Pages

Monday, August 31, 2009

Pada dasarnya, Pria dan Wanita

Pada dasarnya, peraturan itu ada untuk dilanggar. Seakan tidak percaya, tentang bagaimana beberapa orang bisa menerapkan peraturan, kedisiplinan, sedemikian rupa, sehingga manusia-manusia di dalamnya, tunduk dan turut serta menjalankannya. Ada yang pada awalnya dengan terpaksa, ada yang acuh-tak acuh tetapi tetap menjalankan juga, ada juga yang melanggar untuk kemudian dengan sendirinya mematuhinya.

Berdasarkan, penelitian orang-orang yang berada di wilayah barat sana. Bahwasannya pria hanya mengeluarkan 7000 kata dalam satu harinya, dan wanita 20.000 kata. Luar biasa beberapa kali lipatnya.

Bagaimana pria diminta begitu bersabar untuk mendengarkan si wanita yang bercerita, guna menghabiskan jatahnya yang ’20.000’ itu. Bahkan hingga waktu menjelang tidur tiba, si wanita tetap saja ‘keukeuh’ dengan ceritanya, sementara suaminya hanya menjawab sekenanya dengan berkata “ya, ooo, hmm” dan masih banyak kata-kata singkat lainnya. Hingga, pada akhirnya si wanita bercerita atau sebenarnya ia mendongeng untuk suaminya???

Buat sebagian wanita, adalah hal yang menjengkelkan ketika sedang asyik bercerita, tiba-tiba ketika sampai pada saat dimana si wanita memerlukan pendapat “menurut abi bagaimana? Menurut mas gimana? Menurut kakak gimana? Menurut Aa gimana?” dan yang terdengar hanya “ZZZzzzzzZZZ”, ternyata sang suami sudah terlelap terbawa ke alam bawah sadarnya.

Beberapa melengos, mengeluh kesal, beberapa mungkin ada yang tersenyum melihat polah suaminya, mengingat betapa lucunya, menyadari bahwasannya ternyata ia terlalu banyak bercerita, sehingga nampak sedang mendongeng saja. Beberapa merasa kasihan, menyadari betapa suaminya begitu kelelahan akibat aktivitas seharian demi ia dan anak-anaknya.

Terserah bagaimana mau menanggapinya.
Renungan sederhana, ia saya tuangkan karena rasa kesal yang muncul sebagai akibat dari mahasiswa-mahasiswa yang mengadakan buka puasa di asrama Annisa. Bukan masalah dengan buka puasanya, tetapi volume suara yang dihasilkan oleh peserta-peserta yang mengikutinya. Hingga menjelang adzan isya menggema, suara-suara itu masih terdengar keras dan sumbang di telinga.
Suara wanita yang tertawa-tawa, senang, riang. Suara baritone para lelakinya, yang diiringi gelak tawa. Suara mereka yang bersahut-sahutan, berlomba-lomba dengan suara adzan dari masjid yang berada tak jauh dari asrama saya, dan saya terganggu, mereka mengganggu. Tidak nampak terdengar akan mengecil volume-volume suara itu, hingga akhirnya saya keluar kamar dan berkata “maaf ini sudah masuk waktu sholat isya, tolong suaranya dikecilkan”. Tidak ada yang hening, teriakan, gelak tawa pria dan wanita, tetap saja keras terdengar.

Saya hanya diam, melihat dari kejauhan, beberapa menit agaknya, hingga akhirnya “sssttt, suaranya” begitu ujar beberapa di antara mereka. Pria dan wanita, mungkin itulah kenapa pria dan wanita harus ada batasannya. Saya heran, bagaimana rasanya tertawa, berteriak di saat adzan berkumandang. Berpikir, mencoba mengingat, seingat saya teman-teman saya tidak sampai sebegitunya, yang lelaki tidak akan betah berlama-lama karena mereka sadar, tempat tinggal saya isinya wanita semua, yang wanita pun tidak sampai sebegitunya dalam mengeluarkan suara, kecuali di kampus dan tempat-tempat dimana sekiranya tidak akan mengganggu manusia di sekelilingnya.

Beginilah dunia dengan banyak macamnya manusia yang berada di dalamnya. Saya ingin menjadi manusia individu bila menyadari bahwa nampaknya bagi mereka “peraturan itu ada untuk dilanggar”. Tapi hati saya tidak pernah mengizinkan begitu, ia tetap saja usil,ia tetap saja jahil, ia tetap saja ingin tampil, ia tetap saja ingin bersuara, menyuarakan kebenaran katanya.

Tapi kebenaran menurut hati yang saya punya, belum tentu benar di mata mereka karena setiap kita memiliki sudut pandang yang berbeda.