Pages

Friday, June 26, 2009

Masjid Al Wasi'i - mari memahami, mari mencoba mengerti

sampai suatu ketika........

saya memutuskan untuk berkata di dalam hati dan kepala "yah sudahlah, tidak lagi menjadi penting ketika....". Suatu hari salah seorang muslimah yang saya kenal, yang saya pikir dia harusnya lebih paham dari yang lainnya terlebih lagi jurusan yang diambilnya jurusan keguruan yang ada di kampus saya.

Dia, hari itu menginjakkan alas kakinya begitu saja di atas ubin masjid dengan mengabaikan pengumuman tentang batas alas kaki dan tentang perumpamaan bahwa yang mengenakan alas kaki sampai ubin masjid ini sama saja dengan bebek. Dia nampak tidak peduli, saya tidak habis pikir, sampai ketika seorang teman saya berkata ketika saya bertanya "lho kok sendalnya dibawa naik bla...bla", lalu mbak sarmini, teman satu jurusan satu angkatan fisika 2004, berkata "lah cep, saya udah pernah ngomongin kok, kenapa sendalnya dipakai, eh dianya bilang -Wong saya yang bersihin-, gitu katanya, ya udah".

Gdubbrrakkk, saya cuma diam, hanya diam. Padahal salah satu alasan mengapa saya begitu risih melihat alas kaki bertebaran mengotori lantai masjid, karena saya merasa kasihan pada BPH (Badan Pengurus Harian) masjid ini, saya pikir kasihannya mereka yang harus setiap hari membersihkan lantai tempat wudhu wanita berada. Tapi ternyata, yang "merasa" turut membersihkan sendiri berkata "bla..bla... saya yang mbersihin kok...", dan dia dengan tenang saja berlenggang menapakkan alas kakinya.

Lantas, untuk apa pengumuman itu dibuat???

Dia muslimah yang turut membersihkan, saya pikir mungkin maksud dia 'bukan setiap hari ikut membersihkan', tetapi terkadang ia pun turut ambil bagian, terkadang, untuk membersihkan. Tetapi, bukan lantas itu dijadikan sebagai alasan untuk mengotori lantai masjid ini. Rasanya tidak menyenangkan mendengar pernyataan yang seperti itu, karena masjid itu milik semua orang, milik semua hamba Allah, bukan milik organisasi atau perorangan. Memang saya tidak pernah membersihkan masjid Al Wasi'i itu, dan saya pikir saya tidak berhak berbicara apa-apa. Landasan saya hanya satu bahwa "Allah mencintai keindahan", bahwa kebersihan sebagian dari pada iman, meskipun beberapa bulan yang lalu seorang ustadz berkata "hadist itu dha'if"

Waallahu alam

Hanya ingin berkata "guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari". Tidak mengherankan bila muslimah-muslimah lain yang saya pikir seharusnya mengerti (dari pada muslimah lain yang belum sempurna dalam berhijab atau bahkan belum berhijab sama sekali), mengikuti jejak si calon ibu guru yang merasa turut berkontribusi membersihkan masjid Al wasi'i meskipun saya pikir itu tidak ia lakukan setiap hari, karena setahu saya pengurus masjid Al wasi'i adalah lelaki.

Waalahu alam, saya hanya ingin menuliskan, menuangkan, menceritakan sesuatu yang berasal dari dalam hati, yang berangkat dari rasa keprihatinan hingga akhirnya berujung pada pertanyaan di dalam kepala "apa saya diamkan saja, tidak usah berkomentar, tidak perlu berkata apa-apa".

Tidak perlu memvonis, tidak perlu bersikap sinis, jangan pula bersikap pesimis. Tanamkan di dalam hati, di dalam dada, bahwa seperti apapun mereka, mereka juga manusia, seperti halnya kamu, seperti halnya kamu wahai sefta. Tempatnya lupa, salah dan alpa, siapapun dia, seperti apapun tampilannya, ia, kamu, mereka, tetap saja manusia.

-selesai-

Teman atau lebih dari sekedar teman

6.36 PM, past midnight menurut orang barat

makan malam, ya sudah memasuki jadwal makan malam. Menyantap makan malam yang sebenarnya merupakan jatah makan siang, ya makan siang yang tidak sempat termakan, atau sebenarnya sarapan yang tidak sempat tersentuh karena pada saat itu jam sudah menunjukkan pukul 10.00 dan terburu-buru agar tidak terlambat datang ke pengajian rutinan yang orang-orang tarbiyah menyebutnya 'liqo-an'.

wal hasil itu makanan, baru saya sentuh malam ini, saat ini. Makan malam bersama tempe goreng dingin, sambal goreng asin, dengan nasi putih yang juga dingin, hahhh jadi ingat rumah.

Terlalu banyak berputar-putar, mari kembali ke kisah awal tentang 'teman atau sebenarnya, ia lebih dari sekedar teman'.

Hari berganti, baru 2 hari rasanya seperti sudah tidak tertahankan lagi. Saya berlari kesana kemari mencoba mencari pengganti, panas teriknya matahari sudah tidak lagi penting bagi saya. Tetap, tetap nihil hasilnya. Rasa kesal, kecewa, sedih itu tiba, di kota sebesar ini, teman yang seperti itu tidak ada, tidak tersedia, hingga akhirnya saya menghubungi seorang teman saya, teman saya yang lainnya.

Saya pesan dua, pengganti earphone MP3 saya yang awalnya mengalami disfungsi hanya pada satu bagian saja, hingga akhirnya menjalar menulari bagian yang satunya. Hasilnya, bongkar sana-sini, keduanya rusak semua.

Arrgghhh, saya seperti hilang akal, gusar, kesal, merasa begitu tidak nyaman, gundah. MP3 itu hanya sekedar onggokan tak berharga bila tidak ada earphone itu bersamanya. Akhirnya, meminjam kepunyaan adik perempuan saya.

Biasa, ini kejadian biasa. Tapi tidak bagi saya, heran, gila, aneh, hanya karena sebuah earphone saja, sampai menyusahkan teman, sampai memesan 2 buah agar yang satunya nantinya dapat menjadi cadangan.

Orang bilang MP3 itu teman, tanpa itu saya seperti hilang, BERLEBIHAN. Ada yang secara sengaja 'mensyukurkan', karena dengan MP3 saya seperti autis, sibuk dengan dunia sendiri. MP3 itu hanya teman, ya saya anggap teman, tetapi semakin kesini, semakin aneh dirasa, hingga akhirnya saya bertanya 'mengapa kiranya saya gusar bila ia tidak ada? saya menjadi tergesa-gesa, tidak bersabar karenanya?'

Mp3 itu teman? benarkah begitu? Teman atau lebih dari sekedar teman????? Wallahu alam, saya tidak tahu, hanya saja semoga segala sesuatu bisa sesuai porsinya

Kalau boleh dibilang, dimana ada saya, maka di situ dia ada. Bahkan dibandingkan yang lainnya, ia lebih dekat dengan saya. Tidak pernah lepas, tidak pernah saya tinggalkan, kecuali dengan berat hati. Beberapa hari ini, salah satu bagian tubuhnya mengalami disfungsi, tidak dapat terdengar, kecuali beberapa saat saja itu pun dengan perlakuan khusus yang kadang saya tidak mengerti mengapa bisa seperti itu.

Cerita kali ini nampak sangat berlebihan mungkin bagi sebagian dari manusia yang lainnya yang dengan 'kelegowoannya' mau membaca tulisan saya.


Thursday, June 25, 2009

Masjid Al Wasi'i - Guru kencing berdiri, murid kencing berlari

Ini yang saya sebut dengan atau yang kita sebut dengan istilah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari".
Saya seorang manusia muslim dan demi Dia Yang Maha Menggenggam segala kuasa, saya katakan bahwa saya bangga menjadi salah satu hamba Nya, pemeluk agama Nya, Islam, meskipun pada awalnya, islam, ke-muslim-an saya adalah keturunan yang diberikan oleh ayah dan ibu saya. saya mencintai kebersihan, tapi bukan berarti saya orang yang bersih. Ibu selalu ajarkan untuk seimbang, untuk turut merasakan apa yang orang lain rasakan, agar kiranya saya tidak sombong, tidak dzalim dan bisa lebih berempati bersimpati bukan mencaci karena dengki atau benci.

Sejak kecil, ibu saya selalu berkata "bla...bla kalau bersih kan enak, kalau rapih kan enak ngeliatnya", begitu selalu beliau berkata. Atau ketika ayah saya berkata pada saya yang bila sudah kumat 'rasa malasnya', maka "bla...bla.. jorok ama sih de..", begitu ujar ayah dan ibu sejak dahulu, sejak saya baru mulai merangkak, hingga usia saya memasuki 24.
Mari tinggalkan masa lalu, mencoba mencari, menarik benang merah antara hal yang satu dengan yang lainnya.
Pemanasan global, manusia yang berbuat kerusakan, maka manusia pula yang akan merasakan dampaknya. Salah satunya perubahan iklim yang tidak menentu, terkadang hujan, terkadang cuaca begitu panas menyengat subhanallah sekali rasanya.
Siang itu panas, dan ketika panas begitu terasa, saya pikir alas-alas kaki itu tidak akan berada di atas pelataran ubin masjid Al wasi'i ini. Saya pikir, hanya pada musim hujan saja, ubin-ubin yang mengarah ke tempat wudhu wanita, berwarna cokelat semua, kotor, tanah dari alas sepatu akan membekas, meninggalkan jejak. Tetapi ternyata tidak, beberapa tahun terakhir ini, alas-alas kaki itu tetap naik, entah hujan, entah kering dan panas yang datang.

Saya heran, kalau musim hujan, "baiklah, dimaklumi lantai-lantai masjid bisa kotor", karena memang becek, dan muslimah-muslimah itu, termasuk saya, tidak ingin kaos kakinya basah dan kotor terkena sisa-sisa air hujan. Tetapi bila alas-alas kaki itu naik derajatnya sementara pada saat itu tidak turun hujan sama sekali, saya benar-benar merasa heran. Padahal jelas-jelas tertulis "batas alas kaki", atau "yang pakai alas kaki sama dengan bebek" begitu yang tertera, tulisannya. Begitu jelas oleh mata, tetapi ternyata tetap saja, tidak bergeming, pengumuman-pengumuman itu bagai angin lalu.

kadang sempat terlintas keinginan untuk selama satu minggu mendekati sholat dzuhur dan sholat ashar melakukan survey, kuisioner, menghitung berapa jumlah muslimah yang menginjakkan alas kakinya sampai ke atas ubin masjid dan berapa yang tidak. Kemudian bertanya pada mereka yang memakai dan pada mereka yang memilih tidak memakai sampai menaiki ubin masjid Al wasi i ini. Tetapi sayang, sampai saat ini saya belum sempat.

Sampai suatu ketika,.........

-bersambung-

Tuesday, June 23, 2009

none

Saya tidak suka berdebat, saya tidak suka berdebat ya Allah, saya tidak suka berdebat. Saya hanya mencoba menyampaikan, memberitahu apa yang Engkau beritahu melalui kalam Mu.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
QS. al-Isra' (17) : 36

Manusia itu adalah aku

Bila kujauh dari Mu, akan ku tempuh semua perjalanan
Akan ku lalui semua rintangan
Akan ku korbankan apa yang memang sepantasnya, selayaknya aku korbankan
Akan aku lakukan agar tak pernah Kau berpaling dariku
Agar dapat kiranya aku menatap wajah Mu
Melihat senyum Mu

The show is over say good bye
Tak sampai satu hari kiranya
Tak berapa lama lagi aku akan tiada

Membayangkan ulat-ulat itu keluar masuk, menggerogoti yang ada
Membayangkan malaikat yang bertanggungjawab, mulai bertanya

Kadang
Kapan waktu itu tiba
Siap, ya aku siap
Lalu, tak berapa lama
Aku takut, aku, mengapa tidak ada yang abadi di dunia ini
semua pasti merasa-i apa itu mati

Hati
Semua berasal dari hati
Kadang, tak guna menyesali diri
Ya tak guna
Tak dapat kembali seperti sediakala
Ta tak dapat

Pernah berharap agar kiranya tak perlu begitu panjang usia
Hanya beberapa tahun saja kiranya
Dan ketika dosa bertambah dirasa
Lain lagi yang hati minta
Panjangkan usia, kalau perlu selama, lama, lamanya

Manusia, manusia,
Tergesa-gesa, berputus asa, diberi nikmat, ia lupa, ia khianat
Diberi musibah, ia berkeluh kesah, ia berkilah, mencari-cari alasan Untuk kemudian berkata "mengapa Allah timpakan ini pada hamba?"
Saat lapang, ia "ha..3x"
Saat sempit itu datang,
Saat terjepit itu tiba
Ia berkata , ia berdoa "ya Rabb, tolonglah hamba" dalam derai air mata
Air mata buaya
Dan bila terlepas dari marabahaya, manusia itu lupa, manusia itu lupa

Celakanya
Saya manusia
Manusia itu adalah saya
Manusia itu adalah aku
Manusia itu adalah diri
Manusia itu adalah daku

MANUSIA ITU ADALAH AKU
aku marah padamu wahai manusia itu

ibu yang bernyanyi untuk saya, putrinya

"de jadi kamu pulang jumat" -Aslm, belum bisa pulang bu- "hari apa?" -tau bu, alatnya belum selesai bu-
Lama, pesan terkirim tetapi belum ada laporan berita terkirim, hingga handphone berkelap-kelip, dari "my mother ternyata". Kolonial sekali bukan?! menggunakan bahasa asing sebagai ID, bukan bahasa indonesia atau paling tidak bahasa ibu yang biasa digunakan oleh kedua orang tua saya. Tapi, mari lupakan itu, mari bercerita sedikit tentang "sadness and sorrow" yang sedang bersemayam di dalam kepala ini, di dalam hati ini.
"Hallo Assalammua'alaikum" aku
"alaikumsalam, gak pulang de?"
"enggak bu, alatnya belum selesai"
"minggu depan pulang?"
"belum tau bu"
"ya sudah kalau gitu, nggak usah dipaksakan, nanti ade pusing"
-terdiam-
"kenapa? belum selesai juga ya?!, ya sudah nggak usah pulang dulu. Ibu insya Allah pulang hari minggu, jadi adek yudhanya bisa sama de selvanya"
-masih terdiam- -lalu-
"bu, ibu nyanyi" "nyanyi apa?!" ibu tertawa "lagu apa aja bu, terserah, yang penting jangan lagu dangdut, pokoknya nyanyi"
Ibu masih tertawa, lalu lagu melayu itu pun didendangkan, suara ibu dirasa begitu merdu, mengalahkan semua suara merdu yang ada di dunia. Mengalahkan indahnya harmoni pagi, harmoni malam ini yang sudah riuh ramai terdengar semenjak senja datang menjelang.
"hidup di bui bagaikan burung"
titik itu jatuh, semakin deras-semakin deras, "ah ibu, betapa aku benar-benar merindukanmu, betapa aku benar-benar ingin luruh di pangkuanmu.
"bangun pagi makan nasi jagung" "hidup di bui pikiran bingung" "apa daya badan ku terkurung"
Ibu terus bernyanyi, sembari sesekali tertawa renyah, sampai nyanyian itu terhenti tiba-tiba dan berganti dengan suara tut...tut...tut...tut...., telepon terputus begitu saja. Satu menit, dua menit, lalu "de, pulsa abis", begitu bunyi pesan dari ibu. Tertawa, saya hanya bisa tertawa, sembari mengusap-usap kedua kelopak mata yang sudah basah bersimbah titik-titik air mata.
"kenapa bu?" "pulsa ibu habis de, sisa Rp 641,00" "kalau memang ade nggak bisa pulang, ya sudah ndak apa, diselesaikan dulu, jangan terlalu dipikirkan, nanti ade stress" begitu ujar ibu pada saya, anaknya, anak gadisnya yang nomor dua, yang menghubunginya hari ini, malam ini.
Lama bercerita, hingga akhirnya tersedu-sedu ia berkisah pada saya anaknya. "uang SPP itu urusan ayah sama ibu" begitu katanya dalam derai air mata, "Ade nggak usah pikirkan itu, itu masih tanggung jawab orang tua", hhhh maksud hati ingin sekedar bercerita, tetapi derai air mata juga hasilnya. Ibu ada-ada saja, padahal saya hanya berkata "uang SPP dan SP saya insya Allah bisa membayarnya, dengan apa yang ada di dalam tabungan saya".

Sedu-sedan itu semakin bertambah, kisah-kisah, cerita-cerita pilu masa lalu, kembali terkuak, kembali terangkat ke permukaan, seakan tidak ada habisnya ia rasakan. Entahlah, mungkin harapnya, pedih, perih, lelah, sakit di dalam dada yang ia rasa selama bertahun-tahun, bahkan sejak masa kecilnya, ia harap dapat berakhir mana kala anak-anaknya beranjak dewasa. Tetapi, sedu sedan itu selalu seperti itu, begitu pilu, rasa lelahnya begitu terasa di dalam dada saya, anaknya.

Ia bercerita tentang bagaimana manusia lain beranggapan tentangnya, tentang bagaimana.... saya tak pernah kuasa untuk menceritakan kisahnya. Saya, hanya terdiam, menangis dalam teredam agar ia tidak semakin bersusah hati karenanya, karena isak tangis saya dalam diam. Hingga akhirnya, tangis itu pecah, saya tak tahan.

Teman-teman saya berkata, bertanya "kenapa saya tidak menulis sebuah novel saja? mengapa saya tidak menulis sebuah buku". Maka kali ini saya menjawabnya, saya ingin, ingin, demi Allah saya ingin sekali dapat menulis sebuah novel, menulis sebuah buku, dan novel itu, buku itu, bercerita, berkisah tentang ibu saya, tentang ayah saya, tentang adik lelaki saya, tentang saudara-saudara perempuan saya.

Tentang ibu yang bangun pagi, tidur pada malam hari, bekerja tak kenal henti, sampai akhirnya, sekujur tubuhnya terkadang sakit di sana-sini. Bercerita tentang ayah yang harus bekerja kadang sampai tidak pulang bahkan hingga keesokan harinya, mengejar buronan katanya, mengejar perampok sampai masuk ke dalam hutan belantara, sampai akhirnya suatu hari beliau mengalami celaka, Alhamdulillah Allah masih berkenan memanjangkan usianya.

Ibuku oh ibu
Ayah engkaulah guruku
dan kakak serta adik perempuanku
dan untuk adik lelakiku yang Allah anugerahkan ketidaksempurnaan padamu hingga menjadi ujian kesabaran bagi ibu, ayah, dan kami keluargamu.

Tahukah kamu
betapa saya bangga terlahir dan berada di tengah-tengah mereka.
berharap kiranya Allah berkenan memberi saya kesempatan untuk menuliskan kisah mereka semua, sebelum Dia menjemput ibu, ayah, saudara-saudara perempuan saya, adik lelaki saya dan saya untuk kembali ke haribaan Nya.

Berharap kiranya, ketika novel itu ada, ketika buku itu diterbitkan di negeri ini, Ayah dan ibu saya akan tersenyum bahagia, bahagia, bahagia, hingga bukan tangis derita lagi yang ada, bukan tangis letih yang tersisa, tetapi tangis bahagia, ya tangis bahagia.

Monday, June 22, 2009

Salah Kaprah - KM 34

“jadi, maaf mbak, sebenernya mbak ini memang bener tho kerjanya yang begituan?”
“iya sri, ya beginilah mbak mu ini, awalnya mbak malu sri, tapi yah namanya juga orang cari rezeki”

“masya Allah mbak, tapi ya sudah, mau bagaimana lagi, mbak sudah memilih jalan hidup mbak sendiri. Aku sama mamak, hanya bisa mendoakan suatu saat nanti mbak mau merubah jalan hidup mbak itu. Mamak bilang, seperti apapun mbak, mamak tetap ingin mbak pulang, mamak tetap sayang sama mbak, begit ka….”

Tunggu-tunggu, adik perempuanku ini bicara apa, kenapa jadi terasa tidak begitu menyenangkan di hati, akal pikiran, dan di indera pedengaran. Aku memutuskan kalimatnya kemudian bertanya “memang kata orang di desa, mbak ini pekerjaannya apa sri?” tanyaku pada adikku yang satu-satunya itu.

“kata mbak puji sih, mbak itu kerja di tempat yang begituan mbak”
“begituan? Begituan gimana? Mbak ndak maksud?”
“mbak kerja di KM 34 kan, tempat lokalisasi itu”
“iya, memang lalu”
“ya, kata mbak puji, KM 34 itu tempat lokalisasi PSK gitu mbak, itu lho yang menjual diri”.

“hah” serasa tersambar petir ubun-ubun kepala ini, “masya Allah sri, sri, mbak puji bilang gitu?” tidak percaya, pantas saja sedari tadi aku merasa ada yang aneh dengan kisah adikku ini, pantas saja aku merasa sedikit berlebihan dalam sedu sedannya itu.
“sri, mbak itu memang kerja di KM 34 daerah lokalisasi. KM 34 itu, tadinya Kawasan Makan 34 sri. Masya Allah sri, jadi mamak pasti berpikir mbak mu ini jadi perempuan ndak bener tho”.

“ya begitulah mbak, lalu 34 nya itu apa mbak?”
“karena disana ada 34 kios makan, dari dulu ya jumlahnya ya segitu itu, lokalisasi itu maksudnya lokalisasi untuk pedagang yang awalnya ndak punya kios alias pedagang kaki lima”.

“oo begitu tho mbak, ya ya ya, aku ndak ngerti tho mbak, wong baru kali ini kemari, ya dengar cerita dari orang kalau KM 34 itu daerah negatif ya aku mana tau kalau KM 34 itu juga nama lain dari Kawasan Makan 34”.

“jadi gimana mbak, mbak mau ikut pulang kan?”
“ummm, yah insya Allah sri, birul walidain tho?” ku tatap wajah terkejut adik perempuanku itu, memberikan senyuman lalu “sudah adzan isya, mbak sholat dulu ya”

“lho mbak? Sampeyan?”
“iya kenapa?”
“sejak kapan?”
“sejak kapan apanya?”
“ituuu, sholatnya?”
“oh itu, sejak mbak punya pegawai baru, namanya sutinah”
“itu orangnya sri”

Tak lama sutinah keluar dari kamarnya, membawa sajadah dan mukena “mari mbak sri, kita sholat berjamaah, mbak parni sudah nunggu di mushola “

“hahh, subhanallah, toko ini ada musholanya juga tho”
“iya mbak, Alhamdulillah, jadi kita bisa sholat sama-sama”

Aku tinggalkan sutinah dan sri bercakap-cakap menjelang sholat isya kami tegakkan. Entah apa yang mereka perbincangkan, aku tak tahu, semakin lama suara mereka semakin sayup-sayup terdengar, dikalahkan oleh suara air keran yang mengucur dari kamar mandi toko ini. Tidak terasa, sudah hampir 3 tahun aku berada di sini. Dan pada akhirnya, aku akan pulang mak, aku akan pulang, anak gadismu, anak perempuan pertamamu Diajeng Mahesa akan pulang menemuimu.

-selesai-

Friday, June 19, 2009

Saya heran

Saya tidak ingin gunakan kata aku, karena 'aku' begitu terasa aneh di telinga saya. Saya tidak suka menghadapi kata "TAPI" lebih baik dia, kamu, mereka berkata "KALAU MENURUT SAYA..."

Posting note di sebuah situs jejaring yang sedang membuat demam orang-orang indonesia karenanya, ya situs apalagi kalau bukan facebook. Judulnya "debat capres, buang-buang waktu"

Sungguh luar biasa, itu judul seperti gula yang menarik semut-semut pekerja. Seperti madu yang menarik lebah-lebah pemburu. Berbagai macam komentar sampai di note yang saya buat. Ada yang katakan setuju, ada yang katakan tidak setuju, ada juga yang ujung-ujungnya menghakimi saya dengan memberi gelar skeptis. Siallll, note itu ada bukan karena saya ingin mempengaruhi sesiapa yang membaca, note itu ada bukan karena saya ingin memaksakan kehendak akan berpendapat pada mereka yang menjadi teman dalam jaringan saya. Tapi, itu hanya suara yang ada di dalam kepala, itu hanya suara hati yang meluncur begitu saja, agar saya bisa tetap waras ketika saya berada pada jalur kiri dan mulai merugikan bangsa ini (semoga saja tidak).

Ada yang katakan saya skeptis dalam pendapatnya (gara-gara note itu), yah mungkin saya skeptis. Awalnya tidak terima, rasa amarah itu membuncah, tertahan, bahkan ketika kewajiban saya pada Nya saya tunaikan, bahkan hingga salam itu saya ucapkan. Rasa kesal, jengkel, marah itu bercampur aduk. Tidak terima digolongkan skeptis oleh manusia yang mengenal saya tidak lebih dari 3 hari lamanya. Yah setidaknya itulah awalnya yang saya rasa, hingga rasa kesal itu memancing untuk segera membuka laptop lalu membalas pendapatnya, dengan sanggahan yang serupa. Tetapi, satu sisi dari diri ini mengayunkan lengan kiri saya untuk meraihnya, membukanya, lalu membacanya. Hingga akhirnya, tenanglah saya, tentramlah hati dan kepala setelah membaca kalam Nya.

Berpikir jernih, heran, saya heran, aku heran.

Betapa komentar yang ada, yang datang, yang menanggapi dengan panjang lebar, nampak mereka-mereka begitu mengerti dengan dunia perpolitikan yang ada di negeri ini. Bicara itu mudah, amat sangat mudah, seperti halnya saya. Tetapi menjalankannya, tidak banyak yang bisa, mau bertahan untuk menjalankan apa yang ia katakan, termasuk saya. Berpendapat itu mudah, amat sangat mudah. Entah apa yang memancing mereka untuk begitu tertarik menanggapi note saya tentang debat capres malam itu, hari itu. Apa karena politik itu soal ideologi, apa karena politik itu soal ke-aku-an yang ada di dalam diri manusia itu sendiri? Entahlah.

Saya heran, mengapa begitu sedikit yang tertarik untuk mengomentari lahan hutan yang rusak di negeri ini. Mengapa bisa dihitung dengan jari yang tertarik untuk mengomentari gizi buruk, busung lapar yang ada di negeri ini. Mengapa pula masih banyak saja sampah-sampah berserakan karena rasa malas untuk membuang sampah pada tempatnya? Mengapa pula masih banyak yang belum mau menutup auratnya, padahal bicara politik bisa sebegitu sedemikian sehingga hebatnya. Mengapa pula masih banyak dari kita yang menunda-nunda kewajiban pada Sang Penciptanya, dan mengapa pula masih banyak pengendara motor yang menyalahi peraturannya, dan masih banyak lagi mengapa-mengapa yang lainnya.

Pada kenyataannya, kita, manusia Indonesia, terkadang begitu pandai dalam berbicara, berpendapat, melihat, mengamati, tetapi untuk sekedar 'looking into inside', bisa dihitung dengan jari manusia yang mau sadar untuk mengoreksi diri sendiri. Bisa dihitung dengan jari manusia yang memilih untuk banyak berbuat dari pada sekedar berpendapat sedemikian sehingga terlihat hebat, padahal kita masih nol, nonsense, omong kosong.

Saya orang Indonesia

Thursday, June 18, 2009

Calon2 pemimpin di negeri dongeng ini

Debat capres, kt temen sie,ZeeruuuUU, tapi kt cep, buang2 waktu.

Saling tuding, semua saling klaim, semua saling obral, yg lebih parah, ketika salah satu capres sbegitu sdemikian shingga 'mnegatifkan' lawannya.

hhh, padahal swasembada beras, gara2 pak petani dg keringat dan pupuk mahalnya.

padahal pancang suramadu, bapak2 kuli yg menegakkannya
padahal perdamaian, juru bicara yg mendiplomasikannya.....
poinnya, semua yang terjadi, semua prestasi yang ada, bukan karena satu orang saja, bukan kerja satu orang semata.

Manusia indonesia dialihkan, anggota DPR melenggang senang dengan CINCIN emas di jari jemari mereka.
Tersenyum dengan bangga, memakai LENCANA mematut diri di layar kaca tualet seharga jutaan rupiah sepertinya.
Gila, mata manusia dialihkan dari tingkah polah anggota DPR lama dan baru, 5 miliar, begitu ujar koran lokal.
Alokas 5 miliar untuk CINCIN emas bagi anggota DPR lama, dan LENCANA emas bagi anggota DPR baru.
Hahhh, sementara busung lapar mengancam di mana-mana.
Sementara angka pengangguran bertambah lagi
Sementara angka kemiskinan tidak berubah ke arah turun, melainkan naik yang signifikan

Timpang
Pitza Hut didirikan
termasuk ke dalam propinsi termiskin, sudah disandangkan
Timpang
enam daerah di lampung raih penghargaan program peningkatan produksi beras
tetapi, busung lapar pun tersebar di empat daerah yang menerima penghargaan.

bersedekahlah kamu baik dalam keadaan terang-terangan maupun bersembunyi, diam-diam.
Mengapa baru janjikan laptop ketika PilPres akan diadakan bulan juli tahun ini.
Mengapa tidak bersedekah ketika Aceh sedang tertimpa musibah
Ketika Yogya dilanda gempa bumi yang luar biasa

Mengapa baru menjanjikan melindungi negeri dari intervensi negara asing, tepat ketika diri mencalonkan diri menjadi salah satu kandidat di negeri ini.

Mengapa semua mengaku berjasa pada perdamaian ambon, poso, aceh.
Mengapa semua mengklaim keberhasilan tanpa mau mengakui kesalahan, kecerobohan akan rusaknya lahan gambut, rusaknya lahan resapan air, rusaknya hutan yang ada di negeri ini.

Mengapa tidak ada yang mengklaim bertanggung jawab pada banjir yang setia melanda negeri ini, apa lagi kota jakarta yang katanya ibukota negeri kita.

Mengapa pula tidak ada yang mengklaim bertanggung jawab atas jebolnya situ gintung beberapa waktu yang lalu.

Wednesday, June 17, 2009

Permintaan yang aneh - KM 34

Set 4

Sudah hampir 3 tahun aku bekerja di tempat ini, di daerah ini, KM 34, benar apa yang dikatakan sri, daerah ini, merupakan daerah lokalisasi. Setiap hari, setiap waktu, hilir mudik lelaki-lelaki, wanita-wanita, berdua, berpasang-pasangan, dan aku tahu mereka bukanlah pasangan yang sah, karena sebagian dari mereka, aku mengenalnya.

Entah apa yang terjadi dengan dunia ini, aku tidak begitu mengerti. Kalau saja hari itu aku dan parni tidak bertemu dengan wanita itu. Tentu sudah tidak jauh berbeda nasibku dengan nasib teman-temanku yang berada di sini, di daerah lokalisasi ini.

“ini sri, tempat usaha kita yang baru, gimana? Kamu setuju? Lho kok diam, kamu setuju ndak?”

Tercengang pada awalnya, darimana kiranya parni memiliki ide gila macam ini, setau ku, guru agama di sekolahku pernah berkata bahwa bila suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya. Tapi, lama parni mencoba meyakinkan, akhirnya hatiku luluh juga.

Usaha itu naik turun pada akhirnya, selepas menghabiskan uang tabungan aku dan parni untuk membuka usaha ini, kami berdua memutuskan untuk keluar dari rumah kontrakan lek par, saudara parni. Lambat laun, usaha yang kami rintis berdua, mulai menunjukkan kemajuannnya, banyak pelanggan yang hilir mudik, mereka bilang tidak merugi membayar dengan harga mahal, karena memang layanan yang kami berikan memuaskan.

Satu tahun berlalu, kami pun membutuhkan karyawan. Bukan hal yang sulit mencari karyawan, tetapi menjadi sulit bila karyawan tersebut harus memiliki kriteria jujur dan dapat di percaya. Lama mencari, tak juga mendapatinya, hingga sampailah kami pada saat dimana, siapa saja yang mau menjadi karyawan akan diterima.

Sampai suatu ketika datanglah seorang wanita, pertama kali melihatnya, dalam pandangan aku dan parni, perempuan itu aneh, ia mengenakan kain penutup untuk menutupi kepalanya. Awalnya aku agak keberatan untuk menerimanya, sampai parni membujukku dengan berkata “ya kita coba saja, kalau tidak bisa dipercaya, kalau pekerjaannya ndak benar, ya kita cari penggantinya”. Akhirnya dengan berat hari, perempuan bernama sutinah itu kami terima juga dan jadilah penghuni kios usaha itu kami bertiga, wanita semua.

Awal dia bekerja, hari pertama, begitu cekatan, tidak kenal lelah sepertinya. Pagi-pagi buta dia sudah membuka hari dengan membaca tulisan-tulisan arab dari sebuah kitab yang kata pak ustadz di desa itu Al Qur’an namanya. Agak sedikit khawatir bila mana dia melalaikan pekerjaannya karena rutinitasnya setiap paginya.

Ia bukan pegawai yang banyak menuntut, pertama kali ketika aku dan parni berkata “di sini gajinya kecil ‘nah, tapi kalau sedang untung banyak, ya kita kasih bonus lebih ke kamu” begitu kata parni.

Aku pikir dia akan memprotes atau sedikit menanggapi tentang perihal gaji nya, ternyata “ndak apa mbak parni, yang penting saya cuma minta waktu 10 menit untuk enam waktu”, “oh bukan masalah ‘nah, 10 menit untuk enam waktu kan, berarti kalau ditotal hanya butuh 60 menit, yah lebih pun tidak apa, asalkan pekerjaan kamu tidak terbengkalai” begitu ujar parni. sutinah pun mengangguk “insya Allah ndak mbak”, perempuan berusia setidaknya sebaya dengan usiaku itu hanya tersenyum senang.

Aneh, permintaan yang aneh, 60 menit? Aku hanya menatap parni penuh tanda tanya dan kawanku itu hanya tersenyum saja, sembari berkata “dia cuma minta waktu ‘jeng, dan kita punya banyak waktu”. Awalnya, aku bertanya-tanya, untuk apa 10 menit setiap enam waktu itu. Hingga suatu aku mencoba mengamati sutinah untuk satu hari penuh sampai pkl 20.00 menjelang.

Pagi membuka, 10 menit pertama, pkl 08.00 pagi, ternyata 10 menit yang ia maksudnya adalah sholat, “sholat apa pada jam-jam segini” begitu aku bertanya pada parni, “sholat dhuha ‘jeng, kamu ini gimana tho, katanya muslim, tapi kok ndak tau”, aku hanya diam, tidak begitu menanggapi apa yang parni sampaikan.

Menjelang pkl 12.00, 10 menit kedua, seperti halnya pagi hari, sutinah sholat kembali, kali ini agak sedikit lama, karena ia sembari mengaji. Menjelang pkl 15.30, 10 menit ketiga, sutinah menghilang kembali dari pandangan mata, dn seperti biasa, ia tengah sibuk dengan sholat dan mengajinya. Begitu seterusnya sampai habislah 10 menit itu dalam enam waktu. Ternyata yang sutinah maksud dengan 10 menit untuk enam waktu itu adalah sholat lima waktu dengan yang keenam adalah sholat pada pagi hari.

-bersambung-

Tuesday, June 16, 2009

Numpang - KM 34

Set 3

Menumpang, ya satu-persatu dari kami turun dari mobil milik perusahaan pak par, ya pak par merupakan salah satu dari sekian banyak supir yang ada di perusahaan tempat dia bekerja.

Selesai sampai di situ, satu hari berlalu, dua hari berlalu, lik par mengantarkan kami berkeliling kota ini, mengenalkan kami daerah-daerah yang ada di kota ini, agar kiranya suatu saat nanti kami bisa bepergian sendiri dan tidak tersasar di kemudian hari.

Tidak terasa sebulan sudah berlalu, belum ada juga pekerjaan yang menyapa aku, parni dan beberapa orang temanku. Beberapa dari mereka mulai merasa bosan, hingga akhirnya memutuskan pulang tanpa membawa apa-apa ke kampung halaman, pulau jawa, kembali ke desa. Satu per satu, hingga yang tersisa hanya aku dan parni.

Dua bulan sudah masih tetap berusaha mengandalkan ijazah yang ada. Sesekali terbesit keinginan untuk pulang, tetapi parni selalu mengatakan “jangan pulang ‘jeng, malu, kita sudah jauh-jauh tapi pulang dengan ndak bawa apa-apa, mau ditaruh dimana muka kita ‘jeng. Tunggulah barang beberapa bulan lagi, tabungan mu masih ada kan? Aku masih ada sedikit, kita buka usaha aja ‘jeng. Gimana?”.

Ucapan parni ada benarnya, malu rasanya kalau tiba-tiba aku pulang begitu saja, malu aku pada ibu, pada sri adikku.

“tapi, ndak enak sama pak lek mu par, kita sudah numpang di kontrakannya, ndak bayar pula”

“insya Allah ndak apa ‘jeng, yang penting dirawat, gitu kata pak lek ku. Jadi gimana, setuju ndak kalau kita buka usaha saja, kalau kamu setuju, aku sudah punya gambaran kira-kira dimana tempat usaha kita itu mau didirikan.

Aku hanya mengangguk saja, tanda setuju, tanpa pikir panjang, tidak tahu bahwa ternyata anggukan kepalaku itu akan membuahkan penyesalan yang mendalam.

“mbak, mbak, mbak!!!!”

‘ya, ada apa sri” lamunanku buyar begitu saja, mengembalikan alam bawah sadar ke tempat di mana seharusnya pikiran itu aku tempatkan, di malam ini, di tempat ini, saat ini, bukan kembali mengulang ke beberapa tahun yang lalu, yang sudah berlalu.
“jadi piye mbak, pulang ya mbak”

“kabar mamak gimana sri, masih kerja di sawah pak kadi kah? Apa mamak ndak malu kalau tau pekerjaan anak pertamanya itu di tempat yang hina seperti tempat ini sri?, mbak memikirkan mamak sri. Ndak tega menambah beban mamak semakin berat, belum lagi omongan tetangga yang kadang bikin hati panas, ndak terima sri. Kalau mbak yang dikatakan hina, mbak ndak apa-apa sri, tapi jangan mamak. Itulah kenapa mbak begitu berat untuk pulang ke desa”.

“mbak, mamak waktu pertama kali dengar dimana mbak bekerja, mamak biasa-biasa saja mbak. Sampai suatu hari, mbak puji yang pernah tinggal di bontang, bilang ke mamak, katanya KM 34 itu lokalisasi. Aku sama mamak tu bingung mbak, lokalisasi itu apa, sampai mbak puji bilang begini. Lokalisasi itu tempat perempuan ndak bener bu mul, kalau diajeng sampai kerja di situ, ya maaf ini lho bu, yah ibu tau lah apa yang saya maksud. Begitu dengar itu, aku cuma bisa diam mbak, mamak tiba-tiba pergi, ndak lagi mendengarkan”.

“mamak ndak banyak bicara semenjak hari kedatangan mbak puji itu mbak, Cuma sesekali selepas sholat, aku sering dengar mamak menangis mbak, mamak tu selalu berdoa supaya apa yang dikatakan oleh mbak puji itu salah, mamak selalu bilang, semoga mbak mu selalu dijaga oleh gusti Allah ya nduk, begitu kata mamak”.

-bersambung-

Sunday, June 14, 2009

Aku pergi - KM 34

Set 2

“aku pergi bu, insya allah ndak lama, diajeng pulang lagi, bawa uang banyak bu, jadi ibu ndak perlu bekerja jadi buruh tani lagi di tempat pak kadi”.

Wanita paruh baya itu hanya diam, tak nampak ia memandang wajahku meskipun hanya sekejap saja. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat itu,hanya garis-garis tegas yang aku lihat di wajah tuanya.

Ku cium tangannya yang semakin berkerut, semakin renta, kasar telapak tangannya begitu terasa, ku cium pipinya, aroma matahari begitu menyeruak ibu memang tidak mengenal pemoles wajah dan sebagainya. Semakin terasa keriput di wajahnya. Dan ia masih diam saja,tanpa ada sepatah kata yang meluncur dari bibirnya.

“mbak pergi dulu ya sri, jaga ibu baik-baik. Insya Allah kalau sudah sampai, mbak kabari kamu lewat surat ya”
“hati-hati ya mbak, jangan lupa kirim-kirim kabar. Nanti kalau ndak betah, langsung pulang saja ya mbak” sedu sedan itu kembali terdengar. Aku peluk satu-satunya saudara perempuanku itu, lama, hingga parni memanggilku.
“ayo ‘jeng, ndak usah lama-lama tho pamitannya. Kalimantan kan deket, naik kapal berapa hari juga sampe”

Entahlah , pada hari itu sampai dengan sri dan ibu menghilang dari pandanganku, tidak aku melihat ibu menangis, selain hanya tatapan kosong, hampa, aku pikir, memang seperti itulah ibu setiap harinya. Aku pikir, tak kan mengapa bila aku, anak pertamanya meninggalkan rumah untuk merantau menyebrang ke negeri orang.

“waktu mbak pergi, mamak langsung masuk ke kamar mbak. Mamak nangis mbak, sampai berhari-hari mamak ndak bertani. Pak kadi sampai kasihan sama mamak, makanya mamak diizinkan istirahat beberapa hari” begitu ujar adikku itu.

“mamak ndak mau makan mbak, kalau sudah masuk kamar kita, yang mamak lihat cuma photo mbak saja. Kata mamak, “ndak kerasa ya nduk, kamu dan mbak mu sudah dewasa”, kalau sudah begitu, tiba-tiba mamak mengusap wajahnya mbak, lalu keluar, waktu sri Tanya mau kemana, mau liat sawah katanya, padahal aku tau mamak tu ndak kemana-mana mbak, Cuma diam di dapur, nangis”.

Sudah hampir 3 tahun aku berada di tempat ini, propinsi ini, kabupaten ini. Pertama kali memijakkan kaki di sini, begitu senang rasanya, melihat daratan setelah berhari-hari lamanya berada di tengah-tengah lautan. Tidak banyak bekal yang ku bawa, selain hanya beberapa helai pakaian saja, yah karena memang aku tidak memiliki apa-apa.

Sesampainya di pelabuhan yang ada di kota ini, aku, parni dan kawan-kawanku yang lain dijemput oleh pak sapar, saudara jauh parni. sepanjang perjalanan pak sapar itu bercerita tentang betapa luasnya propinsi Kalimantan ini, katanya “cari uang di sini gampang, asalkan mau usaha, kerja keras, pasti bisa” begitu katanya.

Tidak begitu banyak yang aku ingat sepanjang perjalanan selama 5 jam menuju kota bontang. Bontang? Pertama kali mendengarnya begitu aneh terdengar di telinga, sisanya aku tidak begitu tertarik, tentang gaji yang katanya tidak dapat dihitung dengan jari karena begitu besar jumlahnya, begitu kata pak sapar. Tidak pula begitu mendengar tentang begitu banyak hutan yang masih perawan, belum terjamah karena begitu besarnya propinsi ini, propinsi Kalimantan timur ini. Sisanya, aku habiskan dengan melamun, membayangkan seperti apa keadaan ibu dan sri adikku, hingga aku terlelap sepanjang perjalanan, dan terbangun ketika sampai, menginjakkan kaki di kabupaten bontang, kota taman, begitu slogan yang terpampang.

bersambung


Thursday, June 11, 2009

Pulang - KM 34

SET 1

Pulang mbak, pulang!!! Sedu sedan sri adikku. Mamak di jawa kangen sama mbak, sri ndak akan bilang-bilang pekerjaan mbak apa, sri akan diam saja mbak, yang penting mbak pulang” begitu katanya sembari sesekali sedu sedan itu terdengar.

Aku masih diam tidak bergeming, entah apa yang aku pikirkan saat itu. Aku diajeng mahesa, umur 27 tahun, anak pertama dari ke enam bersaudara. Bukan dari keluarga berada, kalau dalam istilah jawa aku ini berasal dari keluarga kawula, kasta bawah, dan karena aku seorang muslim maka kasta-kasta itu tidak ada, tidak berlaku bagi mereka yang memahami agama. Dan aku, aku tidak begitu memahami tentang seperti apa agamaku selain hanya tertera islam di kartu tanda penduduk yang aku punya.

Aku masih tenggelam ke dalam alam pikiran ku, sampai ketika sri mengguncang tubuhku. “kasihan sama mamak mbak, mamak sudah sakit-sakitan, mamak bilang dia cuma mau lihat mbak untuk terakhir kalinya saja” begitu sri berkata.

Bukan aku tidak ingin pulang sri, rasa rindu itu begitu membuncah, terlebih lagi rasa rindu itu pada wanita yang sudah melahirkan, membesarkan aku dan kamu seorang diri, karena bapak sudah sejak lama pergi meninggalkan kita, entah kemana. Kalau saja hari itu aku menuruti pesan ibu, tidak akan berada di sini aku saat ini, tidak akan berada di tempat yang nista ini, KM 34.
Angin malam itu berhembus, sendu, binatang-binatang malam semakin riuh terdengar bersahut-sahutan, bergantian timbul tenggelam mengalahkan isak tangis sri malam itu. “mau kemana mbak? Apa sudah minta izin sama mamak?” begitu Tanya sri padaku.

Tidak mungkin rasanya hanya berdiam diri di desa ini. Tidak ada yang bisa aku dapatkan di sini, tidak untuk seorang anak buruh petani yang menghidupi kedua putrinya seorang diri, yang hanya tamatan sekolah menengah atas di desa.

“mbak sudah coba bicara sama ibu sri, tapi ibu diam saja. Kita ndak bisa terus-terusan begini sri, ndak akan maju-maju. Mbak mau pergi ke Kalimantan timur saja sri, ikut sama parni dan teman-temannya. Katanya di sana butuh banyak tenaga kerja, di sana banyak pabrik-pabrik besar sri. Yah paling ndak, ijazah SMA mbak masih bisa terpakai di sana” begitu aku sampaikan alasan kepergianku pada satu-satunya saudara kandungku.

Ia hanya terdiam, tidak ada kata-kata yang terdengar selain lamat-lamat sedu-sedannya membuat aku tersadar bahwa ia menangis. Aku tak tahu harus berkata apa, selain hanya merengkuh pundaknya yang bergetar karena menahan tangisnya agar mamak tidak mendengar.

“mbak ndak akan lama di sana sri, kata parni gaji di sana besar, meskipun cuma lulusan SMA. Nanti kalau tabungan mbak sudah banyak, mbak Insya Allah pulang sri, kita buka usaha di kampung sini dengan modal yang mbak punya”.

Adikku itu tiba-tiba mengangkat wajahnya yang basah lalu memelukku erat seraya berkata “jangan lama-laa yo mbak, jangan lama-lama” sedu sedannya semakin membuat getar tubuhnya terasa, kami pun menangis dalam diam. Titik air mata itu jatuh perlahan, membentuk bulir-bulir bening yang pada akhirnya membuatku tersadar di kemudian hari.


bersambung

What is love exactly

Hari ini,
assalammu'alaikum pada semua, pada seluruh penghuni dunia, dan terserah apakah kalian menjawabnya atau tidak, tidak mengapa.

Lelah, tidak juga, hanya ingin menuliskan sesuatu yang sempat terlintas di dalam kepala tentang cinta, melulu tentang cinta.

Apa itu cinta, saya tidak tahu makanan jenis apa itu. Siapa yang tidak pernah jatuh cinta, saya pun pernah merasakannya. Entah itu cinta kepada benda, entah cinta kepada Makhuk-Nya, entah pula cinta kepada Nya itu sendiri.

Apa itu cinta? saya katakan saya tidak tahu dan tidak bisa memaknainya dengan kata-kata. Atas dasar cinta saya dilahirkan di dunia, maka sangat tidak adil rasanya bila mengkambing hitamkan cinta, bila kita tidak bisa memanajemen cinta kita hanya kepada Sang Maha.

Apa itu cinta? saya tidak tahu, sungguh tidak tahu. Apakah cukup cinta bila hanya dibahasakan melalui kata-kata, kata-kata merayu yang lugu, merayu kepada Mu. Atas dasar cinta saya diciptakan oleh Nya, atas dasar cinta pula saya sempat menghianati cinta Nya, dan atas dasar cinta pula, saya kembali kepada Nya.

Mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan hati yang berserakan ya Rabbi, mencoba menyusunnya kembali seperti sediakala tanpa cela, tapi hati tak dapat perawan lagi, kesombongan diri membuat hati ternodai. Bersusah payah merangkak, terjatuh dalam berlari, terengah-engah mengejar Mu, mendekati Mu, agar Engkau maafkan diri yang tak dapat menjaga hati, bahkan hingga kini belumjuga mau kompromi.

Jangan pernah salahkan cinta, dengan mengatakan 'virus cinta', tidak ada yang salah dengan cinta, entah bagaimana asal mula kata 'cinta' dicipta, kata untuk melambangkan rasa. Tidak ada yang salah dengan cinta, selama masih tertuju hanya kepada Sang Maha, tapi tidak begitu dengan manusia, adakala cintanya kepada Makhluk Nya, melebihi cintanya kepada Tuhannya.

Tak kan pernah cukup kata cinta untuk mengungkapkan seberapa besar cinta, tak kan pernah cukup. Seandainya ada kata yang lebih memuji dari Alhamdulillah, maka akan diri gunakan kata itu untuk memuji, seandainya ada kata yang lebih tinggi dari Allahu Akbar, maka akan diri gunakan kata itu, menuliskannya dengan tinta terbuat dari emas termurni di dunia di atas secarik kertas yang terbuat dari emas pula. Lalu mengirimkannya dengan pesawat tercepat di dunia, tapi tak dapat, tapi tak ada..........


Diam, hanya dapat tertunduk dalam diam, mencoba melupakan tapi tak dapat dilupakan, hati ini tak lagi perawan, mencoba menyusun kembali serpihan-serpihan hati agar dapat seperti dulu lagi, tapi bayang-bayang itu selalu berkelebat, cepat. Diam, tenggelam dalam titik-titik air di sepertiga malam terakhir. Kiranya sudah hampir satu tahun, hati belum juga mau kompromi...........

Seandainya dapat berandai-andai, seandainya waktu dapat diulang tapi ia tidak akan mau berulang.

Tuesday, June 9, 2009

Gara-gara Cangcuters

Sore itu, ya kalau tidak salah saat itu sedang sore hari. Baru pulang dari ‘cuci mata’ sembari membeli beberapa buah buku di salah satu toko buku tersohor yang ada di negeri ini, yah semua juga toko buku apa itu. singkat kata singkat cerita, beberapa buah buku berhasil dibeli, penuh sesak sore itu, karena bazaar buku murah sedang berlangsung, dan karena system ekonomi kapitalis begitu mendarah daging, dimana prinsip ekonomi -keluarkan sekecil-kecilnya, ambil keuntungan sebesar-besarnya- begitu melekat di dalam mainset, paradigma berfikir manusia-manusia yang ada di Indonesia termasuk saya.

Ramai, yah namanya juga bazar, segala sesuatu yang berbau bazar, sudah pasti tidak jauh dari yang namanya murah. Bayangkan 6 buku buah dihargai Rp. 10.000 saja, saya pikir ‘murah amat’ yah setidaknya untuk mahasiswi yang doyan baca buku tapi tidak bisa lepas dari istilah ‘hidup ngirit’ seperti saya ini.

Bazar buku benar-benar dinanti, tapi yah semurah harganya, maka seperti itu kualitasnya. Ternyata benar yang saya pikirkan, bahwa yang Rp. 10.000 rupiah itu buku-buku untuk kategori komik. Sisanya di atas itu semua, mulai dari Rp 5.000 perbuah hingga Rp. 12.500 perbuahnya.

Seperti itulah awal mula dari sebuah kisah lucu tentang hedonism yang akan saya ceritakan kali ini. Lelah bergumul dengan manusia-manusia yang punya keinginan sama ‘membeli buku murah, tapi kalau bisa berkualitas’. Berkutat dengan bau keringat, karena itu manusia-manusia, juga baru saja pulang dari aktifitas utamanya, untuk kemudian menyerbu menuju tempat ini untuk membeli buku.

Tidak betah berlama-lama saya pun keluar dari kerumunan masyarakat pencinta buku murah berkualitas saat itu. Hampir Rp.100.000 harga semua belanjaan saya saat itu, tapi itu semua bukan buku milik saya, tapi titipan seorang teman. ‘capek’ ya istirahat tentunya, duduk sejenak bersama seorang teman yang juga kelelahan, membuka botol minum kemudian ‘glek…glek..glek’ lega, sembari menunggu seorang teman yang masih betah berada di dalam kerumunan, mencari buku berharga murah atau ‘oopss’ murahan, tapi tunggu ‘ndak ada itu buku murahan, yah kecuali picisan, saya sepakat dengan istilah itu’.

Hunting buku selesai, menunggu mobil angkutan ke arah raja basa, kami mau pulang, senja semakin lama semakin merayap, perjumpaan dengan mentari sudah pasti tak dapat, sudah pasti gagal lagi hari ini.

Angkutan itu sepi , karena sepi pasti si abang suka ‘ngetem-ngetem kagak karuan’ sampai ketika ada dua orang remaja tanggung yang ikut menumpang di angkutan ini. Saya pikir mereka berdua tidak saling kenal, saya tidak begitu perhatikan yang seorang selain dia memakai kaos oblong berwarna hitam dengan kalung seperti kalung ‘doggy’, kalung untuk hewan peliharaan maksud saya. Sedang yang satunya, sedikit nyentrik, awalnya ‘ndak’ kelihatan, sampai sedikit ndak sopan karena secara ‘ndak’ sengaja mengamati. Anak itu memakai topi, postur tubuhnya tinggi menurut saya, dan satu lagi, kurus, seperti halnya saya, ‘tinggal kulit membungkus tulang, tapi dia sedikit lebih baik dari saya tentunya’.

Ada yang menggelitik hati kemudian merangsang syaraf-syaraf yang terdapat pada lidah saya untuk bertanya, ‘kelas berapa de?’, anak itu malu-malu kemudian berkata ‘kelas satu mbak’, ohh begitu.

Teman-teman saya sudah mulai berkomentar, tersenyum-senyum geli, mentertawai kekonyolan yang saya lakukan sore itu, mereka memprotes keras apa yang saya lakukan terhadap anak lelaki itu.

Rasa penasaran belum usai, jawaban yang anak remaja itu berikan, ternyata mengundang rentetan pertanyaan konyol dan tolol yang lainnya.

‘umm, de tanya lagi ya? Itu celana apa namanya?’ tanya saya
Remaja tanggung itu, menutup wajahnya dengan sebelah tangannya, untuk kemudian senyum-senyum sendiri entah karena apa, apa karena pertanyaan saya. Sementara remaja yang satunya, tertawa tertahan. Dari situ saya baru tahu kalau mereka berteman.

‘mbak ini beneran nanya, soalnya mbak nggak tau de’ tambah saya
‘kamu pakai juga de?’ tanya saya pada remaja yang satunya.

Sembari menunjukkan celana SMA nya dia berkata ‘enggak mbak’ jawabnya
‘ayo jawab…’ begitu ujar anak itu kepada temannya, sembari tertawa kecil.

Remaja yang menutupi wajahnya itu menjawab pertanyaan saya dengan suara yang nyaris tidak begitu terdengar.

‘itu celana pensil bukan?’ tanya saya
Anak itu menjawab ‘iya mbak’.

Mungkin anak itu merasa tersiksa dengan pertanyaan saya, ia nampak malu-malu. Tapi, dasar saya memang tidak peka, maka saya tetap terus saja bertanya. Pertanyaan selanjutnya adalah ‘memang di sekolah dibolehkan ya pakai celana begitu?’ tanya saya.

Awalnya anak itu tidak menjawab selain tersenyum, lalu ‘mbak beneran nanya ini de, soalnya kalau jaman mbak dulu itu, kan musimnya celana lebar-lebar ujungnya, nah kalau ketahuan ya dirobek. Kalau celana seperti yang kamu pakai itu, apa nggak apa kalau dipakai sekolah? Jelas saya.

Ia menjawab tetapi tidak menatap wajah saya yang berada di depannya ‘ya pinter-pinter kita aja mbak’ jawabnya singkat.

‘ooh nggak boleh tho, berarti nyumput-nyumput dong kalau ketahuan’ tanya saya
Anak itu mengangguk, sementara temannya, dan dua orang teman saya hanya tertawa melihat tingkahnya.
‘memang gak susah makenya de, kan sempit ujungnya’ tanya saya penuh keheranan
‘ya enggak mbak, kan tergantung bahannya’ begitu jelas anak itu
‘oooo’ balas saya.
Anak itu nampak tidak nyaman, tapi saya tetap saja bertanya, dan sepertinya saat itu adalah pertanyaan yang terakhir yang saya ajukan untuknya.

‘tau dari mana de, kok bisa sampai make celana pensil gitu lho’ tanya saya
Anak itu semakin tersenyum, malu sepertinya, temannya pun tidak jauh berbeda, hanya senyam-senyum saja.

‘eh, mbak beneran tanya ini. Soalnya ada adik tingkat mbak yang pakai celana pensil itu dari SMP’ jelas saya
‘mode kali cep’ begitu sergah seorang teman saya.

Lalu, ‘gara-gara cangcuters mbak’ jawabannya nyaris tidak terdengar, deru mesin mobil dan lalu lalang kendaraan yang berlomba-lomba untuk segera sampai ke rumahnya, menyamarkan suara dia yang menjawab pertanyaan saya.

‘apa de? Cangcuters?’ saya mengulangi jawabannya dengan penuh keheranan
‘iya mbak, cangcuters’ jelasnya
‘ooo, menurut kamu, kayaknya ngeliat mereka pakai celana itu gimana gitu?’ jelas saya
‘iya mbak, keren’ tambahnya.

‘oh’ saya hanya bisa berkata ‘oh’ di dalam hati. Luar biasa dampak grup band bernama ‘cangcuters’ yang ada di negeri ini. Anak remaja ini, terjebak dengan apa yang namanya arus hedonism, pemujaan, atau mengidolakan hingga berhasrat ingin menirukan sesuatu yang mereka anggap keren saat itu.
‘yah semua gara-gara cangcuters’,

Mobil masih melaju kencang, senja semakin lama semakin mendekati malam yang berarti gelap dan pekat, tetapi melindungi manusia-manusia yang kelelahan karena aktifitas selama seharian. Sebenarnya kepala ini masih penuh dengan pertanyaan tentang ‘celana pensil’ yang anak itu kenakan. Tapi, saya bukanlah seorang jurnalis yang sedang melakukan studi kasus untuk sebuah benda yang bernama ‘celana’ dan anak SMA itu pun bukanlah seorang nara sumber yang harus saya cecar terus menerus tentang itu 'celana’.

Tadinya saya masih ingin bertanya ‘apa orang tuanya tidak melarangnya mengenakan itu celana? Lalu bagaimana membuatnya, karena itu celana seragam SMA?’. Semua pertanyaan-pertanyaan itu hanya berkutat di kepala, tidak terlontarkan, tidak pula terlahirkan ke dunia, hanya berkutat sebatas diskusi antara kepala dan hati. Raja basa, sebentar lagi sampai, ‘kopi ya bang’, mobil angkutan pun berhenti, lalu ‘mbak duluan ya de’ begitu ujar saya pada mereka berdua, dan ‘assalammu’alaikum’ ucap saya pada seorang teman saya lia.
Dan beberapa bulan kemudian, seorang ustadz berkata "celana potlot....", apa itu celana potlot begitu saya bertanya, "itu celana yang ujungnya meruncing", ohhh jadi namanya resmi dari celana pensil itu adalah celana potlot ternyata.

Sunday, June 7, 2009

Transisi

Hari ini
melankolie hati kembali

Agak sedikit lelah, berbicara di depan mahasiswa baru angkatan 2008 yang berjumlah 129 orang. Berbicara dengan berbekal satu bundel kertas berupa format laporan dan beberapa buah alat tulis untuk dipakai di papan tulis yang berwarna putih.

Memulai asistensi Fisika Dasar I dari pkl 15.15 sampai dengan pkl 16.30, menghadapi mahasiswa/i yang baru mengalami masa transisi. Hanya sendiri, berada di depan kelas dengan pasangan-pasangan mata yang menatap. Hanya sendiri, berbicara tanpa menggunakan pengeras suara, hanya sendiri, berusaha mengontrol emosi diri, karena sebagian besar begitu sulit untuk mengendalikan diri agar mau mengamati apa yang diri sampaikan agar mereka dapat mengerti.

Berpikir, sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air. Suara mulai parau, serak-serak basah terdengar, mencoba menggapai-gapai agar yang berada di belakang bisa mendengar. Hanya sendiri, mencoba menasehati agar itu adik-adik mau mengerti, lalu "puasa-puasa, jangan marah", hanya bisa tersenyum dalam diam mendengarkan celetukan adik-adik yang baru mengalami masa transisi.

Hmmmh, mau bagaimana lagi, hanya bisa bersabar menyampaikan apa yang memang harus disampaikan--- karena beban moral.

Kalau bukan karena Nya, entah bagaimana nasib emosi ini selanjutnya, dan akhirnya, hanya bisa tersenyum sesekali sembari menelan ludah sendiri, agar kiranya suara ini masih dapat terdengar oleh mereka yang berjumlah 129 orang, yang sebagian besar ketika saya bersuara, mereka juga bersuara, mereka juga berkata-kata. Kalau bukan karena Nya, kalau bukan karena Mu, kalau bukan karena Engkau yang berada di sisi, entah bagaimana jadinya diri ini.

Aku tidak sedang merayu dan izinkan menyampaikan meskipun hanya dapat sebatas kata-kata melulu hanya sebatas kata-kata yang tak berharga bila dibandingkan dengan karunia dan nikmat Mu wahai Tuhan ku

Friday, June 5, 2009

Mas pendi pergi

Sore itu, saya hanya dapat menatap dalam diam. MObil pick up itu semakin lama semakin jauh, semakin menghilang dari pandangan, saya terus menatap lekat, sampai ia hilang dari tikungan.

"Mbak pit, mbak pit" begitu ujarnya sedikit agak keras sepertinya. Saya seperti mengenal siapa yang mempunyai suara itu. Entah mengapa, ada rasa senang yang mendalam, senang karena pada akhirnya suara itu kembali terdengar di lingkungan asrama Annisa. Saya pikir, itu suara mas pendi, ya saya tidak salah. Suara itu kepunyaan mas pendi yang sebelumnya menjaga asrama annisa ini. Ada perlu apa dia mencari mbak vivit, pikir kepala saya saat itu, hingga "o ya, seingat saya mas pendi memiliki hutang beberapa puluh ribu pada mbak vit, dan nampaknya malam ini beliau berniat mengembalikannya"

Ada sedikit rasa malu, karena bila memang benar uang itu dikembalikan, maka terpatahkan semua keluh kesah mbak vit tentang kenyataan bahwa mas pendi tidak akan mengembalikan uangnya yang sebenarnya tidak begitu besar nilainya baginya (mbak vit.red) yang sudah berpenghasilan sendiri. "ya mas pendi, kenapa mas?" begitu jawab mbak vit dari arah kamarnya. "ini mbak, ada perlu sedikit", begitu jawab mas pendi. Tak lama "makasih ya mbak" begitu ujar mas pendi kemudian, saya pikir transaksi hutang piutang sudah terselesaikan. "iya mas, makasih juga" begitu ujar mbak vit kemudian.

"Sekalian mau pamit mbak"begitu balas mas pendi, "O ya, mas, maaf kalau ada salah" begitu ujar mbak vit. Percakapan terhenti sampai di situ, segera saya sambar jilbab hitam saya yang tergantung tepat di belakang pintu kamar saya. terburu-buru, dalam tergesa-gesa, tersengal-sengal, untuk kemudian membukan pintu kamar. Berjalan keluar, mencari-cari hanya untuk sekedar melihat wajah mas pendi dan veni anaknya sebelum mereka pergi meninggalkan asrama Annisa ini. Pandangan mata saya tujukan ke seluruh penjuru asrama, dimana saja mata saya bisa menjangkaunya.

Mobil pick up itu masih berada di pelataran parkir asrama, bagian belakangnya sarat dengan perabotan yang mas pendi punya. Melihat kesana kemari ke arah mobil pick up, berharap dapat menjumpai wajah mas pendi atau veni untuk yang terakhir kali di lingkungan asrama ini. Hasilnya nihil, yang ada hanya, mobil itu keluar, menjauhi hingga hilang dari pandangan.

Arrrggghhh, saya menjerit, saya tidak begitu menyukai apa yang namanya perpisahan. Dan mas pendi, pergi begitu saja tanpa ada kata-kata. Tidak itu kata selamat tinggal, tidak itu kata maaf, tidak itu kata terima kasih, tidak juga kata sampai jumpa. Tidak ada kata-kata, tidak sama sekali, kecuali hanya hembusan-hembusan angin malam yang kencang membawa debu-debu beterbangan.

Pucuk-pucuk daun-daun muda yang menghijau, sesaat saya tertawa, menatap lahan luas kampus UNILA, seperti stepa dan savana. Ladang kelapa itu disulap menjadi padang rumput tak bertuan.

Mas pendi pergi tanpa permisi, pergi bersama seorang putrinya yang bernama veni. Tidak nampak induk semang kami mbak yeni, ya karena memang pada kenyataannya, mereka sudah berpisah beberapa bulan yang lalu. Dan sampai saat ini, tidak ada yang mengetahui keberadaan mbak yeni kini.

Ada sebab musababnya mengapa mas pendi pergi, ada pula sebabnya mengapa beberapa waktu yang lalu mbak yeni pergi minggat dari asrama annisa ini. Ada hubungannya dengan perkara kasih yang terkikis, entah terkikis karena waktu, entah terkikis karena lupa pada tujuan mengapa sebuah ikatan perkawinan antara dua orang anak manusia bisa terjalinkan. Mendengar kabar bahwa sang suami memiliki wanita lain di dalam kehidupannya, di dalam hatinya. Sebagai seorang wanita, yang juga memiliki rasa seperti yang mbak yeni punya, saya pikir saya mungkin akan melakukan hal yang sama, tetapi semoga Allah selalu melindunginya dimana pun dia berada.

"Tuhkan bener cep, apa yang pernah ku ceritain sama kamu dulu, kamu sieh gak percaya" begitu ujar seorang teman saya. Ya siapa pula yang akan percaya pada berita yang masih kan belum jelas kebenarannya, tentang halnya si bapak yang mempunyai istri selain ibu penjaga asrama, tentang si ibu dan si bapak penjaga asrama yang terkadang baku hantam, cerca mencerca di malam harinya, dan pada akhirnya "katanya, istrinya yang sekarang sudah punya anak, bla...bla" begitu ujar calon penjaga asrama annisa yang juga merupakan kemenakan mas pendi si penjaga asrama sebelumnya. Dan pada intinya, bapak penjaga asrama berlaku seperti itu, karena pada nyatanya ibu penjaga asrama belum bisa memberikan keturunan padanya, begitu menurut mereka-mereka yang bercerita pada saya.

Waallahu alam, saya tak tahu, tak mengerti, tak ingin ikut campur dalam urusan orang dewasa yang terkadang membuat kepala saya tak berhenti bertanya "mengapa? kenapa?" dan berjuta tanya yang lainnya.

Gadis kecil itu, veni namanya, baru saja beberapa hari yang lalu menyelesaikan ujian kenaikan untuk berganti kostum, menjadi siswi salah satu SLTP yang ada di propinsi ini. Kadang tertegun, berpikir kiranya apa yang ada di dalam alam pikirannya. Dia anak perempuan yang menjadi semakin pendiam semenjak pertengkaran kedua orang tuanya yang nampaknya seringkali terjadi di hadapannya. Diamnya gadis kecil itu semakin menjadi, ketika ibunya pergi meninggalkan asrama annisa ini, dan terakhir kali saya melihatnya, tepat beberapa hari sebelum Mas pendi pergi membawa semua perabotannya keluar dari asrama ini.

Kasihan, hanya itu yang dapat saya katakan, dan semoga gadis kecil itu tetap dapat tumbuh seperti gadis kecil lain dalam hal psikologinya, semoga kiranya Allah selalu melindungi dan menjaga gadis kecil itu hingga ia tumbuh dewasa nantinya

Thursday, June 4, 2009

siang di masjid Al wasi'i

selepas menunaikan sholat zuhur bersama teman-teman, cuaca panas, ya beberapa hari ini, Lampung dirasa semakin memanas. Langit boleh mendung, tapi belum berarti hujan, rasa gerah itu tetap saja ada, hingga mengakibatkan tubuh memproduksi keringat dalam jumlah yang tidak biasa.

Sekedar beristirahat selepas sholat zuhur dikerjakan. Tak berapa lama seorang kawan berkata, "gimana ya kalau bumi ini berhenti berputar? apa dia masih memiliki gaya berat?", "ya, tentu saja bumi masih memiliki gaya berat" begitu jawab saya. Lalu "yang jelas kiamat, karena bumi berhenti berputar, otomatis salah satu bagian selalu mengalami siang, dan salah satu bagian mengalami malam" begitu tambah teman saya marhana.

"Jangankan berhenti berputar, bumi itu memiliki derajat kemiringan tertentu bukan? Kalau bumi bergeser sedikit saja dari porosnya, atau kemiringannya bertambah 0.000 sekian derajat saja, kita sudah bisa kiamat" begitu kata saya pada mereka. "lagian, kalau malam terus, ya tidak ada photosintesis, lalu gimana oksigen bisa dihasilkan. Sama juga kalau siang terus-terusan, bisa kering kerontang. Tapi kalau tidak ada matahari, nah itu masih mungkin, seperti di daerah kutub, ada saat-saatnya matahari itu tidak nampak" begitu tambah saya

Hari masihlah panas, tepat ketika teman saya yang lain mengajak pergi untuk memenuhi hasrat sistem pencernaan ini untuk makan

"Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa"
QS. Yunus (10) : 6


Wednesday, June 3, 2009

monolog

ada apa dengan dirimu?
entahlah, aku hanya lelah
nafas itu terputus-putus
naik, untuk kemudian turun
nafas itu terasa begtu singkat
hhhh, mencoba menghela nafas panjang, sepertinya begitu berat

ada apa denganmu?
entahlah, hati tak tahu
kepala tak tahu
sel-sel saraf pun tak tahu tentang apa yang terjadi dengan diri ini

ada apa dengan dirimu?
entahlah, mungkin hanya lelah
ingin berjumpa dengan istirahat yang panjang mengobati kelelahan
hhhhh, mencoba menghela nafas panjang, untuk kemudian berkata
"lelah, ya sepertinya ia memang lelah

Tuesday, June 2, 2009

Es Krim Itu

Gelap, awan kelabu itu menutupi langit yang biru, semakin lama semakin banyak awan kelabu yang berarak, daun-daun pepohonan tak henti-hentinya beriak, bergerak tertiup angin.

Ini masih siang, namun bukan matahari yang ku temui, tidak seperti tadi pagi. Tidak pula sang mentari menyapaku siang ini, selain sekelompok awan kelabu yang tak henti-henti melambaikan tangan mereka lalu berkata

‘sebentar lagi akan turun hujan wahai manusia’

Asrama ini dirasa begitu sunyi, tidak ada gelak tawa yang terdengar, tidak seperti ketika malam hari tiba, ketika penghuni asrama sudah kembali ke sarangnya.

Entah mengapa hari ini dirasa begitu melelahkan, berusaha menemui pembimbing untuk kemudian disambut dengan kalimat singkatnya ‘mau bimbingan ya? Jangan sekarang ya’

Sebuah penolakan, entah halus entah kasar tak tahu, tak jelas dan tidak begitu penting bagiku. Melangkahkan kaki, pulang, asrama menjadi satu-satunya tempat tujuan kemana aku harus pulang, menghabiskan waktu sampai malam menjelang.

Gelap, awan-awan kelabu yang berarak itu, semakin semarak dalam keabu-abuannya. Tak dapat aku memburu mentari, ia sudah bersembunyi dari awan kelabu yang membawa kabar akan turunnya hujan di hari ini, siang ini.

Dua buah es krim yang baru saja ku beli, sudah mulai meronta, mereka berkata
‘hai manusia, tidak bisakah kau percepat langkahmu, sebentar lagi kami akan mencair, dan tentunya es krim yang mencair tidak lagi menyenangkan bila dipandang mata, terlebih lagi dalam hal rasa’ begitu ujar mereka berdua

Mempercepat langkah, bukan hanya karena kedua es krim itu yang begitu memaksa, tetapi karena awan-awan kelabu yang berkata ‘cepat-cepat, mau turun hujan’ begitu katanya.

Asrama ini tetap saja sunyi, hembusan angin membawa kabar bahwa rahmat Nya akan segera Ia turunkan. Lama, duduk dalam diam, sembari mencerna es krim yang semakin lama semakin susut dalam ukuran. Cukup mengherankan mengetahui bahwa mereka tampak senang ketika aku sedikit demi sedikit melumat tubuh mereka yang lezat dengan cepat.

Entah mengapa, lambat-laun, bayang-bayang tentang memori beberapa tahun yang lalu, menghampiriku.

Menghabiskannya sembari mengingat-ngingat tentang masa lalu, di sebuah rumah berukuran tidak lebih dari 10 x 10 meter beserta pekarangan yang luasnya tidak seberapa, di sebuah perumahan milik pemerintah, perumahan guru beberapa tahun yang lalu.

‘te no net, te no net’ suara yang dulu begitu menggiurkan ketika mendengarnya. Biasanya hanya dapat mengintip dari jendela, hingga suatu hari, entah di awal, entah dipertengahan, entah pula itu di akhir bulan. Tidak ingat pula saat itu aku duduk di kelas berapa, entah SD entah pula SMP.

Wanita itu keluar dari rumahnya, lalu berkata ‘mang, beli mang’ Begitu katanya sembari berteriak-teriak, khawatir si mamang tidak mendengar bila ia bersuara dalam tingkatan lemah volumenya.

Penjual es krim dorong itu pun menghampirinya, tak berapa lama, beberapa orang anak kecil sudah berada di sampingnya, memutari si penjual es krim yang bersepeda. ‘ibu mau beli apa?’ begitu ujar salah satu anaknya.

‘ade, beliin yang itu ya bu’ begitu anaknya kembali berujar, tanpa menunggu jawaban dari ibunya atas pertanyaannya yang pertama.

‘ini bukan buat kamu, tapi buat adikmu, ibu gak punya uang’ begitu jawab ibunya, sekenanya.
Aku hanya dapat memperhatikan, melihat dari kejauhan, memori itu kembali berulang, pita memori itu kembali ku putarkan. Seingatku, gadis kecil itu hanya tertunduk lesu, bayangan bahwa ia pun akan turut merasakan es krim berbentuk corong, hanya tinggal angan-angan.

Si pedagang es krim pun kembali mengayuh sepedanya, membunyikan kembali musik khas pengerat mangsa, anak-anak tentunya ‘te no net, te no net’.

Gadis kecil itu masih terdiam, dan ketika ibunya berkata ‘ini cicip punya adiknya sedikit, tapi jangan banyak-banyak ya, kan sudah besar’

‘tapi saya kan masih kecil bu’ begitu hati gadis kecil itu berujar

Ada sedikit raut kecewa di wajahnya, ada sedikit kesedihan yang terpancar dari matanya. Bukan tentang mengapa adiknya bisa merasakan, sedang ia tidak, bukan karena itu sesungguhnya.

Tetapi, menghadapi bahwa pada kenyataanya ibunya tidak mempunyai uang, dirasa begitu melukai hatinya.

Berjuta pertanyaan mengganggu pikirannya, tentang kenapa ibunya tidak memiliki uang, tentang mengapa ia dan ketiga saudaranya tidak dapat seperti teman-temanya.

Tapi, tidak mengapa, nampaknya gadis kecil itu sedikit memahami kondisi keuangan kedua orang tuanya yang tidak seberapa. Pikirnya ‘tidak dibelikan pun tidak mengapa, yang penting sudah mencoba’. ya, setidaknya ia sudah tahu bagaimana rasanya es krim berbentuk corong yang selalu diceritakan oleh teman-teman yang ada di sekolahnya.

Hari pun berganti, kisah tentang es krim si penggoda hati nampak sudah mulai tidak terdengar lagi. Hingga suatu ketika si pedagang es krim kembali lagi, lalu ‘mang, mang, beliii’. Begitu teriaknya, ku pikir wanita itu lagi, tetapi kali ini anaknya, anak perempuannya. Wanita itu memiliki 4 orang anak, dengan 3 orang perempuan, dan seorang lelaki, dan yang lelaki merupakan anak bungsunya.

Pedagang es krim itu pun berhenti tepat di depan rumahnya. Si ibu terlihat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh anaknya, salah satu gadis kecilnya. Dengan penuh percaya diri, gadis kecil itu melangkah pasti, lalu ‘mang, yang ini harganya berapa, yang ada corongnya itu mang’ begitu celotehnya ‘yang itu Rp. 2.500 de’ begitu jawab si pedagang, nampak senang hatinya, seorang anak kecil kembali terjerat dengan rasa inginnya.

‘saya beli yang itu mang, satu, yang rasa cokelat’ begitu kata gadis kecil itu.

Si ibu masih terkejut bukan kepalang, darimana gadis kecilnya mendapatkan uang? Begitu tanyanya, karena pada kenyataannya, bisa dihitung dengan jari kapan kiranya ia memberikan uang jajan pada anak-anaknya, itu pun tidak seberapa dalam jumlahnya.

‘te no net, te no net’ si pedagang pergi dengan senyum terkembang
‘ade dapat uang dari mana?’ begitu tanya si ibu pada gadis kecilnya yang juga merupakan anak perempuannya yang nomor dua ‘ade nabung ibu’ begitu jawabnya singkat.

Ia membuka pembungkus es krim itu dengan segera dan ketiga saudaranya serta merta melingkar, mendekatinya.

‘ayuk, minta’ begitu ujar adik-adiknya
‘de, ayuk minta ya’ begitu ujar kakak perempuannya.

Keempat bocah kecil it u tenggelam dalam tawa, riang, senang, terlebih lagi gadis kecil itu, anak nomor dua dari kedua orang tuanya. Senang ia akhirnya dapat merasakan apa yang teman-temannya rasakan, meskipun dengan mengorbankan untuk tidak jajan beberapa minggu lamanya.

Wanita itu, yang juga ibunya, hanya memandangi dalam diam dan entah apa yang ada di dalam pikirannya saat itu, aku tak tahu.

Beberapa tahun berlalu, dan gadis kecil itu sudah hampir menginjak 23 tahun dalam usia. Ia bukan gadis kecil lagi, begitu menurut orang-orang yang berada di sekitarnya. Tapi tidak menurut kedua orang tuanya. Dan hari ini, ia sudah menghabiskan dua buah es krim dalam sekejap saja, tidak perlu lagi mengumpulkan uang jajannya, tidak seperti beberapa tahun yang lalu, dan menurutku, gadis kecil itu harus lebih banyak bersyukur dari pada beberapa tahun yang lalu.