Pages

Monday, July 28, 2008

The Old Man and The Umbrella

Part Five--- Awalnya saya malu, karena yang keluar pria, bukan ibu imran yang tadi berbicara dengan saya. Tak lama, ibu imran pun keluar. Saya titipkan si kakek pada mereka, sebelumnya, ketika saya akan beranjak pergi, kakek bertanya ”anak namanya siapa?”, ”sefta” jawab saya, lalu ”semoga amal....” saya tidak dengar kakek ucapkan apa selanjutnya.

Saya katakan pada ibu imran, ”ibu, saya titip kakek ini ya. Dia lupa-lupa ingat sama jalan” saya pun berpamitan. Tadinya si kakek mau pulang dengan menggunakan jasa tukang ojek. Tapi, tidak ada ojek yang mangkal di sekitar daerah ini, melainkan di depan jalan kopi. Dan akhirnya, si kakek memutuskan akan naik ojek bila nantinya bertemu di jalan.

Kakek pernah bertanya, dari mana asal saya dan dimana saya menempuh pendidikan SMA. Saya katakan, bahwa saya berasal dari baturaja, entah ia tahu atau tidak dengan daerah itu. Lalu ”saya SMA di lampung utara pak” begitu jawab saya, ”oh, berarti sudah merantau jauh ya” begitu kata kakek pada saya.

Saya pun beranjak pergi. Kembali kakek katakan terima kasih, sayup-sayup terdengar kakek yang bertanya ”kapan meninggalnya?”, ”tanggal 25 maret .......” begitu jawab ibu imran dan tidak terdengar lagi kelanjutannya.

Saya segera langkahkan kaki, sholat maghrib menanti. Perjumpaan dengan Sang Pencipta sudah tertunda beberapa lamanya.

Hari semakin gelap, saya susuri kembali jalan yang saya lalui bersama kakek ketika pergi. Di tengah-tengah perjalanan, saya berjumpa dengan orang tua dari murid TPA saya beberapa waktu yang lalu. Saya menyapanya, lalu si bapak bertanya ”itu tadi pak kadir ya?” , ”iya mungkin pak, saya kurang tau. Bapak itu cari rumah haji imran. Mari pak” saya pun pergi meninggalkannya, bapak itu mau menunaikan sholat maghrib di masjid nampaknya.

Hmmh, perjalanan hari ini. Tiba di asrama pkl 18.15, saya bergegas membersihkan diri dari keringat yang melekat untuk kemudian menegakkan sholat.

Balada persahabatan antara dua orang lelaki tua. Haji imran sudah pergi lebih dahulu, mendahuli si kakek yang sudah semakin tua.

Apa kakek merasa kesepian? Apa ia merasa kehilanan seorang teman? Entahlah, saya tak mampu menggambarkannya meskipun hanya dengan kata-kata.

Apa yang kakek lakukan menggugah rasa. Ia mencari temannya yang sejatinya sudah pergi mendahuluinya, nampak si kakek tidak mempedulikan dirinya sendiri.

Bepergian sendirian, di bawah guyuran hujan, berjalan dengan hanya bermodalkan ingatan yang bisa saja hilang dengan seketika. Dan bila saat itu datang dengan tiba-tiba, maka bisa jadi tersasarlah ia dan dapat saja ia tidak kembali ke tengah-tengah keluarganya.

’Sesungguhnya mencintailah kamu hanya karena Allah. Membencilah kamu karena Nya pula’. Apa seperti itu persabahatan yang mereka jalani sepanjang kehidupan ini? Entahlah dan tak tahu kenapa air itu ingin jatuh kembali dari kedua buah mata ini.

Allah kabulkan doa saya di pagi hari, ketika saya meminta agar ada sebuah pelajaran yang dapat saya ambil di hari ini.

end

Sunday, July 27, 2008

The Old Man and The Umbrella

Part Four --- Saya katakan pada kakek tak jauh lagi ia akan sampai. Ia pun bertanya saya kuliah dimana, jurusan apa, dan semester berapa. Saya katakan saja, bahwa saya kuliah di UNILA, jurusan Fisika MIPA dan sedang berada di semester akhir alhamdulillah.

”MIPA memang susah” begitu si kakek berkata pada saya. Tapi, di dalam hati saya berkata pada diri ini, ”sama aja pak, tergantung manusianya”.

Tak lama, kami sampai di rumah haji imran dan dari si kakek saya baru tahu, kalau ternyata masjid yang ada di sebelah toko haji imran itu, pak haji sendiri yang dirikan. Luar biasa, semoga lapang ia di dalam sana............

Toko sedang tutup, saya tanyakan pada si kakek apa mau sholat terlebih dahulu atau tidak. Si kakek ternyata ingin bertemu terlebih dahulu dengan si empunya rumah, begitu ia berujar pada saya.

Awalnya saya ingin bergegas pergi. Pulang, mandi, lalu menunaikan sholat maghrib. Tapi ”pak, saya panggilkan dulu yang punya rumah”, ”ia nak, bapak nggak kuat suaranya” begitu kata kakek pada saya.

Saya pun mulai mengetuk pintu samping sembari mengucap ”assalammu’alaikum ibu”, sampai tiga kali berturut-turut. Hmmh etika bertamu, bila tiga kali tidak juga dijawab, maka lebih baik pergi. Saya pun bersegera pergi, pindah posisi, memutar, mecoba masuk dari toko yang berada tepat di sebelah rumah pak haji. Mungkin saja ada penjaga tokonya di sana. Dan ternyata, toko sudah ditutup, waktu sholat maghrib.

Bagaimana ini? Si kakek tidak mungkin saya tinggalkan sendirian. Waktu maghrib sudah hampir berlalu, ya Allah berdosakah saya, maafkan tidak langsung menjumpai Mu ketika adzan dikumandangkan di masjid-masjid itu.

Harapan terakhir, ”tunggu sebentar ya pak, tokonya tutup” begitu kata saya. ”iya nak, bapak duduk di sini”, kira-kira begitu katanya, saya pun menuju pintu samping yang lainnnya, pintu gerbang garasinya.

Awalnya saya sudah mencoba melalui pintu depan, agak ragu untuk menginjakkan kaki, lebih tepatnya alas kaki yang kotor ke atas lantai keramik yang licin. Nampak setiap hari tak pernah luput dari sentuhan kain lap, tapi saya terlalu malas untuk melepas sepatu.

Hasilnya, saya injak saja lantai keramik itu, ’biarkan kalian menjerit, wahai keramik. Salahmu, mengapa kamu mau dipasang di bawah, diinjak-injak’.

Menekan bel berkali-kali, tidak ada reaksi. Tidak berbunyi, dan ’arrgghh’ ternyata bel itu mati alias tidak berfungsi. Saya pun menuju pintu garasi, mengintip ’oh, ada orang di dalam’. Pantas suara saya tidak terdengar, ternyata mereka ada di belakang.

Saya mulai mengetuk pintu gerbang, berkali-kali sembari berkata ”assalammu’alaikum, permisi ibu”. Tidak ada reaksi, si ibu terus bercakap-cakap. Jarak saya dengannya kira-kira 5 meter ke depan. Saat itu, saya pikir si ibu sedang meminta pembantunya membukakan pintu gerbang. Masih menunggu dan ternyata itu gerbang belum juga dibukakan.

Saya pun memberanikan diri mengetuk gerbang lebih keras lagi. Si ibu mendengar, ia menghampiri lalu ”maaf, nggak krungu”. ’oh, si ibu orang jawa’ saya jadi teringat dengan komunitas jawa di fisika ’ha..ha..ha jowo kabeh’ woopss.

”ada tamu ibu, kakek-kakek, katanya teman bapak waktu jadi dosen di IAIN” begitu ujar saya padanya dari balik pintu gerbang.

Si ibu, meminta anaknya membuka pintu samping. Saya pun bergegas menghampiri si kakek, ia sudah mulai gelisah. Pintu pun dibuka, seorang lelaki sekitar 25-30 tahun, ya saya taksir sekitaran itu umurnya. Ia tergesa-gesa nampaknya, saya pun mulai menjelaskan duduk persoalannya.


--to be continued--

Saturday, July 26, 2008

The Old Man and The Umbrella

Part Three --- Kami pun berjalan beriringan, kakek mulai bercerita, berkata-kata, dan seperti biasa, telinga yang Allah ciptaan dua buah ini, harus dan wajib menjadi pendengar setia. ”terima kasih ya nak, bapak lupa-lupa ingat jalannya, tadi bapak sudah dari jalan lada, jalan cengkeh. Katanya di jalan kopi ujung, ujungnya dimana ya nak?” begitu kata si kakek.

”iya pak, sama-sama. Saya sudah liat bapak dari tadi, seperti cari-cari alamat. Mau saya tanya, tapi nggak enak pak” begitu jawab saya.

”bapak dari mana?” tanya saya, ”bapak dari teluk nak” jawabnya. ”jauh pak, Kenapa sendirian?” saya kembali bertanya dan ia berkata ”lagi mau jalan sendiri”. ’whuaahhh kalau hilang, tersasar di jalan bagaimana nasib ini bapak’.

Saya teringat pada ayah, sedari saya mengamati si kakek, pikiran saya berkata-kata. Kembali, saya tetap tidak tahu seperti apa itu rupa pikiran yang berkata-kata ’arrgghh’ jangan pikirkan seperti apa.

Saat itu, saya katakan di dalam hati yang tersinergi dengan otak ini. ’takkan saya biarkan ayah saya pergi sendiri bila sudah tua nanti, tak kan saya biarkan ayah berpakaian lusuh lalu melenggang pergi. Tapi, bagaimana bila ayah merasa nyaman dengan pakaian lusuhnya?

Kalau saya membuang semua pakaiannya yang sudah nampak lusuh, bagaimana bila ayah nanti bernasib sama seperti seorang lelaki yang sepatu bututnya dibuang oleh istrinya. Lelaki itu menjadi gila karenanya, setiap hari mencari sepatu butut yang menurutnya sudah begitu berjasa dalam hidupnya.

Ah tidak boleh, tidak boleh begitu. Kalau baju ayah lusuh nanti, tak akan saya buang. Tapi, akan saya bersihkan, saya rawat, saya rapikan agar ayah tak nampak lusuh, meskipun ia mengenakan baju-bajunya yang sudah tua dimakan usia seperti halnya ia.

Tiba-tiba, ’ah bodoh’ pikiran macam apa ini? Ayah belum lagi tua, pakaian-pakaiannya belum lah lusuh, lalu mengapa berpikiran terlalu jauh?.

Saya dan kakek terus berjalan, saya kembali bertanya apakah orang rumah tahu kalau si kakek pergi meninggalkan rumahnya seorang diri. Dan luar biasa, si kakek berkata ”bapak sudah bilang kok, kalau bapak mau keluar.

Fyuhhh, nampaknya anak-anaknya tidak peduli. Atau si kakek memang tipikal orang yang keras kepala agaknya. Lalu ia kembali berkata ”enggak apa-apa nak, bapak memang lagi mau keluar sendiri. Mau ketemu teman lama, haji imran itu teman bapak mengajar di IAIN sini” begitu kata beliau dan seperti biasa ”oooo” begitu kata saya membulat.

Lalu ”dia sudah meninggal kan?” begitu kata si kakek, ”iya pak” jawab saya, ”bapak baru tau, waktu itu bapak masih di palembang......” kakek menambahkan. Entah mengapa, ingin menangis saya mendengarnya bercerita. ”bapak dulu pernah ke sini nak, terus ke kanan”, ”oohh, itu kalau dari jalan lada pak. Kalau dari jalan kopi, lurus terus ke kiri” jelas saya.

”masih jauh ya nak?” kakek bertanya, sudah kelelahan nampaknya dan adzan maghrib pun berkumandang. Saya masih di jalan, belum mandi, masih membawa nasih bungkus untuk makan malam dan masih terus berjalan menemani si kakek agar sampai tujuan.

--to be continued--

Friday, July 25, 2008

The Old Man and The Umbrella

Part One--- Saya adalah seorang gadis kecil meskipun pada kenyataannya orang-orang akan berkata ”kamu sudah dewasa”.

Menulis dengan tinta hitam sama saja dengan bunuh diri namanya, merusak mata. Menulis dengan tinta warna, tak punya uang, mahasiswi kere saya ini nyatanya. Menulis dalam gelap, remang cahaya rembulan yang berpendar, masuk melalui kaca-kaca jendela asrama.

Kembali berkisah di atas peraduan tak beralas, ditemani serenity, suara harmoni klasik dari jangkrik-jangkrik malam yang exclusive, mereka bernyanyi riang membentuk baris-baris irama penuh makna. Sesekali terdengar suara burung-burung yang terbang di angkasa, suara anjing-anjing yang melolong pertanda bahwa hari sudah larut nampaknya.

Saya orang, oh bukan. Saya adalah manusia tidak terstruktur karena memang saya menolak untuk terstruktur dan teratur. Sudah terlalu jenuh untuk diatur agar teratur, ah sudahlah berhenti bercerita tentang saya.

Mari kita bicara tentang seorang pria tua, ”The Old Man and The Umbrella”. ‘halah’ bahasa Indonesia ternyata masih lah lebih indah di dengar dan di pandang mata.

Hari ini saya pulang terlampau senja, matahari sudah tenggelam kembali ke peraduan, menyisakan warna-warna merah keemasan. Bulan purnama menggantikan Sang matahari yang kelelahan, setelah seharian menyinari bumi agar manusia dapat menorehkan prestasi kembali hari ini.

Balada persahabatan antara dua orang lelaki tua.

Sore ini, selepas membeli nasi bungkus bakal makan malam, saya putuskan untuk terus berjalan di bawah guyuran air hujan, gerimis, di bawah mendungnya langit. ’ah saya mengantuk’........

Tak begitu jauh jarak saya dan kakek tua. Ia masihlah kuat berjalan, langkah-langkahnya cepat dan panjang, ia membawa payung di tangan kanannya, nampak ia sudah menerka bahwa hari ini akan turun hujan agaknya.

’pagi, adzan shubuh berkumandang, bersahut-sahutan. Dari ujung timur hingga ujung barat, dari ujung utara hingga ujung selatan (saya berlebihan agaknya), hmmh tentunya itu berdasarkan perspektif saya. Agak sedikit enggan untuk beranjak, karena perjumpaan yang terlewat, ah sudah mari lanjutkan bercerita tentang kakek tua dan umbrella-nya’.

Binatang-binatang malam meramaikan rawa yang berada tepat di belakang asrama. Cahaya bulan kemerahan masuk menelusup ’ah apa itu menelusup? Saya tidak tahu’. Beginilah desa, ya saya katakan desa karena memang Lampung tidak seperti jakarta atau kota-kota besar lainnya.

Suara binatang-binatang malam dengan adzan yang bersahut-sahutan, lambat laun semakin menghilang. Inilah keindahan, suasana romantis yang Allah ciptakan bagi manusia-manusia melankolis seperti saya halnya.---

--to be continued--

The Old Man and The Umbrella

Part Two ---Melanjutkan kembali kisah yang saya alami pada sore hari, tanggal 17 di bulan juni di tahun 2008.

Kakek tua itu terus berjalan. Langkahnya pasti, tetapi saya masihkan sangsi. Dalam pikiran saya, ia sedang mencari alamat nampaknya dan ia tersasar.

Hari semakin gelap, matahari benar-benar tidak lagi terlihat. Bulan purnama yang sedari tadi mengikuti, kini entah kemana, pergi, nampaknya ia tertutup awan kelabu yang menggantung di langit yang biru.

Saat itu menunjukkan pukul berapa, saya tidak tahu atau lebih tepatnya lupa. Kakek terus saja berjalan, postur tubuhnya tidak begitu besar ’hmm mengapa menjadi begitu sulit mendeskripsikan seperti apa dia’..

Yang saya ingat, dia mengenakan songkok di kepalanya, kalau kita lebih familiar menyebutnya dengan istilah ’kopiah’. Ia sudah tua, ya tentu saja karena sedari awal saya sebut dia dengan kakek bukan? Bungkuk karena ketuaannya, seperti firman Allah yang mengatakan bahwa ada sebagian manusia yang dipanjangkan usia, tetapi satu persatu Ia kurangi nikmat yang ada pada si manusia. Ya seperti itulah kiranya.

Ia memakai kaus biru berkerah, nampak basah, saya pikir itu karena keringat hasil kelelahan dan saya semakin yakin ia tersasar.

Kulitnya putih, awalnya saya pikir dia orang keturunan. Celana panjang berwarna abu-abunya sudah lusuh dan saya semakin kurang ajar dengan berpikir bahwa dia tidak lain hanya gelandangan saja agaknya, tapi pikiran ini melayang manakala mata yang Allah anugerahkan ini, sampai pada alas kaki yang kakek gunakan.

Kakek bersepatu, pantofel pula, dia berpayung, dia berpantofel.

Siapa kakek ini sebenarnya? Saya khawatir padanya, ingin bertanya ’arrgghhh’ tidak punya nyali saya. Tak lama lagi, saya akan tiba di asrama, tepatnya ketika saya hampir mengambil arah kanan, saya berhenti sejenak, menunggu sambil mengamati si kakek, barangkali ia akan butuh bantuan. Dan benar saja, kakek memanggil saya.

Saat itu, kami tepat berada di depan warung mbak ida, ibu penjaga asrama saya yang dulu.

’nak... nak.... bapak mau tanya” begitu katanya pada saya, pikiran saya berkata ’ah akhirnya si kakek menyerah juga’. Saya bisa melihat wajahnya dengan jelas, ia benar-benar sudah tua, sekitar 70 – 80 tahun agaknya. Nafasnya terputus-putus, memburu, ia benar-benar sedang kelelahan.

’iya, ada apa pak?’ begitu tanya saya padanya. ’anak tau rumah haji Imran?” hmm haji imran, seperti pernah mendengar namanya. Agak ragu, sampai akhirnya saya memutuskan untuk mampir ke warung nasi mbak ida dan bertanya, sekedar ingin memastikan apakah haji imran yang dimaksud sama seperti apa yang saya pikirkan.

”tunggu sebentar ya pak, saya tanya dulu” saya tinggalkan sebentar si kakek di luar. Mbak ida sedang mandi, jadilah saya bertanya dari luar kamar mandinya, dan ternyata benar, haji imran itu seperti apa yang saya pikirkan.

Satu-satunya haji yang bernama imran. Beliau memiliki sebuah toko kelontong atau semi mini market, karena sistem dan tata letak yang ada di tokonya, seperti mini market pada umumnya.

Saya pun bergegas pergi, lalu ”makasih ya mbak id” begitu ucap saya pada mbak ida yang masih asyik dengan ritual mandinya. Sayup-sayup terdengar mbak ida berkata dari balik pintu kamar mandinya ”tapi sudah meninggal Yu’ Ngah, sudah lama”, ”ya mbak id” ujar saya dari kejauhan pula.

Saya hampiri si kakek, kemudian berkata ”saya tau alamatnya kek, mari saya antar”, dia ucapkan terima kasih pada saya, lalu ”anak tinggalnya dimana?” dia bertanya. ”itu asrama saya pak” saya menunjukkan padanya asrama saya yang tepat berada di sebelah warung nasi mbak ida.

-to be continued--

Wednesday, July 23, 2008

Jengkol

Jering atau jengkol (Archidendron pauciflorum, sinonim: A. jiringa, Pithecellobium jiringa, dan P. lobatum) adalah tumbuhan khas di wilayah Asia Tenggara

Jengkol diketahui dapat mencegah diabetes dan bersifat diuretik dan baik untuk kesehatan jantung. Tanaman jengkol diperkirakan juga mempunyai kemampuan menyerap air tanah yang tinggi sehingga bermanfaat dalam konservasi air di suatu tempat.

Pemanfaatan

Biji jengkol biasa dimakan segar ataupun diolah (biasanya disemur, dan dikenal oleh orang Sunda sebagai ati maung atau "hati macan"). Bijinya lunak dan empuk. Tekstur inilah yang membuatnya disukai. Aromanya agak menyerupai petai tetapi lebih lemah. Namun demikian tidak demikian bila sudah dibuang dari urin.

Selain disemur, biji jengkol juga dapat dibuat menjadi keripik seperti halnya emping dari melinjo, dengan cara ditumbuk/digencet hingga pipih, dikeringkan dan digoreng dengan minyak panas.

Efek negatif bau sebenarnya dapat dikurangi dengan perendaman atau perebusan. Bau pada waktu kencing dapat dikurangi apabila pembilasan dilakukan sebelum dan sesudah kencing dengan jumlah air yang cukup.

Gangguan kesehatan

Selain bau jengkol dapat mengganggu kesehatan seseorang karena konsumsi jengkol berlebihan menyebabkan terjadinya penumpukan kristal di saluran urin, yang disebut "jengkolan". Ini terjadi karena jengkol mengandung asam jengkolat yang tinggi dan sukar larut di air pada pH yang masam. Konsumsi berlebihan akan menyebabkan terbentuknya kristal dan mengganggu urinasi. Risiko terkena jengkolan diketahui bervariasi pada setiap orang, dan dipengaruhi secara genetik dan oleh lingkungan.

Tuesday, July 22, 2008

PIMNAS XXI vs Kelas Kambing

Apa korelasi antara PIMNAS XXI dengan kelas kambing ???
Ada, ya ada korelasinya dan sialnya, hampir membuat panas hati dan kepala ini.

singkat kata, saya dan tim berhasil lolos ke PIMNAS XXI di semarang dan pulang dengan tidak membawa tropi kemenangan. Biasa saja bagi saya, toh siapa pun yang menang tidak jadi soal, demi kemajuan Indonesia juga pada akhirnya.

Kembali, menekuni aktivitas sehari-hari. Mengunjungi Lab Fisika Dasar, karena sudah lama tidak menengok, melihat sejauh mana perkembangan yang ada.

Siang itu, saya sedang bercakap-cakap dengan Ka Lab dan beberapa orang teman saya, hingga beberapa menit kemudian datanglah seorang dosen saya, dosen baru, berasal dari sebuah institut teknologi ternama yang ada di Indonesia.

Dia bertanya, "bagaimana PIMNAS nya?" saya katakan biasa-biasa saja. Ya, seingat saya, begitu saya menjawab pertanyaannya. Lalu "menang gak?" dengan datar saya menjawab "Alhamdulillah ndak pak", dia tersenyum nampaknya. "Siapa saja yang menang?" begitu lanjutnya, "juara umum sepertinya dipegang oleh UNIBRAW pak. Oh iya pak, Institut tempat bapak juga menang, tapi kalau ndak salah cuma satu" begitu jawab saya.

Lalu "itu mah kelas kambing" jawabnya datar dan sekenanya. Dia pun menambahkan celotehnya dengan berkata bahwa institutnya tidak bermain di level nasional, tapi di level internasional dan sudah menyabet beberapa gelar.

Apa saya terpana dengan ceritanya? oh sayangnya tidak.
Apa saya merasa iri? Masya Allah, buat apa saya iri.
Apa saya merasa sakit hati karena nyatanya Univ dan institut lain yang mengikuti ajang PIMNAS XXI ia kategorikan ke dalam kelas kambing? Tidak juga, biasa saja.

Sudah terbiasa telinga ini mendengar, sudah terbiasa telinga ini berinteraksi dengan manusia-manusia macam dosen saya ini yang konon katanya berkuliah di institut teknologi ternama yang konon katanya pula institut tertua di Indonesia.

Merasa minder? ah tak perlu itu, toh saya dan mereka sama.
Salut? Oh..oh..oh tidak, mengapa harus salut dengan mereka yang tidak berisi tapi menegakkan kepala dengan gagahnya.

"Padi semakin berisi, semakin merunduklah ia"

Tapi sayang, jarang saya jumpai falsafah itu dalam diri mereka. Lelah ya lelah, si dosen yang berasal dari Lab Fisika Bumi Institut teknologi yang ternama itu, terus saja bercerita tentang Institutnya, gajinya, materinya, dan bla..bla..bla..

Hmm, lama saya tarik kesimpulan. Materi menjadi tujuan utama dari pria yang umurnya hampir mendekati paruh baya ini, yang konon katanya S1 dan S2 dia habiskan di Institut teknologi ternama itu.

Sayangnya, si bapak tidak sholat, ia dengan terang benderang, berdiri berkacak pinggang di atas sebuah terumbu karang, di bawah sinar rembulan dan derasnya deburan ombak kala laut sedang pasang (khayalan tingkat tinggi), mengatakan dirinya dengan gagah perkasa bahwa ia seorang SEKULER adanya.

Si Bapak dengan bangga bercerita bahwa ia pernah memakan daging yang merupakan penghasil cacing pita dan untuk itu orang indonesia sepakat menamai hewan ini dengan nama "babi" (maaf).

Katanya manusia butuh proses. Sial, kata-kata itu menjadi tameng bagi mereka untuk berbuat sesukanya, berkunjung ke rumah pelacuran "ah itu biasa", ia pun bercerita kiranya seorang temannya yang dahulunya seorang yang sekali membaca bisa berjuz-juz katanya. Tapi sekarang, itu bisa diinjaknya, sial, ia tertawa ketika bercerita.

Bangga ia katakan bahwa mahasiswa-mahasiswa di institut ternama belajar filsafat, berpikir tentang humaniora, dialektika, logika, membaca buku-buku tetang ke -Tuhan-an itu seperti apa.

Panas, saya memprotesnya........

Tidak hanya manusia yang bersekolah di sana saja yang berpikir, manusia dimana pun ia pastilah menggunakan isi kepalanya untuk berpikir.

Bebas berpikir, tapi tidak bablas. Dan mahasiswa yang konon katanya pintar-pintar itu yang bersekolah di Institut Teknologi itu, bablas dalam berpikir bebas, berani berfilsafat tanpa didasari pondai yang jelas, sembarangan melayangkan pikiran.

Fenomena, bangga menjadi pemikir yang terasing dari teman-teman yang menganut hedonisme (jenis makanan apa pula ini??), yang berlaku apatis dan skeptis. Bangga menjadi aneh dengan pikiran-pikiran yang nyeleneh, hingga mengorbankan keimanannya dengan cukup berkata "saya ingin..... arrggh atau yang penting saya jadi orang baik saja"........

Oh...oh...oh..., baik menurut siapa? atas parameter apa?

Dosen saya itu, dosen baru yang berasal dari konon katanya institut teknologi ternama, berkata bahwa ia tidak mau mencampuri urusan teman-temannya yang memilih untuk menjadi sekuler, memilih untuk menjadi liberal, intinya "itu ranah pribadi teman-temannya".

'Aaarrggghh gila', ada kewajiban sesama muslim untuk mengingatkan saudara sesama muslim lainnya. Ia juga katakan, bahwasannya ia tidak mau katakan temannya bebas yang kebablasan, karena tidak ada dasarnya.

Ohhhh, luar biasa. Lalu saya katakan padanya "Pak, memang tidak ada parameter yang saklek untuk itu semua. Tapi, kita hidup bermasyarakat dan masyarakat itu sendiri yang menentukan parameter, apakah suatu kebebasan itu merupakan bebas yang bablas atau tidak"........ ia tidak menjawab.

Masya Allah, agama dijadikan mainan.

Jangan berpikir kalau nggak kuat mikir.
Jangan jadi kritis kalau ujung-ujungnya itu iman kamu bakal terkikis.

Memang, menurut dosen saya itu, teman-temannya sedang dalam proses mencari, lalu mau berapa lama, sedang umur sudah hampir kepala empat, dosa semakin merajalela, dan pintu neraka semakin terbuka, sedang diri masih saja melenakan dengan apa yang namanya mencari. Sia-sia saja bila tidak mau membmuka mata hati, akal dan pikiran ini......

Inilah yang saya kategorikan ke dalam istilah "pinter-pinter keblinger".

"Rabbana La tuzighkulubana ba'da idzhadaitana wa hablana millandunkarahmah innaka antalwahhab"

---- In The Name Of Allah Who Created ----

negative thinking ??? mending jangan deh

Negative thingking ???

Sebelum lanjut ke sana ke mari, baiknya bahas dulu bahasa inggris yang ada di atas, kira-kira spellingnya bener nggak ya? biz kite bukan ahli bahase sih. Jadi, kalau tulisannya salah, tolong dimaklumi ya.

Negative thinkin atau dalam bahasa indonesanya berpikiran negatif atau dalam bahasa arabnya suudzhon (nah lho, ini bener gak ya tulisannya), ternyata banyak menimmbulkan dampak negatif.

Gak percaya, umm agak susah juga sih kalau mau dibuktikan dengan fakta dan data. O iya, jangan dikira mikir cuma mikir yang porno aja yang dikategorikan kedalam pikiran negatif. Sebagian dari kita mungkin pernah menyebutkan kata-kata ini tanpa sengaja "aduh", "masalahnya adalah....bla..bla..bla", "kok susah ya".

Nah secara gak langsung namun pasti, semua kata-kata yang sudah terlontar itu, akan menstimulus otak untuk memberikan perintah kepada tubuh agar memberikan reaksi negatif, misalnya gak semangat, yups dampak langsung yang timbul pastinya jadi gak semangat, mau ngerjain apa-apa jadi malas, karena frame (cie..frame, bahasanya boleh juga ya) berpikir kita sudah dibatasi dengan pikiran-pikiran negatif yang berkembangbiak hingga beranak pinak.

Dampak lain yang timbul adalah, tingkat stress. Lho kok bisa, ya iyalah terang aja bisa stresss, wong isi kepala itu pikiran negatif semua. Mau ngerjain tugas dari dosen, gak bisa karena sudah mikir "susah banget sih", mau menyelesaikan urusan kegiatan juga gak bisa, habis sudah ngomong "masalahnya bla...bla...bla", akibatnya ya reaksi yang timbul negatif juga pada akhirnya....

Oh iya, masih ada dampak paling gak ngenakin lainnya, yaitu produksi asam lambung meningkat karena stress, banyak pikiran hingga overload tapi gak mampu memanajemen menjadi energi positif, akibatnya maagh nya kambuh he....3x ni biasa dialami oleh kita-kita yang ngakunya aktivis nih.

Tapi, dengan gagah berani kite para aktivis mengabaikan itu penyakit. Padahal, kite sudah dzalim pada diri sendiri, padahalnya lagi, di dalam Al Qur'an, Allah berfirman bahwa kite ndak boleh mendzalimi diri sendiri, ujung-ujungnya balik lagi ternyata pemahaman kita dalam hal agama, masih jauh dari baik. Lho kok bisa, ya iya lah "Adil sama diri sendiri aja belum bisa", begitu mau mengajak orang lain pada kebenaran, tapi dirinya sendiri ndak dibenarkan terlebih dulu, itukan sama aja dengan bunuh diri namanya.

Nah lho, nah lho.... kok jadi ngalar ngidul ndak jelas.

Sebenarnya ndak juga sih, jadi yah kira-kira begitulah dampak yang ditimbulkan dari berpikiran negatif, ujung-ujungnya jadi panjang kali lebar kali tinggi kan, alias buntutnya jadi panjang kalau kamu-kamu masih keukeuh mempertahankan untuk membudidayakan berpikiran negatif.

Oh iya, ngomongin orang juga termasuk kedalam kategori berpikiran negatif lho.......

Monday, July 21, 2008

fakta tentang cokelat

Cokelat, cokelat, cokelat

Mitos: Banyak makan cokelat mempermudah munculnya jerawat
Fakta: Belum ada penelitian mengenai hal tersebut. Yang jelas, jerawat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya produksi hormon saat menginjak masa remaja (13-15 tahun).

Peningkatan hormon tersebut menyebabkan kelenjar mengeluarkan sebum yang mengalir ke permukaan kulit. Kalau aliran ini tersekat, sebum berkumpul lalu membentuk jerawat.

Jerawat juga bisa disebabkan karena pola makan yang kurang zinc dan banyak iodin saat orang mengalami stres.

Mitos: Cokelat membuat gemuk
Fakta: Tak ada bahan makanan tertentu yang bisa menggemukkan badan, termasuk cokelat, apalagi kalau hanya 1-2 batang sehari. Pola makan secara keseluruhanlah (terutama yang tinggi kalori) yang patut disalahkan, ditambah gaya hidup kurang berolahraga.

Mitos: Cokelat menyebabkan karies gigi
Fakta: Munculnya karies gigi disebabkan oleh sisa makanan yang menempel di gigi yang tidak segera dibersihkan. Makanan di sini bisa jenis apa saja, termasuk cokelat. Jadi, bukan cokelat yang membuat karies gigi, melainkan kebiasaan kita yagn tidak segera menyikat gigi setelah makan.

Healtylife Copyright Kompas truz diambil dari situs kulinernita.multiply.com

aurora

Aurora, apa itu aurora?

A
urora adalah fenomena pancaran cahaya yang menyala-nyala pada lapisan ionosfer dari sebuah planet sebagai akibat adanya interaksi antara medan magnetik yang dimiliki planet tersebut dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh matahari (angin matahari).

Di bumi, aurora terjadi di daerah di sekitar kutub Utara dan kutub Selatan magnetiknya. Aurora yang terjadi di daerah sebelah Utara dikenal dengan nama Aurora Borealis , yang dinamai bersempena Dewi Fajar Rom, Aurora, dan nama Yunani untuk angin utara, Boreas. Ini kerana di Eropa ia kerap dilihat kemerah-merahan di ufuk utara seolah-olah matahari akan terbit dari arah tersebut. Aurora borealis selalu terjadi di antara September dan Oktober dan Maret dan April. Fenomena aurora di sebelah Selatan yang dikenal dengan Aurora Australis mempunyai sifat-sifat yang serupa.

selengkapnya klik di sini yee....

dilema antara budaya dan agama

Beberapa kali terpikir, mungkin gak ya agama dan budaya bisa seiring sejalan, bukan dalam arti 'satu di siring satu di jalan' tapi dalam arti sesungguhnya, yah bahasa kerennya bisa seirama lah ya.

Tapi agak sulit juga sebenarnya, pasalnya kadang budaya justru agak sulit kalau mau di-'compare'- dengan agama.

kenapa ya wanita suka dandan ???

Tau gak sih, kenapa cewek itu suka sekali berdandan ???

Kalau kata kakak tingkat saya, waktu dia sudah liat ada cewek yang barang bawaannya banyak, pasti yang paling banyak itu perlengkapan lenongnya alias perlengkapan dandannya.

Bagi wanita, make up seperti bayangan yang selalu mengikuti kemanapun ia pergi. Tapi tahukah Anda bagaimana asal usul make up? Dan kenapa wanita sangat terobsesi akan hal itu?

Maka, beginilah kisah dandan itu bermula........

Wanita sangat menyukai keindahan dan mereka mengaplikasikannya lewat wajah mereka. Bangsa Mesir kuno sejak 5000 tahun yang lalu telah berlomba untuk mempercantik diri mereka. Terutama kaum bangsawan yang ingin menyerupai dewa-dewi yang mereka sembah. Sebelumnya seni melukis wajah ini merupakan ritual keagamaan bangsa mereka. Bahkan para wanita membingkai mata mereka agar menyerupai biji almond. Mereka mewarnai pipi mereka dengan tanah liat.

Bangsa Yunanilah yang memperdalam dan mengembangkannya. Mereka menemukan ekstrak akar tumbuhan yang disebut polderos yang dapat memerahkan bibir dan pipi lebih lama.

Wanita sangat terobsesi untuk menjadi cantik. Bangsa Eropa pada abad ke-18 telah rutin melalukan olahraga bibir yaitu dengan mengatupkan kata-kata yang berawalan huruf “p”. ini mereka lakukan sebelum menemukan lipgoss.

Bentuk lipstick pertama kali yang dijual di pasaran terbuat dari ekstrak tumbuhan yang dicampur dengan minyak nabati berupa wax yang kemudian dibentuk seperti adonan, digulung seperti krayon, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah itu dimasukkan kedalam kaleng sehingga mudah dibawa kemana-mana.

Lalu pada tahun 1920, Max factor menciptakan berbagai macam formula produk kosmetik. Salah satunya adalah campuran kohl yang dipanaskan diatas api. Ketika meleleh, dioleskan pada bulu mata sehingga mata terlihat lebih ekspresif.

Tiga tahun kemudian mulailah ditemukan penjepit bulu mata. Bentuknya hampir mirip dengan yang ada saat ini namun belum secanggih sekarang hingga butuh waktu 10 menit untuk mengaplikasikannya.

Setelah itu mulailah bermunculan produk-produk yang semakin canggih hingga hari ini. Semua wanita yang ingin cantik pasti melakukan ritual bermake-up ini. Bukan terbatas dikalangan bangsawan saja seperti di zaman Mesir kuno.

asalnya dari www.resep.web.id

Sunday, July 6, 2008

Pria kena kanker Payudara

Kanker payudara menjangkiti kaum pria terutama yang berusia paruh baya. Sayangnya, kebanyakan tidak mengenali gejala klinis penyakit ini yang akhirnya terlanjur menyebar atau sudah stadium lanjut.

Gejala klinis kanker payudara pada pria sama seperti kanker payudara pada wanita yang berasal dari kelenjar susu. Bedanya, pria jarang terkena penyakit ini di bawah umur 50 tahun.

Karena hal itulah, sebaiknya kaum pria mengendalikan factor resiko terkena kanker payudara. Salah satunya adalah adanya keturunan gen kanker. Seorang pria beresiko terkena penyakit ini jika ada kerabatnya, baik pria maupun wanita ada yang mengidap kanker payudara. Ayah dengan mutasi gen kanker payudara juga bisa mewariskan kanker tersebut kepada anak-anak wanitanya.

Factor gaya hidup juga dapat meningkatkan resiko terkena kanker seperti kebiasaan merokok dan minum alcohol. Disamping itu stress dan kondisi lingkungan yang tercemar polusi membuat kaum pria rentan terserang berbagai jenis kanker termasuk kanker payudara.

Selengkapnya klik di sini ya....

Sekarat Tapi Ingin Istri Berdandan

Ketika sedang sakit parah, Uddin berkata pada istrinya, "Istriku tercinta, kenakan pakaianmu yang terbaik. pakailah perhiasanmu yang terindah. sisir rambutmu. cucilah wajahmu. Pokoknya, berdandanlah secantik mungkin, lalu kemarilah."

"Dalam keadaan seperti ini bagaimana mungkin aku meninggalkanmu hanya untuk berdandan. tentu aku tidak akan melakukannya. Kamu kira aku wanita macam apa, sehingga kamu bilang begitu padaku?" kata sang istri.

"Bukan begitu, istriku. ternyata engkau salah paham. Aku melihat Malaikat Izrail sudah mondar-mandir di sekitarku. Begitu melihatmu dengan pakaian bagus dan penampilan cantik, barangkali dia lebih tertarik padamu, lalu membawamu dan membiarkan aku," jawab Uddin.

sumber -- ketawa.com

Mbah Melati

-- Wanita perkasa yang pertama --

Mbah-mbah itu, mengapa saya katakan mbah-mbah itu? Ya karena mereka lebih dari satu, sederhana bukan.

Mbah-mbah itu, saya tidak begitu mengenal mereka berdua. Mereka bukan kakak beradik, bukan pula satu keluarga, pun nampaknya mereka tidak saling mengenal antara satu dan lainnya.

Perjumpaan saya dengan mbah yang satu itu, sebut saja mbah mawar. Pada suatu hari, saat saya sedang lari pagi menyusuri jalan di kampus hijau yang saya cintai. Saya biasa keluar dari asrama sekitar pkl. 05.15 pagi.

Jalan ini masih cukup lengang, ketika sebagian manusia yang lainnya lebih memilih mendengarkan ceramah dari balik selimut mereka, pria-pria yang disebut ikhwan itu, lebih memilih asyik di masjid mengikuti kuliah tujuh menit dengan khusyuk bahkan mungkin ada yang terkantuk-kantuk, ’subhanallah’.

Saya mencoba membelah kabut, mengabaikan dingin yang menusuk, menghilangkan rasa takut, menyebrangi jalan perempatan dan kepala ini kembali teringat manakala melihat warung padang yang ada di ujung gang ’dimana ada perempatan, di situ ada warung padang’ entah dari mana pepatah itu dilahirkan, tapi memang ada benarnya apa yang pepatah itu katakan.

Saya pun menyusuri jalan di kampus hijau yang kini semakin lama semakin terkikis kehijauannya. Mencoba berlari tanpa henti, mencoba mengelilingi, menjelajahi kampus hijau yang tak seberapa ini.

Matahari masih belum mau menampakkan diri, masih begitu enggan untuk menyapa diri ini, masih begitu malas untuk membuka selimut malam yang menutupinya meskipun hanya sekedar mengintip saja.

Saya pikir, saat itu sudah pkl 05.30 pagi, akhirnya saya putuskan untuk menyudahi lari pagi saya hari ini, sudah cukup membakar kalori. Saya pun memutuskan untuk kembali ke asrama.

Jalan ini masih nampak sepi, sedikit gelap karena lampu-lampu jalan ini sudah dipadamkan untuk menyapa sang mentari pagi yang sampai saat ini masih juga enggan untuk datang.

Tidak seperti hari-hari kerja, hari ini tidak ada satu pun petugas kebersihan yang menyapu di sepanjang jalan kampus ini.

Dari kejauhan, saya melihatnya. Ia ’ah saya lupa apakah saat itu saya searah atau berlawanan arah dengannya. Ia membawa bakul yang ia gendong di pinggangnya, dengan tutup kepala khas ibu-ibu yang sudah lanjut usia, sekedar menutup rambutnya saja. Ia mengenakan kain jarik dan sepasang sendal jepit yang entah apa warnanya, saya sudah lupa atau karena saat itu masih gelap adanya? Entahlah.

Saat itu, saya berpikir ’apa yang ia lakukan pada jam-jam seperti ini’ lalu saya pun berlari mendahuluinya karena matahari sudah mulai unjuk gigi.

Tak lama berselang, beberapa hari kemudian saya bertemu kembali dengan mbah mawar yang saya temui beberapa hari yang lalu. Saat berpapasan dengannya, ia mencoba menawarkan buah nangka yang ia bawa pada saya, tetapi saya menolaknya ’ah ternyata ia berjualan’ begitu pikiran saya kala itu yang terkonsentrasi, hingga bersinergi dengan hati dan menghasilkan reaksi.

Beberapa hari kemudian, saya melihatnya sedang mencoba menjualkan kacang tanah, yang secara tidak sengaja saya mendengarnya berkata bahwa itu kacang tanah diambil dari kebunnya ’tunggu dulu, saya mendengar atau menguping pembicaraannya dengan calon pembelinya? Ah saya sudah lupa’.

Saya sering bertemu dengannya, karena saya sering pergi ke kampus dengan berjalan kaki. Mbah mawar itu masih gagah, ya setidaknya itulah yang nampak di mata saya. Tidak ada raut lelah yang tergambar di wajahnya, tak pernah saya melihat ia duduk sekedar beristirahat dari perjalanan jauhnya.

Tapi, mbah mawar sudah tua malah lebih tepatnya renta, lalu dimanakah anak-anaknya? Seorang teman saya berkata pada saya manakala saya menceritakan mbah mawar padanya, katanya ”mbah itu jualan kue sama nasi uduk cep”.

’ah luar biasa’ begitu kata isi kepala saat itu, ia tidak lagi muda, sehari-harinya saat ini ia menggunakan jarik kecokelatan dengan bakul yang diikatkan di pinggang, menutup kepala dengan penutup kepala khas orang tua dan tak lupa sendal jepit berwarna kuning tua yang semakin lama semakin terkikis alasnya.

Ia masih kuat berdiri, mengalahkan matahari yang masih tertidur malu berselimutkan malam yang kelam, berjalan di tengah panas terik matahari tak ia hiraukan.

Sekali waktu saya pernah bercakap dengannya, barang sebentar saja. Saya hanya sempat bertanya di mana ia tinggal ’ibu tinggal di kampung baru’, begitu jawabnya singkat.

Salah satu potret kehidupan, di saat manusia-manusia seusianya yang saya jumpai memanfaatkan kerentaan mereka untuk mendapatkan belas kasihan yang dihargai dengan uang, meletakkan tangan mereka di bawah, merendah, duduk memelas, mbah mawar di usianya yang senja, masih berjuang mencari penghidupan entah sampai kapan.

Mbah Mawar

Wanita perkasa berikutnya menurut versi saya....

Loro -- Saya tidak tahu siapa namanya, sama seperti mbah mawar yang saya juga tidak tahu siapa namanya, maka kita sebut saja si mbah dengan nama mbah melati.

Postur tubuhnya tidak jauh berbeda dengan mbah mawar yang saya ceritakan sebelumnya. Mbah melati, bertubuh kecil, kulitnya sawo matang, dengan rambut selalu tersanggul rapi. Kemana-mana, si mbah selalu mengenakan kebaya, dengan kain jarik sebagai bawahannya, serta sendal sejuta ummat yang orang Indonesia sepakat menyebutnya dengan nama sendal jepit, ya sendal jepit menjadi pelengkap dalam perjalanan mbah melati setiap harinya.

Mbah melati berprofesi sebagai penjual jamu gendong, saya cukup mengenalnya meskipun tak pernah tahu siapa namanya. Perkenalan saya dengannya berawal dari perkenalan saya dengan anak gadisnya yang kalau tidak salah Sri namanya.

Mengenal mereka karena secara kebetulan hampir setiap hari saya menempuh perjalanan pergi pulang menuju kampus dengan berjalan kaki.

Sekitar pukul 07.00 pagi, si mbah sudah mengudara bersama putrinya menjajakan jamu gendong buatannya dan pulang sekitar pkl 09.00 pagi. Kemudian kembali beroperasi sekitar pkl 15.00 sore dan pulang sekitar pkl.17.30 sore.

Pernah suatu kali saya bertanya, ”mbak, kenapa nggak jualan di sekitar jalan kopi aja?” begitu tanya saya pada mbak sri, lalu ”daripada ribut mbak, mendingan kita jual di kampung baru aja” begitu jawabnya. ’Hmmh ternyata dalam dunia perdagangan jamu ada juga yang begituan’ begitu pikir saya kala itu.

Tidak tahu berapa umur si mbah tepatnya, tapi yang jelas ia tidak lagi muda. Raut-raut wajah renta sudah begitu nampak di wajahnya. Saya selalu berpapasan dengannya, kadang sesekali berjalan beriringan entah pergi menuju kampus, entah ketika pulang menuju asrama. ’Ah, si mbah sekarang sudah semakin tua, krim-krim anti tua, sudah pasti tidak akan bekerja bila digunakan di wajahnya’.

Merantau jauh sampai ke propinsi ini, hmmh tidak habis pikir. Si mbah meninggalkan beberapa anak yang lainnya dan juga suaminya. Si mbah berasal dari Karang Anyar Solo, suami dan beberapa orang anaknya tidak ia bawa ikut serta. Ketika saya bertanya mengapa, mbak sri katakan ”di Jawa cari kerja susah mbak” jawaban yang cukup mengejutkan, karena keadaan yang terjadi di sini justru sebaliknya.

Sudah hampir 4 tahun lamanya saya mengenal mereka, setiap kali bertemu, berpapasan di jalan. Si mbah tidak pernah lupa bertanya ”baru pulang mbak?” atau ”mau ke kampus ya mbak?” dengan senyum manis yang ia sunggingkan pada saya ’hmmm menyejukkan’ si mbah wanita jawa yang sesungguhnya di mata saya.

Kadang sesekali ketika melihat beliau dari kejauhan nampak kelelahan membawa jamu di dalam gendongan, saya mencoba tawarkan bantuan ”sini mbah, gantian saya yang bawa bakulnya”, si mbah menolak sembari tersenyum pada saya, katanya ”jangan mbak, berat lho nanti mbak malu”.

Padahal saya ingin merasakan bagaimana rasanya menggendong jamu di belakang, pasti menyenangkan atau mungkin pegalnya tidak alang kepalang. Dan akhirnya saya hanya bisa tersenyum atau tepatnya ’nyengir’ sembari mengeluarkan kata-kata andalan ”semangat mbah”, si mbah pun tertawa.....

Saya yakin, bakul jamu itu beratnya beberapa kilo agaknya. Beberapa botol besar berukuran 1,5 liter yang berisi penuh air jamu, selalu menghiasi bakulnya. Seringkali mengamati si mbah dari kejauhan, berjalan setengah membungkukkan badan, mengimbangi berat yang ia tumpukan di belakang.

Hmmh si mbah selalu saja tersenyum, tak pernah saya berjumpa dengannya dalam keadaan ia sedang melipat wajahnya, ia selalu tersenyum, entah ketika ia sedang berjalan sendirian, entah ketika ia sedang berkawan.

Si mbah jarang pulang, hanya setahun sekali. ”Ongkos mahal” begitu kata si mbah. Merantau jauh ke negeri orang demi apa yang namanya sebuah penghidupan, si mbah tinggalkan beberapa anaknya di seberang bersama suaminya, sedang ia berdua dengan putrinya mengadu nasib di rantau orang. Bagaimana rasanya jauh dari keluarga? Entahlah, saya tidak tahu, karena saya tidak pernah bertanya.

Si mbah sudah semakin tua, terhitung sejak pertama kali saya mengenalnya hingga kini, sudah 4 tahun lebih agaknya. Dan pastinya umur si mbah pun sudah bertambah 4 tahun juga, mungkin sudah memasuki 60-an, tapi si mbah tetap tegak berdiri menantang matahari pagi, memandang matahari senja dari kejauhan.

Hidup penuh dengan apa yang namanya perjuangan, ya si Mbah berjuang demi keluarganya. Sejatinya, ketika di beberapa tempat saya temui orang yang memanfaatkan kerentaannya untuk meminta-minta, si mbah masih tetap berdiri tegak, menengadahkan kepala, menebarkan senyumnya, mencari apa yang namanya penghidupan untuk keluarganya yang berada di seberang sana.

Yah beginilah hidup.

Mandi Hujan

Catatan ini kembali dituliskan untuk sekedar menyegarkan ingatan akan beberapa waktu yang lalu.

24 Agustus 2007, hari ini hujan rintik-rintik, titik-titik hujan membasahi bumi lampung tercinta ini, tapi tidak juga sebenarnya. Seperti biasa, menghadapinya saya tidak bisa berbuat apa-apa dan seperti biasa pula, melihatnya saya tetap tidak bisa melakukan apa-apa.

Udara hari ini begitu sejuk, hari ini tidak panas, langit tidak pula gelap. Hujan deras tidak menutupi langit dengan awan hitam yang kelam. ’Ah sayang, aku tak dapat bergabung dengan kalian’ begitu kira-kira kata hati pada saat itu manakala melihat burung layang-layang yang terbang di bawah derasnya air hujan.

Hujan ini membawa saya ke masa-masa itu, masa dimana ayah dan ibu masih menganggap saya gadis kecil mereka yang lucu.

Dahulu, kedua orang tua saya tidak pernah sekali pun mengizinkan saya bermain-main dengan air hujan ”nanti sakit” begitu kata ibu atau suatu ketika ibu saya berkata ”nanti bajunya kotor”, ya karena dulu saya masih terlalu kecil, jadi mencuci baju sendiri saja saya tidak begitu mengerti.

Tapi dasarnya memang saya bandel, suatu kali, ketika saya pulang sekolah, kalau tidak salah saat itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Hujan turun begitu derasnya, mau pulang tapi takut basah karena hujan. Saya iri melihat kawan-kawan yang berlarian bermandikan air yang langsung berasal dari alam.

Sembari melihat mereka yang sudah kebasahan, saya tetap saja kukuh berteduh sembari membayangkan apa yang akan terjadi pada saya bila saja ibu tahu saya ikut-ikutan mandi hujan seperti teman-teman.

Tapi, bukan sefta namanya bila saya menurut. Alhasil saya pun ikut-ikutan berlarian dengan teman-teman menikmati dinginnya air hujan. Tak saya hiraukan pikiran yang terus menerus melayang-layang di kepala, tak saya hiraukan bisikan-bisikan yang terngiang-ngiang di telinga yang mengatakan ’kamu pasti kena marah sama ibu’. Saya berkelit dengan pikiran saya sendiri ’ah itu hanya masalah bagaimana saya mencari alasan pada saat saya tiba di rumah nantinya’

Saya pulang dalam keadaan basah kuyup karena sampai di rumah hujan masih saja turun dengan derasnya, bagaimana dengan ibu? Oh sudah jelas, beliau marah besar, saya lupa entah saya dipukul atau hanya dijewer saja, tapi itulah kali pertama saya merasakan betapa menyenangkannya mandi di bawah guyuran air hujan.

Kesenangan itu terhenti begitu saja manakala saya menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama, tidaklah mungkin saya pulang dalam keadaan basah kuyup karena saya harus naik angkutan umum untuk sampai ke rumah. Tapi, hobi saya itu saya lanjutkan kembali ketika saya menginjak bangku SMA. Selalu ada saja alasan yang saya kemukakan pada ibu, agar bisa lulus untuk diizinkan bermain-main dengan air hujan.

Rumah saya tidak begitu besar, hanya gubug sederhana dengan pekarangan seadanya, tempat ibu menggeluti hobi tanam-menanamnya, dilengkapi dengan sebuah kolam ikan dan tak lupa air mancurnya yang kini sudah tidak mancur lagi agaknya, tidak seperti ketika itu air mancur diresmikan pertama kali, tentunya ayah saya sendiri yang meresmikannya.

Tepat di depan rumah saya, ada sebuah selokan yang panjangnya kira-kira 10 sampai 15 meter. Kasihan ibu, kadang beliau terlihat begitu kerepotan membersihkan selokan yang kotor, berlumut dan hijau, meskipun tak tebal.

Suatu kali, saya katakan pada ibu bahwa saya bersedia menggantikannya membersihkan selokan yang kotor itu dengan sukarela tanpa ada paksaan dari pihak mana pun juga, dan bisa diterka bahwa ibu saya begitu senang mendengarnya kala itu.

Apa saya anak yang rajin? Ah jangan salah kaprah, saya justru anak ibu yang paling bandel dan paling malas serta paling pandai berkilah. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api, ya saya memiliki maksud dan tujuan tertentu dengan kerajianan saya yang anomali dan tidak biasanya itu.

Kerajinan saya akan timbul, bila yang nampak hujan itu begitu deras dan terlihat bahwa itu hujan akan turun dengan durasi lebih dari satu jam, maka dengan suka rela, akan saya bersihkan itu selokan yang penuh dengan lumpur dan kotoran meskipun kadang petir bersahut-sahutan dan akhir ibu saya berkata ”pantesan saja ade mau bersihin siring” begitu kata ibu saya akhirnya dan saya hanya bisa nyengir saja memperlihatkan barisan-barisan gigi saya yang sudah hilang gingsulnya.

Pada dasarnya saya ini pemalas, maka bila musim kemarau tiba, saya pun begitu enggan untuk membersihkan selokan meskipun lumut-lumut itu sudah mulai bertebaran, kecuali bila ibu meminta dan itu pun sembari berkata ”kamu ini malas amat de” begitu katanya.

Sebenarnya bukan tanpa alasan saya tidak mau membersihkan selokan pada saat hujan tak datang, tapi tak lain tak bukan karena saya tidak tahan berpanas-panasan, tidak tahan berkeringat, itulah mengapa saya baru tertarik bercanda dengan selokan beserta lumut-lumut hijau tua bila musim hujan sudah tiba.

Begitu menyenangkan, saya begitu menikmatinya. Seorang teman saya yang memiliki hobi yang sama dengan saya adalah adik lelaki saya tercinta, kalau kedua saudara perempuan saya hanya senang menonton saja.

Mandi hujan, terakhir kali saya lakukan pada tahun 2008 selepas idul adha, ya seperti biasa, teman saya mandi hujan tetap adik lelaki saya dan saat itu saya sudah menginjak semester 7, kadang ibu saya bilang ”sudah tua masih juga mandi hujan” dan kembali saya hanya tersenyum saja.

Hmmmh, setiap kita memiliki kenangan akan masa kecil, masa lalu, entah itu menyenangkan entah pula menyedihkan. Lambat laun, kisah-kisah itu menjadi kenangan yang lucu meskipun ada sebagian diantara kisah-kisah yang ada, dahulunya begitu menguras air mata karena kita menganggap kisah-kisah itu sebagai derita pada masa itu.

Hiruk Pikuk Kehidupan

-Bagian pertama-

Beginilah kiranya hiruk pikuk kehidupan yang sebenarnya. Sejatinya hari ini tidak ingin kemana-mana, terlebih lagi karena beberapa waktu yang lalu, hati ini sudah ber-azzam untuk tidak pergi ke tengah-tengah keramaian yang orang-orang biasa menyebutnya dengan pusat perbelanjaan.

Penat, ya hati dan pikiran ini, hari ini penat sangat. Habis kena semprot oleh seorang dosen wanita yang tidak akan saya sebutkan namanya, wanita yang cerdas, mengagumkan di mata saya. Saya kategorikan dia cerdas dalam hal ilmu yang didalaminya, itu saja, tidak lebih, karena memang setiap kecerdasan memiliki parameter tersendiri bagi yang memahaminya.

Kamu bingung dengan apa yang saya tuliskan? Itu bagus, dan semakin banyak kamu membaca, saya harap semakin bingunglah kamu jadinya.

Pagi ini, di awali dengan senyum terindah yang saya berikan pada sang mentari pagi yang masih bersedia menyinari bumi yang semakin panas ini. Memenuhi permintaan Mbak Elia untuk menemaninya pergi mencari komponen elektronik untuk keperluan tugas akhirnya.

Agak malas pada awalnya, bukan saja karena harus menemani selepas ashar, tapi terlebih karena suasana hati sedang penat akibat semprotan hujan asam (berlebihan agaknya-hiperbolik-) dari seorang wanita paruh baya yang sudah ditetapkan sebagai salah satu dosen Fisika untuk beberapa tahun lamanya. Tapi janji tetap harus ditepati, semprotan yang bertengger dan mewarnai hati yang pada awalnya cerah kemudian berubah menjadi buram, remang, lalu menghitam, haruslah dilupakan atau paling tidak dikesampingkan.

Akhirnya saya dan Mbak Elia berangkat juga, mencari apa yang memang harus dicari untuk keperluan Tugas Akhirnya. Toko-toko elektronik yang kami datangi sudah tutup agaknya, pintu-pintu gerbangnya sudah dipasang kunci pengaman ganda, ”Yah, sudah tutup de” begitu ujar Mbak Elia pada saya.

Hari semakin sore, lalu lintas jalan raya semakin ramai saja jadinya. Sebagian orang ingin pulang untuk melepas lelah setelah bekerja seharian, ingin bertemu keluarga dengan segera nampaknya, agar dapat bercengkrama dan bercanda. Mungkin itu salah satu harapan yang mereka ingin dapatkan, selepas menjalankan rutinitas demi apa yang namanya penghidupan, yang kadang membuat lelah dan penat pikiran. Kami berdua masih terus berjalan, mencari toko-toko elektronik yang masih mau membuka pintunya untuk para pembelinya, pilihan jatuh pada sebuah toko berpapan nama ”LIMAN”. Entah apa artinya, saya pun tidak sempat bertanya pada si empunya...

Agak sulit menemukan toko itu pada awalnya, sedikit tersembunyi dari toko-toko yang ada di sekitarnya.

Toko ini tidak begitu besar, tidak ada pelayan pria di dalamnya, semuanya wanita, tak terkecuali si empunya. Mbak elia mulai membuka catatan kecilnya, barang-barang yang ia butuhkan Alhamdulillah sudah ia tuliskan, sehingga tidak menyulitkan si pelayan untuk melayani pelanggannya.

Saya tidak bisa diam, bosan hanya memperhatikan si pelayan yang mondar-mandir mencari apa yang Mbak Elia cari. Akhirnya otak dan seluruh jajarannya, mengajak bibir dan lidah saya bekerja sama, hingga terlahirlah beberapa kalimat tanya ke dunia, yang saya tujukan pada pelayan yang melayani Mbak Elia. ”Sudah lama kerja di sini mbak?” begitu bunyi pertanyaan pertama, ”Enggak, saya baru kok mbak di sini” begitu katanya, ”Oo, pantesan masih bingung” begitu tambah saya, ”Iya mbak” jawabnya sembari tersenyum.....

Barang-barang sudah didapat, saya hanya menunggu sembari melayangkan pandangan kemana saja saya suka dan akhirnya sampailah mata ini pada seperangkat obeng hingga membuat saya berkata ”Mbak saya beli obeng itu”. Pelayan yang ramah, obeng diambilkan. Uang Rp. 6.000 rupiah pun saya bayarkan. Tiba-tiba, hidung ini mulai merasa terganggu dengan apa yang ia cium sejak beberapa waktu yang lalu.

”Hmm, bau apa ini ya mbak? Seperti gak asing” begitu ucap saya sekenanya. Si pelayan berkata ”Sssttttt” begitu jawabnya, ”Oohhh saya tau mbak, ini bau dupa ya?” begitu jawab saya sembari berbisik. Saya terka begitu, karena kebetulan si empunya toko adalah orang keturunan.

Tapi, ternyata bau itu bukan bau dupa, melainkan bau menyan, begitu kata si pelayan. ’Gdubbrakkk ternyata si empunya, sedang melakukan ritual di dalam tokonya, pantas saja baunya sampai kemana-mana’. Zaman sudah modern, orang Eropa sudah sampai ke bulan, orang Indonesia masih berkutat dengan ’kemenyan’.

Selesai membayarkan apa yang dibeli, kami pun beranjak pergi ”Makasih ya mbak”.

--to be continued--

Saturday, July 5, 2008

beginilah pasar

-bagian kedua-

Tidak ingin segera pulang, saya rasakan ingin berbuka puasa di jalan, di tengah-tengah keramaian. Akhirnya, mbak elia mengikut saja, ’Hmm senangnya ada yang mau menemani menetralisir hati agar menjadi sejuk kembali’. Kami pun terus menapaki jalan raya yang penuh dengan polusi kendaraan. Memutuskan untuk melangkahkan kaki ke salah satu pusat perbelanjaan yang lebih banyak jumlah wanitanya dari pada jumlah prianya, yah karena tempat yang kami tuju adalah pasar yang menjual ragam barang wanita, dari atas sampai bawah, dari yang luar hingga yang dalam.

Sebenarnya, saya bukan tipikal orang yang suka berbelanja atau pun sekedar cuci mata. Hanya sedang ingin berjalan mengelilingi pasar sembari menunggu waktu maghrib tiba.

Pasar ini masih saja ramai, meskipun beberapa toko mulai mengemasi barang-barang dagangannya. Saya menjadi salah satu pengamat hiruk pikuk yang ada.

Mengelilingi pusat perbelanjaan ini, jumlah wanita yang saya temui lebih banyak dari pada jumlah pria, entah itu penjualnya, entah itu pembelinya, semuanya hampir dapat dipastikan wanita. Entah mengapa wanita begitu senangnya berbelanja? Pertanyaan yang menurut sebagian orang adalah sebuah retorika, tapi bagi saya tetap saja tidak ada jawabannya.

Beginilah kiranya kehidupan ini, pasar ini bisa dikatakan sebagai miniatur kecil dari kehidupan yang sesungguhnya. Ada penjual, ada pembeli, ada peminta-minta yang memang kentara meminta-mintanya, ada pula yang memakai songkok sembari membawa kotak amal, begitu bunyi tulisan yang saya baca di muka kotak yang ia bawa. Mencari penghidupan dengan segala cara.

Entah apa yang saya cari, saya tidak sedang mencari apa pun di pasar ini. Selain dari pada menenangkan hati dengan berjalan kaki di sore hari di tengah-tengah keramaian dan hiruk pikuk manusia-manusia yang mencari penghidupan.

Lelah berjalan, kami pun berhenti sejenak. Tidak duduk, karena memang tidak ada bangku yang dapat dijadikan tempat untuk duduk. Hanya berdiri, ya kami berdua hanya berdiri, sembari melihat-lihat ke sana- ke mari, mengamati penjual dan pembeli yang melakukan transaksi di tengah-tengah ketergesaan karena penjual ingin segera mengemasi barang dagangan, menutup toko lalu angkat kaki kemudian pulang. Sementara itu, pembeli memanfaatkan situasi agar si pedagang kehilangan konsentrasi hingga membuat si pedagang rela melepas barang dagangan dengan harga yang murah lagi meriah.

Yah beginilah pasar, Rasulullah sarankan, ”Pergilah ke pasar paling akhir dan pulanglah paling awal”, banyak kemudharatan yang ditawarkan oleh sebuah tempat yang orang Indonesia sebut dengan nama ”pasar”. Bagi wanita, bila tidak mampu menahan nafsunya, maka berjam-jam bisa ia habiskan hanya untuk berputar-putar di sebuah tempat yang bernama pasar, menyedihkan bukan?

Kisah perjalanan kali ini dirasa begitu panjang, semakin lama, kisah yang saya tuliskan semakin panjang saja agaknya.

Kisah pun berlanjut.

Djawanisasi lewat batik


-Bagian ketiga-

Selama memutari pasar sembari menunggu waktu maghrib menjelang, pandangan mata ini melayang kemana saja ia suka, mengamati dan memperhatikan. Batik, ya hampir saya temukan corak batik disemua toko yang menjajakan pakaian.

Batik merupakan kain khas dari daerah Jawa. Siapa mula yang menemukannya? Saya belum tahu karena memang belum lah sempat untuk mencari tahu, tapi suatu waktu akan saya cari siapa yang pertama kali mempopulerkan kain itu.

Batik alih fungsi, ’oh sungguh kreatif anak negeri ini’ begitu kata hati. Apa iya hati dapat berkata-kata? Ah tidak usah dipikirkan, tidak penting agaknya.

Terlintas di kepala, ’djawanisasi’ masal. Ya beberapa waktu yang lalu seorang teman saya yang bersekolah di sebuah Institut ternama berkata ”Saya mau mempopulerkan batik di kampus saya mbak”, saya tertawa ketika mendengarnya pada awalnya. Dan ketika saya menjumpainya beberapa waktu kemudian setelah perjumpaan pertama, dia berkata ”Di kampus sekarang banyak mbak yang ikutan pakai batik” dia berkata sembari tersenyum pada saya.

Hmm, tidak dinyana, beberapa bulan kemudian, kain batik sudah berada di mana-mana, menjadi salah satu trend anak muda, khususnya kaum wanita, dan bila mengingat apa yang teman saya katakan beberapa bulan yang lalu, saya berkata ”Tidak hanya institutnya yang berhasil di-’djawanisasi’, tapi nampaknya lambat laun Nusantara ini mengalami apa yang namanya ’djawanisasi’ melalui kain bercorak indah yang berasal dari Jawa, ’kain batik’.

Seperti latah saja, hal yang saya amati adalah ketika seorang wanita kedapatan mengenakan pakaian yang menyenangkan bila dipandang mata, maka wanita-wanita yang lain, berbondong-bondong membeli kemudian mengenakannya. Ya seperti batik ini.

Hari semakin senja, para pedagang sudah mulai mengemasi barang-barangnya, mobil-mobil pedagang sudah mulai melenggang, meninggalkan areal parkir pusat perbelanjaan. Beginilah kehidupan, saya hanya memperhatikan sembari berkacak pinggang, teringat akan perkataan mbak Elia ”De’ zaman sudah merdeka, jangan bertolak pinggang”, begitu ia katakan pada saya.

”Susah juga jadi pedagang ya, pagi-pagi ngeluarin barang-barang, sorenya dimasukin lagi. Apa gak bosen ya?” begitu ujar Mbak Elia pada saya tiba-tiba, ’Yah namanya juga mencari makan’ begitu kata hati saya, dan kembali ’seperti apa kiranya hati yang berkata-kata?’ Entahlah.

Kami pun meneruskan perjalanan, mencari tempat makan. Kembali berputar-putar, mencari tempat makan lesehan.

--to be continued--

Interupsi sebenarnya....

-bagian keempat-

Dapat!!!, ”Lesehan Haji Salim” begitu kalau tidak salah tulisan yang tertera pada spanduk yang terpampang.

Selesai memesan makanan, kami pun duduk memanjangkan kaki, kelelahan.

Si mamang sibuk dengan pekerjaannya, ada dua orang mamang di lesehan ini. Yang seorang sibuk memotong-motong dan entah apa yang di potong, sedang seorang sibuk bekerja di depan gerobagnya, dan ini yang menarik saya untuk kembali bertanya.

Saya pun menghampiri si mamang yang usianya mungkin tidak jauh berbeda dengan saya. ”Mbak, ada pembunuhan berencana, pembunuhan masal” ya saya katakan itu karena ternyata si mamang sedang memukul kepala ikan lele kemudian membedah tubuhnya untuk dikeluarkan isinya. Si mamang hanya tertawa.

Lalu, saya mulai bertanya si mamang berasal dari mana, sudah berapa lama bekerja di ’Lesehan Haji Salim’ ini. Hmm ternyata si mamang sudah 2 tahun bekerja di lesehan ini, kakeknya berasal dari Jawa Tengah. Tapi si mamang, lahir dan besar di sini. Saya katakan padanya, bahwa dia berbeda dari orang Jawa kebanyakan, karena si mamang tidak berkulit hitam tidak juga sawo matang melainkan putih seperti orang keturunan, berarti si mamang keluar dari jalur kejawaan, si mamang pun tertawa.

Oh iya ada yang terlupa, setelah usut punya usut, ternyata Haji Salim itu adalah nama kakek dari si mamang ”Berarti, mamang ini generasi ketiga dong” begitu ujar saya padanya. Dan kembali, si mamang tertawa. Jadi, tertawa saja rupanya kerja si mamang.....

Pesanan selesai, adzan maghrib berkumandang, Alhamdulillah diberikan rezeki untuk berbuka di luaran.

Interupsi selesai, harus segera menunaikan sholat maghrib nampaknya.

Makan pun disegerakan namun tidak dalam ketergesaan, kami pun menyegerakan membayar apa yang kami makan. Sebelum pergi, Mbak Elia berkata ”De’ marahin abangnya, masak sudah jam segini belum sholat maghrib”, ”Iya mbak, ntar saya bilang sama mamangnya” begitu jawab saya.

Selesai membayar, saya pun menunaikan apa yang sudah kepala saya ini niatkan ”Mamang kok gak sholat, kan sudah maghrib?” begitu kata saya tiba-tiba.

Mamang tersenyum sembari memberi alasan ”Gak ada yang jaga mbak” begitu katanya, ’Ah alasan saja pikir saya kala itu, sebenarnya mereka berdua bisa saja sholat bergiliran’, tapi yah sudahlah. ”Makasih mang” kami pun beranjak pergi, lamat-lamat terdengar si mamang berkata ”Doain kita aja mbak”, hmm si mamang aneh, mana bisa doa dititip-titip.

Beginilah kehidupan, beginilah manusia, nampak lupa bahwa yang memberikan udara adalah Rabb nya. Sejatinya, mencari rezeki, mencari ilmu hanyalah sekedar interupsi.

Sholat tak kan makan waktu berjam-jam, dari 24 jam, Allah hanya mintakan kita tunaikan kewajiban. ’Hah kewajiban?!, Sholat bagi sebagian manusia merupakan kewajiban, bukan kebutuhan’. Menjadi sebuah rutinitas yang menurut sebagian orang menjemukan.

Beginilah kiranya manusia, manakala berada di tengah laut dalam keadaan susah, ia berkata, memohon, memuji Rabb nya, meminta diselamatkan nyawanya. Ketika Allah selamatkan ia, ia terlupa untuk berkata ”Alhamdulillah Allah selamatkan saya”, tak lain ia melenggangkan pinggulnya, melangkahkan kakinya, sembari tersenyum gembira, ’Hah, manusia itu menjadi lupa’.

Interupsi yang sebenarnya dari sebuah kehidupan.

Carilah rezeki sebanyak yang kamu mau, carilah ilmu setinggi yang kamu mampu, berjalanlah di muka bumi ke mana pun, di mana pun yang kamu suka, itulah interupsi yang sebenarnya, karena sejatinya bukanlah sholat yang menjadi interupsi dalam persidangan kehidupan ini melainkan sebaliknya.

-bersambung-

Mushola nyempil, se-iprit

-bagian kelima-

Menyebrangi jalan raya dengan saya sebagai tameng yang menghadang kendaraan yang lalu-lalang, ya mbak Elia tidak berani menyebrangi jalan raya yang besar lagi ramai. Kami memutuskan untuk menyegerakan menunaikan sholat maghrib agar tidak terlewatkan. Tadinya, Mbak Elia berkata ”De kenapa ndak di rumah saja sholatnya?”, ”Nggak ah mbak, kalau saya keburu mati sebelum sholat maghrib gimana?” begitu jawab saya padanya.

Akhirnya, sampailah kami di salah satu pusat perbelanjaan yang ada, masih ramai dengan muda-mudi, remaja putra, remaja putri, ibu-ibu dan anak-anak balitanya. Nampak si ibu sibuk sendiri, ingin membelikan anaknya atau sebenarnya si ibu malah mencari pernak-pernik untuk mempercantik dirinya?! Entahlah dan apakah muda-mudi itu sudah menunaikan kewajibannya pada Sang Maha ?! Entahlah, entahlah dan entahlah (halah, entahlah-entahlah melulu).

Berputar-putar mencari dimana musholla diletakkan pada awal bangunan ini didirikan. Saya agak sedikit lupa, tapi Mbak Elia ternyata lebih mengenal tempat ini dibandingkan saya. Tidak begitu melelahkan, karena di tempat ini tidak ada tangga, hanya saja jalan-jalan yang menghubungkan antara lantai yang satu dengan yang lainnya dibuat agak sedikit menanjak, kira-kira 30o derajat sudut kemiringannya.

Akhirnya sampai juga di musholla, saya tidak tahu musholla ini diletakkan di lantai berapa. Ya karena saya memang tidak menghitung berapa jumlah lantainya. Musholla yang tidak begitu besar, pada shaf lelaki hanya bisa mencapai 3 shaf saja, sedangkan pada shaf wanita, hanya bisa mencapai 2 shaf dan itu pun bisa buat ini kepala bertemu dengan kaki jamaah yang berada di depan saya.

Heran, ya saya heran, hampir di setiap tempat umum yang saya temui, musholla-musholla yang disediakan, begitu kecil, ’nyempil, se-iprit, pelit’, kadang tempat untuk mengambil wudhunya pun tidak dipisahkan, tapi tidak di tempat ini. Ada lagi, ini ketiga kalinya saya sholat di pusat perbelanjaan yang mushollanya dekat dengan tempat parkir kendaraan.

Kadang, sholat menjadi tidak nyaman, seperti ketika saya berada di Landmark Braga. Tempat sholat di mana orang bebas berlalu lalang sesukanya, tidak khusyuk jadinya.

Padahal di Indonesia, ummat muslim merupakan mayoritas alias dengan jumlah terbesar di negara yang berpenduduk sudah lebih dari 200.000.000. Tapi, mau sholat saja fasilitas terkesan seadanya ’dari pada nggak ada’.

Berwudhu sedikit terasa nyaman, musholla ini berada di lantai teratas bersebelahan dengan tempat parkir, hanya dipisahkan oleh kaca yang transparan. Hmmmh, agak was-was karena tempat wudhu tidak terlindungi alias tidak dipasangi pintu, bersyukur hari sudah gelap, jadi dari luar insya Allah tidak begitu jelas melihat ke dalam.

Sholat pun ditunaikan, masbuk Alhamdulillah masih terkejar dan selesai. Kami pun memutuskan untuk pulang, selesai sudah pelajaran dari MK kehidupan kali ini, dengan 4 SKS yang dipadatkan menjadi satu hari. Kalau sekiranya mengamati dan mau mempelajari hingga memahami, maka beruntung lah diri, tidak sia-sia hari ini. Tapi, bila semua yang terjadi hanya berlalu seperti angin lalu, maka ’sungguh betapa merugi diri ini’.

Pasti kamu bingung, yah Alhamdulillah kalau kamu bingung. Setidaknya, kepala mu masih mau berpikir.

Kalau sekiranya kamu mengerti dengan apa yang saya tuliskan ini, ’bravo’ akhirnya ada juga yang mampu membaca tulisan yang kadang terkesan acak-acakan dan asal comot sana, comot sini untuk urusan kata-kata.

---end---