Pages

Thursday, June 11, 2009

Pulang - KM 34

SET 1

Pulang mbak, pulang!!! Sedu sedan sri adikku. Mamak di jawa kangen sama mbak, sri ndak akan bilang-bilang pekerjaan mbak apa, sri akan diam saja mbak, yang penting mbak pulang” begitu katanya sembari sesekali sedu sedan itu terdengar.

Aku masih diam tidak bergeming, entah apa yang aku pikirkan saat itu. Aku diajeng mahesa, umur 27 tahun, anak pertama dari ke enam bersaudara. Bukan dari keluarga berada, kalau dalam istilah jawa aku ini berasal dari keluarga kawula, kasta bawah, dan karena aku seorang muslim maka kasta-kasta itu tidak ada, tidak berlaku bagi mereka yang memahami agama. Dan aku, aku tidak begitu memahami tentang seperti apa agamaku selain hanya tertera islam di kartu tanda penduduk yang aku punya.

Aku masih tenggelam ke dalam alam pikiran ku, sampai ketika sri mengguncang tubuhku. “kasihan sama mamak mbak, mamak sudah sakit-sakitan, mamak bilang dia cuma mau lihat mbak untuk terakhir kalinya saja” begitu sri berkata.

Bukan aku tidak ingin pulang sri, rasa rindu itu begitu membuncah, terlebih lagi rasa rindu itu pada wanita yang sudah melahirkan, membesarkan aku dan kamu seorang diri, karena bapak sudah sejak lama pergi meninggalkan kita, entah kemana. Kalau saja hari itu aku menuruti pesan ibu, tidak akan berada di sini aku saat ini, tidak akan berada di tempat yang nista ini, KM 34.
Angin malam itu berhembus, sendu, binatang-binatang malam semakin riuh terdengar bersahut-sahutan, bergantian timbul tenggelam mengalahkan isak tangis sri malam itu. “mau kemana mbak? Apa sudah minta izin sama mamak?” begitu Tanya sri padaku.

Tidak mungkin rasanya hanya berdiam diri di desa ini. Tidak ada yang bisa aku dapatkan di sini, tidak untuk seorang anak buruh petani yang menghidupi kedua putrinya seorang diri, yang hanya tamatan sekolah menengah atas di desa.

“mbak sudah coba bicara sama ibu sri, tapi ibu diam saja. Kita ndak bisa terus-terusan begini sri, ndak akan maju-maju. Mbak mau pergi ke Kalimantan timur saja sri, ikut sama parni dan teman-temannya. Katanya di sana butuh banyak tenaga kerja, di sana banyak pabrik-pabrik besar sri. Yah paling ndak, ijazah SMA mbak masih bisa terpakai di sana” begitu aku sampaikan alasan kepergianku pada satu-satunya saudara kandungku.

Ia hanya terdiam, tidak ada kata-kata yang terdengar selain lamat-lamat sedu-sedannya membuat aku tersadar bahwa ia menangis. Aku tak tahu harus berkata apa, selain hanya merengkuh pundaknya yang bergetar karena menahan tangisnya agar mamak tidak mendengar.

“mbak ndak akan lama di sana sri, kata parni gaji di sana besar, meskipun cuma lulusan SMA. Nanti kalau tabungan mbak sudah banyak, mbak Insya Allah pulang sri, kita buka usaha di kampung sini dengan modal yang mbak punya”.

Adikku itu tiba-tiba mengangkat wajahnya yang basah lalu memelukku erat seraya berkata “jangan lama-laa yo mbak, jangan lama-lama” sedu sedannya semakin membuat getar tubuhnya terasa, kami pun menangis dalam diam. Titik air mata itu jatuh perlahan, membentuk bulir-bulir bening yang pada akhirnya membuatku tersadar di kemudian hari.


bersambung