Pages

Monday, August 31, 2009

Pada dasarnya, Pria dan Wanita

Pada dasarnya, peraturan itu ada untuk dilanggar. Seakan tidak percaya, tentang bagaimana beberapa orang bisa menerapkan peraturan, kedisiplinan, sedemikian rupa, sehingga manusia-manusia di dalamnya, tunduk dan turut serta menjalankannya. Ada yang pada awalnya dengan terpaksa, ada yang acuh-tak acuh tetapi tetap menjalankan juga, ada juga yang melanggar untuk kemudian dengan sendirinya mematuhinya.

Berdasarkan, penelitian orang-orang yang berada di wilayah barat sana. Bahwasannya pria hanya mengeluarkan 7000 kata dalam satu harinya, dan wanita 20.000 kata. Luar biasa beberapa kali lipatnya.

Bagaimana pria diminta begitu bersabar untuk mendengarkan si wanita yang bercerita, guna menghabiskan jatahnya yang ’20.000’ itu. Bahkan hingga waktu menjelang tidur tiba, si wanita tetap saja ‘keukeuh’ dengan ceritanya, sementara suaminya hanya menjawab sekenanya dengan berkata “ya, ooo, hmm” dan masih banyak kata-kata singkat lainnya. Hingga, pada akhirnya si wanita bercerita atau sebenarnya ia mendongeng untuk suaminya???

Buat sebagian wanita, adalah hal yang menjengkelkan ketika sedang asyik bercerita, tiba-tiba ketika sampai pada saat dimana si wanita memerlukan pendapat “menurut abi bagaimana? Menurut mas gimana? Menurut kakak gimana? Menurut Aa gimana?” dan yang terdengar hanya “ZZZzzzzzZZZ”, ternyata sang suami sudah terlelap terbawa ke alam bawah sadarnya.

Beberapa melengos, mengeluh kesal, beberapa mungkin ada yang tersenyum melihat polah suaminya, mengingat betapa lucunya, menyadari bahwasannya ternyata ia terlalu banyak bercerita, sehingga nampak sedang mendongeng saja. Beberapa merasa kasihan, menyadari betapa suaminya begitu kelelahan akibat aktivitas seharian demi ia dan anak-anaknya.

Terserah bagaimana mau menanggapinya.
Renungan sederhana, ia saya tuangkan karena rasa kesal yang muncul sebagai akibat dari mahasiswa-mahasiswa yang mengadakan buka puasa di asrama Annisa. Bukan masalah dengan buka puasanya, tetapi volume suara yang dihasilkan oleh peserta-peserta yang mengikutinya. Hingga menjelang adzan isya menggema, suara-suara itu masih terdengar keras dan sumbang di telinga.
Suara wanita yang tertawa-tawa, senang, riang. Suara baritone para lelakinya, yang diiringi gelak tawa. Suara mereka yang bersahut-sahutan, berlomba-lomba dengan suara adzan dari masjid yang berada tak jauh dari asrama saya, dan saya terganggu, mereka mengganggu. Tidak nampak terdengar akan mengecil volume-volume suara itu, hingga akhirnya saya keluar kamar dan berkata “maaf ini sudah masuk waktu sholat isya, tolong suaranya dikecilkan”. Tidak ada yang hening, teriakan, gelak tawa pria dan wanita, tetap saja keras terdengar.

Saya hanya diam, melihat dari kejauhan, beberapa menit agaknya, hingga akhirnya “sssttt, suaranya” begitu ujar beberapa di antara mereka. Pria dan wanita, mungkin itulah kenapa pria dan wanita harus ada batasannya. Saya heran, bagaimana rasanya tertawa, berteriak di saat adzan berkumandang. Berpikir, mencoba mengingat, seingat saya teman-teman saya tidak sampai sebegitunya, yang lelaki tidak akan betah berlama-lama karena mereka sadar, tempat tinggal saya isinya wanita semua, yang wanita pun tidak sampai sebegitunya dalam mengeluarkan suara, kecuali di kampus dan tempat-tempat dimana sekiranya tidak akan mengganggu manusia di sekelilingnya.

Beginilah dunia dengan banyak macamnya manusia yang berada di dalamnya. Saya ingin menjadi manusia individu bila menyadari bahwa nampaknya bagi mereka “peraturan itu ada untuk dilanggar”. Tapi hati saya tidak pernah mengizinkan begitu, ia tetap saja usil,ia tetap saja jahil, ia tetap saja ingin tampil, ia tetap saja ingin bersuara, menyuarakan kebenaran katanya.

Tapi kebenaran menurut hati yang saya punya, belum tentu benar di mata mereka karena setiap kita memiliki sudut pandang yang berbeda.

Wednesday, August 26, 2009

Mereka atau saya yang memasang???

Part Two

Tiba di dalam, saya menjadi tameng bagi teman-teman perempuan saya yang lain, pasang badan istilahnya, atau mereka yang memasang badan saya di depan???. Hingga akhirnya, si wanita pegawai pelayanan jasa rektorat berkata, dengan nada tinggi tentunya “saya kan sudah bilang, gak lihat saya lagi ada kerjaan”. Gdubbrakkkk, saya kaget mendengar si wanita marah-marah, ‘menyemprot’ saya dengan kata-katanya. Humph, kalau bukan karena Allah sudah saya balas dengan nada yang serupa, tapi yang keluar hanya “iya mbak, tapi ini mbak tadi bilang setengah jam, ini sudah setengah jam”. Tidak ada kata maaf, yang ada hanya “nanti, saya lagi sibuk” begitu kira-kira balasannya sembari marah-marah tentunya.

Saya dan teman-teman saya pun melangkah pergi, sembari menahan rasa kesal yang membuncah di dalam dada, saya berjalan lebih dulu dari teman-teman saya. Tak lama, seorang teman saya berkata dengan nada kesal tak percaya, karena ternyata si wanita mengatakan kata-kata yang tidak pantas menurut ukuran dia “cep, mbak tadi itu bilang –bla…bla…bla-“ begitu ujar teman saya saat itu.

Saya hanya bisa menarik nafas panjang, menahannya sekejap mencoba memberi waktu pada hati dan kepala agar tersinkronisasi hingga tidak terbawa emosi. “biarkan saja mbak, ini kan bulan ramadhan, biar saja si mbaknya bisa batal puasanya, capek sendiri dia nantinya karena sudah marah-marah”. Tiba-tiba, “iya de, biar batal puasanya. Sudah tunggu di luar aja ya, nanti masuk lagi. Biar aja mbaknya marah-marah” begitu kira-kira ujar dua orang bapak pegawai rektorat bagian akademik yang kebetulan berada di tempat itu. Tepat saat dimana kami berlima ‘dimarahi’ habis-habisan oleh wanita cantik itu.

Bersyukur saya tidak mendengar apa yang wanita cantik itu katakan. Bersyukur pada Nya, saya tidak perlu mendengar kata-kata tidak patut, yang bila saya mendengarnya, bisa jadi saya tidak jauh berbeda darinya, dari wanita cantik, petugas akademik. Bisa jadi saya berbalik memarahinya, karena kata-kata tidak patutnya.

Dia wanita yang cantik, ya menurut ukuran saya. Maka sudah seharusnya tindakannya, tingkah lakunya, kata-katanya, cantik pula sesuai dengan wajahnya. Terlebih lagi wanita cantik itu berada pada posisi dimana dia harus melayani manusia setiap harinya. Tapi, mari kita coba mencari beribu-ribu alasan untuk memaklumi ‘semprotan emosi’ yang ia arahkan pada kami siang ini.

Mungkin saja ia sedang ada masalah yang belum terselesaikan, hingga terbawa dan secara tidak sengaja ia tumpahkan pada kami siang ini. Mungkin saja ia sedang datang bulan, ya biasanya pada saat-saat itu emosi seorang wanita sedang berada dalam keadaan tidak stabil. Mungkin saja, ia sedang kelelahan karena tugas yang membebaninya selama beberapa hari ini, mengingat jadwal wisuda tinggal beberapa hari lagi.

Hmmmhhh, menarik nafas panjang, Form B sebagai salah satu syarat untuk wisuda sudah selesai kami kumpulkan. “terima kasih mbak, bu” begitu ujar saya pada wanita itu dan seorang ibu paruh baya yang berada tak jauh dari si wanita berada.

Saya pun melangkah pergi, diikuti beberapa orang teman saya lainnya. Dan setibanya di luar, dua orang teman saya bergumam kesal “mbak itu bla…bla..bla”. Lalu “bla..bla…bla”, humphhh beginilah wanita, dan saya wanita pula. Maka, saya katakan pada mereka berdua, teman-teman saya yang cantik dalam rupa dan akhlaqnya “yang sudah lewat, ya sudah. Yang penting urusan kita untuk wisuda sudah selesai. Kalau si mbaknya marah-marah, ya biar saja, kita ndak usah ikut-ikutan. Biar mbaknya sendiri yang rugi, sudah ndak usah diingat-ingat lagi, sudah lewat”.

Senyum sumringah, cengar-cengir ndak jelas, mereka tampakkan. Kami pun berlalu pergi, meninggalkan gedung rektorat kampus ini. beginilah wanita dengan dunianya, beginilah wanita dengan segala apa yang ada di dalamnya, termasuk wanita.

Jadikan sholat dan sabar sebagai penolongmu

"Setengah jam, tunggu di luar" begitu katanya

Part One

Saya pikir Alhamdulillah saya tidak marah-marah, saya pikir, Alhamdulillah saya tidak mendengarnya.

Ini bulan puasa, ini bulan ramadhan, ini bulan mulia, ini bulan penuh pengampunan bagi yang bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, dan nampaknya saya belumlah menjadi manusia yang mampu memanfaatkannya dengan sempurna. Beragam macam iklan bertebaran di media masa, untuk menarik simpati pemirsa Indonesia yang sebagian besar beragama muslim, terbanyak di dunia. Mulai dari iklan makanan, minuman berbuka, sampai iklan handphone dan kartu selular yang menawarkan content-content khas ramadhan, untuk memperlancar ibadah, begitu inti dari produk mereka.

Terserah, sah-sah saja sepertinya dan darimana sudut pandang saya hingga mengatakan bahwa tindakan mereka sah-sah saja? Entahlah, saya juga tidak tahu darimana asumsi saya bermula.

Hari ini, lampung panas, ya memang cuaca propinsi ini selalu panas. Hari ke hari, minggu ke minggu sama saja, yang ada rasa gerah, panas, hingga menyebabkan mereka yang baru pertama kali menginjakkan kaki di propinsi ini akan berkata “Lampung panas”, wajar begitu kata hati saya menimpali pendapat seorang kawan saya. Lampung panas, tapi, tidak menjadi landasan bahwa semua orang yang berada di dalamnya harus selalu berada dalam kondisi panas. Dalam keadaan yang tidak mampu mengontrol emosi, hingga sesukanya, semaunya melampiaskan kekesalan kepada sesiapa yang secara administrasi harus berurusan dengan mereka.
Kenapa administrasi????

Karena dari sinilah kisah itu bermula.
Gemuruh terdengar, awan hitam yang menggantung mulai menjatuhkan titik-titik airnya ke bumi, limpahan rahmat dan kasih sayang Allah datang lagi hari ini. Datang melalui air hujan yang ia turunkan, berjuta-juta rasa cemas dan harapan Dia munculkan melalui kilatan petir dan derasnya air hujan. Inilah buah dari rasa panas dan gerah selama seharian yang seakan-akan menjadi tanda awal dari akan turunnya hujan.
Wajah sumatera, garis-garis tegas melintas, tersirat, terbaca dari wajah-wajah masyarakat yang memilih untuk tinggal, diam dan menetap di dalamnya. Menetap hingga melahirkan keturunan, mulai dari anak, cucu hingga cicit mereka.
Administrasi, hari ini saya bertanya pada seorang pejabat akademik yang ada di kampus saya. “Pak, kenapa bagian keuangan dan bagian akademik selalu marah-marah?”, begitu pertanyaan saya saat itu. “Entahlah, mungkin karena mereka selalu bertemu dengan mahasiswa” begitu jawab singkat pejabat akademik yang ada di fakultas saya saat itu.

Bersyukur saya tidak mendengarnya, kata-kata pegawai rektorat yang sebenarnya, bila saya mendengarnya mungkin entah seperti apa jadinya emosi saya saat itu. Wanita cantik itu berkata dengan nada yang tidak menyenangkan menurut saya dan beberapa orang teman saya. Katanya “tunggu di luar, setengah jam lagi”, sudah, hanya itu yang ia katakan ketika saya dan beberapa orang teman saya menghampiri ia sembari berkata “permisi mbak, maaf mau mengumpulkan form B”.

Kami pun berlalu pergi, menunggu di luar ruangan akademik rektorat kampus ini, selama lebih dari setengah jam. Ya kami pikir sudah lebih dari tenggat waktu yang wanita itu inginkan.

Part One

Friday, August 21, 2009

hhhhhhhhhhhhh

Sebuah pesan singkat ya Allah
dengan huruf kapital dengan tanda seru
saya cuma bisa menangis ya Allah
di matanya nampak saya salah selalu

saya sedih ya Allah
karena cep ndak pernah bermaksud begitu
cep sedih ya Allah, sedih, cuma bisa nangis
gak jadi pulang ke rumah
cep kangen sama ibu
cep mau ketemu ibu

Tapi cep abis dikirim pesan pakai tanda seru
pakai huruf kapital
dimarah-marahin

Cep salah terus ya Allah
cep salah terus
cep gak pernah benar
cep salah terus di depan bapak itu

cep salah terus
cep cuma mau nangis
cep gak jadi pulang

Thursday, August 20, 2009

Kontemplasi dari jarak itu sendiri

Manusia yang menciptakan jarak, manusia pula yang merasakan konsekuensi dari adanya jarak.

Mereka punya dunia sendiri, ada yang dapat dimasuki, mempersilahkan kita singgah di dalamnya. Ada yang dengan sukarela membukanya, ada yang membuka karena terpaksa, karena rekan-rekan sejawatnya meninggalkannya, atau mungkin sedang sibuk dengan keperluan-keperluan pribadi mereka.

Ada yang sudah dewasa dalam pola pikirnya, ada yang hanya nampak diluarnya saja, ada yang tergantung pada keadaan yang sedang di hadapinya.

Manusia pandai bicara, pandai memainkan kata-kata, pandai mengeluarkan nasihat-nasihat penuh makna. Tetapi apakah itu memiliki makna pula di dalam hatinya, hingga membekas dan membuatnya menjadi manusia seutuhnya? Atau hanya sekedar kata-kata yang menghasilkan pujian dari manusia yang lainnya, tetapi tetap bernilai kosong atau bahkan tak bernilai sama sekali, hingga membuat dirinya tetap menjadi manusia yang sama dari hari ke hari.

Saya manusia, kita semua manusia. Manusia yang mempunyai akses luas untuk menjelajahi dunia maya kemudian mencari hikmah apa yang ada di dalamnya. Kita semua manusia, manusia yang mampu menjelajah alam semesta. Manusia yang dapat berpikiran terbuka atau justru sebaliknya, terkungkung di dalam sebuah tempurung kelapa. Terkurung di dalam sebuah mainset berpikir bernama kotak, terperangkap di dalam jutaan asumsi-asumsi paranoid antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, hanya karena pola pikir yang berbeda.

Semua ada sisi baiknya, dari situs jejaring facebook yang kemudian di haramkan, ada sisi positif di dalamnya. Pun ada sisi negatif dari handphone yang sudah tidak dapat lagi dilepaskan dari kehidupan manusia di dunia. Semua kembali kepada kita si manusia, apakah mampu memanfaatkannya sesuai dengan porsinya. Menempatkan segala perhiasan dunia pada tempatnya, secara seimbang, dengan tidak memberikannya tempat khusus di dalam hati, kecuali sepetak ruang kecil di dalam kepala untuk dicerna dengan menggunakan logika.

Semua ada sisi baiknya, sisi baik dari dilahirkannya WWW ke dunia, menghubungkan yang tidak terhubung. Membuat mungkin apa yang tidak mungkin beberapa tahun sebelumnya, semua karena kepiawaian akal pikiran manusia yang Allah berikan sebagai salah satu nikmat tak terhingga, hingga membuat kita berbeda dari makhluknya yang lainnya. Tetapi, buat sebagian dari kita ada yang menggunakannya untuk maksud dan tujuan yang terkadang memalukan.

Dunia, selalu indah dipandang mata, selalu manis di rasa. Begitulah kita manusia, manusia yang begitu menghargai apa yang nyata, apa yang nampak oleh mata. Saya jadi teringat ketika suatu malam seorang wanita menghubungi saya untuk berkata "Sefta jangan lupa besok pkl 8 pagi di rektorat. Pakai pakaian yang rapi, yang cantik, jangan terlambat", "iya..." begitu jawab saya.

Sejenak terdiam, berpikir, beginilah kiranya manusia. Esok hari saya akan menandatangi kontrak perjanjian, bertemu dengan para pejabat rektorat, berjumpa dengan banyak kamera, berhadapan dengan media massa. Esok hari pun tiba, saya persiapkan dengan seksama, rapi, bersih, tak kurang menurut ukuran saya. Mengusahakan untuk tidak datang terlambat, semua demi apa yang namanya urusan dunia.

Saya memang tidak terlambat, semua sudah sesuai menurut pandangan saya. Kembali memantapkannya dengan mematut diri di depan kaca, sesaat saya berpikir bahwa sampai sebegitu sedemikian sehingganya saya untuk menemui manusia yang sama lemahnya dengan saya. Lantas, bagaimana dengan Dia??? Entahlah, saat itu yang ada hanya rasa malu, kemudian meluruskan niat bahwasannya semua yang saya lakukan pagi itu hanya untuk Nya.

Dia sangat dekat, amat sangat dekat
Dia Tahu, bahkan amat sangat Maha tahu
Manusia tidak pernah menciptakan jarak, karena memang manusia tidak akan pernah dapat mencipta. Maka, manusia yang membuat jarak, manusia itu pula yang nantinya akan merasakan konsekuensi dari jarak yang sudah ia buat dengan sendirinya.


Bocah lelaki yang menarik hati

Siang itu, selepas bertemu dengan pembimbing I demi sebuah masa depan. Demi sebuah kunci untuk membuka pintu ke dunia yang lebih majemuk dan konon katanya hukum yang berada di sana lebih ganas dan kejam dari yang pernah manusia kira sebelumnya. Welcome to the jungle, bagi semua manusia-manusia yang katanya diharapkan dapat menjadi salah satu penentu nasib bangsa kedepanya, dan manusia-manusia itu masyarakat dunia menyebutnya “mahasiswa”.

Saya mahasiswa, ya saya mahasiswa yang berharap setidaknya beberapa hari ke depan sudah mengantongi gelar sarjana. Mahasiswa yang beralih menjadi seorang manusia wirausaha yang berusaha mencari kerja untuk kemudian mendapatkan modal agar dapat berada pada posisi stabil menurut ukuran Nya tentunya.

Siang itu panas, ya propinsi ini memang senantiasa mengantongi cuaca panas setiap harinya, setiap minggunya, setiap bulannya. Terlebih lagi bila musim kering itu tiba, maka daun-daun yang meranggas, semakin memeriahkan suasana ‘musim panas’ yang melanda propinsi saya dan beberapa propinsi lainnya yang ada di Indonesia.

Ada sesuatu yang menarik pandangan saya siang itu. Sesuatu yang membuat saya termangu dan tertawa tertahan kemudian.

Dua bocah lelaki yang menarik perhatian. Salah satu dari mereka, saya tidak asing dengan wajahnya. Dugaan saya ia adalah adik dari salah satu anak SD yang saya kenal, aziz namanya. Kakaknya, aziz, sering melalui jalan kampus ini untuk pulang ke rumahnya, dan hingga kini saya tidak tahu dimana alamatnya. Sedangkan yang seorang, saya pernah berpapasan dengannya suatu hari, ketika saya sedang dalam perjalanan menuju kampus hijau unila. Karena wajahnya yang nampak lucu ketika berjalan, karena postur tubuhnya yang mungil dan menggemaskan. Akhirnya, pada saat itu saya menegurnya dengan bertanya ‘kelas berapa de?”, “kelas 2” begitu ujarnya pada saya, kalau saya tidak salah mengingatnya. Beberapa saat setelah bertanya, saya menyesal karena tidak mengucapkan salam padanya.

Kembali kepada dua bocah lelaki yang menarik dan membuat geli hati.

Ada yang lucu sehingga membuat saya tersenyum sejenak ketika melihat mereka berdua. Handphone dengan kemampuan kamera 2 Mpx buru-buru saya keluarkan, untuk mengabadikan mereka berdua. Mengapa mereka bisa sebegitu sedemikian sehingganya menarik perhatian saya? Sederhana, mereka menarik karena payung yang mereka bawa. Bukan payung lipat, tetapi payung anak perempuan pada umumnya, yang satu berwarna pink pula.



Agak terpana ketika pertama kali melihatnya. Karena setahu saya, anak lelaki terkadang lebih memilih berhenti kemudian berteduh atau berjalan dalam hujan, daripada berjalan dengan payung sebagai pawang penangkal hujan.

Melihat mereka berdua mengingatkan saya pada seorang teman saya ketika sedang melakukan penelitian di Pupuk Kalimantan TImur. Saat itu hujan turun lumayan deras, lumayan membuat basah sebenarnya. Tetapi, ketika umi saya menawarkan untuk meminjamkan payung, teman saya itu berkata “tidak usah”. Ck…3x padahal saya tahu pasti, dia bisa kebasahan karena penolakan yang ia lakukan.

Teman-teman lelaki saya di kampus pun, hampir tidak pernah terlihat membawa payung, dan nampaknya sebagian dari mereka lebih memilih basah kuyup diguyur air hujan. Aneh, atau memang payung identik dengan perempuan? Wallahualam, bisa jadi begitu, tapi sebenarnya saya yang perempuan saja, tidak berpikiran seperti itu.

Tuesday, August 18, 2009

Ketika kakak bilang ayah sudah tua

Ayah sering melamun begitu katanya, ayah tidak kuat lagi, begitu katanya. Ayah hanya nampak muda di wajah saja, begitu kata kakak perempuan saya pagi ini. HUmmpphh, saya merasakan sedih yang tiba-tiba datang menyergap. Kesedihan akan sebuah perpisahan yang saya rasa tidak lama lagi akan tiba.

Tak dapatkah ayah dan ibu terus bersama-sama dengan saya, kami, selamanya? Ya selamanya, ya selama-lama-lamanya?!.

Ayah lahir pada tahun 1958, sedikit lebih tua dari seorang penyanyi dunia ternama, king of pop begitu kata mereka. King of pop yang meninggal dunia beberapa bulan yang lalu, yang bahkan di akhir hayatnya ia masih harus menderita karena jantung dan otaknya tidak di kubur bersamanya.



Menjadi orang yang jujur itu miskin, menjadi manusia yang idealis itu susah untuk senang, sulit untuk kaya, begitu ujar saya pada kakak perempuan saya. Itu yang dialami ayah saya, untuk membeli bensin dan sebungkus rokok saja, terkadang beliau tidak bisa. Bukan karena ayah tidak memiliki uang untuk membelinya. Tetapi karena keempat anaknya dan seorang istrinya, ibu saya dan nenek saya, ibu dari ayah saya.

Seluruh penghasilannya ia serahkan semuanya demi menghidupi keluarganya. Memutar otak kemudian mencari selah, mencari mata air-mata air rezeki melalui kolam lelenya, melalui kebun tebunya. Apa tidak pernah untung? Siapa bilang? Allah memberikan rezeki pada hamba Nya yang berusaha mendapatkan rezeki yang melimpah yang Dia punya.

Ayah sudah tua, ya semua tahu ayah saya sudah tua. Hanya dari wajahnya, tidak akan nampak bahwa ayah saya sudah tua. Beliau masih seperti lelaki berumur 40 tahunan. Dia ayah saya, dia ayah saya, saya bangga menjadi putrinya. Menjadi putrinya yang katanya “Ade ini sering bohong sama ayah”. Hebatnya beliau, saya sudah sebesar ini masih saja ketahuan kalau berbohong. Hebatnya beliau ketika orang lain tidak percaya, beliau malah berkata “ayah percaya dengan kalian, kalian sudah bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk”.

Luar biasanya beliau dengan segala kekurangannya, luar biasanya beliau dengan masa kecilnya yang pahit menurut saya. Luar biasanya beliau yang tidak pernah menampakkan kemarahan, kesedihan, di hadapan kami anak-anaknya. Luar biasanya beliau yang cukup dengan satu kata saja, ibu saya sudah dapat diam seribu bahasa, menitikkan air mata. Luar biasanya beliau yang hanya dengan tatapan matanya, dapat membungkam kenakalan kami anak-anaknya. Bahkan hingga menginjak usia 23, tatapan matanya ketika amarah itu melanda masihlah menakutkan bagi saya.

Ayah sudah tua, nampak dari garis-garis kerut yang ada di wajahnya. Arrrgghh, berulang kali berkata “ade sayang ayah”belum cukup rupanya. Berulang kali berkata “ayah tampan” masih belum melegakan rasa. Berulang kali berkata “Ade kangen sama ayah” masih belum cukup juga menghilangkan rasa rindu itu padanya, ayah saya yang saya cinta.

Humph, melankoli, melankoli, betapa bersyukurnya Allah menghadirkan saya di tengah-tengah mereka. Menjadi salah satu putri ayah saya yang kemudian melalui gurauannya ayah selalu berkata “Ade ini jelek, siapaaa coba yang mau sama anak ayah ini’. Atau ketika beliau berkata “rangkin 1 nilainya segitu, ayah dulu bahasa inggrisnya lebih gede dari situ nilainya”.

Arrrggghh ayah berbohong, jaman dulu ayah belum ada pelajaran bahasa inggris, lagi pula sekolah ayah tidak sampai setinggi anak-anaknya. Seperti itu lah ayah kiranya, humph menanti kapan kiranya bisa membuat ayah tersenyum bahagia lalu berkata “ayah bangga”. Bukan merasa bangga ketika ayah berkata ‘ayah bangga’ pada anak-anaknya. Tetapi, setidaknya merasa lega ketika beliau mengetahui bahwa perjuangannya, pengorbanannya tidak sia-sia, tidak akan pernah sia-sia.



(Ayah belakangan ini sering sekali menyanyikan lagu ini. Tepatnya sudah dua kali, bersama ibu saya tentunya. Dan setiap kali itu pula ibu menitikkan air mata sembari menatap wajah suaminya. Humphh ada pengalaman berat yang mereka alami bersama, sepertinya. Ya, saya rasa ada sesuatu di dalam lagu itu, sesuatu yang mewakili perasaan ayah dan ibu saya tentunya)

Hujan yang turun membasahi bumi, aku cinta, aku mencintainya, aku menyukainya. Matahari yang setia menyinari bumi dari hari ke hari, aku dapatkan semangat untuk menjalani hari dari dirimu yang selalu mematuhi perintah Nya untuk menyinari bumi ini.

Hummph, berjuta kata-kata tidak akan pernah dapat melukiskan, mewakilkan rasa cinta saya, kami pada mereka berdua, end.

Arrggghhh ade sayang sama ayah.

Monday, August 17, 2009

Karena dunia itu -harta, tahta dan wanita-

Hujan deras membasahi bumi lampung yang katanya panas, memang panas karena letak geografisnya, panas pula masyarakat yang berada di dalamnya, tetapi pada dasarnya, semua manusia baik adanya.
Patah hati, lebih tepatnya itu yang dialami oleh seorang teman saya. Patah hatinya pula yang membangunkan saya dari lelapnya tidur menjelang siang sebagai pelengkap dari sebuah pembenaran akan munculnya alasan ‘malas’. Semakin mendukung dengan turunnya hujan yang disertai angin kencang, saya menyukainya, saya mencintai hujan yang Dia turunkan sebagai tanda kasih sayang Nya pada ummat manusia, yang terkadang berkhianat kepada Nya, yang terkadang menduakan cinta Nya.

Handphone tua itu berdering, sebuah pesan masuk. “Lagi apa cep” begitu bunyi pesannya. Saya terbangun, sembari sesekali menahan rasa kantuk yang mendera, yang menggoda kedua kelopak mata saya untuk segera mengatupkannya.

Masih patah hati dia rupanya, serpihan-serpihan perasaannya masih berserakan, hingga menyebabkan dia berkata “ya emang benar, tapi sulit pada kenyataannya. Pelajaran yang saya dapet, gak boleh mencitai wanita terlalu dalam. Karena cinta yang abadi cuma cinta pada Nya. Apa saya pantas mencintai wanita?” begitu isi pesan yang kesekian kalinya.

Whuaaahh ini yang saya tidak suka, manusia melankolie yang tidak pada tempatnya. Akhirnya saya katakan padanya, bahwa bersyukurlah ia karena Allah mau menunjukkan jalan yang terbaik baginya, bayangkan bila mereka sudah menikah kemudian si wanitanya meninggalkan ia hanya karenya “motor thunder merah”. Teman saya, dia masih muda, ya setidaknya saya masih lebih tua beberapa bulan dari dia.

Awalnya saya bertanya apa alasannya mengirimi saya pesan di tengah hujan deras yang sesekali diiringi petir yang menimbulkan ketakutan dan harapan. “BT (boring time.red)” begitu alasan awalnya, saya pikir ia merasa kebosanan karena kekasih hatinya, si wanita yang juga sama manusianya dengan saya, sudah tidak bisa lagi ber-sms-an ria dengannya.

Seperti biasa, reaksi yang biasa, teman saya itu menyangkalnya, sampai pada akhirnya “ia curhat juga”, arrgghhhhh gdUbbbRakkk, teman saya ini masih merasakan sakit agaknya. Maka ketika saya katakan “saya mau ke toko buku, gramedia”, dia mau ikut begitu katanya pada saya. Lalu “hujannya sudah berhenti, ke gramed yuk. Saya lagi butuh banget teman yang bisa nunjukin bahwa dunia gak kecil, hidup masih panjang dan masih banyak wanita di dunia ini”.

Boleh, baiklah insya Allah akan saya coba tunjukkan dunia yang saya lihat, pada dia teman saya yang sedang patah hatinya. Tapi, ketika teman saya itu berkata “naik motor”, ohhh maaf saya menolak ajakannya. Dia bilang “sekali-sekali naik motor cep, bla..bla…bla”, “ya ya ya saya juga sering naik motor, dengan ayah saya, dengan ibu saya” begitu jawab saya. Lalu “ya naik motor saja, saya jemput, kita lewat belakang” begitu balasnya.

Gdubbbrakkkkk, lewat belakang
? Memangnya penerimaan PNS, memangnya penerimaan POLISI, memangnya penerimaan Mahasiswa baru, memangnya penerimaan Bank BUMN, memangnya penerimaan siswa/i baru?. Ternyata teman saya ini tidak paham dengan apa yang saya khawatirkan. “bukan masalah lewat belakang atau depan, karena keduanya sama saja, Allah dapat melihat semuanya. Akhirnya teman saya itu menyerah juga, dia mengikuti gaya hidup saya yang kemana-mana via angkutan umum dan jalan kaki “sekali-sekali mengikuti bagaimana cara saya menikmati hidup”.

Deal, dia setuju, hanya demi apa yang dia sebut dengan “melihat dunia dari sisi yang berbeda”. Humph kasihan kau kawan, nasib mu sama seperti nasib beberapa orang teman lelaki satu angkatan yang lainnya, patah hati, ditinggalkan wanitanya.

Ada yang ditinggalkan karena ternyata lelaki yang lain lebih menjanjikan dari pada dirinya, teman saya. Lebih menjanjikan dengan mobilnya, dengan apartemennya. Ada yang ditinggalkan karena kesatria barunya membawa thunder merah sebagai kendaraan andalan. Ada pula yang ditinggalkan karena “katanya saya terlalu baik cep, jadi dianggap kakak angkat aja, biar gak ada putusnya”. Hhumphh, memutuskan hubungan dengan cara yang halus. Ada juga yang ditinggalkan karena gaya hidupnya yang bagaikan seniman, “tidur malam, bangun siang, wajah awut-awutan, mata masih merah meskipun matahari sudah berada di atas kepala”.

Begitulah bila melabuhkan cinta pada manusia, saya sudah pernah mencoba memberikan pengertian kepada mereka. Tetapi ternyata, pepatah lama memang ada benarnya bahwasannya “pengalaman adalah guru yang terbaik” bagi manusia. YUppp teman-teman saya baru mengetahui kebenarannya, baru menyadari kesalahannya ketika mereka sudah terkena batunya.

Humph, ya beginilah ketika sudah menyangkut rasa,

Beginilah rumitnya wanita, diberikan lelaki baik-baik, maka "Terlalu baik katanya". Beginilah dunia wanita, tidak akan cukup bila hanya dengan mengandalkan cinta, karena cinta tidak akan pernah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan akan -sandang, pangan, papan-, kebutuhan akan yang -primer, sekunder, dan tersier-.

Tidak bisa menyalahkan mereka yang memutuskan teman-teman saya, karena seperti apa yang mbak tingkat saya katakan "hak mereka untuk mencari dan mendapatkan yang lebih baik". Begitulah, saya pada akhirnya hanya dapat menarik nafas panjang, harta, tahta, dan wanita memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan di dunia.

Itulah kenapa saya katakan "dunia itu semu, dunia itu sementara, dan manusia menyukai yang semu dan bersifat sementara itu".

Saturday, August 15, 2009

ME - Nunggu



Macam-macam yang manusia lakukan ketika menunggu. Contohnya ya saya ini, nungguin mbak-mbak dua orang, janjinya sie jam-jam 1.30 siang, ba'da zuhur. Khawatir telat, jadilah pas terima sms langsung aja meluncur. Lha sampai di sana, si mbak-mbaknya terlambat sampai ashar, masya Allah.

Tapi lumayan ada gambar-gambar yang bisa diambil, lumayan buat portofolio. Ngambil gambarnya kagak pakai izin pula.



Saya lupa urutannya seperti apa, yang jelas dari awal temannya si mbak ini sholat sampai selesai sholat, si mbak sibukk aja sama dandanannya. Agak terpana, takjub, and kaget waktu si mbak ini berdandan sedemikian sehingganya. He...3x lucu aja, bis saya sendiri ndak pernah sampai sebegitunya. Whuaaah jadi wanita sebenarnya ternyata ribet juga, jadi lebih baik jadi wanita sederhana saja sepertinya.



Nie dua muslimah ini lagi nungguin sholat ashar sepertinya.... Nah, kalo anak kecil ini lagi nungguin si mbaknya sholat dzuhur, kesian aja mpe melongo begitu. Daripada nganggur, ya udah aja ni anak saya ambil gambarnya.




Awalnya anak-anak ini cerita-cerita tentang kota jakarta, ehhh ujung-ujungnya tertidur juga di musholla.

Setidaknya inilah yang saya lakukan ketika saya harus menunggu selama hampir 2 jam, atau mungkin lebih. Awalnya agak membosankan, tetapi lama kelamaan menjadi hal yang menyenangkan. Ada yang saya amati, ada yang saya kerjakan, ada yang saya pelajari. Seorang teman saya menyarankan saya untuk berjalan-jalan. Ha..3x jalan-jalan bisa menjadi hal yang berbahaya bagi saya, yang seorang wanita.

Mengapa berbahaya?! karena saya wanita, berjalan-jalan di pusat kota, bisa menimbulkan lapar mata. Salah-salah yang ada di depan mata, malah dibeli semua, kan bisa berbahaya untuk psikologi, akidah, dan kantong saya tentunya.

TErima kasih untuk ME-nunggu.

Mudahnya mencari uang di dunia

Symphony no 7 in A major…..

Ia berdendang menemani jarum jam yang berdetang 7.30 malam. Mari membuka memori yang ada di kepala tentang kisah beberapa hari yang lalu, kapan tepatnya? Maaf aku tidak tahu, aku sudah lupa.

Mencari uang itu gampang, begitu ujar saya pada seorang teman. Ia kemudian mengomentari dengan berkata “kata siapa? Cari uang itu susah” begitu katanya. Saya pikir, tanggapan yang wajar, karena ia pribadi sudah atau sebenarnya sedang merasakan bagaimana susahnya mencari uang.

“mencari uang itu mudah, yang susah adalah tentang halal atau tidaknya uang yang kita dapatkan” kira-kira begitu saya membalas pesannya.

Bukan tanpa alasan saya katakan mencari uang itu gampang. Asumsi itu bermula bersamaan dengan mentari yang tiba menyapa, pagi itu, hari itu, dan kembali saya katakan, saya lupa kapan tepanya. Pagi yang indah, burung-burung gereja itu sudah terbang melayang, kesana kemari. Ada yang membawa jerami, ranting-ranting kecil, untuk membuat sarang. Ada pula yang sibuk dengan tanggung jawabnya akan keluarganya, memberi makan anak-anaknya. “humph, ibu dimana-mana sama, mau dia hewan atau manusia. Tetap saja, anak yang menjadi prioritas utama”.

Kembali kepada kisah tentang bagaimana mudahnya mencari uang di dunia, di Negara ini, di Indonesia, di propinsi ini, di kampus ini, UNILA.

PAgi yang cerah, “membuka dengan mengucap syukur padanya, melalui doa bangun tidur tentunya. Menghentikan kerja MP3 agar pekerjaan yang lain tidak terbengkalai akibat alunan music yang diputar oleh MP3 putih yang sudah tidak lagi nampak keputihannya.

Saya sudah siap dengan segala konsekuensi tentang dunia, pagi itu, hari itu. Mempercepat aktifitas untuk mengejar kereta pagi menuju perjumpaan dengan Nya melalui sholat dhuha. Bismillah, pintu gerbang asrama dibuka, saya melangkahkan kaki dengan semangat 45.

Tidak boleh kalah dengan burung-burung yang terbang di angkasa. Tidak boleh kalah dengan mentari yang sudah dengan setia menyinari bumi karena perintah Nya. Tidak pula boleh kalah pada manusia-manusia yang lainnya, yang mengabdikan hidupnya pada Dia Yang Maha Memberikan kehidupan pada manusia.

Humph menghela nafas panjang, menulis dalam keperihan, menuangkan kisah dalam kelelahan akibat dari sebuah perjalanan panjang.

Mencari uang itu gampang, begitu akhirnya saya menarik kesimpulan. Pasalnya, ketika saya sedang bersenandung riang di sepanjang papping menuju kampus unila, kampus hijau katanya. Tiba-tiba seorang anak perempuan, anak remaja, belasan tahun umurnya, menghampiri saya.

Anak perempuan tinggi semampai, berambut lurus sampai ke bahu, bertubuh kurus, berkulit hitam. Tanpa basa- basi dia berkata “mbak maaf, bisa minta tolong?” begitu katanya. Saya tertegun sejenak, ini anak siapa? Apa maksudnya? Saya tidak begitu mendengar tujuan ia menghentikan perjalanan saya. Sampai seperti orang tuna rungu (tuli.red) saya berkata “apa?” berkali-kali, sampai akhirnya MP3 itu saya ‘off’ kan sejenak, untuk mendengarkan perkataannya.

Lalu “minta tolong mbak, minta uang bla…. Bla… bla…” dan yang samar-samar terdengar, ia membutuhkan sejumlah uang untuk ongkos pulang, untuk makan. Saya tidak lagi mendengar apa selanjutnya, tidak ada yang saya lakukan selain memandang penuh keheranan. Mengamati wajah hitam manisnya, melihat berisan giginya yang nampak keluar darah dari sela-sela giginya. Eugghh, saya alihkan pandangan, mencoba mengacak-acak tas ransel yang saya bawa, mencari sejumlah uang untuk diberikan padanya.

“dapat, 2ribu rupiah” uang itu saya berikan padanya sembari berkata “lain kali jangan minta-minta lagi ya de, gak boleh. Alhamdulillah ada Rp. 2000” begitu ujar saya padanya. Tanpa ba bi bu, ia menerimanya kemudian pergi, berlalu setelah sebelumnya berkata ‘terima kasih ya mbak”, “ya sama-sama” begitu balas saya padanya.

Sudah ‘lihat’ kan? Sudah tahu bukan, tentang bagaimana mudahnya mencari uang.

Dalam keheranan saya kembali meneruskan perjalanan, masih ada beberapa menit lagi untuk tiba di jurusan fisika Unila tercinta. Sepanjang jalan, papping-papping trotoar itu menemani saya dalam diam. Pikiran ini melayang, menerawang tentang betapa mudahnya mencari uang di negeri ini. Cukup dengan berdandan seadanya, meletakkan mangkuk kecil di hadapannya. Atau dengan cara meminta tolong dengan dalih tidak punya ongkos untuk pulang, atau dengan cara membawa kotak amal, atau mungkin dengan trik membawa anak kecil di dalam dekapan.

Beginilah wajah Indonesia dan tentang bagaimana caranya manusia, warga negera di dalamnya mencari rezeki sebagai sumber penghidupan untuk dia dan keluarganya. Tidak ada yang salah bila sudah menyangkut soal uang, salah-salah itu dikesampingkan.

Di dalam hukumnya mencari uang, yang halal atau pun tidak, tidak menjadi soal. Mencari dengan cara memalukan atau tidak, tidak lagi menjadi urusan. Mengusahakan rezeky dengan terhormat, bukan dengan tangan di bawah pun, sudah lama diabaikan. Diabaikan pula apakah Allah ridho atau sebaliknya dengan usahanya dalam mencari sesuap nasi agar ia dapat terus hidup di dunia ini.

Manusia terkadang lebih menyukai yang kasat mata daripada sebaliknya.....


Tuesday, August 11, 2009

none of them

Menjumpaimu tidak lagi dapat seperti dulu wahai TUhanku, aku sudah layaknya manusia yang kehilangn arah, nahkoda yang kehilangan kompas sebagai bahanacuan dalam menentukan kemana kapal itu akan ia layarkan.

Arrggh aku menjerit ya RAbb
Arrgghh aku berteriak di kegelapan malam
Di dalam remang-remang cahaya rembulan yang semakin lama semakin hilang dari pandangan, bulan itu mati, bulan itu sudah mati, dan tak ada lagi rembulan esok hari

Dunia tidak menyenangkan
Amat sangat tidak menyenangkan mana kala hati tak lagi merasakan tentram
Aku tidak sedang berpuisi kepada Mu yang Maha menciptakan puisi, kepada Engkau yang sudah menciptakan kata-kata ini di kepala.
Aku curahkan apa yang ada di dalam hatiku
Di dalam akal pikiranku
Betapa hatiku merindukanmu Tuhanku

Maafkan hati bila ia sudah khianat
Maafkan diri bila ia sudah pula pada siapa ia seharusnya menghamba.
Aku menangis ya RAbb, dan bahkan air mata itu pun enggan untuk turun karena rasa muak yang mendalam pada si empunya tubuh yang mengandalkan air mata hanya agar supaya hatinya merasa lega.

Aku menangisi Mu wahai Tuhanku
Dzat yang Maha yang tak kasat mata namun dapat di rasa dan lebih dekat dari urat nadi manusia, urat nadiku hamba Mu yang tak jua tersadar untuk menghamba pada Engkau yang maha memiliki segala.

Aku hampir gila,
Kusut masai, hancur sudah, luluh lantaklah semua yang ada, tak berguna segala apa yang sudah aku genggam erat karena pada akhirnya hanya membuat aku lupa untuk kemudian terjerat pada dunia, pada simpati manusia.

Aku muak, aku bosan, aku hampir gila dibuatnya
Aku menangis karenanya
Pintu-pintu itu terlampau membingungkanku
Aku mohon pada Mu dengan segenap jiwa ragaku yang kesemuanya adalah milikmu
Aku mohon tunjukkan padaku pintu mana yang harus aku tuju
Dan ketika aku membukanya aku bisa menjumpaimu
Menatap wajah Mu
Merasakan damainya bersama Mu, berada di dekat Mu
Terlampau bermimpikah aku

Aku membencimu wahai makhluk yang bernama ‘berlebihan’
Aku muak dengan mu wahai makhluk yang bernama ‘khianat’
Aku ingin membunuhmu wahai penyakit hati yang sudah menyakiti hati dan perasaanku
aku mengantuk wahai Tuhanku yang menciptakan rasa kantuk
aku lelah wahai Tuhanku yang menciptakan rasa lelah itu

aku mohon ya Allah
sampai di titik se ekstrem apapun engkau mengujiku
aku mohon, jangan lepaskan aku dari genggamanmu
aku mohon, jangan biarkan aku tersesat dalam gelapnya jalan kehidupan yang semakin lama semakin pekat dirasa.

Saturday, August 8, 2009

Selamat tinggal atau sampai jumpa???

Sedih hati rasanya, tidak ingin mengingatnya. Sudah berapa kali aku sampaikan pada mu wahai hati bahwasannya perpisahan itu pasti terjadi.

Sebuah persembahan untuk seorang teman atau mungkin beberapa orang teman yang mungkin hanya sekejap mata kita bersua, tetapi sua sesaat yang penuh dengan makna.

terima kasih untuk mu, kalian yang menemani ketika tamparan keras itu hinggap dan membangunkan manusia ini dari tidur yang panjang, akan angan-angan yang menyedihkan karena mengiba, karena mengemis kasih pada sesama makhluk yang juga memerlukan kasih dari Sang Maha Pemilik Kasih.


loneliness, no more loneliness, no more sadness and sorrow anymore..

Jarak dan waktu itu akan terasa semakin panjang

i love you, aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku, aku menyayangi mu seperti halnya aku menyayangi saudaraku, diriku. Dahulu itu, tak begitu tahu seperti apa cinta itu, yang aku tahu cinta antara ibu kepada anaknya, cinta ayah kepada putrinya, cinta saudara kepada saudara yang lainnya melalui pertengkaran-pertengkaran kecil yang sekarang nampak konyol bila mengingatnya.

Aku mencintaimu karena Tuhan ku Rabb ku yang menciptakan aku dan kamu.

Whuahhhh, Whoammm, Arrgghhhh ck..3x sedih rasanya.

semua ini palsu, dunia itu palsu, dunia itu semu.

Bandar lampung 8 Agustus 2009, sudah lebih dari satu tahun aku mengenalmu, beberapa hari lagi insya Allah bila Dia memanjangkan usia aku akan berlari dengan kereta angin tercepat abad ini, aku akan terbang dengan pesawat terhebat yang mampu melesak jauh ke angkasa melebihi kecepatan cahaya. Kita akan berjumpa, insya Allah kita akan berjumpa meski tak kan lama, hanya sekejap saja, beberapa jam saja.

Aku, kamu, dan dia akan kembali tenggelam dalam derai tawa dan gurauan penuh makna. Tenggelam dalam gelak tawa yang belakangan akan menuai air mata. Humphhh berlebihan, hiperbolik, terlalu banyak menggunakan frasa-frasa tak bermakna, tapi tak mengapa, tak mengapa, karena inilah cara saya mengekspresikan bahwa betapa saya sebegitu, sedemikian sehingganya mencinta karena Nya, ternyata seperti ini lah rasanya.

Arggggghhh, payah, kamu payah cep.