“jadi, maaf mbak, sebenernya mbak ini memang bener tho kerjanya yang begituan?”
“iya sri, ya beginilah mbak mu ini, awalnya mbak malu sri, tapi yah namanya juga orang cari rezeki”
“masya Allah mbak, tapi ya sudah, mau bagaimana lagi, mbak sudah memilih jalan hidup mbak sendiri. Aku sama mamak, hanya bisa mendoakan suatu saat nanti mbak mau merubah jalan hidup mbak itu. Mamak bilang, seperti apapun mbak, mamak tetap ingin mbak pulang, mamak tetap sayang sama mbak, begit ka….”
Tunggu-tunggu, adik perempuanku ini bicara apa, kenapa jadi terasa tidak begitu menyenangkan di hati, akal pikiran, dan di indera pedengaran. Aku memutuskan kalimatnya kemudian bertanya “memang kata orang di desa, mbak ini pekerjaannya apa sri?” tanyaku pada adikku yang satu-satunya itu.
“kata mbak puji sih, mbak itu kerja di tempat yang begituan mbak”
“begituan? Begituan gimana? Mbak ndak maksud?”
“mbak kerja di KM 34 kan, tempat lokalisasi itu”
“iya, memang lalu”
“ya, kata mbak puji, KM 34 itu tempat lokalisasi PSK gitu mbak, itu lho yang menjual diri”.
“hah” serasa tersambar petir ubun-ubun kepala ini, “masya Allah sri, sri, mbak puji bilang gitu?” tidak percaya, pantas saja sedari tadi aku merasa ada yang aneh dengan kisah adikku ini, pantas saja aku merasa sedikit berlebihan dalam sedu sedannya itu.
“sri, mbak itu memang kerja di KM 34 daerah lokalisasi. KM 34 itu, tadinya Kawasan Makan 34 sri. Masya Allah sri, jadi mamak pasti berpikir mbak mu ini jadi perempuan ndak bener tho”.
“ya begitulah mbak, lalu 34 nya itu apa mbak?”
“karena disana ada 34 kios makan, dari dulu ya jumlahnya ya segitu itu, lokalisasi itu maksudnya lokalisasi untuk pedagang yang awalnya ndak punya kios alias pedagang kaki lima”.
“oo begitu tho mbak, ya ya ya, aku ndak ngerti tho mbak, wong baru kali ini kemari, ya dengar cerita dari orang kalau KM 34 itu daerah negatif ya aku mana tau kalau KM 34 itu juga nama lain dari Kawasan Makan 34”.
“jadi gimana mbak, mbak mau ikut pulang kan?”
“ummm, yah insya Allah sri, birul walidain tho?” ku tatap wajah terkejut adik perempuanku itu, memberikan senyuman lalu “sudah adzan isya, mbak sholat dulu ya”
“lho mbak? Sampeyan?”
“iya kenapa?”
“sejak kapan?”
“sejak kapan apanya?”
“ituuu, sholatnya?”
“oh itu, sejak mbak punya pegawai baru, namanya sutinah”
“itu orangnya sri”
Tak lama sutinah keluar dari kamarnya, membawa sajadah dan mukena “mari mbak sri, kita sholat berjamaah, mbak parni sudah nunggu di mushola “
“hahh, subhanallah, toko ini ada musholanya juga tho”
“iya mbak, Alhamdulillah, jadi kita bisa sholat sama-sama”
Aku tinggalkan sutinah dan sri bercakap-cakap menjelang sholat isya kami tegakkan. Entah apa yang mereka perbincangkan, aku tak tahu, semakin lama suara mereka semakin sayup-sayup terdengar, dikalahkan oleh suara air keran yang mengucur dari kamar mandi toko ini. Tidak terasa, sudah hampir 3 tahun aku berada di sini. Dan pada akhirnya, aku akan pulang mak, aku akan pulang, anak gadismu, anak perempuan pertamamu Diajeng Mahesa akan pulang menemuimu.
“iya sri, ya beginilah mbak mu ini, awalnya mbak malu sri, tapi yah namanya juga orang cari rezeki”
“masya Allah mbak, tapi ya sudah, mau bagaimana lagi, mbak sudah memilih jalan hidup mbak sendiri. Aku sama mamak, hanya bisa mendoakan suatu saat nanti mbak mau merubah jalan hidup mbak itu. Mamak bilang, seperti apapun mbak, mamak tetap ingin mbak pulang, mamak tetap sayang sama mbak, begit ka….”
Tunggu-tunggu, adik perempuanku ini bicara apa, kenapa jadi terasa tidak begitu menyenangkan di hati, akal pikiran, dan di indera pedengaran. Aku memutuskan kalimatnya kemudian bertanya “memang kata orang di desa, mbak ini pekerjaannya apa sri?” tanyaku pada adikku yang satu-satunya itu.
“kata mbak puji sih, mbak itu kerja di tempat yang begituan mbak”
“begituan? Begituan gimana? Mbak ndak maksud?”
“mbak kerja di KM 34 kan, tempat lokalisasi itu”
“iya, memang lalu”
“ya, kata mbak puji, KM 34 itu tempat lokalisasi PSK gitu mbak, itu lho yang menjual diri”.
“hah” serasa tersambar petir ubun-ubun kepala ini, “masya Allah sri, sri, mbak puji bilang gitu?” tidak percaya, pantas saja sedari tadi aku merasa ada yang aneh dengan kisah adikku ini, pantas saja aku merasa sedikit berlebihan dalam sedu sedannya itu.
“sri, mbak itu memang kerja di KM 34 daerah lokalisasi. KM 34 itu, tadinya Kawasan Makan 34 sri. Masya Allah sri, jadi mamak pasti berpikir mbak mu ini jadi perempuan ndak bener tho”.
“ya begitulah mbak, lalu 34 nya itu apa mbak?”
“karena disana ada 34 kios makan, dari dulu ya jumlahnya ya segitu itu, lokalisasi itu maksudnya lokalisasi untuk pedagang yang awalnya ndak punya kios alias pedagang kaki lima”.
“oo begitu tho mbak, ya ya ya, aku ndak ngerti tho mbak, wong baru kali ini kemari, ya dengar cerita dari orang kalau KM 34 itu daerah negatif ya aku mana tau kalau KM 34 itu juga nama lain dari Kawasan Makan 34”.
“jadi gimana mbak, mbak mau ikut pulang kan?”
“ummm, yah insya Allah sri, birul walidain tho?” ku tatap wajah terkejut adik perempuanku itu, memberikan senyuman lalu “sudah adzan isya, mbak sholat dulu ya”
“lho mbak? Sampeyan?”
“iya kenapa?”
“sejak kapan?”
“sejak kapan apanya?”
“ituuu, sholatnya?”
“oh itu, sejak mbak punya pegawai baru, namanya sutinah”
“itu orangnya sri”
Tak lama sutinah keluar dari kamarnya, membawa sajadah dan mukena “mari mbak sri, kita sholat berjamaah, mbak parni sudah nunggu di mushola “
“hahh, subhanallah, toko ini ada musholanya juga tho”
“iya mbak, Alhamdulillah, jadi kita bisa sholat sama-sama”
Aku tinggalkan sutinah dan sri bercakap-cakap menjelang sholat isya kami tegakkan. Entah apa yang mereka perbincangkan, aku tak tahu, semakin lama suara mereka semakin sayup-sayup terdengar, dikalahkan oleh suara air keran yang mengucur dari kamar mandi toko ini. Tidak terasa, sudah hampir 3 tahun aku berada di sini. Dan pada akhirnya, aku akan pulang mak, aku akan pulang, anak gadismu, anak perempuan pertamamu Diajeng Mahesa akan pulang menemuimu.
-selesai-