengelu-elukan, membanggakan cucunya, anak dari anak perempuannya.

Seperti kisah sinetron, ketika pada awalnya si ibu dan suaminya yang kini sudah almarhum, adalah pada mulanya sebuah keluarga yang kaya raya. Kemudian sampai ibu dan bapak bercerai, kemudian anak perempuan dan anak lelakinya yang berfoya-foya, ke tempat hiburan malam, sampai ketika cucu perempuan si ibu, (*sebut saja nama cucu itu Riri) mendapati Nindi (ibunya) dan Rio (pamannya) sedang menghisap narkotika bersama-sama.

Pak imam dan ibu Yati memiliki 2 orang putera dan 1 orang puteri. Cerita dimulai ketika Ibu Yati dan Pak Imam memutuskan untuk berpisah Pada saat itu tak berapa lama, Nindi melahirkan anaknya yang kemudian diberi nama Riri. Nindi adalah seorang wanita karir yang kemudian bekerja di Ibukota, kecintaannya pada pekerjaan membuat dia meninggalkan bayinya pada ibunya, ibu Yati. Sampai suatu ketika, Nindi bercerai dengan suaminya. Singkat kata singkat cerita, nindi mengikuti jejak kedua orang tuanya -bercerai-. 

Aku temukan perceraian menjadi hal yang biasa, ketika tetangga kiri dan kanan, termasuk ibu yati bercerita tentang -si anu, si itu- dan masih banyak lagi yang lainnya -bercerai-, dengan anak satu, dua, atau tiga.

Lambat laun Riri menjadi dewasa, kemudian menjadi terpukul ketika dia dihadapkan pada 'ibunya, nindi, pindah agama'. Riri semakin menelan pil pahit ketika dihadapkan pada fakta yang tak kunjung berujung mengenai siapa ayah kandungnya. Setelah bercerai, nindi menikah lagi dengan Wijaya, orang-orang berkata -wijaya adalah ayah biologis riri', sementara suami pertama Nindi, bukan ayah biologis Riri, "cuma formalitas" begitu ujar tetangga.

Keadaan yang rumit, membuat Riri tumbuh menjadi anak perempuan yang keras. Dan semakin rumit ketika Ibu yati mendidik Riri dengan manja. Riri tumbuh menjadi gadis yang melulu berpikir tentang uang, tak peduli neneknya memiliki uang atau tidak. Bahkan, Riri pun bisa dengan mudah meneriaki neneknya, berkata kasar pada nenek yang sudah membesarkan dia, yang memasakkan air mandi untuknya setiap pagi, yang memijitinya ketika kelelahan, bahkan yang menyuapinya sampai umurnya sudah menginjak 17 tahun. Pendek kata, neneknya tak ubahnya seperti "kacung, pembantu" baginya. Persis seperti 'sinetron Hidayah yang ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta beberapa tahun yang lalu'.

Sampai saat ini, aku tetap tak habis pikir, kejadian seperti ini benar-benar ada di dunia. Kejadian tentang orang tua yang bercerai, kemudian anaknya pun bercerai. Tentang anak lelakinya yang menghambur-hamburkan uang orang tuanya, bahkan kesimpang-siuran cerita antara sang ibu, Yati, dengan sang anak, Rio. Semua nampak begitu membingungkan.

Tentang bagaimana Riri bisa dengan beraninya memanggil ibunya hanya dengan "Si Nindi itu sudah kasih uang belum?" atau suatu ketika "kamu yang goblok" begitu dia membentak neneknya. Atau ketika dia tertawa-tawa ketika melihat uang, ketika dijanjikan untuk dibelikan mobil oleh Wijaya, suami kedua ibunya. Meskipun pada kenyataannya, para tetangga berkata "ibu yati hutangnya banyak, bahkan meskipun rumah itu dijual, hutangnya tak tertutup". Beberapa orang bilang, "hutang itu karena Rio" ada juga yang bilang "hutang itu karena Nindi". Semua begitu simpang siur, tak jelas. Dan entah dimana letak hubungan kekeluargaan mereka, antara anak, ibu, saudara, menantu.

Karena ketika Ibu Yati mengadakan acara tahlilan di rumahnya, dua anak menantunya yang perempuan, tidak lagi nampak, kecuali di hari pertama dan kedua. Sisanya? keponakan ibu Yati dan beberapa orang tetangg membantu ibu Yati mempersiapkan segalanya. Bahkan Riri pun hanya sibuk dengan telepon genggam dan kegiatan bersoleknya.

Semua begitu membingungkan, bukan karena begitu inginnya aku untuk ikut campur ke dalam sebuah sandiwara drama. Tetapi aku tak ubahnya seperti manusia naif yang termelongo berkata "ada ya kejadian seperti ini di dunia nyata". Melulu begitu isi kepalaku berkata, bahkan sampai saat ini aku masih tak habis pikir dengan apa yang terjadi pada atmosfer tempat aku berteduh kini. 

All i can do, berdoa semoga apa yang terjadi di sekelilingku saat ini, tidak terjadi pada keluarga dan orang-orang terdekatku. 

Seperti ini yang nampak ketika manusia tidak mengenal Tuhannya, tidak mendekatkan diri pada Allah ta'ala. Melainkan menjadikan dunia sebagai tujuan, menjadikan harta sebagai idaman, sebagai idola di dalam hidupnya. Dan begitu menyedihkan ketika menjadikan agamanya sebagai permainan. 

Naudzubillah, semoga Allah menjauhkan aku, keluargaku, orang-orang terdekatku dan kamu dari siksa kubur, siksa api neraka, dan tipu daya dunia. Amin

Thursday, May 10, 2012

Bocah lelaki dengan burung besi bernama sukhoi jagoannya

Mentari beranjak ke peraduan, burung-burung sudah terbang pulang kembali ke sarang. Kota ini seakan tidak pernah mati. Suara deru mesin kendaraan roda dua, roda empat hilir mudik ke sana ke mari. Suara anak-anak, balita, orang tua, muda memenuhi rongga-rongga udara yang kemudian tertiup terbawa angin petang, hingga dalam hitungan beberapa meter, suara-suara itu masih akan terdengar oleh telinga manusia dan makhluk hidup yang lainnya.

tidak ada angin bertiup senja yang semakin temaram ini. Hanya sisa-sisa awan yang sebenarnya berwarna biru, putih, atau sebenarnya tak berwarna, yang kemudian serta merta berubah menjadi gelap, suram, kelabu manakala mentari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan awan yang tetap berada di atas, langit katanya. Berjejer rapi, tanpa pernah runtuh, jatuh ke bumi meskipun sejatinya awan-awan itu tidak ada yang menyangga, tidak pula ada tali yang menggantungnya. 

anak kecil itu terdiam, duduk menekuri  pinggir jalanan sebuah desa di salah satu kota yang ada di Indonesia. Dia adalah satu titik yang ada di dunia, yang tinggal di sebuah negeri, negeri antah berantah kata orang 'berambut pirang' di sana. Anak lelaki kecil itu beralaskan sendal jepit, memanggul bongkah-bongkah es batu yang di letakkan di dalam sebuah karung, tepat di punggungnya.

apakah lahir dapat memilih? tidak ada yang bisa memilih. Sebagian orang merasa beruntung lahir di tengah keluarga yang kaya, dengan harta melimpah, fisik dan wajah yang tampan, gagah, rupawan, dengan makanan minuman yang luar biasa enaknya. Dan sebaliknya, sebagian orang merasa tak beruntung ketika lahir dan hidup dari keluarga yang sebaliknya.

dia adalah anak lelaki, berusia 13 tahun, tinggal di sebuah desa, dengan kaki-kaki yang yang kokoh, dengan jari jemari kaki yang kuat menapak, memijakkan diri ke bumi. Dia berjalan di bawah terik matahari, setiap hari, dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun.

Hari itu dia terduduk di tepi jalan yang bersisian dengan sawah yang hampir menguning padinya. Anak lelaki itu duduk dalam diam, kelelahan, bongkah-bongkah es batu yang akan digunakan oleh bapaknya untuk membuat 'es tong-tong' itu, terasa begitu membebani punggungnya. Pikirnya "ah aku istirahat sebentar, tak mengapa" begitu gumamnya.

Anak lelaki itu tetap duduk, meski mentari begitu menggoda dengan lidah-lidahnya yang panas. Dan anak lelaki berambut pirang kerana matahari itu tetap tak bergeming, sampai ketika seorang penjaga warung kecil, tepat di seberang jalan dia duduk, memanggilnya "Kene 'le" begitu penjaga warung itu berteriak dari kejauhan.

Anak lelaki itu serta merta kegirangan, mengangkat sekarung penuh bongkah es batu yang beratnya mencapai 12 kg itu, kemudian meletakkannya di punggungnya yang masih muda belia, sama belianya dengan usianya.
"istirahat di sini le, di luar panas" begitu ujar penjaga warung itu. Seorang wanita tua, dengan kain 'jarik' yang melilit tubuhnya, dari perut sampai ke mata kakiknya. Dengan kebaya yang sudah lusuh, dengan rambut berwarna putih yang tersanggul rapi di kepalanya.

"inggih mbah, matur suwun" begitu ujar bocah lelaki itu

mbok penjaga warung meninggalkan bocah kecil itu setelah berkata "nek haus, airnya di atas meja ya le, ambil sendiri" begitu ujar si mbok, sembari menunjuk ke meja kayu tua yang tepat berada di hadapan bocah lelaki itu. 

"mbah ke belakang dulu ya, ada yang mau mbah kerjain" begitu ujar wanita renta itu, sembari meninggalkan bocah lelaki itu sendiri di amben-amben warung kecilnya.

Angin semilir bertiup, Tuhan tidaklah jahat, begitu pikir bocah lelaki itu. Panasnya matahari yang membuat tersiksa jari-jemari dan telapak kakinya, masihlah diiringi dengan tiupan angin yang meskipun semilir tetapi mampu membuat butiran-butiran keringat yang semula mengalir deras dari ujung kepala sampai ke pelipisnya, menguap, hilang, meninggalkan kesejukan. 

Bocah lelaki yang berambut merah karena matahari itu masihlah menikmati indahnya dunia, versinya, versi orang desa, versi seorang bocah lelaki yang merupakan satu titik kecil di galaksi bima sakti ini. Masih begitu asiknya sampai ketika pandangannya tertumpu pada sebuah tulisan yang berjalan, berganti hilir mudik di layar televisi milik wanita tua yang menjamunya siang ini.

Tulisan itu menceritakan tentang kematian, maut, sesuatu yang tak terduga, sesuatu yang pasti, datang tiba-tiba, bisa terjadi pada seseorang, atau pun terjadi pada banyak orang dalam waktu yang bersamaan. 

Pesawat milik rusia bernama sukhoi itu menarik hatinya, bocah lelaki berambut merah karena matahari itu. Dia tertegun mengamati betapa gagahnya burung besi yang berwarna dominan biru itu terbang, menukik, sebelum kemudian akhirnya dia tahu bahwa burung besi itu sudah hancur, berkeping-keping, karena melawan kokohnya tebing.

Dia pun tertegun, dia tak mengerti mengapa burung besi yang baru itu bisa celaka seperti itu. Mengapa burung besi yang katanya kokoh itu bisa hancur berkeping-keping karena tebing yang diam tak bergerak, mati tak peduli. Pikirnya "tebing yang angkuh berdiri itu sudah menghancurkan burung besi idamanku" begitu gumam bocah lelaki berambut merah karena matahari itu.

Bocah lelaki itu masih enggan untuk beranjak dari tempat dimana dia duduk dan termangu, menekuri setiap gerak yang dimunculkan oleh kotak ajaib yang berada di hadapannya saat itu.

Dia semakin terbingung-bingung ketika banyak orang berkerumun, menangisi kehancuran burung besi jagoannya yang berwarna biru, yang bernama sukhoi itu.

Bocah itu tidak lulus SD, tetapi dia masih mampu membaca, mengerti sedikit tentang apa yang di sampaikan oleh ibu-ibu pembaca berita yang ada di dalam kotak ajaib si mbah yang sudah tua renta. Burung besi yang baru saja lahir itu membawa banyak orang di dalam perutnya. Orang-orang yang pada awalnya merasa akan menjadi bagian dari sejarah, berada dalam burung besi yang bernama sukhoi, yang berasal dari rusia itu, negeri yang bocah lelaki itu sama sekali tidak pernah membayangkan seperti apa rupanya.

Mati, kata itu yang melayang-layang di dalam kepala bocah lelaki itu. Mereka yang berada di dalamnya secara simpang siur dikabarnya sudah pasti tidak selamat, "mestine wis menghadap gusti Alloh" begitu gumam lelaki itu. Dia merasa sedih, sedih karena burung besinya kalah dari pertarungannya dengan tebing yang sudah lebih dahulu lahir dari pada burung besinya. Dia merasa iba pada mereka-mereka yang ikut di dalam burung besinya, yang kini tidak jelas bagaimana nasib mereka di sana.

Untuk sejenak, bocah kecil berambut merah karena matahari itu tertunduk lesu, kemudian termangu. Sampai ketika dia mendengar beberapa orang selamat, tak jadi menghadap gusti Alloh, karena memang belum ajalnya, karena memang bukan takdir mereka untuk wafat bersama burung besi yang menjadi jagoan bocah lelaki itu beberapa menit yang lalu.

Ibu-ibu pembaca berita yang berada di dalam kotak ajaib itu berkata, beberapa penumpang, ada yang selamat karena dilarang oleh istrinya untuk ikut terbang bersama burung besi itu, ada yang selamat karena menunaikan sholat zhuhur, sehingga bawahannya menggantikan posisinya. Pikir bocah lelaki itu bapak itu beruntung karena mengikuti permintaan istrinya, yang lain selamat karena mendahulukan sholat lohor memenuhi kewajibannya kepada Sang Penciptanya, daripada coba-coba terbang dengan burung besi baru bernama sukhoi itu. Sedangkan yang lain tidak selamat karena menolak mengikuti perkataan ibunya, yang melarangnya terbang bersama burung besi asal negeri beruang merah itu.

Hari semakin siang, matahari tetap tidak mau berkompromi dengan kelelahan yang dirasakan oleh bocah lelaki berambut merah karena matahari itu. "Mbah, aku arep mulih" begitu ujarnya sembari sedikit mengeraskan suaranya.

si mbah yang semula berada di dapur, mengurusi dagangannya, menemui bocah lelaki berambut merah karena matahari itu. "ooo iyo, sudah segeran tho?" ujar wanita renta itu
"sampun mbah, suwun yo mbah. Pulang dulu, bapak pasti nunggu es batunya" balas bocah lelaki itu
"yo, salam karo bapakmu yo le" kata mbah putri itu kepada bocah lelaki itu.
"yo mbah, assalammu'alaikum"
"kumsalam" jawab mbah putri

Bocah lelaki itu kembali mengumpulkan tenaganya, mengangkat sekuat tenaga sekarung es batu yang beratnya mencapai 12 kg itu, kemudian meletakkannya di punggungnya yang masih belia itu. Bocah lelaki itu kembali menapak dengan sendal jepitnya yang berwarna biru tua, sendal jepit yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun lamanya.

Hari ini, dia belajar, dia belajar untuk mengatakan 'ya' pada semua kata-kata, perintah yang baik, yang dikeluarkan oleh otoritas tertinggi di dalam kehidupan anak manusia. Ketika Suami berkata 'ya' pada larangan istrinya, begitu juga sebaliknya. Dan bagaimana seharusnya seorang anak berkata 'ya' pada larangan yang disampaikan oleh orang tuanya, dan tentang bagaimana mendahulukan kewajiban pada Gusti Allah, daripada mendahulukan urusan dunia yang tak akan pernah ada habisnya.

Dan hari ini, dia belajar untuk mensyukuri apa yang sudah dia terima hari ini. Bersyukur karena matahari sudah bersedia 'memerahkan' rambutnya tanpa dia harus pergi ke salon dan membayar dengan rupiah untuk itu. Bersyukur meskipun dia tidak memiliki sepeda untuk mempermudah pekerjaan 'memanggul esnya' tetapi Allah masih memberikannya kekuatan fisik dan tubuh yang sempurna. Bersyukur meskipun dia harus berhenti sekolah karena keterbatasan ekonomi kedua orang tuanya, tetapi dia memiliki keluarga yang utuh, yang menyayanginya. Menyesal? tidak ada, meksipun orang tuanya tidak mampu, meskipun harus terhenti sekolahnya, meskipun kakaknya mengalami kekurangan dari sisi pendengarannya.

Allah Maha Adil adik kecil
meskipun susah payah engkau rasakan saat ini
meskipun tak dapat memilih di keluarga mana, kamu dilahirkan
tetapi, dengan syukurmu kepada Tuhan yang menciptakan kamu
tetapi, dengan syukurmu terhadap apa yang Allah berikan kepadamu

kamu jauh, jauh lebih mulia daripada aku, dia, mereka dan manusia yang lainnya, yang sempurna, yang tak sempurna, yang sehat, yang kaya raya, yang memiliki segalanya tetapi lupa, tidak pandai mensyukuri dan tidak ber-qanaah terhadap apa yang telah Dia berikan kepada aku, kita, kami, manusia.






Monday, April 2, 2012

jelajah 1000 wajah

Entah dengan motivasi apa saya membuat judul 'jelajah seribu wajah' ini beberapa bulan yang lalu, tapi mari membuat sebuah asumsi-asumsi sederhana. Sebuah kesimpulan, meskipun kesimpulan itu didapat dari sebuah analisa dangkal tentang berbagai macam wajah yang bisa manusia nampakkan di hadapan manusia yang lainnya.

Manusia memiliki banyak wajah di dalam hidupnya, bahkan seorang suami/istri sekali pun tidak akan pernah tau seperti apa isi di dalam hati pasangannya.

Media televisi banyak menceritakan tentang bagaimana manusia-manusia yang pendiam, yang terlihat baik di luar, tetapi belakangan melakukan tindakan yang menurut orang-orang di sekelilingnya "tidak mungkin dia melakukan itu"

Jelajah seribu wajah, beberapa kali saya melihat iklan rokok di televisi, betapa manusia setiap harinya menggunakan topeng di dalam kesehariannya. Lebih seperti bahwa "dunia ini panggung sandiwara" atau bukan ya? mengingat setiap pemain sandiwara memainkan peran yang bukan dirinya. Sama seperti mengenakan topeng untuk peran yang dimainkannya di atas panggung pertunjukkan.

"baelah" begitu dalam bahasa sunda

Setiap manusia punya alasan mengapa dia mengenakan topeng di dalam kesehariannya. Mengapa dia bersandiwara di dalam hidupnya.

Beberapa orang kenalan saya, menceritakan pengalaman paling memalukan di dalam hidupnya, diri mereka mengatakan bahwa "ini aib" begitu ujar mereka pada saya.

Ya, saya tahu, saat itu saya mengangguk setuju. Tetapi, aib mereka aman bersama saya, saya simpan, saya terbangkan bersama angin yang bertiup kala itu. Saya mendengarkan mereka bercerita, saya memiliki, saya menyimpan kisah di dalam hidup mereka. Saya mencernanya, saya tidak menghujatnya, saya pun tidak mencibirnya, saya memakluminya, saya memaafkan mereka sebagai manusia.

Lalu ketika seorang kenalan saya itu bertanya "bukankah Allah menutupi aib hamba Nya, lantas mengapa kita harus membukanya" begitu katanya pada saya.

Ya, memang, Allah menutup aib hamba Nya. Begitu Maha pengasih dan penyayangnya Dia, ketika Dia Yang Maha menutupi aib manusia, manusia yang tak ubahnya seperti debu yang beterbangan, yang cuma seorang hamba, kadang merasa berhak untuk mengungkap, menyebarkan aib temannya, sesamanya, saudaranya.

Saya simpan rapat-rapat cerita mereka pada saya tentang seperti apa masa lalu yang mereka punya. Saya tersenyum, saya hanya bisa berkata, sebagai seorang manusia "Allah Maha mengampuni dosa hamba Nya, selama tidak menyekutukan Nya" begitu saya sampaikan padanya, beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih menempuh pendidikan strata satu.

Jelajah seribu wajah

Di dalam gelap aku dendangkan, syair lagu kehidupan

saya biarkan masa lalu itu terbang, hilang
saya menganggap tidak ada, apa-apa yang menyakitkan
saya memaafkan manusia
berharap Dia akan mengganti luka
berharap Dia akan mengampuni dosa
berharap Dia akan memaafkan dengan kemurahan hati Nya
dengan keluasan rahmat dan ampunan Nya

aku, pemuda hijau, lelaki paruh baya, dalam sebuah cerita 'hahaha'

Selamat datang malam, aku punya sedikit cerita tentang empati dan simpati yang tidak berujung pada tempatnya. Tidak menyasar pada sasaran yang tepat hingga membuat aku malu, lari terbirit-birit, sekaligus ketakutan dibuatnya.

Malam ini hujan, begitu banyak syukur terucap. Baiklah sedikit prakata, berbasa-basi sejenak tentu bukan hal berat bagi mu bukan, wahai halaman blog-ku. Toh sebagai auditori, melankoli sejati, aku memang senang berbasa-basi. Mengenai syukur, rasa sakit menjalar di sekitar ibu jari kakiku, sebelah kiri. Nampaknya, kuku itu menusuk ke dalam, hingga sel-sel syaraf ujung ibu jariku, meronta-ronta dengan caranya, hingga membuat kepalaku berpikir tentang bagaimana cara menyudahi penderitaan mereka.

walllahh, aku ambil penjepit kuku, dengan perjuangan sedemikian rupa sehingga, aku, kepalaku, jari-jemari tangan dan ibu jari kakiku, berhasil menciptakan sinergi, kemudian, berhentilah teriakan histeris jaringan syaraf yang tertekan kuku ibu jari kaki ku itu. Lihat-lihatlah, nikmat-Nya baru dikurangi sedikit saja, aku sudah merasakan sakit yang tak hingga. Baru sedikit saja kuku kaki ku itu menekan jaringan syaraf yang ada di ibu jari kaki ku itu, dan aku sudah tak berdaya dibuatnya. Sekarang? jaringan syaraf itu bisa berbahagia, senang hati mereka.

Kembali tentang lari terbirit-birit, tentang ketakutan sebagai hasil dari empati, simpati yang salah sasaran.

Ceritanya, aku duduk, mengamati tingkah laku manusia di sebuah taman tepan di belakang masjid salman. Ada seorang pemuda tampan, berkulit putih, berkaos lengan panjang hijau, dengan topinya, dengan celana panjangnya, dengan ranselnya, dengan beberapa kantong plastik yang dibawanya kemana-mana. 

Untuk sesaat, awalnya aku pikir, dia pemulung, normal, seperti pemulung kebanyakan. Tetapi anggapan berubah manakala, dia mulai menggelar koran bekas di atas meja yang terbuat dari bata dan semen. Dia letakkan tas ranselnya di sana, dia keluarkan isi dari dalam tasnya, isi dari dalam kantong plastiknya. Semua????? plastik, kertas, oh Tuhan, Masya Allah, ternyata dia bukan pemulung biasa, dia pemulung dengan ketidaksempurnaan di dalam kemampuan berpikirnya, alias gila *mungkin.

Aku iba, empati, simpati, dia masih muda, sudah seperti itu, menjadi gila karena dunia, keadaan keluarga, ekonomi, gila karena cinta (*hahahahaha banyak korban karena gila yang satu ini), atau memang sedari lahir dia memang tidak normal. Aku tak tahu, ku katakan aku tak tahu, yang aku tahu, aku iba.

Lalu, aku buntuti dia, terlebih mungkin karena rasa keingintahuanku tentang dia atau karena obsesi gila ku atas rasa ego pribadi tentang mengobservasi? aku tak tahu, yang jelas, aku membuntutinya kemudian duduk tepat di sebelahnya.

Jujur saja, untuk duduk di sebelahnya aku harus mempersiapkan hidungku untuk menerima segala macam kemungkinan tentang bau, karena aku alergi dengan bau. Bau tak sedap atau pun bau dari parfum, terlebih parfum wanita *i hate it.

singkat kata singkat cerita, aku duduk di sebelahnya, lalu dengan singkat pula aku bercakap-cakap dengan seorang lelaki paruh baya yang usianya lebih dari setengah abad. Bercerita tentang pekerjaannya, tentang siapa dia, tentang BBM, tentang mahasiswa yang demo, dan menurutnya *demo untuk siapa. Kemudian menceritakan tentang pemuda berkaos lengan panjang hijau, bertopi, yang duduk di sebelah kiriku. Dan itu berarti lelaki paruh baya itu duduk di sebelah kananku.

Untuk lebih singkat lagi, lelaki paruh baya itu berkata dengan perlahan "dia agak kurang" alias tidak normal. "Bapak pernah ajak ngobrol dia, katanya dari sumatera" begitu katanya, lebih lanjut "kenapa bisa ada di sini?" begitu si bapak meneruskan, lalu "wah rumit ceritanya pak" begitu jawab pemuda berkaos lengan panjang warna hijau itu, beberapa waktu yang lalu.

-sok enak- saja, aku dan lelaki paruh baya yang berpuluh tahun berporfesi sebagai supir angkutan umum, angkutan barang, dan sekarang sedang mencari pekerjaan. Kami berbicara tentang jumlah kendaraan roda dua yang tidak dibatasi, yang mengganggu pendapatan para supir kendaraan umum seperti dia. Kami berbicara tentang terlalu banyak angkutan umum yang beroperasi, dengan trayek yang sama. Pada intinya, menjadi supir angkutan umum tidak menguntungkan lagi, saatnya beralih menjadi supir pribadi, paling tidak sampai tahun 2014, karena pada saat itu masa berlaku SIM lelaki paruh baya habis alias tiba masa 'expired' nya.

Dengan masih 'sok enak' nya pula aku dan si bapak membicarakan tentang pemuda itu lagi. Lalu, menjelang gelap, burung pulang ke sarang, anak-anak berhenti bermain di taman, si bapak dan aku pun memutuskan untuk pulang.

Hasil kesalahan analisa sebagai hasil observasiku yang singkat beberapa saat yang lalu mulai terbukti.

"klik.................., klik" anggap saja ini bunyi kamera dari telepon genggamku

-flashhh, zinghhh, clink- anggap saja itu ilustrasi dari lampu kamera telepon genggamku

lalu

"kunaon teh" pemuda berkaos lengan panjang berwarna hijau itu angkat bicara

'gdubrakkk, jdag, jdug' kepala ku serasa dihujani berton-ton kotoran burung yang melintas dan bertengger di setiap pucuk pohon yang mengelilingi taman ini.

terkejut, ternyata pemuda berkaos lengan panjang, berwarna hijau itu bisa berkomunikasi dengan jelas

"kunaon teh diphoto" begitu ujarnya

aku secara terbata-bata, masih terbenam dalam keterkejutanku berkata dengan bodohnya 

"nuhun nya" ujarku
"dihapus ya, demi Alloh ya" begitu ujar pemuda berkaos lengan panjang, berwarna hijau itu

aku tersenyum, beranjak pergi, berjalan cepat setengah berlari, kemudian aku benar-benar berlari. Malu, tentu saja aku malu, asumsiku salah kaprah. Takut, ya tentu aku takut, berbagai pikiran negatif tentang pemuda itu melayang-layang di kepalaku. Sembari bertekad di dalam hati

"aku tidak akan pergi mengunjungi taman itu untuk beberapa waktu" begitu ujarku

Sepanjang jalan aku tertawa, menahankan kebodohanku. Dan sepanjang jalan pula aku berkata pada diriku sendiri tentang betapa bodohnya aku. Tentang betapa malunya aku, ya ya ya, lain kali, observasi memang tidak cukup dilakukan satu atau dua kali, tetapi berkali-kali seperti ketika aku mengobservasi Dewi.

"Untuk semua kesengajaan, aku memaafkan. Kehidupan"

Thursday, March 1, 2012

"Selamat malam bulan" begitu katanya

menghela nafas panjang

seorang wanita yang duduk mengamati kelap-kelip layar netbooknya yang menemani sekaligus menebarkan radiasi dalam skala kecil dari hari ke hari.

kembali menghela nafas panjang, seperti orang yang sedang mengalami kesusahan.

wanita itu atau anak perempuan ini, tinggal di dalam sebuah kamar berukuran 4 x 4 meter. Dengan berbalut dinding tipis yang ketika panas maka dia akan kepanasan, ketika dingin dia akan menggigil kedinginan.

ketika hujan? maka suara hujan akan begitu nyaring terdengar. seperti sebuah tong kosong yang dilempari dengan batu kerikil. Kecil memang, tetapi dengan intensitas yang tinggi, dapat membuat yang tertidur jadi tidak ingin tidur, meskipun saat itu cuaca sedang mendung mendukung, dan udara saat itu sedang sejuk bertiup.

anak perempuan itu tinggal di sebuah kamar kecil yang lantainya terbuat dari kayu, yang memuai ketika panas, yang menghasilkan bunyi derit "ngikkkk, ngeeeekk" setiap kali dia menapakkan kakinya tepat di bagian lantai yang tidak rata permukaannya. Dan aku sudah katakan, anak perempuan itu tinggal di kamar yang berdinding tipis bukan? yang bahkan bisa mendengar tangis anak lelaki yang berteriak-teriak karena ibunya belum juga menongolkan wajahnya ke kamar mandi, untuk mencuci *maaf pantatnya yang baru saja selesai dari buang hajat.

dan anak perempuan itu bahkan dapat mendengar "curhat" seorang suami kepada istrinya. Dan bahkan anak perempuan itu dapat mendengar suara gadis remaja, kelas 1 SMA yang berteriak-teriak kepada neneknya atau pamannya. Untuk terakhir kalinya, dari dinding kamar yang tipis itu pula, anak perempuan itu dapat mendengar seorang lelaki tua, renta, "abah" begitu anak perempuan itu menyebutnya, membawakan ayat-ayat suci Al Quran, dengan cara yang lama, lambat, berat, tepat setiap habis maghrib dan selepas isya.

"hhhhhh, menyenangkan" begitu ujarnya suatu ketika

anak perempuan itu mengusap-usap matanya. Ia tidak belia, tidak juga tua. Dewasa? dari sisi usia? atau prilakunya? entah lah aku tak tahu. Aku hanya salah satu dari sekian banyak makhluk Tuhan yang diberikan kesempatan untuk berada di dunia. Menerangi dengan bantuan cahaya matahari, karena aku tidak dapat berdiri sendiri. Lalu, siapakah aku? ya, aku tahu, kita tidak sedang bermain "kuis siapa dia" yang dibawakan oleh Aom kusman, yang sudah meninggal beberapa waktu yang lalu.

"flying to the moon" sekarang, kamu sudah mengenal aku?

ya aku bulan, yang nampak jauh dari keindahan, tapi begitu dingin, gelap, lembab, tak mulus begitu kamu mendekat, melihat dengan lekat.

anak perempuan itu menguap, pukul 21.31 malam. Dia masih terjaga, jari-jemarinya menekan tuts keyboard netbooknya. Dia mulai menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya mungkin tidak gatal, sembari menahan mulutnya agar tidak terbuka ketika rasa kantuk melanda.

sesat, beberapa waktu yang lalu, anak perempuan itu menangis tersedu. Anak perempuan itu terkadang ingin seperti manusia yang lainnya, teman-teman sebayanya. Tetapi, dia berada pada garis hidup yang berbeda. Berhentilah tangisnya seketika, dia sibuk membenahi setiap letak barang-barang yang ada di dalam kamar kecilnya.

Sembari sesekali menitikkan air mata, ketika dia mulai teringat dengan ibu dan bapaknya di desa, jauh di sana. Sembari menyeka air matanya, ketika dia teringat pada suatu pagi, melihat seorang lelaki muda, seorang mahasiswa, yang berjalan di depannya, tergesa-gesa, terseok-seok, menahankan sepatu sebelah kirinya, yang sudah lepas alasnya, yang memaksa lelaki muda itu berjalan dengan menggeser kakinya, agar tak semakin terbuka lubang di dasar sepatunya.

anak perempuan itu terus saja menangis, ketika melihat seorang tukang strika, janda, yang memakan 3 bungkus kue sekedar untuk menahan lapar, karena si majikan belum membelikan apa-apa untuk makan siangnya.

dan ketika anak perempuan itu melayangkan pandangan matanya berkeliling ke setiap sudut kamarnya, dia terdiam, menghitung berapa jumlah pakaian yang tergantung, yang terlipat, yang tersimpan di dalam lemarinya, di kamar ini, dan di rumahnya, di desa.

"hhhhhhh" dia menghela nafas panjang
"hhhhhh" kembali menghela nafas panjang

"apa yang kamu pikirkan?" begitu aku bertanya
"aku menghitung berapa banyak yang harus aku pertanggungjawabkan" jawab anak perempuan itu

"tanggung jawab apa? pada siapa?" tanyaku tak mengerti
"semua yang aku punya"
"pertanggungan jawab pada Dia, Allah azza wajalla" begitu jawabnya

aku terdiam, aku tak mengerti apa yang sedang ia pikirkan. Pertanggungjawab-an apa? semua yang dia punya? memangnya dia memiliki apa? yang aku tahu, dia tidak memiliki apa-apa. Rumah, kendaraan, harta benda? dia tidak memiliki itu semua.

"maaf, tapi aku tak mengerti" ujarku

"hhhhhhh" anak perempuan itu kembali menghela nafas panjang

dia menjatuhkan tubuhnya tepat ke atas kasur busa. Menatap langit-langit kamarnya, lalu

"itu, kamu lihat tumpukan pakaian yang belum sempat aku strika"
begitu jawabnya tanpa melihat, dia mengarahkan telunjuknya ke arah kiri.

aku mengangguk

"itu, kamu liat juga kan, berapa yang digantung?" katanya

aku kembali mengangguk

"di dalem lemari, kamu juga liat kan" katanya

aku kembali mengangguk

"yang di rumah, di desa, kamu juga tau kan" begitu ujarnya

aku kembali mengangguk

"hhhhh" dia kembali menghela nafas panjang. Dia menutup kedua matanya, dengan kedua telapak tangannya. Lalu.......

"rasulullah aja, waktu meninggal, cuma punya beberapa helai pakaian" begitu lanjutnya
"terus, katanya, setiap apa yang kita punya, nanti diminta pertanggungjawabannya. Dari mana asalnya, untuk apa, semuanya, semuanya ditanya" begitu tambahnya
"terus, semakin banyak yang kita punya, semakin lama kita dihisabnya, semakin banyak ditanyanya" begitu jawabnya

"hhhhh" dia kembali menghela nafas panjang

"sekarang kamu tau kan, aku ini kenapa?" ujar perempuan itu

aku kembali mengangguk.

aku temani dia dengan pantulan cahaya, bukan dari aku, tetapi dengan bantuan sinar matahari yang sedang menerangi bagian yang lain dari bumi ini.

perempuan itu tetap menutupi kedua matanya, sembari berkata

"aku belum bisa berbuat apa-apa. Aku merasa tersindir ketika membaca sebuah tulisan yang berkata -jangan cuma bisa 'ngritik' atau mikir tapi gak kreatif-. Aku merasa, aku seperti itu  'Lan" ujar perempuan itu.

"aku merasa sedih, melihat seorang lelaki, pergi menuntut ilmu, dengan sepatu yang sudah rusak alasnya. kamu tau, dia terseok-seok, susah payah menahan supaya dapat berjalan dengan sepatunya itu. Sementara aku? kamu tau kan ada berapa jumlah sepatu ku?".

"aku merasa ingin menangis, melihat seorang janda, hampir setengah abad, makan keripik untuk menahankan rasa laparnya".

"dan aku cuma bisa terdiam, ketika melihat seorang anak remaja, kusut, lusuh, duduk di depan pagar sembari makan biskuit, yang entah dia dapatkan darimana"

"dan aku merasa malu, karena -ketidak syukuranku- sekali waktu atas apa yang sudah Dia berikan padaku"

"dan aku cuma bisa menangis, kamu tau 'Lan, aku cuma bisa menangis. Ketika semua yang enak tidak berpihak pada orang miskin, tidak berpihak pada orang yang lemah".

"aku seperti berteriak-teriak sendiri tanpa ada yang mendengar 'Lan. Kepada penguasa negeri ini, kepada orang-orang kaya, kepada pejabat-pejabat yang berpendidikan tapi tidak ada satupun dari mereka yang mendengarkan teriakan ku. Mereka seperti tuli, mereka seperti buta melihat saudara-saudara mereka yang tidak mampu".

"mereka seperti seolah-olah enggak tau, seperti enggak melihat, di kiri dan kanan mereka yang cuma bisa makan dengan -kerak nasi-, yang hanya bisa makan dengan tempe, yang hanya bisa makan nasi 1 hari sekali. Kemana hati nurani mereka pergi 'Lan".

"dan sampai kering tenggorokanku, mengata-ngatai mereka yang tega menghisap darah saudaranya sendiri. Bagaimana bisa mereka menelan apa yang bukan hak mereka 'Lan? apa tidak cukup dengan rumah mewah, fasilitas serba ada, masih juga ingin mengambil yang bukan milik mereka, masih juga tak henti-hentinya mencari selah untuk mengkorupsi uang 1000 rupiah milik saudara mereka sendiri".

anak perempuan itu terdiam, dia tidak menangis, dia terlalu lelah untuk menangis, dia terlalu malu untuk menangis, dia hanya dapat

"hhhhhhh" menghela nafas, menarik nafas sedalam-dalamnya, karena hanya itu yang tersisa dari negeri ini, yang gratis, tak berbayar, yang dapat dinikmati oleh semua makhluk Nya tanpa memandang strata, usia, status dan kedudukan atau ras bangsanya.

"hhhhh" dia menarik nafas panjang, berat

untuk semua pertanyaan yang tak pernah ada jawabnya, atau sama saja jawabnya.
untuk semua kebuntuan yang belum ia temukan jalan keluarnya
untuk semua cita-cita, keinginan yang ada di dalam kepalanya, yang masih terpenjara, terkekang, terkurung oleh pikirannya tentang "keterbatasan, keberanian, kegagalan, kesombongan"

anak perempuan itu, beristirahat di dalam pikirannya, di dalam pejam-an kedua matanya

"selamat malam bulan" katanya

"selamat malam anak manusia" begitu jawabku

Tuesday, February 28, 2012

Remaja dengan biskuit di genggamannya

sore, bandung 2012 di bulan januari

saya baru tahu, kalau mengganti background colour di google akan berdampak pula pada background blogspot saya.

apa kabar ruang rindu?
semoga senantiasa positif saja dirimu, seperti beberapa waktu yang lalu, ketika pertama kali aku mengenalmu.

ketika seorang teman lama, berkata "saya tidak suka meng-update- status saya di jejaring sosial, karena saya tidak ingin mudah dibaca......". apakah berkisah kepada mu termasuk menjadi pribadi yang mudah terbaca? mungkin saja.

saya sedang berpikir untuk memberikan engkau sebuah nama, daripada hanya sekedar sekarw.blogspot.com, menganggapmu sebagai makhluk pendengar setia. Menempati posisi kesekian, setelah orang tua saya (betapa saya mencintai mereka, semoga mereka mengetahuinya).

Dear diary, what if i call you Dy', same with my diary.

apakah saya manusia? masihkah saya seorang manusia?

pertanyaan itu yang terbesit secara tiba-tiba ketika saya melihat seorang anak remaja, sedang duduk tak sempurna, yang saya maksud dengan tidak sempurna, karena dia tidak menjejakkan *maaf pantatnya serta merta ke tanah untuk menopang seluruh berat badannya.

Beberapa hari yang lalu, hmmhh.

agak sedikit sulit rasanya untuk memulai berbagi cerita. mengabarkan setiap detail dari apa yang aku lihat, dari apa yang aku dengar, dan dari apa yang aku rasakan saat itu. Biarkan kali ini aku berbicara dengan menggunakan ke-aku-an ku kepadamu Dy. Bukan sebagai bentuk egois-me ku kepada kamu, si pendengar setia dari masa ke masa.

anak remaja itu hanya tertunduk di dalam duduknya
dia mengunyah setiap potong biskuit kraker yang ada di genggamannya. Mengunyah perlahan, tidak sedang takut akan kehabisan dan tak pula khawatir ada rekannya yang meminta, atau bahkan adik kecilnya yang merengek-rengek berkata "semua untuk saya".

aku tertegun barang sejenak

langkah kaki ku terhenti, *sialnya, kebiasaan buruk ku akan mengamati sesuatu yang aneh menurut pandangan mata dan hati ku.

pakaiannya lusuh, tetapi masih layak pakai. tak nampak lubang disana-sini, tak ada pula tambal sulam yang nampak dari pakaian yang ia kenakan. Dengan kaus putih lengan panjang, dengan bercelana panjang ia nampak terduduk lesu sembari menikmati setiap gigitan dari rezeki yang ia dapatkan hari ini.

,.....rambutnya kusut masai, di sekelilingnya nampak beberapa bungkus makanan ringan. entah ia dapatkan dengan cara membelinya, melalui belas kasihan, atau melalui nalurinya yang kelaparan, yang kemudian membawa kakinya untuk melangkah, yang membimbing kedua tangannya untuk mengais-ngais di tempat sampah.

aku terdiam Dy
aku terdiam beberapa detik lamanya
melihatnya dalam diam
aku tertegun Dy
aku tersentak

aku tinggal di kalangan mahasiswa yang menjadi orang-orang penting di negerinya, Indonesia Dy. Aku berdiam di lingkungan mahasiswa yang hilir mudik dengan kendaraan roda duanya dy, dengan kendaraan roda empatnya. Dan saat itu aku berdiri tepat dua meter dari remaja itu Dy, dua meter pula dari gerobak bubur ayam dan bakso mie kocok yang menjual mienya dengan harga 10ribu rupiah, lebih mahal dari pada pedagang kaki lima lainnya.

aku tersentak ketika kepala ku bertanya
"apakah kamu manusia......"
di dalam diam, hatiku, bibirku, terdiam, aku sempat terpejam

kemudian membawa kedua kaki ku yang semula melangkah ringan, kemudian menjadi berat, tak tertahan, menahankan malu yang kembali meradang.

"aku pun tidak tahu, apakah aku manusia atau bukan" begitu ujar lidahku dy, lidahku berbicara mewakili hati nuraniku.

aku belum mampu berbuat apa-apa
sampai saat ini, aku belum dapat melakukan apa-apa

bahkan untuk seorang remaja berkaus putih lengan panjang
bahkan untuk seorang remaja yang lusuh dan kusut masai
bahkan untuk seorang remaja tanggung yang memakan makanan sisa dari mahasiswa seperti aku Dy

dan aku bahkan hanya bisa terdiam, tindakan terhebat ku adalah ketika aku bertanya pada diriku sendiri tentang "Apakah aku manusia".

dinginnya cuaca hari ini,
membuat aku membalut tubuh kecilku dengan sebuah sweater berwarna hitam seharga 50ribu. Betapa beberapa waktu yang lalu, nominal itu tidak berarti bagiku. tetapi bisa begitu sangat berarti untuk remaja tanggung itu.

hhhhhh, kembali hanya dapat menghela nafas panjang. ketika aku belum menjadi manusia yang apa-apa. Belum dapat seperti pengusaha lain yang memiliki banyak angka nol di dalam rekeningnya Dy. 

aku tinggalkan anak remaja itu, dalam diam
dalam keadaan kepala ku yang menjejali hatiku dengan pertanyaan "Apakah kamu manusia"
aku katakan "aku bukan manusia, aku belum menjadi manusia"

Remaja tanggung, dengan kusut masai, dengan celana lusuhnya, dengan kaos lengan panjang putihnya. yang terduduk, tertunduk malu, memakan (aku tak sanggup meneruskannya Dy). Ketika secara mengejutkan, titik-titik air mata itu jatuh dy. Aku masihlah manusia, manusia yang bersenjatakan air matanya. 

Tetapi, kemudian kepalaku berkata "air matamu tak mampu merubah apa-apa"

remaja itu masa depan Indonesia Dy
teriak ku kepada hati ku, ketika aku belum mampu berbuat apa-apa pada remaja lelaki tanggung itu. 

jangan menjadi gila wahai bujang, jangan menjadi gila. Gila karena dunia, gila karena rasa tidak puas terhadap takdir yang Allah timpakan kepadamu.

aku tutup catatan ini, di titik ini. Di titik dimana aku merasa menjadi manusia yang cacat jiwanya, yang hanya mampu berkata belum dapat berbuat apa-apa. Cacat menjadi manusia yang sombong, berbicara seolah aku banyak tahu tentang segala sesuatu, tetapi pada kenyataannya aku tidak tahu apa-apa.

Bandung, 17.04, di 28 Februari 2012.

bujang, maafkan aku

Monday, October 10, 2011

cerita tentang manusia, cerita yang tua

Lihat bagaimana rasa kenyang bisa mematikan hati, akal dan pikiran.
Saya terjebak dengan bertumpuk-tumpuk makanan siap makan. Dengan beberapa bungkus makanan yang tidak lagi bisa dimakan untuk beberapa hari ke depan. Lihat, lihat lah bagaimana rasa kenyang itu bisa membuat manusia seperti aku, terjebak dalam rasa malas yang terkadang membebaniku dengan bujuk rayunya, dengan tarian-tarian erotisnya yang mengingatkan aku tentang betapa "nikmatnya bergulat dengan kasur empuk itu"

Sial, kenapa harus pula keluar kata "sial" itu, ah anggap saja sebagai bentuk aktualisasi diri. Sebagai ujud dari keinginan untuk dianggap -wah-, meskipun tidak jelas dengan benar, -wah- dari segi apa. Mungkin saja sisi kegelapan yang sedang ingin muncul, yang kemudian diwakilkan dengan kata -sial-.
Baiklah para pembaca dunia maya sekalian, mari hentikan omong kosong tentang aku, yang merupakan manusia sebagian, manusia yang belum juga lengkap otaknya secara implisit. 
Ingin sedikit bercerita tentang profesi memalukan yang semakin lama semakin marak di Indonesia. Profesi ini menjadi sebuah keniscayaan, lahir dari apa yang kita sebut dengan -KEMALASAN-. Muncul ke permukaan sebagai akibat dari hilangnya rasa malu, putusnya urat syaraf malu dari manusia-manusia yang katanya -penghuni- asli bumi ini, penguasa dunia, yah setidaknya begitulah asumsi saya saat ini. 

Profesi ini menjadi bisnis, bisnis yang menguntungkan. Semakin marak karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang kian menjanjikan. Bisnis dan profesi ini memiliki target dan segmen pasar tersendiri. Dengan menyerang rasa iba manusia, dengan mengandalkan rasa belas kasih yang tertanam sejak lahir pada setiap diri anak adam dan hawa. Dengan memposisikan diri seolah-olah sebagai manusia paling menderita dari pada pelanggannya, maka bisnis ini semakin berkembang pesat saja di bumi Indonesia.

This boy, hiding his cellphone from me using his right hand. He is a beggar
MENGEMIS - PENGEMIS - beggar

Dengan omset luar biasa, mari kita asumsikan si -acep- beroperasi dari pkl 7 pagi sampai pkl 9 malam. Di wilayah padat merayap dengan tingkat populasi pejalan kaki, pengendara kendaraan roda dua dan empat yang apabila dikalkulasikan bisa mencapai 1 juta orang setiap harinya. Berasumsi lagi yang beriba memberikan dia uang sekitar 300 - 500 orang setiap harinya. Dengan kisaran -receh- yang didapatkan Rp 300 - Rp 1000 / harinya. Silahkan menghitung berapa omset yang -acep- dapatkan setiap harinya, minimal acep bisa mendapatkan Rp 90.000/hari dan maksimal Rp. 500.000/ hari. Lalu asumsikan dia beroperasi setiap hari selama 1 bulan, jadi jumlah penghasilan si acep, maksimal adalah Rp @#$%^&&& (silahkan hitung sendiri).

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Bayangkan atau tak perlu bayangkan, karena bahkan pengemis pun memiliki ponsel genggam di tangannya. Bahkan pengemis pun memiliki strategi di dalam usahanya. Bahka secara tidak sadar, mengaplikasikan operasi managemen di dalam waktu efektif kerjanya. 

Ada banyak kisah yang menginspirasi mata, akal, pikiran dan hati saya. Merangsang setiap titik-titik syaraf  untuk berpikir tentang apa, mengapa, kenapa. Beberapa kisah, sungguh membuat geli hati karenanya, beberapa meninggalkan luka pedih karenanya. 

Kisah seorang bapak berambut -gondrong-, dia duduk di sudut sebuah pertokoan. Dengan pakaian lusuhnya, menghadapi dinginnya cuaca bumi parahiyangan di malam hari. Tak ada aktifitas bermakna yang dia kerjakan, selain hanya sesekali melihat kantung plastik bawaannya. Sekilas saya pikir dia -pengemis-, tidak jauh berbeda seperti yang lainnya. Tetapi, lelaki paruh baya yang satu ini berbeda, dia bukan pengemis sepertinya. Lebih tepatnya dia manusia yang mengais rezeki dari tempat-tempat pembuangan sisa makanan -tempat sampah-. Mengambil gelas dan botol plastik bekas, sepertinya akan dijual.

Malam yang dingin, rasa sedih, rasa kesal akibat sopir angkutan umum jurusan kalapa-ledeng yang asal. Rasa marah akibat tersasar hingga harus berjalan lumayan jauh, membuat aku kembali menjadi manusia yang lebih banyak pikir -tentang hal tak berguna-, dari pada mengimplementasikannya.

Saat itu, ada rasa ingin menghampiri lelaki paruh baya, sekedar bercakap-cakap sekenanya. Atau mungkin membelikannya sesuatu untuk ia kunyah, telan, kemudian disalurkan menuju sistem pencernaan. Tetapi, yang ada aku hanya diam, berlalu pergi, meninggalkan lelaki paruh baya dengan tumpukan sampah plastiknya. 

Malam semakin larut, dingin semakin menusuk, bersyukur tubuh ku yang kurus dan terlihat ringkih ini terlindungi oleh tebalnya jaket kumal berwarna merah menyala, yang terkadang membuat lelaki itu -tersulut rasa kelelakiannya-. 

Menyusuri jalan raya, dengan kaki yang sudah mulai memberontak, ia melaporkan perbuatanku kepada otak yang berada di dalam kepalaku "hentikan, aku sudah cukup lelah wahai manusia serakah". Aku abaikan pemberontakan kecil itu, sebagai ujud otorisasi kediktatoranku atas tubuh kurusku. "Tap, tap, tap" begitu derap langkah kaki ku, dan sejenak terhenti bersamaan dengan tertegunnya kedua buah bola mataku. Tertumpu pada seorang wanita, seorang ibu dengan seorang bayi berusia beberapa bulan di pangkuannya.

Kisah tentang seorang ibu, apakah mungkin dia ibunya? atau hanya sekedar ibu sementara saja? entahlah. Tapi, benarkah begitu tega seorang ibu membaringkan bayinya dipinggil jalan, di atas trotoar, tepat bersandar pada tiang lampu merah. Drama semakin memilukan ketika plot kejadian diletakkan pada suasana malam hari yang dingin, dengan tiupan angin yang menusuk. Aku terus memaksakan kaki ku untuk berjalan, sembari isi kepala ku mengisyaratkan jari-jemari untuk segera mengambil Hp blackberry dengan sinyal edge itu. 

Ingin meng-capture apa yang dilihat oleh mata, membawanya ke dunia maya, mencoba membuka mata manusia yang lainnya, bahwa inilah wajah indonesia, wajah kota bandung, wajah bumi parahiyangan, dibalik sisi glamor dan borjuisnya. 

Hampir saja saya mengambil gambar anak beranak itu, kalau bukan karena si ibu melihat saya sejenak, kemudian memalingkan wajahnya. Dia duduk bersandar sembari bersenandung untuk bayi kecil yang berada tepat di sampingnya. "yah, mungkin itu anaknya" saya kembali berjalan, sembari berpikir si ibu begitu bertolak belakang dengan lelaki paruh baya yang aku lalui beberapa menit yang lalu. "tapi tunggu" atau mungkin mereka suami istri? siapa yang tahu. Tapi, seperti inilah kehidupan, rasa malas, kebutuhan perut akan makan, menjadi sebuah keniscayaan.

Entahlah, aku sempat terdiam, termangu sesaat, tergugu, hanya tenggelam dalam pikiran, untuk kemudian melangkah pergi, setengah berlari, bersembunyi dari pahitnya sisi muram dari kehidupan. 

Malam yang kelam, rembulan menutup kedua matanya, menangis ia, melihat banyak anak manusia seperti si ibu beserta anaknya. Mencari serpihan-serpihan 'rupiah' di tengah-tengah keramaian hilir mudik kendaraan. Mengabaikan serangan timbal asap kendaraan, demi apa yang kita sebut dengan 'uang'. 

Derap langkah kaki semakin jauh, meninggalkan pemandangan pahit seorang ibu dengan anak bayinya yang berada di tepi jalan. Meninggalkan lelaki paruh baya dengan tumpukan gelas-gelas plastiknya. Rasa lapar yang mulai perlahan menyerang sisi sensitif dari syaraf yang berada di kepala. "Aku sakit" begitu ujar kepala kepada kumpulan syaraf yang berada di sana, "ya kita sakit" begitu sahut yang lainnya. Derap langkah kemudian terhenti, di sebuah warung tenda di pinggir jalan, mencari kenikmatan sesaat bagi lidah, mencoba memenuhi hasrat, mengobat rasa sakit di dalam kepala akibat rasa lapar yang mendera.

Tentang dua orang waria yang pria
"Krincing, krincing" dua orang manusia bernyanyi dengan suara seadanya. Dengan tampilan khas wanita, wanita jalanan yang beroperasi dengan alat musik seadanya. Melahirkan gelak tawa dari aku dan beberapa pengunjung warung yang lainnya. Sedang si penjual martabak asyik masyuk dengan alat penggorengannya, aku beserta jiwa dan ragaku berjibaku mengamati tingkah laku kedua anak manusia yang bernyanyi dengan suara pas-pasan itu.
He is a man, but to earn money he dressed like a girl, he talk like a girl and his act like a girl
"Permisi teh" begitu ujarnya, "walau malam gelap, tiada berbintang. Asalkan lagu ku ....." yah sepenggal lirik yang masih benar, kemudian secara serampangan, silang lintang, jumpalitan. Kacau tidak keruan, tidak beraturan, hingga aku sampai pada kesimpulan, anak manusia berdua ini tidak hapal dengan lirik lagu yang mereka nanyikan.

"Waria", mereka bukanlah wanita, melainkan pria yang berpakaian wanita. Seorang dipanggil dengan sebutan "saya ule' teh, tinggal di kopo, caringin", oh ya, saya tahu caringin, tapi tidak dengan kopo. Interview, sombongnya saya seperti seorang pimpinan perusahaan yang sedang menginterview calon karyawan. Bertanya tentang berapa usia, hingga tentang apakah mereka wanita atau pria sejati mulai dari fisik dan mentalnya. Lalu bertanya tentang sebab dan musabab mengapa meraka bisa menjadi seperti itu rupanya.

his name ule'
"Uang" semua karena uang pada akhirnya, dengan alasan tidak ingin meminta uang dari orang tua, mereka bekerja sekenanya. Pekerjaan yang ringan, hanya 'cring cring' dapat uang. Tidak perlu tenaga, hanya cukup membuang rasa malu jauh-jauh ke tempat yang paling jauh. Seorang berusia 26 tahun, lahir pada tahun 1985, dan kalau tidak salah dengan sekolah menengah pertama pun tidak selesai. Sedang yang seorang yang pemalu berusia 19 tahun. Dengan berkata "main ke tempat teman" seperti itulah cara mereka mengelabuhi kedua orang tuanya. "Tapi, kita gak jual diri teh" begitu selanya, "kalau pagi kita norma" begitu tambahnya, demi membuktikan kesejatian dari gelar lelakinya.

Mengapa dengan wanita, mengapa berdandan sepreti wanita? beberapa survey mengatakan pria percaya bahwa lebih mudah mendapatkan uang bila manusia tersebut adalah wanita. Benar begitu? belum tentu, karena pada kenyataannya ke-perempuan-an ku merasa tersulut api, ketika beberapa profesi meletakkan pria sebagai kriteria utamanya.

Apapun itu, banyak kisah, banyak cerita, cerita tentang anak manusia. Aku pun seorang anak manusia, meng-capture potret-potret kehidupan, pagi, siang, sore dan malam. Mengeksploitasi dari sisi lain kehidupan, aku terjebak dalam alam pikiran tanpa pernah bisa melakukan sesuatu atas potret yang aku ambil dengan kedua indera penglihatanku.

Pun terjebak pada rasa inginku, pada rasa laparku, hingga membuat aku membuang apa yang sebenarnya lebih berguna bila orang lain yang memanfaatkannya.
Rembulan, berpikir apakah dia melihat bulan yang sama dengan yang aku lihat setiap harinya? Apakah begitu wahai rembulan?. Pastinya begitu, mungkin begitu, dan rembulan pun tersenyum dalam diam sembari menatap lekat wajahku.
"Begitu nampak jelas kah wajah kusut ku di hadapanmu, sahabat karib ku" begitu aku bertanya pada rembulan di separuh malam yang kelam. "ya, setidaknya begitu lah yang nampak oleh ku" begitu jawabnya. "Lama rasanya engkau tidak menyapaku, anak manusia yang lupa"

"Ya, aku terlalu sibuk dengan ke-aku-an ku. Terlalu diperbudak oleh mimpi dan angan-anganku tentang dunia yang semua" tak berani aku menengadahkan wajah, menatap wajahnya yang nampak indah dari kejauhan, namun kelam, dingin, pekat bila aku menatapnya dalam dan lekat.

"Nampak semakin rapuh dan angkuh, itulah kamu yang sekarang ini. Senang itu membuat mu lupa akan aku yang dahulu sejatinya menemani malam-malam sendu mu itu" begitu ujar rembulan padaku.


"Entah lah, tapi aku tahu itu, aku tahu. Senang dan sedih, rasa bersalah dan lepas, antara jatuhnya air mata dan bahagia, mereka berlari-lari di dalam hatiku. Di dalam akal dan pikiranku, membuat aku bingung untuk memetakan perasaanku".

Malam semakin larut, bintang-bintang tak nampak dalam jarak beberapa juta kilometer dari rembulan berada. Aku terjebak dengan alam pikiran ku, setidaknya semakin hari aku semakin menyadari itu. Semakin aku pikirkan, semakin aku tidak tahu tentang untuk apa aku berpikir tentang banyak sesuatu itu.

"Manusia, kalian memang selalu begitu. Tidak kah kamu tahu, aku melihat setiap gerak-gerikmu. Aku tatap lekat, aku mengingat setiap tingkah laku dan polahmu. Dan aku malu, aku menangis akan hal itu" ia tutupkan wajahnya, bersembunyi sejenak di balik awan kelabu yang bertebaran di luasnya malam yang gelap gulita. Sedu sedannya sesekali terdengar, terasa menusuk hati, menghujam seluruh tubuh ini. Dan rembulan pun terluka, dan rembulan pun menangis, di tengah malam yang gelap, yang gulita.

"Aku pergi" begitu ujarnya, "Pikirkan tentang apa dan seperti apa kini, kamu wahai anak manusia. Pikirkan dalam dan lekat, kenyataan bahwa saat ini kamu benar-benar terjebak, terjerembab, jatuh ke dalam palung kehidupan yang gelap, kelam, dingin dan lembab. Tak ada sesuatu yang dapat membawa mu kembali ke permukaan, kecuali rasa inginmu untuk itu, kecual rasa belas kasih Nya padamu" begitu rembulan berkata. "Setiap bait kata yang aku sampaikan padamu, bukan sekedar untaian-untaian bait yang tidak bermakna. Dan pikirkan bahwa hidup kalian, manusia tidak akan lama, tak pernah lama kecuali hanya 1 hari saja" 

Dia pergi, menghilang di gelapnya malam. Meninggalkan aku berjalan sendirian, menapaki jalan setapak, berusaha mengingat-ingat setiap kejadian. Serpihan-serpihan memori yang tersimpan hampir usang, dan menjadi sebuah pengingat yang lembut namun menyakitkan.

Helaan nafas itu aku hembuskan, rasa sakit mulai aku rasakan. Tumor ini seperti mulai menunjukkan ke-aku-an nya atas aku yang menjadi inang baginya. "Apa yang harus aku lakukan, tak pernah aku sebuntu ini", begitu kemudian aku berbicara pada layar putih yang berada di hadapanku kini. Namun ia hanya terdiam, tanpa ada sepatah dua patah kata keluar dari dirinya.

Sore semakin menjelang, begitu padat cerita tentang kehidupan. Kembali menelaah dari 1 hari 1 malam yang sekejap, namun meninggalkan bekas, meninggalkan ribuan bahkan jutaan kata yang tak mampu aku sampaikan. Setiap kata, setiap bait, setiap kalimat yang ada, sebagai pengingat untuk ku beberapa hari, minggu, bulan, tahun berikutnya. Dan rembulan tetap tak bergeming, diam, belum ingin, atau memang ia sedang tak berkenan untuk berbicara padaku, sahabat lamanya

Thursday, March 31, 2011

Silang lintang membunuh malam

Membunuh malam

Bayangan hitam itu berkelebat, mereka seperti terbang di kegelapan malam. Angin dingin bertiup semilir, "sial, baju ini begitu tipis. Udara dingin ini serasa ingin menembus pertahanan tubuhku yang memang hanya tinggal kulit membalut tulang.

Peluh keringat bercucuran, entah sudah seperti apa bau tubuhku bila memang aku memiliki bau. Tunggu dulu, dimana aku berada kini? kenapa tempat ini tidak begitu asing bagiku, atau memang tempat ini sudah menjadi asing hingga ia tak lagi nampak asing? ah entahlah, aku tak tahu.

Bau darah itu masih saja berputar-putar di indra penciumanku. Mengingat aku paling tidak bisa melihat darah, bahkan meskipun darahku sendiri. Bersyukur, malam mengurangi kemampuan penglihatan ku, yang nampak hanya hitam, temaram sinar bulan hanya cukup sebagai penunjuk jalan. Ya aku kini berada di hutan, pedalaman hutan, sebagai pelarian.

Friday, March 25, 2011

Inilah aku di suatu hari, 25 Maret, Jumat di tahun ini, 2011

Jumat, 25 maret 2011

Pagi, menjelang, seperti biasa aktifitas sehari-hari saya lakukan. Menyibukkan diri, menguras sedikit energi, demi menghilangkan rasa sepi, penat, akan sesuatu yang terlepas. Burung-burung pagi itu bernyanyi 'cuit cuit' seperti itu setiap hari. Alhamdulillah masih ada sedikit tempat untuk mereka bertengger, menegakkan sarang sebagai tempat berlindung dari panasnya matahari dan dinginnya hujan.

Meretas asa, menembus bayang-bayang gelap yang remang. Sudah ku coba menghidupkan pelita, pelita asa yang temaram, yang hampir saja padam. Tetapi angin pilu itu sungguh kuat menusuk sumsum tulang jiwa, sungguh menyayat sanubari, membuat hati tersengal-sengal, terengah-engah menjaga asa yang hampir padam.

Entah mengapa hari ini terasa begitu pilu wahai awan pagi, entah mengapa hati ini terasa begitu melankoli, titik-titik air itu hampir membasahi bumi ini, sedih. Aku ingin pergi, melangkahkan kaki, kemana? entahlah aku tak tau, menembus angin pagi, memburu nafas yang serasa ingin pergi meninggalkan diri ini. Aku pergi, ku cium tangan wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan aku, dia lah ibuku. Wanita yang menatap dunia lebih dari separuh abad. Wanita yang menghabiskan sisa-sisa harinya di atas lantai yang dingin, wanita yang mempersingkat waktu tidurnya, demi berkutat dengan dinginnya angin malam, demi berkawan dengan terik matahari dan dinginnya angin dikala hujan datang.

Dia ibu ku, aku sayang, meski terkadang lidah yang tak bertulang milik ku, yang ia lahirkan, tanpa sengaja menghujam hatinya, jauh masuk hingga mungkin terasa sakit ia ketika mendengarnya. Dia ibuku, tak lagi muda, kerut keriput mulai menghiasi wajahnya. Aku pergi, begitu kata ku, dan ketika dia bertanya kemana arah dan tujuan ku, ku katakan 'aku tak tahu' ya aku memang tak tahu. Dalam kebingungan, kekhawatiran, ia menatapku dari kejauhan. Sembari kembali mengulang 'ade, mau kemana?', aku katakan suatu tempat yang ibu memang sudah tau itu. "hati-hati" begitu kata-kata itu meluncur dari bibirnya yang tak lagi muda, mengikuti seluruh tubuhnya. Ya Allah aku menyayanginya, menyayanginya, sungguh.

Dan titik-titik air ini menggenang di kelopak mata, hangat, sedih dan rasa bersalah itu menyeruak, aku menyayangimu, wahai wanita tua, separuh abad, yang mencari nafkah siang dan malam itu, untuk aku dan ketiga saudaraku.

Bus Ekonomi, tujuan terminal raja basa,

Ia melaju kencang, ia datang setelah hampir setengah jam aku menunggu, dan menunggu hingga menjadi perhatian segelintir orang. TIdak ada teman, pembunuh rasa sepi hanya sebuah alat komunikasi, aku berbicara melalui kata dengannya, ibuku yang jauhnya beberapa ratus meter dari tempatku berdiri. Ia mencoba menghubungiku berkali-kali, membujukku untuk tidak jadi pergi, menemani ia berseloroh, bercengkrama, menghabiskan hari-hari membantu meringankan sedikit pekerjaannya. Tapi, 'maaf ibu, aku harus pergi, untuk hari ini, sore hari aku akan pulang kembali'. "Tapi, mau kemana de?" begitu tanya nya."sekedar melangkahkan kaki, menenangkan diri", demi membunuh rasa jenuh akibat -menganggur, tanpa aktifitas otak'.

Hilir mudik orang-orang, manusia yang berada di kota ini, dari desa yang satu, desa yang lainnya. Dengan berbagai macam rupa, warna, corak, bahasa, kulit mereka. Dengan berbagai macam pikiran yang silang lintang di dalam kepala mereka. Bus ekonomi ini penuh sesak, semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Asap rokok yang mengepul, menambah kadar carbon di bumi yang hijau ini, semakin tinggi. Menyedihkan, kesadaran manusia akan betapa berharganya -bumi- yang Allah berikan, masih amat kurang.

Manusia Indonesia, mungkin manusia-manusia lain yang berada di belahan bumi lain, -no idea- bahwa ada manusia seperti kami ini, bagian dari bumi ini, bagian dari bangsa ini, di sini.

Tenggelam dalam pikiran, lelah, lelap selama perjalanan. Entah seperti apa rupa, entah seperti apa bentuk ketika mata terpejam, ketika jiwa jauh berada di dalam alam bawah sadar, aku tertidur kemudian. Entah sudah berapa kali mobil ini menaik dan menurunkan penumpang, entah sudah berapa kali pula ia berhenti dan berjalan, aku tak tahu, aku tak sadar akan hal itu

"19.23, adza isya pun berkumandang, rasa sakit dari salah satu titik syaraf dirasa mulai mengganggu. Bodohnya aku, sebentuk butiran di wajahku yang ku rasa mengganggu, sudah ku usik keberadaannya dengan menekannya sekuat tenaga. -Jerawat- itu mulai memprotes tindakannya, ia meradang, hingga rasa sakit itu muncul ke permukaan. Mari kita rehat sejenak, sholat, karena kita tidak pernah tahu, kapan Dia akan meminta malaikat mautnya menjemput kita untuk selamanya

Terminal raja basa

Kota ini penuh sesak, menghabiskan waktu bersama ibu angkatku. Ibu dari seorang lelaki yang hampir saja menikahiku. Lelaki itu kemudian menghembuskan nafas terakhirnya dalam sebuah kecelakaan maut yang merenggut nyawanya, ia pergi untuk selama-lamanya. Lebih menyedihkan ketika, karena kecelakaan itu terjadi setelah ia pulang dari rumah kedua orang tua ku. Hancur, aku, kedua orang tuanya, keluarganya, teman-temanku dan semua orang yang mengenalnya, ketika lelaki bernama Dyan Isworo itu pergi, meninggalkan dunia ini dan tidak akan kembali.

Bayang-bayang masa lalu, melambai-lambai menghantui setiap jejak yang aku langkahkan di bumi ini. Seperti apa pun berusaha mencoba untuk menegakkan kepala, menatap dunia, tetap saja, rasa pilu itu diam-diam merayap, merambat, mencabik-cabik jiwa, hati dan rasa. Sesak, tersengal-sengal, hingga terisak-isak, sedih itu tak tertahankan.

Aku, sefta marisa dwipasari jn, -jobless, unemployed, pengangguran-, ya itu kini yang tersematkan.

Hari mulai menjelang petang, wanita yang usianya lebih dari separuh abad itu, sedikit lebih tua dari usia ibu kandungku. Ia sudah bagai ibu bagi ku, ibu dari Dyan Isworo Fisika Instrumentasi 2004. Menghabiskan separuh dari hari ku bersamanya, mendengarkan ia bercerita, berkisah tentang kedua anaknya, anak lelaki yang tersisa, yang masih menjadi tumpuan harapannya. Kakak-kakak dari Dyan isworo, mereka lah yang membuat wanita paruh baya itu, mempertahankan, memperjuangkan senyumnya, walau rasa kehilangan seorang anak bungsu, anak kesayangan, benar-benar memukulnya jatuh, telak jauh ke dalam palung jiwanya.

Aku pulang, ku cium tangan wanita itu, ibu angkatku. Ku cium pipinya, aku pamit, 'hati-hati de' begitu katanya. Aku menyayanginya, begitu pun ia, akulah pengganti anak bungsunya, Dyan Isworo yang sudah meninggalkan kami semua. 

BUS DAMRI jurusan Tanjung karang - terminal Rajabasa

Penuh sesak dengan manusia, beragam usia, beragam bau, peluh keringat bercampur di dalamnya. AC yang menyejukkan sedikit menurunkan tingkat emosi manusia, akibat dari cuaca panas yang menghembuskan nafasnya.

Sudah hampir 2 bulan, murni aku tidak bekerja. Sudah hampir 5 bulan, hal bernama -gaji- itu tidak aku terima. Ibu angkat ku menyadarkan aku akan hal itu, senyum miris aku sunggingkan, menyembunyikan rasa kekhawatiran akan sesuatu yang bernama -uang-. 

Bus ini terus melaju, kencang, semua ingin segera mengakhiri penderitaan dari duduk, berdiri berdesakan, dan dari bau keringat manusia yang beragam macam, yang sudah bercampur baur dengan bau matahari dan asap kendaraan.

ketika Supir bus DAMRI berteriak ANJING!!!

-Anjing- begitu teriak supir bus DAMRI, beberapa saat setelah sesuatu menyebabkan ia menginjak pedal rem secara tiba-tiba, hingga membuat beberapa penumpang wanita berteriak terkejut karenanya. Apa gerangan, emosi pak supir terpancing tiba-tiba. -Ooo- begitu ujar beberapa penumpang, mengetahui bahwa yang menyebabkan pak supir tersulut emosinya adalah ketika seorang wanita bersama seorang bocah lelaki di belakangnya, mengendarai motor dengan tidak hati-hati, membahayakan nyawa orang lain dan diri sendiri.

Di sini lah aku, kembali, terminal Raja Basa

-Aku pulang-,

di dalam bus, terlena dalam setiap lantunan lagu yang membangkitkan memori, yang menstimulus setiap ujung-ujung syaraf yang berada di kepala. Mereka bersinkronisasi dengan hati, rasa pilu itu kembali menyeruak, masa lalu itu kembali lagi. Helaan nafas panjang, berat, sesak, itu yang aku rasa, itu yang aku rasa.

Pabrik itu masih seperti dulu, hanya pagar biru itu membuat ia seperti sesuatu yang baru, karena dahulunya pagar itu lusuh, begitu menampakkan ketuaannya. Aku melongokkan sedikit kepala ku, melihat dari dalam bus Penantian Utama jurusan kotabumi, yang melaju kencang. Beberapa detik, aku menatap, tumpukan-tumpukan karet itu sudah mulai meramaikan. -Ya, pabrik itu sebentar lagi akan beroperasi, sebentar lagi akan berjalan, seperti dahulu, ketika pertama kali aku bekerja di situ-.

Titik-titik air hangat itu menggenang, ada setitik rasa yang ingin menimbulkan, memunculkan kata, rasa -penyesalan-. Seandainya dahulu aku tidak menerima tawaran kerja di Perusahaan Otoparts itu, tentunya aku masih bisa berada di situ, di pabrik itu. Mengasah otak, menghibur alam pikiran ku, dengan ilmu pengetahuan yang selalu baru dari waktu ke waktu. Tapi, itu sudah berlalu, pabrik karet itu tinggal masa lalu, aku bukan lagi bagian dari mereka, aku hanya mantan -Kepala Laboratorium- yang dulu pernah berada di sana.

Berpikir, sedih, pilu itu, sesal itu menghantui, tapi apakah perlu? Keputusan sudah diambil, penyesalan tidak akan berujung pada sesuatu yang membawa matahari di dalam hati ini cerah kembali. Aku, saya, bukan tipikal manusia yang senang menyesali sesuatu yang sudah terlepas dari tangan. Mengundurkan diri, mungkin memang itu jalan yang harus saya lakukan. Memang saat ini aku tidak berpenghasilan, -tidak apa-, sesuatu itu memang sedang Dia sembunyikan, sebagai pengganti dari apa, dari pekerjaan yang sudah aku lepaskan.

Mengingat sebuah perusahaan Otoparts yang membatalkan pekerjaanku, karena Jilbabku, karena pakaianku. Menyesal? tidak, aku tidak mau itu, percaya, aku percaya, sinar matahari itu akan menyinari setiap pori-pori hidup ku. Aku percaya, angin kehidupan itu akan kembali menghembuskan sejuknya, di setiap bulu roma jiwaku. Penyesalan akan waktu yang terbuang, beberapa bulan (sebagai akibat dari gelar PENGANGGURAN) yang nampaknya menyebabkan otakku, kepalaku, pikiranku, membeku, membisu, kaku? Tidak, tidak perlu itu, ilmu itu akan aku dapatkan, sudah aku dapatkan, ilmu itu tentang kehidupan, ilmu itu tentang bagaimana mengikhlaskan setiap apa-apa yang terlepas dari tangan.

Ilmu tentang dunia, tentang kalkulasi matematis, tentang analisis, ya memang belum aku dapatkan, karena aku masihlah seorang pengangguran. Tapi, ilmu tentang kehidupan, ilmu tentang keikhlasan, ilmu tentang kesabaran, itu yang saat ini sedang dalam genggaman. Dia mengajariku banyak hal, Allah memberitahu semua hal itu, ilmu pengetahuan itu, Dia mengosongkan pikiran ku dari ilmu dunia yang silang lintang membutakan mata hati yang aku punya.

Ini memang jalannya

Dan pilu itu, sedih itu, tusukan rasa yang menghujam jiwa itu bukan karena -Gelar pengangguran itu-, bukan hanya karena -tidak ada aktifitas otak tentang ilmu analisis dunia itu-, tetapi karena sesuatu, sesuatu yang meninggalkan ku, yang selalu meninggalkan ku, orang-orang yang penting di dalam hidup ku, yang menjadi penghuni di dalam hati ku, yang berkata -mencintai ku- untuk kemudian pergi, melangkah, meninggalkan aku dengan serpihan hati yang tercecer, tertiup angin di suatu hari yang kelabu, pekat, dan menyayat.

Aku tidak ingin menyesal, aku tidak ingin menyesal, aku ingin melepaskan, aku ingin mengikhlaskan setiap anak manusia yang datang, kemudian pergi meninggalkan. Sisakan harapan, secuil harapan, sisakan cahaya, walaupun temaram. Bila ia datang, biarkan temaram itu menjadi terang benderang. Bila ia sudah melupakan, biarkan temaram itu tetap temaram atau relakan ia untuk padam. Mari membuka jendela jiwa, mari kembali menata cahaya hati agar ia hidup kembali, agar ia mampu kembali menerangi setiap sudut yang ada di dalam jiwa ini

itu memang jalannya, itu memang jalan Nya