Set 2
“aku pergi bu, insya allah ndak lama, diajeng pulang lagi, bawa uang banyak bu, jadi ibu ndak perlu bekerja jadi buruh tani lagi di tempat pak kadi”.
Wanita paruh baya itu hanya diam, tak nampak ia memandang wajahku meskipun hanya sekejap saja. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat itu,hanya garis-garis tegas yang aku lihat di wajah tuanya.
Ku cium tangannya yang semakin berkerut, semakin renta, kasar telapak tangannya begitu terasa, ku cium pipinya, aroma matahari begitu menyeruak ibu memang tidak mengenal pemoles wajah dan sebagainya. Semakin terasa keriput di wajahnya. Dan ia masih diam saja,tanpa ada sepatah kata yang meluncur dari bibirnya.
“mbak pergi dulu ya sri, jaga ibu baik-baik. Insya Allah kalau sudah sampai, mbak kabari kamu lewat surat ya”
“hati-hati ya mbak, jangan lupa kirim-kirim kabar. Nanti kalau ndak betah, langsung pulang saja ya mbak” sedu sedan itu kembali terdengar. Aku peluk satu-satunya saudara perempuanku itu, lama, hingga parni memanggilku.
“ayo ‘jeng, ndak usah lama-lama tho pamitannya. Kalimantan kan deket, naik kapal berapa hari juga sampe”
Entahlah , pada hari itu sampai dengan sri dan ibu menghilang dari pandanganku, tidak aku melihat ibu menangis, selain hanya tatapan kosong, hampa, aku pikir, memang seperti itulah ibu setiap harinya. Aku pikir, tak kan mengapa bila aku, anak pertamanya meninggalkan rumah untuk merantau menyebrang ke negeri orang.
“waktu mbak pergi, mamak langsung masuk ke kamar mbak. Mamak nangis mbak, sampai berhari-hari mamak ndak bertani. Pak kadi sampai kasihan sama mamak, makanya mamak diizinkan istirahat beberapa hari” begitu ujar adikku itu.
“mamak ndak mau makan mbak, kalau sudah masuk kamar kita, yang mamak lihat cuma photo mbak saja. Kata mamak, “ndak kerasa ya nduk, kamu dan mbak mu sudah dewasa”, kalau sudah begitu, tiba-tiba mamak mengusap wajahnya mbak, lalu keluar, waktu sri Tanya mau kemana, mau liat sawah katanya, padahal aku tau mamak tu ndak kemana-mana mbak, Cuma diam di dapur, nangis”.
Sudah hampir 3 tahun aku berada di tempat ini, propinsi ini, kabupaten ini. Pertama kali memijakkan kaki di sini, begitu senang rasanya, melihat daratan setelah berhari-hari lamanya berada di tengah-tengah lautan. Tidak banyak bekal yang ku bawa, selain hanya beberapa helai pakaian saja, yah karena memang aku tidak memiliki apa-apa.
Sesampainya di pelabuhan yang ada di kota ini, aku, parni dan kawan-kawanku yang lain dijemput oleh pak sapar, saudara jauh parni. sepanjang perjalanan pak sapar itu bercerita tentang betapa luasnya propinsi Kalimantan ini, katanya “cari uang di sini gampang, asalkan mau usaha, kerja keras, pasti bisa” begitu katanya.
Tidak begitu banyak yang aku ingat sepanjang perjalanan selama 5 jam menuju kota bontang. Bontang? Pertama kali mendengarnya begitu aneh terdengar di telinga, sisanya aku tidak begitu tertarik, tentang gaji yang katanya tidak dapat dihitung dengan jari karena begitu besar jumlahnya, begitu kata pak sapar. Tidak pula begitu mendengar tentang begitu banyak hutan yang masih perawan, belum terjamah karena begitu besarnya propinsi ini, propinsi Kalimantan timur ini. Sisanya, aku habiskan dengan melamun, membayangkan seperti apa keadaan ibu dan sri adikku, hingga aku terlelap sepanjang perjalanan, dan terbangun ketika sampai, menginjakkan kaki di kabupaten bontang, kota taman, begitu slogan yang terpampang.
bersambung
“aku pergi bu, insya allah ndak lama, diajeng pulang lagi, bawa uang banyak bu, jadi ibu ndak perlu bekerja jadi buruh tani lagi di tempat pak kadi”.
Wanita paruh baya itu hanya diam, tak nampak ia memandang wajahku meskipun hanya sekejap saja. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat itu,hanya garis-garis tegas yang aku lihat di wajah tuanya.
Ku cium tangannya yang semakin berkerut, semakin renta, kasar telapak tangannya begitu terasa, ku cium pipinya, aroma matahari begitu menyeruak ibu memang tidak mengenal pemoles wajah dan sebagainya. Semakin terasa keriput di wajahnya. Dan ia masih diam saja,tanpa ada sepatah kata yang meluncur dari bibirnya.
“mbak pergi dulu ya sri, jaga ibu baik-baik. Insya Allah kalau sudah sampai, mbak kabari kamu lewat surat ya”
“hati-hati ya mbak, jangan lupa kirim-kirim kabar. Nanti kalau ndak betah, langsung pulang saja ya mbak” sedu sedan itu kembali terdengar. Aku peluk satu-satunya saudara perempuanku itu, lama, hingga parni memanggilku.
“ayo ‘jeng, ndak usah lama-lama tho pamitannya. Kalimantan kan deket, naik kapal berapa hari juga sampe”
Entahlah , pada hari itu sampai dengan sri dan ibu menghilang dari pandanganku, tidak aku melihat ibu menangis, selain hanya tatapan kosong, hampa, aku pikir, memang seperti itulah ibu setiap harinya. Aku pikir, tak kan mengapa bila aku, anak pertamanya meninggalkan rumah untuk merantau menyebrang ke negeri orang.
“waktu mbak pergi, mamak langsung masuk ke kamar mbak. Mamak nangis mbak, sampai berhari-hari mamak ndak bertani. Pak kadi sampai kasihan sama mamak, makanya mamak diizinkan istirahat beberapa hari” begitu ujar adikku itu.
“mamak ndak mau makan mbak, kalau sudah masuk kamar kita, yang mamak lihat cuma photo mbak saja. Kata mamak, “ndak kerasa ya nduk, kamu dan mbak mu sudah dewasa”, kalau sudah begitu, tiba-tiba mamak mengusap wajahnya mbak, lalu keluar, waktu sri Tanya mau kemana, mau liat sawah katanya, padahal aku tau mamak tu ndak kemana-mana mbak, Cuma diam di dapur, nangis”.
Sudah hampir 3 tahun aku berada di tempat ini, propinsi ini, kabupaten ini. Pertama kali memijakkan kaki di sini, begitu senang rasanya, melihat daratan setelah berhari-hari lamanya berada di tengah-tengah lautan. Tidak banyak bekal yang ku bawa, selain hanya beberapa helai pakaian saja, yah karena memang aku tidak memiliki apa-apa.
Sesampainya di pelabuhan yang ada di kota ini, aku, parni dan kawan-kawanku yang lain dijemput oleh pak sapar, saudara jauh parni. sepanjang perjalanan pak sapar itu bercerita tentang betapa luasnya propinsi Kalimantan ini, katanya “cari uang di sini gampang, asalkan mau usaha, kerja keras, pasti bisa” begitu katanya.
Tidak begitu banyak yang aku ingat sepanjang perjalanan selama 5 jam menuju kota bontang. Bontang? Pertama kali mendengarnya begitu aneh terdengar di telinga, sisanya aku tidak begitu tertarik, tentang gaji yang katanya tidak dapat dihitung dengan jari karena begitu besar jumlahnya, begitu kata pak sapar. Tidak pula begitu mendengar tentang begitu banyak hutan yang masih perawan, belum terjamah karena begitu besarnya propinsi ini, propinsi Kalimantan timur ini. Sisanya, aku habiskan dengan melamun, membayangkan seperti apa keadaan ibu dan sri adikku, hingga aku terlelap sepanjang perjalanan, dan terbangun ketika sampai, menginjakkan kaki di kabupaten bontang, kota taman, begitu slogan yang terpampang.
bersambung