Pages

Tuesday, June 2, 2009

Es Krim Itu

Gelap, awan kelabu itu menutupi langit yang biru, semakin lama semakin banyak awan kelabu yang berarak, daun-daun pepohonan tak henti-hentinya beriak, bergerak tertiup angin.

Ini masih siang, namun bukan matahari yang ku temui, tidak seperti tadi pagi. Tidak pula sang mentari menyapaku siang ini, selain sekelompok awan kelabu yang tak henti-henti melambaikan tangan mereka lalu berkata

‘sebentar lagi akan turun hujan wahai manusia’

Asrama ini dirasa begitu sunyi, tidak ada gelak tawa yang terdengar, tidak seperti ketika malam hari tiba, ketika penghuni asrama sudah kembali ke sarangnya.

Entah mengapa hari ini dirasa begitu melelahkan, berusaha menemui pembimbing untuk kemudian disambut dengan kalimat singkatnya ‘mau bimbingan ya? Jangan sekarang ya’

Sebuah penolakan, entah halus entah kasar tak tahu, tak jelas dan tidak begitu penting bagiku. Melangkahkan kaki, pulang, asrama menjadi satu-satunya tempat tujuan kemana aku harus pulang, menghabiskan waktu sampai malam menjelang.

Gelap, awan-awan kelabu yang berarak itu, semakin semarak dalam keabu-abuannya. Tak dapat aku memburu mentari, ia sudah bersembunyi dari awan kelabu yang membawa kabar akan turunnya hujan di hari ini, siang ini.

Dua buah es krim yang baru saja ku beli, sudah mulai meronta, mereka berkata
‘hai manusia, tidak bisakah kau percepat langkahmu, sebentar lagi kami akan mencair, dan tentunya es krim yang mencair tidak lagi menyenangkan bila dipandang mata, terlebih lagi dalam hal rasa’ begitu ujar mereka berdua

Mempercepat langkah, bukan hanya karena kedua es krim itu yang begitu memaksa, tetapi karena awan-awan kelabu yang berkata ‘cepat-cepat, mau turun hujan’ begitu katanya.

Asrama ini tetap saja sunyi, hembusan angin membawa kabar bahwa rahmat Nya akan segera Ia turunkan. Lama, duduk dalam diam, sembari mencerna es krim yang semakin lama semakin susut dalam ukuran. Cukup mengherankan mengetahui bahwa mereka tampak senang ketika aku sedikit demi sedikit melumat tubuh mereka yang lezat dengan cepat.

Entah mengapa, lambat-laun, bayang-bayang tentang memori beberapa tahun yang lalu, menghampiriku.

Menghabiskannya sembari mengingat-ngingat tentang masa lalu, di sebuah rumah berukuran tidak lebih dari 10 x 10 meter beserta pekarangan yang luasnya tidak seberapa, di sebuah perumahan milik pemerintah, perumahan guru beberapa tahun yang lalu.

‘te no net, te no net’ suara yang dulu begitu menggiurkan ketika mendengarnya. Biasanya hanya dapat mengintip dari jendela, hingga suatu hari, entah di awal, entah dipertengahan, entah pula itu di akhir bulan. Tidak ingat pula saat itu aku duduk di kelas berapa, entah SD entah pula SMP.

Wanita itu keluar dari rumahnya, lalu berkata ‘mang, beli mang’ Begitu katanya sembari berteriak-teriak, khawatir si mamang tidak mendengar bila ia bersuara dalam tingkatan lemah volumenya.

Penjual es krim dorong itu pun menghampirinya, tak berapa lama, beberapa orang anak kecil sudah berada di sampingnya, memutari si penjual es krim yang bersepeda. ‘ibu mau beli apa?’ begitu ujar salah satu anaknya.

‘ade, beliin yang itu ya bu’ begitu anaknya kembali berujar, tanpa menunggu jawaban dari ibunya atas pertanyaannya yang pertama.

‘ini bukan buat kamu, tapi buat adikmu, ibu gak punya uang’ begitu jawab ibunya, sekenanya.
Aku hanya dapat memperhatikan, melihat dari kejauhan, memori itu kembali berulang, pita memori itu kembali ku putarkan. Seingatku, gadis kecil itu hanya tertunduk lesu, bayangan bahwa ia pun akan turut merasakan es krim berbentuk corong, hanya tinggal angan-angan.

Si pedagang es krim pun kembali mengayuh sepedanya, membunyikan kembali musik khas pengerat mangsa, anak-anak tentunya ‘te no net, te no net’.

Gadis kecil itu masih terdiam, dan ketika ibunya berkata ‘ini cicip punya adiknya sedikit, tapi jangan banyak-banyak ya, kan sudah besar’

‘tapi saya kan masih kecil bu’ begitu hati gadis kecil itu berujar

Ada sedikit raut kecewa di wajahnya, ada sedikit kesedihan yang terpancar dari matanya. Bukan tentang mengapa adiknya bisa merasakan, sedang ia tidak, bukan karena itu sesungguhnya.

Tetapi, menghadapi bahwa pada kenyataanya ibunya tidak mempunyai uang, dirasa begitu melukai hatinya.

Berjuta pertanyaan mengganggu pikirannya, tentang kenapa ibunya tidak memiliki uang, tentang mengapa ia dan ketiga saudaranya tidak dapat seperti teman-temanya.

Tapi, tidak mengapa, nampaknya gadis kecil itu sedikit memahami kondisi keuangan kedua orang tuanya yang tidak seberapa. Pikirnya ‘tidak dibelikan pun tidak mengapa, yang penting sudah mencoba’. ya, setidaknya ia sudah tahu bagaimana rasanya es krim berbentuk corong yang selalu diceritakan oleh teman-teman yang ada di sekolahnya.

Hari pun berganti, kisah tentang es krim si penggoda hati nampak sudah mulai tidak terdengar lagi. Hingga suatu ketika si pedagang es krim kembali lagi, lalu ‘mang, mang, beliii’. Begitu teriaknya, ku pikir wanita itu lagi, tetapi kali ini anaknya, anak perempuannya. Wanita itu memiliki 4 orang anak, dengan 3 orang perempuan, dan seorang lelaki, dan yang lelaki merupakan anak bungsunya.

Pedagang es krim itu pun berhenti tepat di depan rumahnya. Si ibu terlihat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh anaknya, salah satu gadis kecilnya. Dengan penuh percaya diri, gadis kecil itu melangkah pasti, lalu ‘mang, yang ini harganya berapa, yang ada corongnya itu mang’ begitu celotehnya ‘yang itu Rp. 2.500 de’ begitu jawab si pedagang, nampak senang hatinya, seorang anak kecil kembali terjerat dengan rasa inginnya.

‘saya beli yang itu mang, satu, yang rasa cokelat’ begitu kata gadis kecil itu.

Si ibu masih terkejut bukan kepalang, darimana gadis kecilnya mendapatkan uang? Begitu tanyanya, karena pada kenyataannya, bisa dihitung dengan jari kapan kiranya ia memberikan uang jajan pada anak-anaknya, itu pun tidak seberapa dalam jumlahnya.

‘te no net, te no net’ si pedagang pergi dengan senyum terkembang
‘ade dapat uang dari mana?’ begitu tanya si ibu pada gadis kecilnya yang juga merupakan anak perempuannya yang nomor dua ‘ade nabung ibu’ begitu jawabnya singkat.

Ia membuka pembungkus es krim itu dengan segera dan ketiga saudaranya serta merta melingkar, mendekatinya.

‘ayuk, minta’ begitu ujar adik-adiknya
‘de, ayuk minta ya’ begitu ujar kakak perempuannya.

Keempat bocah kecil it u tenggelam dalam tawa, riang, senang, terlebih lagi gadis kecil itu, anak nomor dua dari kedua orang tuanya. Senang ia akhirnya dapat merasakan apa yang teman-temannya rasakan, meskipun dengan mengorbankan untuk tidak jajan beberapa minggu lamanya.

Wanita itu, yang juga ibunya, hanya memandangi dalam diam dan entah apa yang ada di dalam pikirannya saat itu, aku tak tahu.

Beberapa tahun berlalu, dan gadis kecil itu sudah hampir menginjak 23 tahun dalam usia. Ia bukan gadis kecil lagi, begitu menurut orang-orang yang berada di sekitarnya. Tapi tidak menurut kedua orang tuanya. Dan hari ini, ia sudah menghabiskan dua buah es krim dalam sekejap saja, tidak perlu lagi mengumpulkan uang jajannya, tidak seperti beberapa tahun yang lalu, dan menurutku, gadis kecil itu harus lebih banyak bersyukur dari pada beberapa tahun yang lalu.