Pages

Friday, June 1, 2012

Cerita tentang Hilangnya komputer di Kampusku

Ruangan ini sepi dari hampir 15 komputer desktop yang ada, hanya saya dan wanita itu yang berada di ruang laboratorium komputer ini. Wanita yang hilir mudik, kemudian dengan suaranya yang nyaring dia mulai mengganggu konsentrasi ku dalam merangkai kata dan membuai alam pikiranku dengan imajinasi semu.

Hampir menjadi benar-benar sepi, sebelum lelaki yang tergesa-gesa itu datang dan hilir mudik tidak jelas sembari berkata "astaghfirullah kenapa sih ini?" pertanyaan retorika yang dia lontarkan untuk dirinya sendiri. Pertanyaan yang keluar dari alat bicaranya, sebagai imbas dari tidak bekerja dengan baiknya USB yang ia miliki. Dan kemudian dia pergi, entah kemana.

Hampir kembali menjadi sepi, sampai ketika lelaki yang berkaos biru itu duduk tepat di sebelahku. Menyalakan CPU komputer untuk kemudian sibuk dengan handphone selularnya. Kembali teringat dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh seseorang dan saya lupa siapa. Si empunya pernyataan berkata "manusia zaman sekarang, lebih bisa ketinggalan, kehilangan dompet. Daripada kehilangan Handphonenya, Laptopnya". Lihat bagaimana manusia sudah hampir menjadi -cyborg-. Dan bahkan aku sendiri terkadang begitu sibuk dengan aktifitas membaca dan membalas bbm yang diterima oleh BB ku.
===========================================

"Negative, negative signal, bad that's bad" begitu ujar dosen MK Medan Elektromagnetku Rudy Wicaksana. 
Dosen muda baru menyelesaikan S3 nya di luar negeri -itu katanya, kata si dosen muda. Entah kapan tepatnya pak dosen muda datang, yang jelas dia sudah menambah penghuni ruangan komputer ini, menjadi 3 orang termasuk aku.

Hey, perkenalkan namaku budiman, nama yang lumayan tua dan terkesan kuno menurutku. Ketika orang-orang lain yang seumuran dengan ku bernama Akbar, Rizky, atau nama-nama keren lainnya, entah kenapa kedua orang tuaku menamai dengan "budiman". Dan ketika aku bertanya kepada ibuku tentang alasannya,
ibuku berkata "si mbok karo bapakmu, berharap sampean dadi wong sing berbudi, budiman le" 

Atau di saat yang lain ketika aku bertanya kepada mbahku, orang tua dari ibuku, mbah berkata "....wes to ngger, mbokmu bener iku, nama itu doa lho, bocah sekarang didoaken kok ya gak gelem tho........" begitu jawaban mbah putriku saat itu
.
Dan ketika aku sudah beranjak dewasa, datang, kemudian menginjak, lalu duduk di bangku kuliah, aku putuskan rantai pertanyaan tentang "mengapa aku bernama budiman" hanya budiman saja tanpa ada embel-embel lainnya.

Tubuhku? tidak kurus tidak juga gemuk, tapi mbah selalu berkata "mangan sing okeh lho ngger, ben lemu". 

Kulitku? khas anak Indonesia yang berasal dari pulau Jawa, Jawa tengah, Solo tepatnya, lebih ke dalam lagi Karang anyar, dari sana tempatku berasal. Daerah dingin, tetapi jangan berpikiran udara dingin bisa membuat putih kulitku, justru sebaliknya, kulitku hitam, 'hitam manis' begitu kata ibuku. Tapi menurutku kata 'manis' ada demi menyamarkan kata 'hitam' di depannya. 

Dan ketika aku menceritakan itu kepada ibuku 
"hahahahaha, le le koe iki ada-ada saja lho, wes opo sing dikasih sama Gusti Allah, mbok ya disyukuri lho, sing penting waras" itulah ibuku, di dalam ingatanku ibu selalu berkata syukuri.
======================================================

Siang pukul 13.00 kampus negeri di bumi parahiyangan, suhu di sini tidak jauh berbeda dengan daerah tempat aku berasal, dingin.

"Bud, Dud" seseorang memanggilku lirih dari arah belakang
"Oh kamu Den, kenapa?" tanyaku
"Ngapain lo Bud? udah makan siang belom, cari makan yuk?" begitu ujar Deny

Deny alfan teman satu angkatanku, aseli produk bumi parahiyangan tepatnya Garut, mengenai seperti apa fisiknya, ya dengan sangat menyesal aku jelaskan, dia putih, tidak gemuk tidak juga kurus, untuk tinggi badan, mungkin hanya berbeda 2 atau 3 cm dari ku yang 169 cm, cukup tinggi bukan? ya kalau bukan kita yang membanggakan diri sendiri, lalu siapa lagi.

Singkat kata aku pergi bersama Deny mencari pengisi perut untuk siang hari ini dan sebagai mahasiswa pria yang dibatasi uang jajan oleh orang tua dengan alasan -lelaki-, maka -ngirit- sudah menjadi moto kami berdua sehari-hari, dan WARTEG sudah menjadi pilihan kami. Dan lama kelamaan si pemilik warung tegal itu, bu Darmi, lama-lama mengenali wajah dan namaku, Deny serta Timo, Timo Manurung teman dekat ku yang lain. Dan dari namanya, semua bisa tahu bahwa dia berasal dari Sumatera utara.

"Timo mana Den? tumben gak keliatan?" tanya ku
"Timo ngges di warteg Bud, nungguin kita" begitu ujar Deny

Jarak antara kampus dengan warteg tak begitu jauh hanya sekitar 10 sampai 15 meter kira-kira.

Tiba di warteg aku melihat timo sudah duduk dengan sepiring penuh makanan.

Timo berubuh tambun dengan berat badan sekitar 87 Kg sedang tingginya 170 berambut ikal, berkulit hitam dan aku mengucap syukur seperti yang ibuku selalu ajarkan, bahwasannya ada yang lebih hitam daripada aku.

"Udah lama lo 'Mo" begitu ujar aku dan deny
"enggak, baru sampe kok. Laper, lalu awak sms Deny. Sms ke no hp kau tak kau balas-balas Bud" Timo merajuk, dengan pipinya yang gendut.
"Sorry jek, tadi lagi sibuk surfing and browsing cari-cari bahan buat tugas MK nya Pak Dito" begitu ujarku
"Aah iya, awak lupa itu, deadlinenya kapan Bud" tanya Timo
"Masih ada dua hari lagi 'Mo. Nah lo udah Den?" tanya ku
"Hmh gue?" ujar deny sembari sibuk dengan smartphonenya
"Ya iya lo, memangnya gue nanya sama sapa tho?" ujarku gusar
"Loe lama-lama jadi autis Den, disorder, ngapain sih dari tadi gue liat loe sibuk ketak-ketik itu handphone" tambahku
"Ini lagi bales bbm bro. Tugas ya? belon, gua tar malem aja dah. Sekarang makan dulu" ujar Deny

Aku, Deny dan Timo sedang duduk di sebuah bangku panjang. Tepat di depan kami sebuah etalase yang terbuat dari kaca. Memisahkan kami bertiga dengan lauk pauk dan sayur mayur made in Ibu Darmi, yang selalu menjadi penyelamat bagi sistem pencernaan kami bertiga. Sedang asik tenggelam dalam gumaman masing-masing tentang apa yang akan kami siang ini. Tiba-tiba suara seorang wanita paruh baya, suara yang kental dengan logat khas Jawanya, menyapa kami bertiga.

"Jadi trio budet, mau makan apa hari ini?" ujar bu Darmi di tengah-tengah percakapan kami
"Aduh bu Darmi, jangan itu kami bertiga dipanggil budet" Timo memulai protesnya seperti biasa, dengan logat batak kentalnya
"Tanti ada sodara serumpun awak yang dengar, bisa jadi bodat itu budet, malu awak" begitu ujar Timo
Aku dan Deny hanya tertawa

Sejak awal ketika pertama kali bu Darmi memperkenalkan istilah -trio budet- itu, aku tak mengerti mengapa timo memprotes pikiran kreatif ibu Darmi mengenai istilah itu. Tetapi setelah Timo berkata
"kalau dipelesetkan jadi bodat, artinya monyet" begitu ujar timo saat itu sembari mengunyah kepingan-kepingan keripik kentang di dalam mulutnya. Dan kami sendiri tidak tahu sejak kapan Bu Darmi menggunakan singkatan 'BUDET' itu untuk memanggil kami bertiga.

"Ya sok atuh, sekarang acep-acep nu kasep mau makan apa?" begitu ujar bu Darmi ramah
"biasa bu, kalo saya nasi rames pake semur jengkol ya bu" begitu ujar Deny
"Den, kamu gak bosen ya sama itu semur, gua aja dengernya bosen plus gak tahan sama bau mulut lo itu Den" protesku
"Duh, gimana ya Bud, itu makanan kegemaran hahahahha" begitu balas Deny
"kalau saya nasi rames pake ikan ya bu" ujarku
"kalau aku nasi rames pake sambal yang banyak ya bu Darmi, jangan lupa" ujar timo

Kalau deny tidak bisa lepas dari jengkolnya, lain lagi dengan Timo, penduduk Indonesia yang berasal dari Sumatera ini tidak pernah bisa lepas dari yang namanya sambal.  Belakangan, hobi timo pada sambal berguna juga pada akhirnya, atau justru menjadi petaka bagi kami bertiga.

Tak berapa lama, bu Darmi datang dengan pesanan kami dan seperti biasa tanpa banyak bicara kami menghabiskan makan siang kami kali ini dengan damainya. Kami bertiga berbeda namun ada satu hal yang sama yaitu kebiasaan kami yang tidak banyak bicara ketika makanan sedang berada di dalam mulut, alat bicara.

Selesai makan, membayar, kami pun pergi meninggalkan warteg bu Darmi, bergegas pergi karena tepat pukul 13.45 pak Tatang yang juga ketua jurusan kami, akan masuk mengajarkan MK Optik.

Semester 6, kami sudah memiliki dua adik tingkat di bawah kami. Sudah mengenal beberapa karakter dosen yang mengajar, beberapa ada yang kami suka beberapa? kami cukup sering dibuat kesal karenanya. Karena tugas-tugas yang diberikan luar biasa banyak, karena disiplin yang ketat, dan untuk semester ini aku harus berhadapan dengan pak Rudy, pak Dito, pak Tatang, dan beberapa dosen lainnya.

"Gila bud, tugas dari pak Dito banyak kali, bisa mati bediri awak" begitu ujar Timo sembari berbisik
Aku hanya diam sembari memandang ke arah slide-slide bahan perkuliahan yang sedang dijelaskan oleh pak Tatang

"Ya ntar malem kita kerjain aja di lab-komputer" ujar ku sembari berbisik
"ho oh, seperti biasa sambil main game hihihihi" sambung Deny

Dan kami bertiga pun kembali tenggelam dalam kuliah Optik milik pakTatang.

====================================================================
"Bekal buat begadang semalem suntuk udah ada Den?" ujarku
"Sip lah itu, gua sudah beli kopi instant" ujar Deny
"Aku sudah beli makanan hehehe" tambah timo sembari cengar-cengir tidak jelas

Menjelang pukul 18.00, suara azan maghrib mulai berkumandang, aku dan Deny membiarkan timo sendirian di ruang laboratorium sembari sibuk dengan acara surfing dan browsing-nya sementara kami berdua pergi ke masjid untuk sholat maghrib.

"Kita tinggal bentar ya 'Mo" ujar ku
"Ya, ya, sholat yang bener kalian berdua" ujar timo

Selesai sholat maghrib, aku dan Deny membeli nasi bungkus untuk kami bertiga. Sedang asyik bercakap-cakap sembari berjalan menuju lab-komputer, aku dan Deny berpapasan dengan pak Nanang, office boy jurusan kami yang pekerjaannya kadang merangkap tukang potong rumput, bersih-bersih ruang kuliah yang terdiri dari 3 lantai dengan 14 ruangan, ditambah lagi harus membuatkan minum untuk semua dosen yang bertugas di gedung ini, maka kami bertiga menjuluki pak Nanang dengan sebutan "lelaki rumah tangga". Usianya yang sudah mulai lanjut, aku taksir sekitar 55 tahun lebih atau mungkin 60, dibebani dengan segunung pekerjaan setiap harinya, tidak pernah membuat senyum itu hilang dari wajahnya.

"Baru pulang pak?" begitu ujar ku
Seakan terkejut melihat kami berdua, pak nanang sembari terbata-bata berkata
"Oh eh iya, mas Budi sama mas Deny mau begadang lagi ya di Laboratorium?" tanya pak Nanang
dan belum sempat kami menjawab
"Saya duluan ya mas, permisi" begitu tambahnya

Ada yang aneh dari pemandangan kali ini, aku dan deny hanya bisa saling menatap sembari berkata "aneh", kemudian kembali berjalan menuju laboratorium komputer tempat kami meninggalkan Timo di sana.

"Sudah kembali kalian, mana itu nasi bungkus awak. Sudah laparnya ini awak punya perut" ujar Timo
Tanpa banyak bicara, tanpa memikirkan lebih panjang tentang keanehan yang aku dan Deny temukan tadi,  kami bertiga segera melahap makan malam yang sudah mulai dingin itu.

Tidak sulit bagi kami bertiga untuk berada di laboratorium ini sampai pagi, karena memang aku dan Deny diberikan kepercayaan untuk mengelola laboratorium jurusan ini.

Sedang asik melahap makanan dalam diam, tiba-tiba terdengar suara berisik dari luar. kami bertiga saling berpandangan

"Pssttt, ada yang denger gak?" begitu ujarku
"Betul bud, sepertinya itu suara berasal dari ruangan dosen" ujar timo
"Wah, seru ini, ada setan" begitu ujar deny
"Gila kau den, ini bukan setan, tebakkan awak, ini pasti maling" begitu sanggah timo

Kami bertiga kembali berpandangan, sembari membereskan bekas makan kami dalam diam, suara itu masih terdengar, sampai tak berapa lama kemudian, hilang.

"Eh, udah gak ada lagi suaranya Bud" ujar Deny
"Iya ya, apa kita salah dengar mungkin ya? atau itu pak Nanang ya?" ujarku
"He, pak nanang, ada perkara apa pak Nanang jam segini masih di jurusan. Aneh" begitu ujar timo

Ya, aku pun merasakan hal yang aneh, tetapi kami bertiga hanya menganggap angin lalu apa yang kami dengar malam itu. Kembali berkutat dengan tugas-tugas pak Dito, kembali sibuk dengan urusan surfing dan browsing, tanpa curiga dengan apa yang terjadi sebelumnya. Dan betapa bodohnya kami bertiga, karena tidak segera memeriksa darimana arah datangnya suara, sampai keesokan harinya
=======================================

Selasa pkl 9 pagi, handphone ku berdering. Dengan malas aku meraih hp ku dan begitu tiba-tiba, si penelpon mencecarku dengan berbagai macam pertanyaan
"Bud, lo dimana? Ngampus gak? semalem lo darimana bud? Ngapain? dicari sama pak Tatang" ujar si penelpon di pukul 9 pagi
antara sadar dan tidak sadar aku berkata
"Ya biarin aja pak Tatang nyariin gua" begitu ujarku
kemudian
"Bud halo Bud, ini gua Deny, ini serius Bud" suara yang lain lagi dan kali ini aku begitu mengenalnya, suara Deny
"Kenapa Den?" jawabku
"Gila Bud, gawat, itu komputer di ruang dosen, hilang Bud" ujar deny
"hah, hilang? trus apa hubungannya sama gua Den?" tanyaku masih tak mengerti
"Aduh masya Allah Bud, bukan cuma hubungan sama lo doang, tapi sama gua dan Timo juga. Udah lo ke kampus aja dulu, nanti gua ceritain" begitu ujar Deny

Tanpa ba bi bu, aku segera menuju ke kamar mandi, biasanya kalau pagi-pagi selalu terjadi antrian di depan pintu kamar mandi ini, karena satu kamar mandi bisa dipakai oleh 3 sampai 4 orang. Tetapi, karena sebagian penghuni kosan sudah berangkat ke kampus, maka aku tidak perlu membuang waktu ku di depan pintu kamar mandi di pukul 9.30 pagi ini.
===========================================

Ada untungnya memiliki kosan yang tidak berada jauh dari kampus, bisa ditempuh dengan berjalan kaki, itu lah kenapa aku menolak ketika ibuku 'ah aku jadi rindu mbok' menawarkan aku untuk membawa salah satu motor yang ada di rumahku, di Solo.
"Gak usah mbok, nanti nambahi polusi" begitu ujarku saat itu
"Lagian, uang bensinnya kan lumayan mbok" tambahku
Ibuku hanya tersenyum saat itu
"yo wes kalo ndak mau, tapi si mbok sudah nawari kamu lho le'" ujarnya
"Inggih mbok, mboten nopo-nopo" jawabku
===========================================

Sesampainya di kampus, belum sempat aku menarik nafas, Deny dan Timo langsung mendatangi aku
"Sini Bud, kita ngobrol di lab aja" begitu ujar Deny
Aku langsung mengiyakan tanpa banyak bicara, melihat wajah mereka berdua aku semakin sadar bahwa apa yang akan mereka sampaikan adalah hal yang serius

"Gila kau Bud, dari jam delapan awak telepon kau, tapi tiada diangkat juga. Macam kerbau saja kau tidur" protes Timo
"Sorry 'Mo, gua ngantuk berat, kita kan pulangnya jam 3 pagi dari lab" begitu ujarku
"Sudah nanti aja protesnya 'Mo, sekarang yang lebih penting aja" ujar Deny menengahi
"Gini Bud, lo masih inget kan suara berisik yang kita denger tadi malem?" tanya Deny
"Iya, terus?" ujarku masih tak mengerti
"Itu Bud, tadi pagi pak Dito panggil gua sama Timo. Kata pak Dito, komputer di ruangan dosen hilang bud, 2 unit" tambah deny

Aku terdiam, terkejut, bodohnya aku, pikirku. Seharusnya tadi malam kami datangi suara berisik yang terjadi tadi malam.

"Terus pak Dito bilang apa?" tanya ku
"Kamu disuruh temui pak Dito Bud, tadi beliau tanya kunci lab sama gua. Ya gua bilang aja, lo yang pegang" tambah Deny
"pak Dito bicara, dia sudah tanya pak Nanang Bud, dan kata itu bapak, yang terakhir kali di jurusan itu, kita bertiga" begitu tambah Timo
"Sepertinya, kita bertiga jadi tersangka" tambah Timo
"wah keren ya 'Mo, seperti di tipi-tipi, jadi tersangka hahahah" ujar Deny sembari tertawa
"Gila kau Den, awak tidak terima dijadikan tersangka, dalam sejarah keluarga awak, tidak ada itu yang punya catatan kriminal" protes Timo
"Nah itu dia 'Mo, lo jadi yang pertama" begitu balas Deny masih sembari tertawa

Aku biarkan mereka berdua saling bersahut-sahutan, aku biarkan Timo dalam kegelisahannya, dan Deny dalam keinginannya menjadi tersangka sebagai imbas dari obsesinya untuk jadi terkenal dengan cara yang benar belum juga tercapai.

"Gua ke ruang pak Dito dulu ya. Kalian berdua masih mau nunggu di sini atau balik?" tanyaku
"kita bedua tunggu kau di sini sajalah, tidak ada kuliah, lebih baik awak di sini sambil pikir-pikir kenapa itu komputer bisa hilang" ujar Timo
"yo i Bud, kita berdua mau siapkan pidato kalau-kalau nanti kita masuk koran kampus hahaha, karena dituduh mencuri" begitu ujar Deny, masih dalam tawa

Aku tinggalkan ruang komputer itu dalam keadaan tertutup, sepanjang jalan menuju ruangan pak dito aku terus menerus mengingat kejadian semalam. Mulai dari perjumpaan dengan pak Nanang di lobi jurusan, dengan tatapan wajah yang tergesa-gesa dan sedikit ketakukan, begitu yang nampak dari wajah pak nanang saat itu. Tetapi aku masih belum dapat menarik kesimpulan dari apa yang terjadi semalam. Pikiranku terus silang lintang, mencari-cari kemungkinan-kemungkinan tentang siapa pencuri komputer jurusan tadi malam. Sesekali penyesalan itu datang, sesal tentang mengapa aku dan kedua orang temanku tidak punya inistiatif untuk mendatangi sumber suara saat itu.

Tiba di depan ruangan pak Dito, perasaanku campur aduk, antara rasa khawatir di-drop out dari kampus sampai bayangan akan wajah si mbok yang kecewa bahwa nama anaknya tidak sebudiman kelakuannya. Ah, aku tidak mau berpikiran sejauh itu.

"tok tok" aku ketuk pintu ruangan sekretaris jurusan pak dito
"ya masuk" ujarnya dari dalam
Suara yang begitu aku kenal, karena pan Dito adalah pembimbing untuk kelompok konsentrasi yang aku ketuai saat ini. Dengan perasaan gugup aku pegang gagang pintu ruangan itu. Begitu pintu terbuka, nampak sesosok lelaki yang kami panggil dengan sebutan pak Dito. Berperawakan sedang, tidak gemuk, tidak juga kurus.

"silahkan duduk 'Man" begitu ujar pak Dito yang saat itu sedang sibuk membuka laci lemari. Entah apa yang sedang beliau cari saat itu.

Kemudian,

"kamu tahu untuk alasan apa bapak panggil kamu ke ruangan?" tanya pak Dito
"iya, sepertinya saya tahu pak. Tentang 2 unit komputer yang hilang di ruangan dosen? benar begitu pak?" tanyaku

sembari duduk tepat di depanku, pak Dito berkata
"saya tahu, bukan kalian yang berada di balik ini semua. Tetapi, pada saat kejadian, menurut pak Nanang, yang terakhir berada di gedung ini, adalah kalian bertiga" ujar pak Dito
"Pak Dekan dan pak Rektor sudah mendengar tentang kejadian ini. Dan mereka meminta saya untuk menyelidiki kemungkinan bahwa pencurian itu dilakukan oleh orang dalam" tambahnya

Entah sudah berapa lama aku duduk di ruangan ini, aku tak begitu mendengar lagi apa yang pak Dito katakan, yang terdengar dan begitu membekas ketika pak Dito berkata tentang kenyataan bahwa hanya tinggal aku, timo, dan deny di jurusan pada saat itu. Kemudian tentang kemungkinan dikeluarkan dari kampus secara tidak hormat apabila terbukti mencuri. Alam pikiranku mencoba mencerna apa yang ingin disampaikan oleh pak Dito, tetapi yang dapat aku pikirkan hanya -drop out dan penjara-. Lamunan ku terhenti ketika pak Dito menyapaku

"Man, man, Budiman" begitu panggil pak Dito
"oh eh iya pak" jawabku
"kamu melamun?" tanya pak Dito
"bukan pak, saya cuma......, itu pak, ummm penjara sama drop out itu....." jawabku tanpa meneruskan karena pak Dito memotong pembicaraanku
"tidak perlu panik man, saya sudah sampaikan bahwa saya tahu pasti, bukan kalian yang melakukannya. Tapi, saya minta selama 1 minggu ini, kalian bertiga tidak mengikuti perkuliahan terlebih dahulu. Kita anggap kalian di-skors. Dan saya sudah menyampaikan hal ini kepada semua dosen pengasuh MK yang kalian ambil" ujar pak Dito

Tanpa banyak berkata, aku hanya menjawab "baik pak, tapi pak, kunci laboratorium ini bagaimana pak? "
"Oh, kamu gantungkan saja di situ" ujar pak dito sembari menunjuk dinding tempat semua kunci-kunci ruangan yang ada di jurusan ini berada.
"Baiklah, saya masih ada agenda di luar, saya tinggal dulu ya" ujar pak Dito
"iya pak, saya juga permisi, assalammu'alaikum" jawabku
"wa'alaikumsalam" balas pak Dito

Meninggalkan ruangan pak Dito, begitu tiba di luar, Deny dan Timo langsung mencecarku. Kami bertiga mendapatkan keputusan yang sama 1 minggu di-skors dari perkuliahan. Dalam kekalutan, kami memutuskan untuk meneruskan pembicaraan ini di warteg bu Darmi
"sudah, sudah siang, kita makan dulu aja. Kamu juga belum sarapan kan Bud?" ujar Deny
"iya, gua belum sarapan. Makan dulu lah, biar jernih pikiran" jawabku
Timo hanya diam, sepanjang perjalanan sesekali kepalanya mendongak ke atas, entah apa yang dia pikirkan. Aku tak tahu. Aku dan Deny pun ikut terdiam, semua tenggelam ke dalam alam pikiran kami masing-masing.
=========================================

di Warteg Bu Darmi

"aku pesan biasa ya bu" ujar Timo
"saya juga bu" ujar Deny
"saya juga" tambahku
 tanpa banyak bicara, bu Darmi membuatkan pesanan kami bertiga. Beliau sepertinya tahu bahwa suasana hati kami sedang tidak enak saat ini.

"ini makannya, ada apa tho? kok yo tumben, diem semua, cerita sama ibu" begitu ujar Bu Darmi
kami bertiga saling memandang, kemudian Timo melihat sekeliling, seperti mengamati sesuatu, lalu sembari memberi isyarat pada Bu Darmi untuk mendekatkan diri ke arah Timo, Timo berbisik "komputer jurusan ilang 2 buah bu, tertuduhnya kami bertiga" begitu ujar timo

"Sekarang kami bertiga di-skors bu" ujar Deny
Bu Darmi tersenyum "ibu tau bukan kalian yang pelakunya, lalu, apa tindakan kalian selanjutnya?" tanya Bu Darmi
"yaaaa, kami tak kuliah 1 minggu bu" ujar Timo
"horeeeeeeeeeee, yes, gua bisa tidur 1 minggu di kosan" ujar Deny
"alamaaaaaaakk, Deny, kau ini, keadaan sudah segawat ini, masih saja kau bersenang-senang" ujar Timo

"kalau ibu boleh saran, ini cuma saran lho. Kalian buktikan kalau kalian bertiga itu bukan pelakunya" Begitu ujar bu Darmi yang kemudian pergi meninggalkan kami setelah mempersilahkan kami menyantap sarapan sekaligus makan siang kami.
==========================================

"aduh, berat mo. Elu sih, makan gak kira-kira, badan sebesar gajah......." Gerutu Deny
"psssttt, jangan berisik ujarku
"maaf Den, ya deh lain kali awak kurangi makan awak" balas timo dengan nada menyesal
"ayo Den, hitungan ketiga kita dorong Timo ke atas" begitu ujarku
"satu, dua tiiiiga" dengan sekuat tenaga aku dan deny mendorong Timo agar dapat memanjat dinding Laboratorium yang tingginya hampir 3 meter itu. Dan selamatlah timo mendarat di lantai 2 tersebut.

"lempar-lempar amunisi" ujar timo sembari berbisik
satu persatu kami lemparkan bungkusan hitam yang sudah kami bawa. Masing-masing bungkusan berisi kelereng, oli bekas, dan cairan yang dibawa Timo, yang dia minta dari Bu Darmi pagi ini. Omong-omong, setelah bu Darmi berkata "membuktikan bahwa kami bukan pelakunya", sepulang dari sana kami bertiga merencanakan hal ini, mengendap-endap masuk ke jurusan kami, untuk membuktikan bahwa kami tidak bersalah.

Kami bertiga pun sudah sampai di lantai 2, tempat laboratorium komputer berada. Laboratorium ini berada satu lantai di atas ruangan dosen, tempat dimana 2 unit komputer itu hilang.

"kunci lab mana bud?" ujar timo tiba-tiba
"duh, disita sama pak Dito 'mo. kenapa?" ujarku
"awak mau buang hajat bud, aduuuuuh" ujar timo
"allamaaaak, timo, kau, saat-saat begini malah hendak buang itu hajat. Di simpan sajalah, nanti kalau sudah matang baru diangkat" ujar deny sembari meniru logat deny
"aih, kau, kauuuu ini, kau kira ini makanan.........." belum sempat timo menyelesaikan protesnya, tiba-tiba suara berisik seperti kemarin, kembali terdengar.

sembari mengendap-endap kami menuju ke lantai 1, tempat di mana ruang dosen berada. Sesekali suara itu hilang, kemudian kembali terdengar. Kami bertiga menuju sumber suara, dan itu tepat berada di ruangan pak Dito, sekretaris jurusan.

"aih bud, dari ruangan pak Dito. Ada apa di sana bud?" ujar Deny
"sebentar, seingatku, ada beberapa unit komputer beserta monitor LCD baru yang belum terinstalasi, beberapa hari yang lalu, pak Dito pernah minta kita untuk instalkan, tapi gua belum cerita ke kalian, eh kita sudah jadi tersangka.........." ujarku
"eh, jangan-jangan malingnya mau 'ngegarap' itu komputer baru bud" ujar Deny

"mo, mo, plastik yang isinya oli mana mo?" ujarku sembari berbisik
timo memberikan 1 buah plastik yang berisi oli. Setelah memastikan bahwa plastik tersebut berisi Oli, aku pun segera membuka isi plastik tersebut kemudian menaburkannya tepat di depan pintu keluar masuk akses ke ruangan pak Dito.

kemudian sembari berbisik
"plastik yang isinya kelereng ditaburin juga mo, den, tapi pelan-pelan ya. kelerengnya disusun" begitu ujarku
setelah selesai dengan kedua bungkusan itu, kami bertiga bersembunyi di salah satu sudut, di luar ruangan pak Dito.

begitu pintu ruangan pak Dito terbuka, dalam gelap cahaya dan hanya diterangi cahaya bulan, kami bertiga melihat ada 2 orang yang tengah mengendap-endap keluar dari pintu ruangan pak Dito, yang seorang membawa CPU di kiri dan kanan, yang seorang lagi membawa 2 buat monitor LCD.

Kami bertiga menahan nafas ketika dua orang lelaki itu keluar, yang seorang bertubuh gempal, pendek, tambun, sedang yang seorang lagi berperawakan sedang. Dalam keadaan khusyuk masyuk menahan nafas perlahan, tiba-tiba, aku mencium bau tak sedap, lalu

"Gila! woy batak!! lo kentut ya" ujar Deny sembari berbisik
"maaf kawan, awak tak tahan, benar tak tahan" ujar timo
"psssst jangan berisik teman" ujarku sembari menahankan bau yang tak tertahan karena timo berada tepat di depanku

tiba-tiba

"gdubbbrakkkkkk"
kedua pencuri itu terjatuh, mereka berteriak tertahan karena kedua CPU dan LCD itu menimpa tangan dan tubuh mereka. Dan ketika yang seorang dari mereka mencoba berdiri, mereka terjatuh lagi.

Kami berdua masih terbengong-bengong dalam diam, hanya timo yang gelisah tak menentu menahankan perutnya yang sudah sakit tak tertahankan itu.

"Ayo Bud, itu yang maling sudah jatuh" ujar Deny
"Sabar Den, kita kan gak tau kalau mereka bawa senjata tajam atau enggak" ujarku
"Lo cari satpam den, biar gua sama Timo yang di sini" tambahku
"Lo yakin Bud? kalau mereka lari?" bisik Deny
"Gak mungkin lari Den, Paling gak CPU yang beratnya hampir 3 Kg yang menimpa mereka itu, menahan mereka untuk pergi jauh" ujarku

Deny pun segera pergi mencari pertolongan, hanya tersisa aku, timo, dan dua pencuri itu.

"Aneh ya  mo, sudah jatuh ketimpa CPU, itu dua maling gak ada suaranya" ujarku
"iya bud, lagi, kok bisa masuk ruangan pak Dito ya Bud, dari pintu depan pun. Bukan dari jendela, pasti malingnya punya kunci masuk sepertinya Bud" ujar Timo

Lambat laun, kedua pencuri itu mencoba berpegangan pada tiang pintu untuk berdiri. Lalu
"sial, perasaan tadi tidak ada benda yang licin di sini" ujar pencuri 1
"iya pak, tadi tidak ada apa-apa di sini" ujar pencuri 2
"sepertinya lengan saya terkilir pak" ujar pencuri 1
"iya pak, paha saya sepertinya memar hebat tertimpa CPU" ujar pencuri 2

aku dan timo tak dapat mengenali wajah kedua pencuri karena mereka menggunakan penutup kepala, tetapi
"Bud, perasaan awak kenal dengan suara salah satu pencurinya" ujar timo
"ah yang bener kamu mo? suara siapa mo" tanyaku
"entahlah bud, aku lupa, ummm siapa ya bud......." belum selesai timo menebak, tiba-tiba kedua pencuri itu dapat berdir, kemudian mulai mengangkat kembali barang hasil curian mereka.

"sudahlah pak, kita bawa masing-masing 1 saja, lengan saya sepertinya benar-benar terkilir" ujar pencuri 1
seperti mengiyakan dalam diam, pencuri 2 mengikuti saran pencuri 1. Aku dan timo saling berbisik mengapa Deny tak juga datang, sementara kedua pencuri itu sebentar lagi akan pergi.

Kemudian, tiba-tiba, timo mengambil 1 bungkusan yang tersisa dan ternyata di dalam 1 bungkus besar itu terdapat 3 kantung yang berisi air, sembari melihat ke arahnya "cabe 'mo?" tanyaku
"iya, tapi yang satu air cucian piring dari warteg bu Darmi" jawab timo sembari tersenyum
"Sebentar mo, gua cari kayu atau senjata atau apalah mo, mana tau mereka bawa senjata tajam. INget ya mo, kesempatan tembak cuma sekali. Jangan sampe kita terlihat 'mo, habis tembak, kita lari" ujarku

"siap Bud" ujar timo

setelah aku mendapatkan 1 buah kayu dan beberapa buah batu, lalu
"siap mo, cepet mo" ujarku terburu-buru karena kedua pencuri itu sudah mulai beranjak
"hitungan ketiga mo" ujarku
"satu, dua, tiga.........." aku dan timo pun melemparkan kantung-kantung cabe itu ke arah kepala kedua pencuri itu

"ahhhhhhh, air apa ini" teriak pencuri 1
"sial, kampret" ujar pencuri 2

aku dan timo langsung melemparkan batu-batu yang sudah kami kumpulkan tadi. Kami berdua bukan pahlawan seperti spiderman atau pahlawan super lainnya yang memiliki keberanian untuk membekuk dua kawanan pencuri tersebut. Kami berdua hanya dapat melawan dari jarak lebih kurang 4 meter, sembari menunggu Deny datang. Tapi, belum sempat deny datang membawa bala bantuan, kedua pencuri itu sudah pergi tanpa banyak bicara, meninggalkan jurusan tanpa membawa barang hasil curian mereka.

Selepas kedua pencuri itu pergi, Timo dan aku masih terdiam. Tiba-tiba, kami berdua mendengar langkah kaki seseorang, dari arah berlawan dengan arah larinya pencuri. Kami berdua saling berpandangan, sembari tersenyum timo menunjukkan 1 bungkusan sisa yang belum sempat digunakan,
"apa itu mo? cabe?" tanyaku
"bukan, sepertinya sih air cucian piring, baunya tak sedap, bukan bau cabe" ujar timo

Dan begitu sosok itu muncul dari balik dinding,
"Siapa disi.........." belum sempat menyelesaikan kalimatnya, timo sudah melemparkan air cucian piring itu ke arah sosok yang akhirnya aku dan timo tau siapa dia, Pak Rudy. Lampu lantai satu pun menyala, Deny datang dengan 4 orang satpam kampus. Aku dan Timo keluar dari tempat kami bersembunyi. Deny dan keempat satpam itu tidak melihat apa-apa selain sisa-sisa pergumulan aku dan timo dengan kedua pencuri itu, serta pak Rudy yang sudah basah tepat di wajah dan separuh bajunya, dengan air cucian.

"negative, negative" ujar pak Rudy sembari mengusap wajahnya dengan saputangan dari kantung celananya
"ada apa ini? saya dengar ribut-ribut dari lantai 3" ujar pak Rudy

"mana pencurinya?" ujar seorang satpam yang sepertinya kepala satpam di kampus ini
 "pencuri?" tanya pak Rudy
"Iya ada pencuri pak" ujar timo dengan wajah bersalah karena sudah melemparkan bungkusan terakhir itu ke arah pak Rudy
"sudah kabur pak" ujarku
"iya, kelamaan pak, pencurinya kabur. Tapi, barangnya gak sempet dibawa" tambah timo sembari menunjuk dua buah CPU dan LCD yang tergeletak di lantai. Entah masih dapat berfungsi atau tidak, mengingat keempat benda itu sempat terjatuh dari tangan kedua pencuri itu.

"Kacau sekali di sini, negative, so negative" ujar pak Rudy sembari meletakkan kedua tangannya di pinggang
Deny hanya terdiam, murung, seperti kecewa karena tak berhasil menangkap pencurinya.
"Yahh, sudah den, yang penting kita berhasil buktikan bahwa bukan kita pencurinya" ujarku
"hhhhhhhh, padahal gua kan mau ikut menyerang" ujar Deny

"ya sudah, baiklah. Tapi kalian bertiga bisa ikut ke kantor saya, saya perlu keterangan lengkap kalian tentang seperti apa kejadian dan mungkin ada dari kalian yang mengenal ciri-ciri pelaku" ujar kepala keamanan
"iya pak, iya, awak seperti mengenal salah seorang pelaku dari suaranya pak" ujar timo
lalu
"oh kamu kenal dengan suaranya 'mo" tanya pak Rudy
"memang seperti suara siapa mo?" tanya deny
"itu pak, seperti suara, ummm suara siapa ya, awak familiar sekali den, ummmm, suara..........., addduuuhhhhhh" ujar timo memutus penjelasannya

"kenapa mo?" ujar aku dan deny
"perut awak, sakit sekali, awak perlu kamar mandiiiiiiiiiii....." ujar timo sembari menahankan perutnya yang sakit
"pak, di kantor bapak ada toilet kan?" tanyaku
kepala keamanan itu mengangguk, lalu "ayo pak kita segera kesana, teman saya butuh pertolongan" ujar ku

"mari" ujar pak kepala keamanan itu
"kalian bertiga, tolong bereskan ruangan ini ya" ujarnya lagi kepada 3 orang petugas keamanan yang lainnya
"siap pak" jawab mereka bertiga serempak

Akhirnya kami bertiga beserta pak Rudy, pergi mengikuti Kepala keamanan menuju kantor keamanan untuk memberikan penjelasan hal apa yang terjadi di jurusan malam itu.
  ----------------------------------------------

 Esoknya, di sore hari, di ruangan pak Dito kembali

"saya tahu persis siapa yang mengambilnya" begitu ujar pak dito di sore yang sepi, di jurusanku
"dosen lain pun mengetahui hal itu" tambahnya
aku sempat hampir protes, angkat bicara
'sial, kalau kalian tau kenapa kami bertiga yang jadi korban' pikirku sembari mengepalkan jari-jemariku menahan amarah.
"bapak tahu, kalian bertiga yang jadi kambing hitamnya. Tetapi saya dan beberapa dosen di sini tahu siapa dalangnya, sehingga isu-isu tersebut tidak kami tanggapi. Dan pagi ini, saya sudah bicara dengan pak dekan dan pak rektor, bahwa tuduhan yang diarahkan kepada kalian itu tidak benar" ujar pak dito
"saya tidak akan memberi tahu siapa orangnya, kalau kamu mau tahu kamu bisa bertanya pada pak nanang" tambah pak dito
"satu kunci dari saya, yang mengambil dua unit komputer milik jurusan ini adalah orang yang memiliki akses bebas ke ruangan ini, tanpa bisa dicurigai oleh siapapun" 

Pak dito pun beranjak dari kursi tempat ia duduk, aku, deny dan timo masih berkutat dalam pikiran yang menerka-nerka dan mengira-ngira siapakah pelaku di balik ini semua beserta dalang dari fitnah yang mengarahkan kasus pencurian ini kepada kami bertiga

"pak tata........." begitu ujar kami bertiga secara bersamaan
"ssstttt, kita anggap selesai urusan ini oke anak muda" begitu ujar pak dito
"sudah sore, jam 5, jangan lupa tugas yang saya berikan di kumpulkan besok pagi tepat pukul 8, oke selamat sore" begitu ujar pak dito meninggalkan ruangannya

kami bertiga masih terbengong-bengong sembari saling menatap satu sama lain, tatapan tak percaya bahwa pak Tatang ketua jurusan bisa melakukan ini semua dan yang paling mengesalkan adalah mengetahui bahwa pak Tatang pula yang mengarahkan tuduhan kepada kami bertiga

"gila mak, tak sangka aku, pak tiiiiiiit itu yang bikin kacau semua" ujar timo
"iya mo, saya juga gak nyangka, perasaan baik lho mo" ujar deny
"sama aja, saya juga gak abis pikir," ujarku

kembali terdiam, sampai
"maaf mas budet, itu......." belum sempat pak nanang office boy jurusan ini menyelesaikan ucapannya, timo memotong segera
"apa? budet?"  sembari memukul jidatnya
"jangan budet pak nanang, itu budet bisa berubah jadi bodat a.k.a monyet" begitu protes timo

dan kami bertiga pun tertawa

"masya Allah!!!!" ucap deny sembari setengah berteriak
"kenapa, kenapa deny" ujar aku dan timo
"mati kita mo, tugas mo, tugas dari pak dito belum kita kerjain" ujar deny
"Alamaaaaakkk, sudah jatuh tertimpa tangga pula awak" jawab timo

aku dan pak nanang tertawa tertahan melihat deny dan timo yang tenggelam dalam kebingungan

Hari semakin berlalu, kami bertiga tetap berkuliah seperti biasa. Dan cerita mengenai hilangnya 2 unit komputer dari ruangan dosen pun semakin lama semakin lenyap sudah, seakan tidak pernah terjadi. Pak dito masih sibuk dengan tugas-tugas yang diberikannya kepada mahasiswa. Pak rudy tetap sibuk dengan istilah -negative signal- nya dan melupakan kekhilafan timo yang menyiramkan air cucian piring dari warteg bu Darmi, dengan alasan "awak kira pak rudy itu pencuri yang kita cari. Lagi pula saat itu sudah gelap bud, mana bisa awak liat. Kalian kan tau mata awak sudah minus 4, tanpa kacamata awak sama saja buta" ujar timo. Mungkin karena alasan itu pak rudy bersikap seakan-akan itu tidak bernah terjadi, meskipun ketika itu terjadi pak Rudy sempat memaki-maki si pelaku dengan kata-kata asing yang tidak kami mengerti

mahasiswa yang lain? bungkam, entah mereka tahu, entah mereka tidak tahu, entah mereka tak mau tahu, atau mereka sudah tahu bahwa pak ketua jurusan kami itu seperti itu, aku tak tahu, kami bertiga tak tahu. Yang kami tahu, tugas kuliah tetap harus diselesaikan, uang jajan bulanan tetap hanya cukup untuk mangkal di warteg bu Darmi. Dan deny masih tetap dengan jengkolnya, Timo dengan sambel berlauk nasi, bu Darmimasih tetap dengan istilah "budetnya" yang sudah sampai ke seluruh mahasiswa di jurusan. Sampai suatu hari pak dito memanggil kami 

"kalian, trio budet, sini........" begitu ujar pak dito
"hah........." timo hanya dapat membuka lebar-lebar matanya, kaget, terbengong-bengong yang kemudian hilang karena pak dito ingin kami segera mendatanginya dan timo tak mungkin memprotes pak dito dengan panggilan "budet" yang diarahkan kepada kami bertiga

"bah, darimana pula bapak dito bisa tau itu kata budet" begitu gumam timo sembari menepuk jidatnya


Membual

udara dingin wahai tubuh, apakah kamu masih cukup kuat untuk membuka mata mu, menyampaikan pada dunia tentang apa yang sedang bergulat di dalam pikiran mu. Tentang apa yang sedang berkutat di dalam hati sanubari mu. Tentang apa yang sedang bergemuruh di dalam hati mu.

Aku membuka kembali catatan-catatan yang tidak akan pernah usang. Tidak lekang dimakan waktu dan berharap tak akan sirna dipukul oleh keadaan manusia yang berubah-ubah pola pikirnya. Mencoba memaknai kehidupan dari sisi yang berbeda, berbeda dari sisi topografi, dari sisi demografi, dari sisi fisiologi, dari sisi usia ku saat ini.

Sudah seperempat abad, 25 tahun berada di dunia, dan aku katakan aku sepertinya merugi tapi tak ada sesuatu pun yang wajib dan patut aku sesalkan, selain syukur yang terus menerus harus dilontarkan. Mari menyusuri gelapnya malam, menembus angin dingin bumi parahiyangan. Menafikan rasa kantuk yang menyerang, sejenak menenggelamkan diri dalam permainan kata-kata dan alam pikiran, meskipun banyak orang yang meragukan.

Nenek, aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Pertemuan yang ditakdirkan, tidak pernah diduga, tidak juga aku memiliki rencana atas itu semua. Allah yang tentukan, Allah pula yang gariskan tentang perjumpaan aku dengan wanita tua, mojang priyangan katanya.

Cantik, untuk wanita seumurannya, nenek ini masih cantik, sangat cantik. Mak ucu, mak usu, begitu orang sekitar memanggilnya. Wanita tua yang baik, ia sudah renta dan usianya hampir tidak jauh berbeda dengan ibu kandung ku, dan ibu angkat ku. Sebagian manusia, orang lain akan melihat nenek sebagai nenek yang biasa, seperti nenek lain, seperti wanita tua lain pada umumnya. Tapi, dari sudut pandang aku sebagai anak manusia, dari kaca mata ku sebagai manusia yang menganalisa, nenek bukan lah nenek yang biasa, bukan lah wanita renta yang -such away- saja,. Ada sesuatu yang menarik dari dirinya, ada kisah hidup yang pahit, ada cerita yang harus dipendamnya, ada rasa sakit yang dikubur dalam-dalam olehnya. Dan begitu luas lautan kesabaran itu terbentang, terpancar dari matanya.

Apakah benar seperti itu? ataukah aku yang melebih-lebih kan cerita agar kiranya kamu tertarik untuk membaca ceritaku, kisah-kisah nyata tentang kehidupan manusia.

Beberapa waktu pun berlalu, hampir 1 tahun dan pandanganku tentang nenek berubah, nenek tak seperti apa yang nampak oleh mata. Banyak cerita tentangnya dan yang aku rasakan adalah bahwa nenek menyembunyikan banyak hal, yang kemudian nenek ganti dengan cerita menurut versinya. Secara gamblang anak lelakinya berkata "nenek itu suka berbohong".

Oh Tuhan, keluarga ini semakin memiliki cerita yang luar biasa.

Atau, hampir bisa dipastikan banyak keluarga di kota ini memiliki cerita yang sama? Entahlah, yang pasti, aku tidak ingin cerita ini terjadi di dalam kehidupanku.

Dunia benar panggung sandiwara

Mari berbual-bual tentang kehidupan. Malam semakin larut, adzan isya baru saja selesai dikumandangkan, dan itu berarti tak berapa lama lagi orang-orang kampung akan datang ke rumah ini, untuk memulai tahlilan. Tahlilan yang sudah berlangsung sejak hari minggu yang lalu dan malam ini memasuki malam ke 6.

Di dusun ini, apabila ada yang meninggal, terkadang ada keluarga yang memutuskan untuk -mentahlilkan- anggota keluarganya tersebut sampai 7 malam berturut-turut. Bahkan, memberikan bingkisan tanda terima kasih pada tamu undangan yang datang, bayangkan kalau ada 1000 orang yang datang, sementara si keluarga yang ditinggalkan notabenenya adalah keluarga yang tidak mampu. Kalau begitu, setiap keluarga akan berdoa supaya anggota keluarganya tidak pernah meninggal, karena meninggal itu ternyata -mahal- harganya.

Setiap yang hidup akan merasai mati, hal yang pasti. Ketika kita berpikir, berangan-angan tentang yang tak pasti, merencanakan yang belum pasti, tetapi seringkali terlupa tentang yang pasti, MATI.

Dunia ini panggung sandiwara, benar-benar panggung sandiwara. Menjadi -familiar- ketika gelar sandiwara itu berubah nama menjad -drama, sinetron- dan sebagainya. Lingkungan sekitar kita tak ubahnya seperti cerita dalam sebuah sinetron kejar tayang, yang setiap hari tayang di televisi, dari hari ke hari. Tayangan yang menjadi konsumsi ibu-ibu, ibunya ibu, sebagai pengganti drama telenovela beberapa tahun yang lalu, yang dulu.

Aku bercerita tentang lingkungan tempat dimana aku tinggal, suasana yang begitu asing, atmosfer yang aku hindari, sejatinya benar-benar aku hindari, tetapi pada kenyataannya Allah menginginkan aku berada di lingkungan itu, berada di sini.

Para lelaki sudah berada tepat di bawah kamar ku, mereka sebentar lagi akan memulai membaca doa-doa, yang sebenarnya kalau diartikan dalam bahasa indonesia, doa itu untuk diri sendiri dan keluarga si pembaca doa, bukan untuk yang meninggal, karena 'doa anak yang sholeh dan sholehah' yang sebenarnya akan cepat sampai ke Almarhum, sebut saja namanya Pak Imam. Dan almarhum adalah seorang lelaki yang sudah beranak dan bercucu.

Sepeninggalnya, cucunya menangis tersedu-sedu, begitu juga ketiga anaknya, yang dua orang lelaki dan seorang perempuan. Tetapi, kepada salah seorang cucunya aku berpikir "tangismu akan terhenti ketika matamu dihadapkan pada uang -sumbangan- para pelayat itu" lalu "sedihmu pun tak akan lama, begitu diberikan mobil dari orang tuamu" begitu pikirku saat itu, dan -wallahhh- hari kedua sang cucu sudah tertawa terbahak-bahak, memerintah neneknya yang sudah tua, berkata kasar, menyanyi seperti seseorang yang gagal rencana keartisannya. Pikirku "tebakkanku sungguh jitu"

Dan untuk anak lelaki si almarhum, sebut saja namanya Ridwan yang lebih banyak diam, tenggelam dalam alam pikirannya. Bersyukurnya almarhum, karena dari ketiga anaknya, hanya dialah yang menunaikan sholat wajibnya. Harapanku saat itu, semoga anak tak lupa mendoakan bapaknya, yang sudah berada di alam sana.

Anak perempuannya sebut saja namanya Nindi, yang hanya terlihat di hari kematiannya, sisanya? dia tidak pernah nampak, karena memang sudah berpindah agama, menjadi seorang nashara/nasrani. Tetangga kiri dan kanan bergumam "sungguh berat beban almarhum, karena anak perempuannya berpindah agama". Dan pada suatu ketika, anak lelaki almarhum yang lain berkata, "dia (anak perempuan) bilang, tidak menemukan ketenangan ketika sholat, tetapi menemukan ketenangan di dalam agama barunya" begitu ceritanya.

Dan anak lelakinya yang lain, kita sebut dia dengan nama Rio, menurut cerita tetangga kiri dan kanannya, menurut cerita si nenek yang adalah ibunya si anak lelaki ini (*sebut saja namanya Yati). Katanya, tabiatnya yang buruk, tidak dapat diandalkan, melulu hanya berpikir, berbicara tentang uang. Bahkan ketika si almarhum sudah tak ada, anak lelaki ini berkata "biar saya yang urus pensiun bapak". Ibunya hanya diam, tak ingin semakin membuat kusam situasi yang memang sudah runyam.

Dunia ini seperti panggung sandiwara, benar-benar panggung sandiwara, dan keluarga ini tak ubahnya seperti cerita di dalam sebuah sinetron kejar tayang. Ketika si ibu bercerai secara agama dengan almarhum, kemudian ketika si ibu yang sudah renta itu melulu membanggakan anak perempuannya yang sudah berpindah agama, melulu menegatifkan anak lelakinya yang terakhir itu, dan begitu mengelu-elukan, membanggakan cucunya, anak dari anak perempuannya.

Seperti kisah sinetron, ketika pada awalnya si ibu dan suaminya yang kini sudah almarhum, adalah pada mulanya sebuah keluarga yang kaya raya. Kemudian sampai ibu dan bapak bercerai, kemudian anak perempuan dan anak lelakinya yang berfoya-foya, ke tempat hiburan malam, sampai ketika cucu perempuan si ibu, (*sebut saja nama cucu itu Riri) mendapati Nindi (ibunya) dan Rio (pamannya) sedang menghisap narkotika bersama-sama.

Pak imam dan ibu Yati memiliki 2 orang putera dan 1 orang puteri. Cerita dimulai ketika Ibu Yati dan Pak Imam memutuskan untuk berpisah Pada saat itu tak berapa lama, Nindi melahirkan anaknya yang kemudian diberi nama Riri. Nindi adalah seorang wanita karir yang kemudian bekerja di Ibukota, kecintaannya pada pekerjaan membuat dia meninggalkan bayinya pada ibunya, ibu Yati. Sampai suatu ketika, Nindi bercerai dengan suaminya. Singkat kata singkat cerita, nindi mengikuti jejak kedua orang tuanya -bercerai-. 

Aku temukan perceraian menjadi hal yang biasa, ketika tetangga kiri dan kanan, termasuk ibu yati bercerita tentang -si anu, si itu- dan masih banyak lagi yang lainnya -bercerai-, dengan anak satu, dua, atau tiga.

Lambat laun Riri menjadi dewasa, kemudian menjadi terpukul ketika dia dihadapkan pada 'ibunya, nindi, pindah agama'. Riri semakin menelan pil pahit ketika dihadapkan pada fakta yang tak kunjung berujung mengenai siapa ayah kandungnya. Setelah bercerai, nindi menikah lagi dengan Wijaya, orang-orang berkata -wijaya adalah ayah biologis riri', sementara suami pertama Nindi, bukan ayah biologis Riri, "cuma formalitas" begitu ujar tetangga.

Keadaan yang rumit, membuat Riri tumbuh menjadi anak perempuan yang keras. Dan semakin rumit ketika Ibu yati mendidik Riri dengan manja. Riri tumbuh menjadi gadis yang melulu berpikir tentang uang, tak peduli neneknya memiliki uang atau tidak. Bahkan, Riri pun bisa dengan mudah meneriaki neneknya, berkata kasar pada nenek yang sudah membesarkan dia, yang memasakkan air mandi untuknya setiap pagi, yang memijitinya ketika kelelahan, bahkan yang menyuapinya sampai umurnya sudah menginjak 17 tahun. Pendek kata, neneknya tak ubahnya seperti "kacung, pembantu" baginya. Persis seperti 'sinetron Hidayah yang ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta beberapa tahun yang lalu'.

Sampai saat ini, aku tetap tak habis pikir, kejadian seperti ini benar-benar ada di dunia. Kejadian tentang orang tua yang bercerai, kemudian anaknya pun bercerai. Tentang anak lelakinya yang menghambur-hamburkan uang orang tuanya, bahkan kesimpang-siuran cerita antara sang ibu, Yati, dengan sang anak, Rio. Semua nampak begitu membingungkan.

Tentang bagaimana Riri bisa dengan beraninya memanggil ibunya hanya dengan "Si Nindi itu sudah kasih uang belum?" atau suatu ketika "kamu yang goblok" begitu dia membentak neneknya. Atau ketika dia tertawa-tawa ketika melihat uang, ketika dijanjikan untuk dibelikan mobil oleh Wijaya, suami kedua ibunya. Meskipun pada kenyataannya, para tetangga berkata "ibu yati hutangnya banyak, bahkan meskipun rumah itu dijual, hutangnya tak tertutup". Beberapa orang bilang, "hutang itu karena Rio" ada juga yang bilang "hutang itu karena Nindi". Semua begitu simpang siur, tak jelas. Dan entah dimana letak hubungan kekeluargaan mereka, antara anak, ibu, saudara, menantu.

Karena ketika Ibu Yati mengadakan acara tahlilan di rumahnya, dua anak menantunya yang perempuan, tidak lagi nampak, kecuali di hari pertama dan kedua. Sisanya? keponakan ibu Yati dan beberapa orang tetangg membantu ibu Yati mempersiapkan segalanya. Bahkan Riri pun hanya sibuk dengan telepon genggam dan kegiatan bersoleknya.

Semua begitu membingungkan, bukan karena begitu inginnya aku untuk ikut campur ke dalam sebuah sandiwara drama. Tetapi aku tak ubahnya seperti manusia naif yang termelongo berkata "ada ya kejadian seperti ini di dunia nyata". Melulu begitu isi kepalaku berkata, bahkan sampai saat ini aku masih tak habis pikir dengan apa yang terjadi pada atmosfer tempat aku berteduh kini. 

All i can do, berdoa semoga apa yang terjadi di sekelilingku saat ini, tidak terjadi pada keluarga dan orang-orang terdekatku. 

Seperti ini yang nampak ketika manusia tidak mengenal Tuhannya, tidak mendekatkan diri pada Allah ta'ala. Melainkan menjadikan dunia sebagai tujuan, menjadikan harta sebagai idaman, sebagai idola di dalam hidupnya. Dan begitu menyedihkan ketika menjadikan agamanya sebagai permainan. 

Naudzubillah, semoga Allah menjauhkan aku, keluargaku, orang-orang terdekatku dan kamu dari siksa kubur, siksa api neraka, dan tipu daya dunia. Amin