Sore itu, ya kalau tidak salah saat itu sedang sore hari. Baru pulang dari ‘cuci mata’ sembari membeli beberapa buah buku di salah satu toko buku tersohor yang ada di negeri ini, yah semua juga toko buku apa itu. singkat kata singkat cerita, beberapa buah buku berhasil dibeli, penuh sesak sore itu, karena bazaar buku murah sedang berlangsung, dan karena system ekonomi kapitalis begitu mendarah daging, dimana prinsip ekonomi -keluarkan sekecil-kecilnya, ambil keuntungan sebesar-besarnya- begitu melekat di dalam mainset, paradigma berfikir manusia-manusia yang ada di Indonesia termasuk saya.
Ramai, yah namanya juga bazar, segala sesuatu yang berbau bazar, sudah pasti tidak jauh dari yang namanya murah. Bayangkan 6 buku buah dihargai Rp. 10.000 saja, saya pikir ‘murah amat’ yah setidaknya untuk mahasiswi yang doyan baca buku tapi tidak bisa lepas dari istilah ‘hidup ngirit’ seperti saya ini.
Bazar buku benar-benar dinanti, tapi yah semurah harganya, maka seperti itu kualitasnya. Ternyata benar yang saya pikirkan, bahwa yang Rp. 10.000 rupiah itu buku-buku untuk kategori komik. Sisanya di atas itu semua, mulai dari Rp 5.000 perbuah hingga Rp. 12.500 perbuahnya.
Seperti itulah awal mula dari sebuah kisah lucu tentang hedonism yang akan saya ceritakan kali ini. Lelah bergumul dengan manusia-manusia yang punya keinginan sama ‘membeli buku murah, tapi kalau bisa berkualitas’. Berkutat dengan bau keringat, karena itu manusia-manusia, juga baru saja pulang dari aktifitas utamanya, untuk kemudian menyerbu menuju tempat ini untuk membeli buku.
Tidak betah berlama-lama saya pun keluar dari kerumunan masyarakat pencinta buku murah berkualitas saat itu. Hampir Rp.100.000 harga semua belanjaan saya saat itu, tapi itu semua bukan buku milik saya, tapi titipan seorang teman. ‘capek’ ya istirahat tentunya, duduk sejenak bersama seorang teman yang juga kelelahan, membuka botol minum kemudian ‘glek…glek..glek’ lega, sembari menunggu seorang teman yang masih betah berada di dalam kerumunan, mencari buku berharga murah atau ‘oopss’ murahan, tapi tunggu ‘ndak ada itu buku murahan, yah kecuali picisan, saya sepakat dengan istilah itu’.
Hunting buku selesai, menunggu mobil angkutan ke arah raja basa, kami mau pulang, senja semakin lama semakin merayap, perjumpaan dengan mentari sudah pasti tak dapat, sudah pasti gagal lagi hari ini.
Angkutan itu sepi , karena sepi pasti si abang suka ‘ngetem-ngetem kagak karuan’ sampai ketika ada dua orang remaja tanggung yang ikut menumpang di angkutan ini. Saya pikir mereka berdua tidak saling kenal, saya tidak begitu perhatikan yang seorang selain dia memakai kaos oblong berwarna hitam dengan kalung seperti kalung ‘doggy’, kalung untuk hewan peliharaan maksud saya. Sedang yang satunya, sedikit nyentrik, awalnya ‘ndak’ kelihatan, sampai sedikit ndak sopan karena secara ‘ndak’ sengaja mengamati. Anak itu memakai topi, postur tubuhnya tinggi menurut saya, dan satu lagi, kurus, seperti halnya saya, ‘tinggal kulit membungkus tulang, tapi dia sedikit lebih baik dari saya tentunya’.
Ada yang menggelitik hati kemudian merangsang syaraf-syaraf yang terdapat pada lidah saya untuk bertanya, ‘kelas berapa de?’, anak itu malu-malu kemudian berkata ‘kelas satu mbak’, ohh begitu.
Teman-teman saya sudah mulai berkomentar, tersenyum-senyum geli, mentertawai kekonyolan yang saya lakukan sore itu, mereka memprotes keras apa yang saya lakukan terhadap anak lelaki itu.
Rasa penasaran belum usai, jawaban yang anak remaja itu berikan, ternyata mengundang rentetan pertanyaan konyol dan tolol yang lainnya.
Mungkin anak itu merasa tersiksa dengan pertanyaan saya, ia nampak malu-malu. Tapi, dasar saya memang tidak peka, maka saya tetap terus saja bertanya. Pertanyaan selanjutnya adalah ‘memang di sekolah dibolehkan ya pakai celana begitu?’ tanya saya.
Awalnya anak itu tidak menjawab selain tersenyum, lalu ‘mbak beneran nanya ini de, soalnya kalau jaman mbak dulu itu, kan musimnya celana lebar-lebar ujungnya, nah kalau ketahuan ya dirobek. Kalau celana seperti yang kamu pakai itu, apa nggak apa kalau dipakai sekolah? Jelas saya.
Ia menjawab tetapi tidak menatap wajah saya yang berada di depannya ‘ya pinter-pinter kita aja mbak’ jawabnya singkat.
‘ooh nggak boleh tho, berarti nyumput-nyumput dong kalau ketahuan’ tanya saya
Anak itu mengangguk, sementara temannya, dan dua orang teman saya hanya tertawa melihat tingkahnya.
‘tau dari mana de, kok bisa sampai make celana pensil gitu lho’ tanya saya
Anak itu semakin tersenyum, malu sepertinya, temannya pun tidak jauh berbeda, hanya senyam-senyum saja.
‘eh, mbak beneran tanya ini. Soalnya ada adik tingkat mbak yang pakai celana pensil itu dari SMP’ jelas saya
‘mode kali cep’ begitu sergah seorang teman saya.
Lalu, ‘gara-gara cangcuters mbak’ jawabannya nyaris tidak terdengar, deru mesin mobil dan lalu lalang kendaraan yang berlomba-lomba untuk segera sampai ke rumahnya, menyamarkan suara dia yang menjawab pertanyaan saya.
‘apa de? Cangcuters?’ saya mengulangi jawabannya dengan penuh keheranan
‘iya mbak, cangcuters’ jelasnya
‘ooo, menurut kamu, kayaknya ngeliat mereka pakai celana itu gimana gitu?’ jelas saya
‘iya mbak, keren’ tambahnya.
‘oh’ saya hanya bisa berkata ‘oh’ di dalam hati. Luar biasa dampak grup band bernama ‘cangcuters’ yang ada di negeri ini. Anak remaja ini, terjebak dengan apa yang namanya arus hedonism, pemujaan, atau mengidolakan hingga berhasrat ingin menirukan sesuatu yang mereka anggap keren saat itu.
‘yah semua gara-gara cangcuters’,
Mobil masih melaju kencang, senja semakin lama semakin mendekati malam yang berarti gelap dan pekat, tetapi melindungi manusia-manusia yang kelelahan karena aktifitas selama seharian. Sebenarnya kepala ini masih penuh dengan pertanyaan tentang ‘celana pensil’ yang anak itu kenakan. Tapi, saya bukanlah seorang jurnalis yang sedang melakukan studi kasus untuk sebuah benda yang bernama ‘celana’ dan anak SMA itu pun bukanlah seorang nara sumber yang harus saya cecar terus menerus tentang itu 'celana’.
Tadinya saya masih ingin bertanya ‘apa orang tuanya tidak melarangnya mengenakan itu celana? Lalu bagaimana membuatnya, karena itu celana seragam SMA?’. Semua pertanyaan-pertanyaan itu hanya berkutat di kepala, tidak terlontarkan, tidak pula terlahirkan ke dunia, hanya berkutat sebatas diskusi antara kepala dan hati. Raja basa, sebentar lagi sampai, ‘kopi ya bang’, mobil angkutan pun berhenti, lalu ‘mbak duluan ya de’ begitu ujar saya pada mereka berdua, dan ‘assalammu’alaikum’ ucap saya pada seorang teman saya lia.
Ramai, yah namanya juga bazar, segala sesuatu yang berbau bazar, sudah pasti tidak jauh dari yang namanya murah. Bayangkan 6 buku buah dihargai Rp. 10.000 saja, saya pikir ‘murah amat’ yah setidaknya untuk mahasiswi yang doyan baca buku tapi tidak bisa lepas dari istilah ‘hidup ngirit’ seperti saya ini.
Bazar buku benar-benar dinanti, tapi yah semurah harganya, maka seperti itu kualitasnya. Ternyata benar yang saya pikirkan, bahwa yang Rp. 10.000 rupiah itu buku-buku untuk kategori komik. Sisanya di atas itu semua, mulai dari Rp 5.000 perbuah hingga Rp. 12.500 perbuahnya.
Seperti itulah awal mula dari sebuah kisah lucu tentang hedonism yang akan saya ceritakan kali ini. Lelah bergumul dengan manusia-manusia yang punya keinginan sama ‘membeli buku murah, tapi kalau bisa berkualitas’. Berkutat dengan bau keringat, karena itu manusia-manusia, juga baru saja pulang dari aktifitas utamanya, untuk kemudian menyerbu menuju tempat ini untuk membeli buku.
Tidak betah berlama-lama saya pun keluar dari kerumunan masyarakat pencinta buku murah berkualitas saat itu. Hampir Rp.100.000 harga semua belanjaan saya saat itu, tapi itu semua bukan buku milik saya, tapi titipan seorang teman. ‘capek’ ya istirahat tentunya, duduk sejenak bersama seorang teman yang juga kelelahan, membuka botol minum kemudian ‘glek…glek..glek’ lega, sembari menunggu seorang teman yang masih betah berada di dalam kerumunan, mencari buku berharga murah atau ‘oopss’ murahan, tapi tunggu ‘ndak ada itu buku murahan, yah kecuali picisan, saya sepakat dengan istilah itu’.
Hunting buku selesai, menunggu mobil angkutan ke arah raja basa, kami mau pulang, senja semakin lama semakin merayap, perjumpaan dengan mentari sudah pasti tak dapat, sudah pasti gagal lagi hari ini.
Angkutan itu sepi , karena sepi pasti si abang suka ‘ngetem-ngetem kagak karuan’ sampai ketika ada dua orang remaja tanggung yang ikut menumpang di angkutan ini. Saya pikir mereka berdua tidak saling kenal, saya tidak begitu perhatikan yang seorang selain dia memakai kaos oblong berwarna hitam dengan kalung seperti kalung ‘doggy’, kalung untuk hewan peliharaan maksud saya. Sedang yang satunya, sedikit nyentrik, awalnya ‘ndak’ kelihatan, sampai sedikit ndak sopan karena secara ‘ndak’ sengaja mengamati. Anak itu memakai topi, postur tubuhnya tinggi menurut saya, dan satu lagi, kurus, seperti halnya saya, ‘tinggal kulit membungkus tulang, tapi dia sedikit lebih baik dari saya tentunya’.
Ada yang menggelitik hati kemudian merangsang syaraf-syaraf yang terdapat pada lidah saya untuk bertanya, ‘kelas berapa de?’, anak itu malu-malu kemudian berkata ‘kelas satu mbak’, ohh begitu.
Teman-teman saya sudah mulai berkomentar, tersenyum-senyum geli, mentertawai kekonyolan yang saya lakukan sore itu, mereka memprotes keras apa yang saya lakukan terhadap anak lelaki itu.
Rasa penasaran belum usai, jawaban yang anak remaja itu berikan, ternyata mengundang rentetan pertanyaan konyol dan tolol yang lainnya.
‘umm, de tanya lagi ya? Itu celana apa namanya?’ tanya saya
Remaja tanggung itu, menutup wajahnya dengan sebelah tangannya, untuk kemudian senyum-senyum sendiri entah karena apa, apa karena pertanyaan saya. Sementara remaja yang satunya, tertawa tertahan. Dari situ saya baru tahu kalau mereka berteman.
‘mbak ini beneran nanya, soalnya mbak nggak tau de’ tambah saya
‘kamu pakai juga de?’ tanya saya pada remaja yang satunya.
Sembari menunjukkan celana SMA nya dia berkata ‘enggak mbak’ jawabnya
‘ayo jawab…’ begitu ujar anak itu kepada temannya, sembari tertawa kecil.
Remaja yang menutupi wajahnya itu menjawab pertanyaan saya dengan suara yang nyaris tidak begitu terdengar.
‘itu celana pensil bukan?’ tanya saya
Anak itu menjawab ‘iya mbak’.
Mungkin anak itu merasa tersiksa dengan pertanyaan saya, ia nampak malu-malu. Tapi, dasar saya memang tidak peka, maka saya tetap terus saja bertanya. Pertanyaan selanjutnya adalah ‘memang di sekolah dibolehkan ya pakai celana begitu?’ tanya saya.
Awalnya anak itu tidak menjawab selain tersenyum, lalu ‘mbak beneran nanya ini de, soalnya kalau jaman mbak dulu itu, kan musimnya celana lebar-lebar ujungnya, nah kalau ketahuan ya dirobek. Kalau celana seperti yang kamu pakai itu, apa nggak apa kalau dipakai sekolah? Jelas saya.
Ia menjawab tetapi tidak menatap wajah saya yang berada di depannya ‘ya pinter-pinter kita aja mbak’ jawabnya singkat.
‘ooh nggak boleh tho, berarti nyumput-nyumput dong kalau ketahuan’ tanya saya
Anak itu mengangguk, sementara temannya, dan dua orang teman saya hanya tertawa melihat tingkahnya.
‘memang gak susah makenya de, kan sempit ujungnya’ tanya saya penuh keherananAnak itu nampak tidak nyaman, tapi saya tetap saja bertanya, dan sepertinya saat itu adalah pertanyaan yang terakhir yang saya ajukan untuknya.
‘ya enggak mbak, kan tergantung bahannya’ begitu jelas anak itu
‘oooo’ balas saya.
‘tau dari mana de, kok bisa sampai make celana pensil gitu lho’ tanya saya
Anak itu semakin tersenyum, malu sepertinya, temannya pun tidak jauh berbeda, hanya senyam-senyum saja.
‘eh, mbak beneran tanya ini. Soalnya ada adik tingkat mbak yang pakai celana pensil itu dari SMP’ jelas saya
‘mode kali cep’ begitu sergah seorang teman saya.
Lalu, ‘gara-gara cangcuters mbak’ jawabannya nyaris tidak terdengar, deru mesin mobil dan lalu lalang kendaraan yang berlomba-lomba untuk segera sampai ke rumahnya, menyamarkan suara dia yang menjawab pertanyaan saya.
‘apa de? Cangcuters?’ saya mengulangi jawabannya dengan penuh keheranan
‘iya mbak, cangcuters’ jelasnya
‘ooo, menurut kamu, kayaknya ngeliat mereka pakai celana itu gimana gitu?’ jelas saya
‘iya mbak, keren’ tambahnya.
‘oh’ saya hanya bisa berkata ‘oh’ di dalam hati. Luar biasa dampak grup band bernama ‘cangcuters’ yang ada di negeri ini. Anak remaja ini, terjebak dengan apa yang namanya arus hedonism, pemujaan, atau mengidolakan hingga berhasrat ingin menirukan sesuatu yang mereka anggap keren saat itu.
‘yah semua gara-gara cangcuters’,
Mobil masih melaju kencang, senja semakin lama semakin mendekati malam yang berarti gelap dan pekat, tetapi melindungi manusia-manusia yang kelelahan karena aktifitas selama seharian. Sebenarnya kepala ini masih penuh dengan pertanyaan tentang ‘celana pensil’ yang anak itu kenakan. Tapi, saya bukanlah seorang jurnalis yang sedang melakukan studi kasus untuk sebuah benda yang bernama ‘celana’ dan anak SMA itu pun bukanlah seorang nara sumber yang harus saya cecar terus menerus tentang itu 'celana’.
Tadinya saya masih ingin bertanya ‘apa orang tuanya tidak melarangnya mengenakan itu celana? Lalu bagaimana membuatnya, karena itu celana seragam SMA?’. Semua pertanyaan-pertanyaan itu hanya berkutat di kepala, tidak terlontarkan, tidak pula terlahirkan ke dunia, hanya berkutat sebatas diskusi antara kepala dan hati. Raja basa, sebentar lagi sampai, ‘kopi ya bang’, mobil angkutan pun berhenti, lalu ‘mbak duluan ya de’ begitu ujar saya pada mereka berdua, dan ‘assalammu’alaikum’ ucap saya pada seorang teman saya lia.
Dan beberapa bulan kemudian, seorang ustadz berkata "celana potlot....", apa itu celana potlot begitu saya bertanya, "itu celana yang ujungnya meruncing", ohhh jadi namanya resmi dari celana pensil itu adalah celana potlot ternyata.