Part Two
Tiba di dalam, saya menjadi tameng bagi teman-teman perempuan saya yang lain, pasang badan istilahnya, atau mereka yang memasang badan saya di depan???. Hingga akhirnya, si wanita pegawai pelayanan jasa rektorat berkata, dengan nada tinggi tentunya “saya kan sudah bilang, gak lihat saya lagi ada kerjaan”. Gdubbrakkkk, saya kaget mendengar si wanita marah-marah, ‘menyemprot’ saya dengan kata-katanya. Humph, kalau bukan karena Allah sudah saya balas dengan nada yang serupa, tapi yang keluar hanya “iya mbak, tapi ini mbak tadi bilang setengah jam, ini sudah setengah jam”. Tidak ada kata maaf, yang ada hanya “nanti, saya lagi sibuk” begitu kira-kira balasannya sembari marah-marah tentunya.
Saya dan teman-teman saya pun melangkah pergi, sembari menahan rasa kesal yang membuncah di dalam dada, saya berjalan lebih dulu dari teman-teman saya. Tak lama, seorang teman saya berkata dengan nada kesal tak percaya, karena ternyata si wanita mengatakan kata-kata yang tidak pantas menurut ukuran dia “cep, mbak tadi itu bilang –bla…bla…bla-“ begitu ujar teman saya saat itu.
Saya hanya bisa menarik nafas panjang, menahannya sekejap mencoba memberi waktu pada hati dan kepala agar tersinkronisasi hingga tidak terbawa emosi. “biarkan saja mbak, ini kan bulan ramadhan, biar saja si mbaknya bisa batal puasanya, capek sendiri dia nantinya karena sudah marah-marah”. Tiba-tiba, “iya de, biar batal puasanya. Sudah tunggu di luar aja ya, nanti masuk lagi. Biar aja mbaknya marah-marah” begitu kira-kira ujar dua orang bapak pegawai rektorat bagian akademik yang kebetulan berada di tempat itu. Tepat saat dimana kami berlima ‘dimarahi’ habis-habisan oleh wanita cantik itu.
Bersyukur saya tidak mendengar apa yang wanita cantik itu katakan. Bersyukur pada Nya, saya tidak perlu mendengar kata-kata tidak patut, yang bila saya mendengarnya, bisa jadi saya tidak jauh berbeda darinya, dari wanita cantik, petugas akademik. Bisa jadi saya berbalik memarahinya, karena kata-kata tidak patutnya.
Dia wanita yang cantik, ya menurut ukuran saya. Maka sudah seharusnya tindakannya, tingkah lakunya, kata-katanya, cantik pula sesuai dengan wajahnya. Terlebih lagi wanita cantik itu berada pada posisi dimana dia harus melayani manusia setiap harinya. Tapi, mari kita coba mencari beribu-ribu alasan untuk memaklumi ‘semprotan emosi’ yang ia arahkan pada kami siang ini.
Mungkin saja ia sedang ada masalah yang belum terselesaikan, hingga terbawa dan secara tidak sengaja ia tumpahkan pada kami siang ini. Mungkin saja ia sedang datang bulan, ya biasanya pada saat-saat itu emosi seorang wanita sedang berada dalam keadaan tidak stabil. Mungkin saja, ia sedang kelelahan karena tugas yang membebaninya selama beberapa hari ini, mengingat jadwal wisuda tinggal beberapa hari lagi.
Hmmmhhh, menarik nafas panjang, Form B sebagai salah satu syarat untuk wisuda sudah selesai kami kumpulkan. “terima kasih mbak, bu” begitu ujar saya pada wanita itu dan seorang ibu paruh baya yang berada tak jauh dari si wanita berada.
Saya pun melangkah pergi, diikuti beberapa orang teman saya lainnya. Dan setibanya di luar, dua orang teman saya bergumam kesal “mbak itu bla…bla..bla”. Lalu “bla..bla…bla”, humphhh beginilah wanita, dan saya wanita pula. Maka, saya katakan pada mereka berdua, teman-teman saya yang cantik dalam rupa dan akhlaqnya “yang sudah lewat, ya sudah. Yang penting urusan kita untuk wisuda sudah selesai. Kalau si mbaknya marah-marah, ya biar saja, kita ndak usah ikut-ikutan. Biar mbaknya sendiri yang rugi, sudah ndak usah diingat-ingat lagi, sudah lewat”.
Senyum sumringah, cengar-cengir ndak jelas, mereka tampakkan. Kami pun berlalu pergi, meninggalkan gedung rektorat kampus ini. beginilah wanita dengan dunianya, beginilah wanita dengan segala apa yang ada di dalamnya, termasuk wanita.
Jadikan sholat dan sabar sebagai penolongmu