Pages

Showing posts with label in Memori. Show all posts
Showing posts with label in Memori. Show all posts

Friday, June 1, 2012

Cerita tentang Hilangnya komputer di Kampusku

Ruangan ini sepi dari hampir 15 komputer desktop yang ada, hanya saya dan wanita itu yang berada di ruang laboratorium komputer ini. Wanita yang hilir mudik, kemudian dengan suaranya yang nyaring dia mulai mengganggu konsentrasi ku dalam merangkai kata dan membuai alam pikiranku dengan imajinasi semu.

Hampir menjadi benar-benar sepi, sebelum lelaki yang tergesa-gesa itu datang dan hilir mudik tidak jelas sembari berkata "astaghfirullah kenapa sih ini?" pertanyaan retorika yang dia lontarkan untuk dirinya sendiri. Pertanyaan yang keluar dari alat bicaranya, sebagai imbas dari tidak bekerja dengan baiknya USB yang ia miliki. Dan kemudian dia pergi, entah kemana.

Hampir kembali menjadi sepi, sampai ketika lelaki yang berkaos biru itu duduk tepat di sebelahku. Menyalakan CPU komputer untuk kemudian sibuk dengan handphone selularnya. Kembali teringat dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh seseorang dan saya lupa siapa. Si empunya pernyataan berkata "manusia zaman sekarang, lebih bisa ketinggalan, kehilangan dompet. Daripada kehilangan Handphonenya, Laptopnya". Lihat bagaimana manusia sudah hampir menjadi -cyborg-. Dan bahkan aku sendiri terkadang begitu sibuk dengan aktifitas membaca dan membalas bbm yang diterima oleh BB ku.
===========================================

"Negative, negative signal, bad that's bad" begitu ujar dosen MK Medan Elektromagnetku Rudy Wicaksana. 
Dosen muda baru menyelesaikan S3 nya di luar negeri -itu katanya, kata si dosen muda. Entah kapan tepatnya pak dosen muda datang, yang jelas dia sudah menambah penghuni ruangan komputer ini, menjadi 3 orang termasuk aku.

Hey, perkenalkan namaku budiman, nama yang lumayan tua dan terkesan kuno menurutku. Ketika orang-orang lain yang seumuran dengan ku bernama Akbar, Rizky, atau nama-nama keren lainnya, entah kenapa kedua orang tuaku menamai dengan "budiman". Dan ketika aku bertanya kepada ibuku tentang alasannya,
ibuku berkata "si mbok karo bapakmu, berharap sampean dadi wong sing berbudi, budiman le" 

Atau di saat yang lain ketika aku bertanya kepada mbahku, orang tua dari ibuku, mbah berkata "....wes to ngger, mbokmu bener iku, nama itu doa lho, bocah sekarang didoaken kok ya gak gelem tho........" begitu jawaban mbah putriku saat itu
.
Dan ketika aku sudah beranjak dewasa, datang, kemudian menginjak, lalu duduk di bangku kuliah, aku putuskan rantai pertanyaan tentang "mengapa aku bernama budiman" hanya budiman saja tanpa ada embel-embel lainnya.

Tubuhku? tidak kurus tidak juga gemuk, tapi mbah selalu berkata "mangan sing okeh lho ngger, ben lemu". 

Kulitku? khas anak Indonesia yang berasal dari pulau Jawa, Jawa tengah, Solo tepatnya, lebih ke dalam lagi Karang anyar, dari sana tempatku berasal. Daerah dingin, tetapi jangan berpikiran udara dingin bisa membuat putih kulitku, justru sebaliknya, kulitku hitam, 'hitam manis' begitu kata ibuku. Tapi menurutku kata 'manis' ada demi menyamarkan kata 'hitam' di depannya. 

Dan ketika aku menceritakan itu kepada ibuku 
"hahahahaha, le le koe iki ada-ada saja lho, wes opo sing dikasih sama Gusti Allah, mbok ya disyukuri lho, sing penting waras" itulah ibuku, di dalam ingatanku ibu selalu berkata syukuri.
======================================================

Siang pukul 13.00 kampus negeri di bumi parahiyangan, suhu di sini tidak jauh berbeda dengan daerah tempat aku berasal, dingin.

"Bud, Dud" seseorang memanggilku lirih dari arah belakang
"Oh kamu Den, kenapa?" tanyaku
"Ngapain lo Bud? udah makan siang belom, cari makan yuk?" begitu ujar Deny

Deny alfan teman satu angkatanku, aseli produk bumi parahiyangan tepatnya Garut, mengenai seperti apa fisiknya, ya dengan sangat menyesal aku jelaskan, dia putih, tidak gemuk tidak juga kurus, untuk tinggi badan, mungkin hanya berbeda 2 atau 3 cm dari ku yang 169 cm, cukup tinggi bukan? ya kalau bukan kita yang membanggakan diri sendiri, lalu siapa lagi.

Singkat kata aku pergi bersama Deny mencari pengisi perut untuk siang hari ini dan sebagai mahasiswa pria yang dibatasi uang jajan oleh orang tua dengan alasan -lelaki-, maka -ngirit- sudah menjadi moto kami berdua sehari-hari, dan WARTEG sudah menjadi pilihan kami. Dan lama kelamaan si pemilik warung tegal itu, bu Darmi, lama-lama mengenali wajah dan namaku, Deny serta Timo, Timo Manurung teman dekat ku yang lain. Dan dari namanya, semua bisa tahu bahwa dia berasal dari Sumatera utara.

"Timo mana Den? tumben gak keliatan?" tanya ku
"Timo ngges di warteg Bud, nungguin kita" begitu ujar Deny

Jarak antara kampus dengan warteg tak begitu jauh hanya sekitar 10 sampai 15 meter kira-kira.

Tiba di warteg aku melihat timo sudah duduk dengan sepiring penuh makanan.

Timo berubuh tambun dengan berat badan sekitar 87 Kg sedang tingginya 170 berambut ikal, berkulit hitam dan aku mengucap syukur seperti yang ibuku selalu ajarkan, bahwasannya ada yang lebih hitam daripada aku.

"Udah lama lo 'Mo" begitu ujar aku dan deny
"enggak, baru sampe kok. Laper, lalu awak sms Deny. Sms ke no hp kau tak kau balas-balas Bud" Timo merajuk, dengan pipinya yang gendut.
"Sorry jek, tadi lagi sibuk surfing and browsing cari-cari bahan buat tugas MK nya Pak Dito" begitu ujarku
"Aah iya, awak lupa itu, deadlinenya kapan Bud" tanya Timo
"Masih ada dua hari lagi 'Mo. Nah lo udah Den?" tanya ku
"Hmh gue?" ujar deny sembari sibuk dengan smartphonenya
"Ya iya lo, memangnya gue nanya sama sapa tho?" ujarku gusar
"Loe lama-lama jadi autis Den, disorder, ngapain sih dari tadi gue liat loe sibuk ketak-ketik itu handphone" tambahku
"Ini lagi bales bbm bro. Tugas ya? belon, gua tar malem aja dah. Sekarang makan dulu" ujar Deny

Aku, Deny dan Timo sedang duduk di sebuah bangku panjang. Tepat di depan kami sebuah etalase yang terbuat dari kaca. Memisahkan kami bertiga dengan lauk pauk dan sayur mayur made in Ibu Darmi, yang selalu menjadi penyelamat bagi sistem pencernaan kami bertiga. Sedang asik tenggelam dalam gumaman masing-masing tentang apa yang akan kami siang ini. Tiba-tiba suara seorang wanita paruh baya, suara yang kental dengan logat khas Jawanya, menyapa kami bertiga.

"Jadi trio budet, mau makan apa hari ini?" ujar bu Darmi di tengah-tengah percakapan kami
"Aduh bu Darmi, jangan itu kami bertiga dipanggil budet" Timo memulai protesnya seperti biasa, dengan logat batak kentalnya
"Tanti ada sodara serumpun awak yang dengar, bisa jadi bodat itu budet, malu awak" begitu ujar Timo
Aku dan Deny hanya tertawa

Sejak awal ketika pertama kali bu Darmi memperkenalkan istilah -trio budet- itu, aku tak mengerti mengapa timo memprotes pikiran kreatif ibu Darmi mengenai istilah itu. Tetapi setelah Timo berkata
"kalau dipelesetkan jadi bodat, artinya monyet" begitu ujar timo saat itu sembari mengunyah kepingan-kepingan keripik kentang di dalam mulutnya. Dan kami sendiri tidak tahu sejak kapan Bu Darmi menggunakan singkatan 'BUDET' itu untuk memanggil kami bertiga.

"Ya sok atuh, sekarang acep-acep nu kasep mau makan apa?" begitu ujar bu Darmi ramah
"biasa bu, kalo saya nasi rames pake semur jengkol ya bu" begitu ujar Deny
"Den, kamu gak bosen ya sama itu semur, gua aja dengernya bosen plus gak tahan sama bau mulut lo itu Den" protesku
"Duh, gimana ya Bud, itu makanan kegemaran hahahahha" begitu balas Deny
"kalau saya nasi rames pake ikan ya bu" ujarku
"kalau aku nasi rames pake sambal yang banyak ya bu Darmi, jangan lupa" ujar timo

Kalau deny tidak bisa lepas dari jengkolnya, lain lagi dengan Timo, penduduk Indonesia yang berasal dari Sumatera ini tidak pernah bisa lepas dari yang namanya sambal.  Belakangan, hobi timo pada sambal berguna juga pada akhirnya, atau justru menjadi petaka bagi kami bertiga.

Tak berapa lama, bu Darmi datang dengan pesanan kami dan seperti biasa tanpa banyak bicara kami menghabiskan makan siang kami kali ini dengan damainya. Kami bertiga berbeda namun ada satu hal yang sama yaitu kebiasaan kami yang tidak banyak bicara ketika makanan sedang berada di dalam mulut, alat bicara.

Selesai makan, membayar, kami pun pergi meninggalkan warteg bu Darmi, bergegas pergi karena tepat pukul 13.45 pak Tatang yang juga ketua jurusan kami, akan masuk mengajarkan MK Optik.

Semester 6, kami sudah memiliki dua adik tingkat di bawah kami. Sudah mengenal beberapa karakter dosen yang mengajar, beberapa ada yang kami suka beberapa? kami cukup sering dibuat kesal karenanya. Karena tugas-tugas yang diberikan luar biasa banyak, karena disiplin yang ketat, dan untuk semester ini aku harus berhadapan dengan pak Rudy, pak Dito, pak Tatang, dan beberapa dosen lainnya.

"Gila bud, tugas dari pak Dito banyak kali, bisa mati bediri awak" begitu ujar Timo sembari berbisik
Aku hanya diam sembari memandang ke arah slide-slide bahan perkuliahan yang sedang dijelaskan oleh pak Tatang

"Ya ntar malem kita kerjain aja di lab-komputer" ujar ku sembari berbisik
"ho oh, seperti biasa sambil main game hihihihi" sambung Deny

Dan kami bertiga pun kembali tenggelam dalam kuliah Optik milik pakTatang.

====================================================================
"Bekal buat begadang semalem suntuk udah ada Den?" ujarku
"Sip lah itu, gua sudah beli kopi instant" ujar Deny
"Aku sudah beli makanan hehehe" tambah timo sembari cengar-cengir tidak jelas

Menjelang pukul 18.00, suara azan maghrib mulai berkumandang, aku dan Deny membiarkan timo sendirian di ruang laboratorium sembari sibuk dengan acara surfing dan browsing-nya sementara kami berdua pergi ke masjid untuk sholat maghrib.

"Kita tinggal bentar ya 'Mo" ujar ku
"Ya, ya, sholat yang bener kalian berdua" ujar timo

Selesai sholat maghrib, aku dan Deny membeli nasi bungkus untuk kami bertiga. Sedang asyik bercakap-cakap sembari berjalan menuju lab-komputer, aku dan Deny berpapasan dengan pak Nanang, office boy jurusan kami yang pekerjaannya kadang merangkap tukang potong rumput, bersih-bersih ruang kuliah yang terdiri dari 3 lantai dengan 14 ruangan, ditambah lagi harus membuatkan minum untuk semua dosen yang bertugas di gedung ini, maka kami bertiga menjuluki pak Nanang dengan sebutan "lelaki rumah tangga". Usianya yang sudah mulai lanjut, aku taksir sekitar 55 tahun lebih atau mungkin 60, dibebani dengan segunung pekerjaan setiap harinya, tidak pernah membuat senyum itu hilang dari wajahnya.

"Baru pulang pak?" begitu ujar ku
Seakan terkejut melihat kami berdua, pak nanang sembari terbata-bata berkata
"Oh eh iya, mas Budi sama mas Deny mau begadang lagi ya di Laboratorium?" tanya pak Nanang
dan belum sempat kami menjawab
"Saya duluan ya mas, permisi" begitu tambahnya

Ada yang aneh dari pemandangan kali ini, aku dan deny hanya bisa saling menatap sembari berkata "aneh", kemudian kembali berjalan menuju laboratorium komputer tempat kami meninggalkan Timo di sana.

"Sudah kembali kalian, mana itu nasi bungkus awak. Sudah laparnya ini awak punya perut" ujar Timo
Tanpa banyak bicara, tanpa memikirkan lebih panjang tentang keanehan yang aku dan Deny temukan tadi,  kami bertiga segera melahap makan malam yang sudah mulai dingin itu.

Tidak sulit bagi kami bertiga untuk berada di laboratorium ini sampai pagi, karena memang aku dan Deny diberikan kepercayaan untuk mengelola laboratorium jurusan ini.

Sedang asik melahap makanan dalam diam, tiba-tiba terdengar suara berisik dari luar. kami bertiga saling berpandangan

"Pssttt, ada yang denger gak?" begitu ujarku
"Betul bud, sepertinya itu suara berasal dari ruangan dosen" ujar timo
"Wah, seru ini, ada setan" begitu ujar deny
"Gila kau den, ini bukan setan, tebakkan awak, ini pasti maling" begitu sanggah timo

Kami bertiga kembali berpandangan, sembari membereskan bekas makan kami dalam diam, suara itu masih terdengar, sampai tak berapa lama kemudian, hilang.

"Eh, udah gak ada lagi suaranya Bud" ujar Deny
"Iya ya, apa kita salah dengar mungkin ya? atau itu pak Nanang ya?" ujarku
"He, pak nanang, ada perkara apa pak Nanang jam segini masih di jurusan. Aneh" begitu ujar timo

Ya, aku pun merasakan hal yang aneh, tetapi kami bertiga hanya menganggap angin lalu apa yang kami dengar malam itu. Kembali berkutat dengan tugas-tugas pak Dito, kembali sibuk dengan urusan surfing dan browsing, tanpa curiga dengan apa yang terjadi sebelumnya. Dan betapa bodohnya kami bertiga, karena tidak segera memeriksa darimana arah datangnya suara, sampai keesokan harinya
=======================================

Selasa pkl 9 pagi, handphone ku berdering. Dengan malas aku meraih hp ku dan begitu tiba-tiba, si penelpon mencecarku dengan berbagai macam pertanyaan
"Bud, lo dimana? Ngampus gak? semalem lo darimana bud? Ngapain? dicari sama pak Tatang" ujar si penelpon di pukul 9 pagi
antara sadar dan tidak sadar aku berkata
"Ya biarin aja pak Tatang nyariin gua" begitu ujarku
kemudian
"Bud halo Bud, ini gua Deny, ini serius Bud" suara yang lain lagi dan kali ini aku begitu mengenalnya, suara Deny
"Kenapa Den?" jawabku
"Gila Bud, gawat, itu komputer di ruang dosen, hilang Bud" ujar deny
"hah, hilang? trus apa hubungannya sama gua Den?" tanyaku masih tak mengerti
"Aduh masya Allah Bud, bukan cuma hubungan sama lo doang, tapi sama gua dan Timo juga. Udah lo ke kampus aja dulu, nanti gua ceritain" begitu ujar Deny

Tanpa ba bi bu, aku segera menuju ke kamar mandi, biasanya kalau pagi-pagi selalu terjadi antrian di depan pintu kamar mandi ini, karena satu kamar mandi bisa dipakai oleh 3 sampai 4 orang. Tetapi, karena sebagian penghuni kosan sudah berangkat ke kampus, maka aku tidak perlu membuang waktu ku di depan pintu kamar mandi di pukul 9.30 pagi ini.
===========================================

Ada untungnya memiliki kosan yang tidak berada jauh dari kampus, bisa ditempuh dengan berjalan kaki, itu lah kenapa aku menolak ketika ibuku 'ah aku jadi rindu mbok' menawarkan aku untuk membawa salah satu motor yang ada di rumahku, di Solo.
"Gak usah mbok, nanti nambahi polusi" begitu ujarku saat itu
"Lagian, uang bensinnya kan lumayan mbok" tambahku
Ibuku hanya tersenyum saat itu
"yo wes kalo ndak mau, tapi si mbok sudah nawari kamu lho le'" ujarnya
"Inggih mbok, mboten nopo-nopo" jawabku
===========================================

Sesampainya di kampus, belum sempat aku menarik nafas, Deny dan Timo langsung mendatangi aku
"Sini Bud, kita ngobrol di lab aja" begitu ujar Deny
Aku langsung mengiyakan tanpa banyak bicara, melihat wajah mereka berdua aku semakin sadar bahwa apa yang akan mereka sampaikan adalah hal yang serius

"Gila kau Bud, dari jam delapan awak telepon kau, tapi tiada diangkat juga. Macam kerbau saja kau tidur" protes Timo
"Sorry 'Mo, gua ngantuk berat, kita kan pulangnya jam 3 pagi dari lab" begitu ujarku
"Sudah nanti aja protesnya 'Mo, sekarang yang lebih penting aja" ujar Deny menengahi
"Gini Bud, lo masih inget kan suara berisik yang kita denger tadi malem?" tanya Deny
"Iya, terus?" ujarku masih tak mengerti
"Itu Bud, tadi pagi pak Dito panggil gua sama Timo. Kata pak Dito, komputer di ruangan dosen hilang bud, 2 unit" tambah deny

Aku terdiam, terkejut, bodohnya aku, pikirku. Seharusnya tadi malam kami datangi suara berisik yang terjadi tadi malam.

"Terus pak Dito bilang apa?" tanya ku
"Kamu disuruh temui pak Dito Bud, tadi beliau tanya kunci lab sama gua. Ya gua bilang aja, lo yang pegang" tambah Deny
"pak Dito bicara, dia sudah tanya pak Nanang Bud, dan kata itu bapak, yang terakhir kali di jurusan itu, kita bertiga" begitu tambah Timo
"Sepertinya, kita bertiga jadi tersangka" tambah Timo
"wah keren ya 'Mo, seperti di tipi-tipi, jadi tersangka hahahah" ujar Deny sembari tertawa
"Gila kau Den, awak tidak terima dijadikan tersangka, dalam sejarah keluarga awak, tidak ada itu yang punya catatan kriminal" protes Timo
"Nah itu dia 'Mo, lo jadi yang pertama" begitu balas Deny masih sembari tertawa

Aku biarkan mereka berdua saling bersahut-sahutan, aku biarkan Timo dalam kegelisahannya, dan Deny dalam keinginannya menjadi tersangka sebagai imbas dari obsesinya untuk jadi terkenal dengan cara yang benar belum juga tercapai.

"Gua ke ruang pak Dito dulu ya. Kalian berdua masih mau nunggu di sini atau balik?" tanyaku
"kita bedua tunggu kau di sini sajalah, tidak ada kuliah, lebih baik awak di sini sambil pikir-pikir kenapa itu komputer bisa hilang" ujar Timo
"yo i Bud, kita berdua mau siapkan pidato kalau-kalau nanti kita masuk koran kampus hahaha, karena dituduh mencuri" begitu ujar Deny, masih dalam tawa

Aku tinggalkan ruang komputer itu dalam keadaan tertutup, sepanjang jalan menuju ruangan pak dito aku terus menerus mengingat kejadian semalam. Mulai dari perjumpaan dengan pak Nanang di lobi jurusan, dengan tatapan wajah yang tergesa-gesa dan sedikit ketakukan, begitu yang nampak dari wajah pak nanang saat itu. Tetapi aku masih belum dapat menarik kesimpulan dari apa yang terjadi semalam. Pikiranku terus silang lintang, mencari-cari kemungkinan-kemungkinan tentang siapa pencuri komputer jurusan tadi malam. Sesekali penyesalan itu datang, sesal tentang mengapa aku dan kedua orang temanku tidak punya inistiatif untuk mendatangi sumber suara saat itu.

Tiba di depan ruangan pak Dito, perasaanku campur aduk, antara rasa khawatir di-drop out dari kampus sampai bayangan akan wajah si mbok yang kecewa bahwa nama anaknya tidak sebudiman kelakuannya. Ah, aku tidak mau berpikiran sejauh itu.

"tok tok" aku ketuk pintu ruangan sekretaris jurusan pak dito
"ya masuk" ujarnya dari dalam
Suara yang begitu aku kenal, karena pan Dito adalah pembimbing untuk kelompok konsentrasi yang aku ketuai saat ini. Dengan perasaan gugup aku pegang gagang pintu ruangan itu. Begitu pintu terbuka, nampak sesosok lelaki yang kami panggil dengan sebutan pak Dito. Berperawakan sedang, tidak gemuk, tidak juga kurus.

"silahkan duduk 'Man" begitu ujar pak Dito yang saat itu sedang sibuk membuka laci lemari. Entah apa yang sedang beliau cari saat itu.

Kemudian,

"kamu tahu untuk alasan apa bapak panggil kamu ke ruangan?" tanya pak Dito
"iya, sepertinya saya tahu pak. Tentang 2 unit komputer yang hilang di ruangan dosen? benar begitu pak?" tanyaku

sembari duduk tepat di depanku, pak Dito berkata
"saya tahu, bukan kalian yang berada di balik ini semua. Tetapi, pada saat kejadian, menurut pak Nanang, yang terakhir berada di gedung ini, adalah kalian bertiga" ujar pak Dito
"Pak Dekan dan pak Rektor sudah mendengar tentang kejadian ini. Dan mereka meminta saya untuk menyelidiki kemungkinan bahwa pencurian itu dilakukan oleh orang dalam" tambahnya

Entah sudah berapa lama aku duduk di ruangan ini, aku tak begitu mendengar lagi apa yang pak Dito katakan, yang terdengar dan begitu membekas ketika pak Dito berkata tentang kenyataan bahwa hanya tinggal aku, timo, dan deny di jurusan pada saat itu. Kemudian tentang kemungkinan dikeluarkan dari kampus secara tidak hormat apabila terbukti mencuri. Alam pikiranku mencoba mencerna apa yang ingin disampaikan oleh pak Dito, tetapi yang dapat aku pikirkan hanya -drop out dan penjara-. Lamunan ku terhenti ketika pak Dito menyapaku

"Man, man, Budiman" begitu panggil pak Dito
"oh eh iya pak" jawabku
"kamu melamun?" tanya pak Dito
"bukan pak, saya cuma......, itu pak, ummm penjara sama drop out itu....." jawabku tanpa meneruskan karena pak Dito memotong pembicaraanku
"tidak perlu panik man, saya sudah sampaikan bahwa saya tahu pasti, bukan kalian yang melakukannya. Tapi, saya minta selama 1 minggu ini, kalian bertiga tidak mengikuti perkuliahan terlebih dahulu. Kita anggap kalian di-skors. Dan saya sudah menyampaikan hal ini kepada semua dosen pengasuh MK yang kalian ambil" ujar pak Dito

Tanpa banyak berkata, aku hanya menjawab "baik pak, tapi pak, kunci laboratorium ini bagaimana pak? "
"Oh, kamu gantungkan saja di situ" ujar pak dito sembari menunjuk dinding tempat semua kunci-kunci ruangan yang ada di jurusan ini berada.
"Baiklah, saya masih ada agenda di luar, saya tinggal dulu ya" ujar pak Dito
"iya pak, saya juga permisi, assalammu'alaikum" jawabku
"wa'alaikumsalam" balas pak Dito

Meninggalkan ruangan pak Dito, begitu tiba di luar, Deny dan Timo langsung mencecarku. Kami bertiga mendapatkan keputusan yang sama 1 minggu di-skors dari perkuliahan. Dalam kekalutan, kami memutuskan untuk meneruskan pembicaraan ini di warteg bu Darmi
"sudah, sudah siang, kita makan dulu aja. Kamu juga belum sarapan kan Bud?" ujar Deny
"iya, gua belum sarapan. Makan dulu lah, biar jernih pikiran" jawabku
Timo hanya diam, sepanjang perjalanan sesekali kepalanya mendongak ke atas, entah apa yang dia pikirkan. Aku tak tahu. Aku dan Deny pun ikut terdiam, semua tenggelam ke dalam alam pikiran kami masing-masing.
=========================================

di Warteg Bu Darmi

"aku pesan biasa ya bu" ujar Timo
"saya juga bu" ujar Deny
"saya juga" tambahku
 tanpa banyak bicara, bu Darmi membuatkan pesanan kami bertiga. Beliau sepertinya tahu bahwa suasana hati kami sedang tidak enak saat ini.

"ini makannya, ada apa tho? kok yo tumben, diem semua, cerita sama ibu" begitu ujar Bu Darmi
kami bertiga saling memandang, kemudian Timo melihat sekeliling, seperti mengamati sesuatu, lalu sembari memberi isyarat pada Bu Darmi untuk mendekatkan diri ke arah Timo, Timo berbisik "komputer jurusan ilang 2 buah bu, tertuduhnya kami bertiga" begitu ujar timo

"Sekarang kami bertiga di-skors bu" ujar Deny
Bu Darmi tersenyum "ibu tau bukan kalian yang pelakunya, lalu, apa tindakan kalian selanjutnya?" tanya Bu Darmi
"yaaaa, kami tak kuliah 1 minggu bu" ujar Timo
"horeeeeeeeeeee, yes, gua bisa tidur 1 minggu di kosan" ujar Deny
"alamaaaaaaakk, Deny, kau ini, keadaan sudah segawat ini, masih saja kau bersenang-senang" ujar Timo

"kalau ibu boleh saran, ini cuma saran lho. Kalian buktikan kalau kalian bertiga itu bukan pelakunya" Begitu ujar bu Darmi yang kemudian pergi meninggalkan kami setelah mempersilahkan kami menyantap sarapan sekaligus makan siang kami.
==========================================

"aduh, berat mo. Elu sih, makan gak kira-kira, badan sebesar gajah......." Gerutu Deny
"psssttt, jangan berisik ujarku
"maaf Den, ya deh lain kali awak kurangi makan awak" balas timo dengan nada menyesal
"ayo Den, hitungan ketiga kita dorong Timo ke atas" begitu ujarku
"satu, dua tiiiiga" dengan sekuat tenaga aku dan deny mendorong Timo agar dapat memanjat dinding Laboratorium yang tingginya hampir 3 meter itu. Dan selamatlah timo mendarat di lantai 2 tersebut.

"lempar-lempar amunisi" ujar timo sembari berbisik
satu persatu kami lemparkan bungkusan hitam yang sudah kami bawa. Masing-masing bungkusan berisi kelereng, oli bekas, dan cairan yang dibawa Timo, yang dia minta dari Bu Darmi pagi ini. Omong-omong, setelah bu Darmi berkata "membuktikan bahwa kami bukan pelakunya", sepulang dari sana kami bertiga merencanakan hal ini, mengendap-endap masuk ke jurusan kami, untuk membuktikan bahwa kami tidak bersalah.

Kami bertiga pun sudah sampai di lantai 2, tempat laboratorium komputer berada. Laboratorium ini berada satu lantai di atas ruangan dosen, tempat dimana 2 unit komputer itu hilang.

"kunci lab mana bud?" ujar timo tiba-tiba
"duh, disita sama pak Dito 'mo. kenapa?" ujarku
"awak mau buang hajat bud, aduuuuuh" ujar timo
"allamaaaak, timo, kau, saat-saat begini malah hendak buang itu hajat. Di simpan sajalah, nanti kalau sudah matang baru diangkat" ujar deny sembari meniru logat deny
"aih, kau, kauuuu ini, kau kira ini makanan.........." belum sempat timo menyelesaikan protesnya, tiba-tiba suara berisik seperti kemarin, kembali terdengar.

sembari mengendap-endap kami menuju ke lantai 1, tempat di mana ruang dosen berada. Sesekali suara itu hilang, kemudian kembali terdengar. Kami bertiga menuju sumber suara, dan itu tepat berada di ruangan pak Dito, sekretaris jurusan.

"aih bud, dari ruangan pak Dito. Ada apa di sana bud?" ujar Deny
"sebentar, seingatku, ada beberapa unit komputer beserta monitor LCD baru yang belum terinstalasi, beberapa hari yang lalu, pak Dito pernah minta kita untuk instalkan, tapi gua belum cerita ke kalian, eh kita sudah jadi tersangka.........." ujarku
"eh, jangan-jangan malingnya mau 'ngegarap' itu komputer baru bud" ujar Deny

"mo, mo, plastik yang isinya oli mana mo?" ujarku sembari berbisik
timo memberikan 1 buah plastik yang berisi oli. Setelah memastikan bahwa plastik tersebut berisi Oli, aku pun segera membuka isi plastik tersebut kemudian menaburkannya tepat di depan pintu keluar masuk akses ke ruangan pak Dito.

kemudian sembari berbisik
"plastik yang isinya kelereng ditaburin juga mo, den, tapi pelan-pelan ya. kelerengnya disusun" begitu ujarku
setelah selesai dengan kedua bungkusan itu, kami bertiga bersembunyi di salah satu sudut, di luar ruangan pak Dito.

begitu pintu ruangan pak Dito terbuka, dalam gelap cahaya dan hanya diterangi cahaya bulan, kami bertiga melihat ada 2 orang yang tengah mengendap-endap keluar dari pintu ruangan pak Dito, yang seorang membawa CPU di kiri dan kanan, yang seorang lagi membawa 2 buat monitor LCD.

Kami bertiga menahan nafas ketika dua orang lelaki itu keluar, yang seorang bertubuh gempal, pendek, tambun, sedang yang seorang lagi berperawakan sedang. Dalam keadaan khusyuk masyuk menahan nafas perlahan, tiba-tiba, aku mencium bau tak sedap, lalu

"Gila! woy batak!! lo kentut ya" ujar Deny sembari berbisik
"maaf kawan, awak tak tahan, benar tak tahan" ujar timo
"psssst jangan berisik teman" ujarku sembari menahankan bau yang tak tertahan karena timo berada tepat di depanku

tiba-tiba

"gdubbbrakkkkkk"
kedua pencuri itu terjatuh, mereka berteriak tertahan karena kedua CPU dan LCD itu menimpa tangan dan tubuh mereka. Dan ketika yang seorang dari mereka mencoba berdiri, mereka terjatuh lagi.

Kami berdua masih terbengong-bengong dalam diam, hanya timo yang gelisah tak menentu menahankan perutnya yang sudah sakit tak tertahankan itu.

"Ayo Bud, itu yang maling sudah jatuh" ujar Deny
"Sabar Den, kita kan gak tau kalau mereka bawa senjata tajam atau enggak" ujarku
"Lo cari satpam den, biar gua sama Timo yang di sini" tambahku
"Lo yakin Bud? kalau mereka lari?" bisik Deny
"Gak mungkin lari Den, Paling gak CPU yang beratnya hampir 3 Kg yang menimpa mereka itu, menahan mereka untuk pergi jauh" ujarku

Deny pun segera pergi mencari pertolongan, hanya tersisa aku, timo, dan dua pencuri itu.

"Aneh ya  mo, sudah jatuh ketimpa CPU, itu dua maling gak ada suaranya" ujarku
"iya bud, lagi, kok bisa masuk ruangan pak Dito ya Bud, dari pintu depan pun. Bukan dari jendela, pasti malingnya punya kunci masuk sepertinya Bud" ujar Timo

Lambat laun, kedua pencuri itu mencoba berpegangan pada tiang pintu untuk berdiri. Lalu
"sial, perasaan tadi tidak ada benda yang licin di sini" ujar pencuri 1
"iya pak, tadi tidak ada apa-apa di sini" ujar pencuri 2
"sepertinya lengan saya terkilir pak" ujar pencuri 1
"iya pak, paha saya sepertinya memar hebat tertimpa CPU" ujar pencuri 2

aku dan timo tak dapat mengenali wajah kedua pencuri karena mereka menggunakan penutup kepala, tetapi
"Bud, perasaan awak kenal dengan suara salah satu pencurinya" ujar timo
"ah yang bener kamu mo? suara siapa mo" tanyaku
"entahlah bud, aku lupa, ummm siapa ya bud......." belum selesai timo menebak, tiba-tiba kedua pencuri itu dapat berdir, kemudian mulai mengangkat kembali barang hasil curian mereka.

"sudahlah pak, kita bawa masing-masing 1 saja, lengan saya sepertinya benar-benar terkilir" ujar pencuri 1
seperti mengiyakan dalam diam, pencuri 2 mengikuti saran pencuri 1. Aku dan timo saling berbisik mengapa Deny tak juga datang, sementara kedua pencuri itu sebentar lagi akan pergi.

Kemudian, tiba-tiba, timo mengambil 1 bungkusan yang tersisa dan ternyata di dalam 1 bungkus besar itu terdapat 3 kantung yang berisi air, sembari melihat ke arahnya "cabe 'mo?" tanyaku
"iya, tapi yang satu air cucian piring dari warteg bu Darmi" jawab timo sembari tersenyum
"Sebentar mo, gua cari kayu atau senjata atau apalah mo, mana tau mereka bawa senjata tajam. INget ya mo, kesempatan tembak cuma sekali. Jangan sampe kita terlihat 'mo, habis tembak, kita lari" ujarku

"siap Bud" ujar timo

setelah aku mendapatkan 1 buah kayu dan beberapa buah batu, lalu
"siap mo, cepet mo" ujarku terburu-buru karena kedua pencuri itu sudah mulai beranjak
"hitungan ketiga mo" ujarku
"satu, dua, tiga.........." aku dan timo pun melemparkan kantung-kantung cabe itu ke arah kepala kedua pencuri itu

"ahhhhhhh, air apa ini" teriak pencuri 1
"sial, kampret" ujar pencuri 2

aku dan timo langsung melemparkan batu-batu yang sudah kami kumpulkan tadi. Kami berdua bukan pahlawan seperti spiderman atau pahlawan super lainnya yang memiliki keberanian untuk membekuk dua kawanan pencuri tersebut. Kami berdua hanya dapat melawan dari jarak lebih kurang 4 meter, sembari menunggu Deny datang. Tapi, belum sempat deny datang membawa bala bantuan, kedua pencuri itu sudah pergi tanpa banyak bicara, meninggalkan jurusan tanpa membawa barang hasil curian mereka.

Selepas kedua pencuri itu pergi, Timo dan aku masih terdiam. Tiba-tiba, kami berdua mendengar langkah kaki seseorang, dari arah berlawan dengan arah larinya pencuri. Kami berdua saling berpandangan, sembari tersenyum timo menunjukkan 1 bungkusan sisa yang belum sempat digunakan,
"apa itu mo? cabe?" tanyaku
"bukan, sepertinya sih air cucian piring, baunya tak sedap, bukan bau cabe" ujar timo

Dan begitu sosok itu muncul dari balik dinding,
"Siapa disi.........." belum sempat menyelesaikan kalimatnya, timo sudah melemparkan air cucian piring itu ke arah sosok yang akhirnya aku dan timo tau siapa dia, Pak Rudy. Lampu lantai satu pun menyala, Deny datang dengan 4 orang satpam kampus. Aku dan Timo keluar dari tempat kami bersembunyi. Deny dan keempat satpam itu tidak melihat apa-apa selain sisa-sisa pergumulan aku dan timo dengan kedua pencuri itu, serta pak Rudy yang sudah basah tepat di wajah dan separuh bajunya, dengan air cucian.

"negative, negative" ujar pak Rudy sembari mengusap wajahnya dengan saputangan dari kantung celananya
"ada apa ini? saya dengar ribut-ribut dari lantai 3" ujar pak Rudy

"mana pencurinya?" ujar seorang satpam yang sepertinya kepala satpam di kampus ini
 "pencuri?" tanya pak Rudy
"Iya ada pencuri pak" ujar timo dengan wajah bersalah karena sudah melemparkan bungkusan terakhir itu ke arah pak Rudy
"sudah kabur pak" ujarku
"iya, kelamaan pak, pencurinya kabur. Tapi, barangnya gak sempet dibawa" tambah timo sembari menunjuk dua buah CPU dan LCD yang tergeletak di lantai. Entah masih dapat berfungsi atau tidak, mengingat keempat benda itu sempat terjatuh dari tangan kedua pencuri itu.

"Kacau sekali di sini, negative, so negative" ujar pak Rudy sembari meletakkan kedua tangannya di pinggang
Deny hanya terdiam, murung, seperti kecewa karena tak berhasil menangkap pencurinya.
"Yahh, sudah den, yang penting kita berhasil buktikan bahwa bukan kita pencurinya" ujarku
"hhhhhhhh, padahal gua kan mau ikut menyerang" ujar Deny

"ya sudah, baiklah. Tapi kalian bertiga bisa ikut ke kantor saya, saya perlu keterangan lengkap kalian tentang seperti apa kejadian dan mungkin ada dari kalian yang mengenal ciri-ciri pelaku" ujar kepala keamanan
"iya pak, iya, awak seperti mengenal salah seorang pelaku dari suaranya pak" ujar timo
lalu
"oh kamu kenal dengan suaranya 'mo" tanya pak Rudy
"memang seperti suara siapa mo?" tanya deny
"itu pak, seperti suara, ummm suara siapa ya, awak familiar sekali den, ummmm, suara..........., addduuuhhhhhh" ujar timo memutus penjelasannya

"kenapa mo?" ujar aku dan deny
"perut awak, sakit sekali, awak perlu kamar mandiiiiiiiiiii....." ujar timo sembari menahankan perutnya yang sakit
"pak, di kantor bapak ada toilet kan?" tanyaku
kepala keamanan itu mengangguk, lalu "ayo pak kita segera kesana, teman saya butuh pertolongan" ujar ku

"mari" ujar pak kepala keamanan itu
"kalian bertiga, tolong bereskan ruangan ini ya" ujarnya lagi kepada 3 orang petugas keamanan yang lainnya
"siap pak" jawab mereka bertiga serempak

Akhirnya kami bertiga beserta pak Rudy, pergi mengikuti Kepala keamanan menuju kantor keamanan untuk memberikan penjelasan hal apa yang terjadi di jurusan malam itu.
  ----------------------------------------------

 Esoknya, di sore hari, di ruangan pak Dito kembali

"saya tahu persis siapa yang mengambilnya" begitu ujar pak dito di sore yang sepi, di jurusanku
"dosen lain pun mengetahui hal itu" tambahnya
aku sempat hampir protes, angkat bicara
'sial, kalau kalian tau kenapa kami bertiga yang jadi korban' pikirku sembari mengepalkan jari-jemariku menahan amarah.
"bapak tahu, kalian bertiga yang jadi kambing hitamnya. Tetapi saya dan beberapa dosen di sini tahu siapa dalangnya, sehingga isu-isu tersebut tidak kami tanggapi. Dan pagi ini, saya sudah bicara dengan pak dekan dan pak rektor, bahwa tuduhan yang diarahkan kepada kalian itu tidak benar" ujar pak dito
"saya tidak akan memberi tahu siapa orangnya, kalau kamu mau tahu kamu bisa bertanya pada pak nanang" tambah pak dito
"satu kunci dari saya, yang mengambil dua unit komputer milik jurusan ini adalah orang yang memiliki akses bebas ke ruangan ini, tanpa bisa dicurigai oleh siapapun" 

Pak dito pun beranjak dari kursi tempat ia duduk, aku, deny dan timo masih berkutat dalam pikiran yang menerka-nerka dan mengira-ngira siapakah pelaku di balik ini semua beserta dalang dari fitnah yang mengarahkan kasus pencurian ini kepada kami bertiga

"pak tata........." begitu ujar kami bertiga secara bersamaan
"ssstttt, kita anggap selesai urusan ini oke anak muda" begitu ujar pak dito
"sudah sore, jam 5, jangan lupa tugas yang saya berikan di kumpulkan besok pagi tepat pukul 8, oke selamat sore" begitu ujar pak dito meninggalkan ruangannya

kami bertiga masih terbengong-bengong sembari saling menatap satu sama lain, tatapan tak percaya bahwa pak Tatang ketua jurusan bisa melakukan ini semua dan yang paling mengesalkan adalah mengetahui bahwa pak Tatang pula yang mengarahkan tuduhan kepada kami bertiga

"gila mak, tak sangka aku, pak tiiiiiiit itu yang bikin kacau semua" ujar timo
"iya mo, saya juga gak nyangka, perasaan baik lho mo" ujar deny
"sama aja, saya juga gak abis pikir," ujarku

kembali terdiam, sampai
"maaf mas budet, itu......." belum sempat pak nanang office boy jurusan ini menyelesaikan ucapannya, timo memotong segera
"apa? budet?"  sembari memukul jidatnya
"jangan budet pak nanang, itu budet bisa berubah jadi bodat a.k.a monyet" begitu protes timo

dan kami bertiga pun tertawa

"masya Allah!!!!" ucap deny sembari setengah berteriak
"kenapa, kenapa deny" ujar aku dan timo
"mati kita mo, tugas mo, tugas dari pak dito belum kita kerjain" ujar deny
"Alamaaaaakkk, sudah jatuh tertimpa tangga pula awak" jawab timo

aku dan pak nanang tertawa tertahan melihat deny dan timo yang tenggelam dalam kebingungan

Hari semakin berlalu, kami bertiga tetap berkuliah seperti biasa. Dan cerita mengenai hilangnya 2 unit komputer dari ruangan dosen pun semakin lama semakin lenyap sudah, seakan tidak pernah terjadi. Pak dito masih sibuk dengan tugas-tugas yang diberikannya kepada mahasiswa. Pak rudy tetap sibuk dengan istilah -negative signal- nya dan melupakan kekhilafan timo yang menyiramkan air cucian piring dari warteg bu Darmi, dengan alasan "awak kira pak rudy itu pencuri yang kita cari. Lagi pula saat itu sudah gelap bud, mana bisa awak liat. Kalian kan tau mata awak sudah minus 4, tanpa kacamata awak sama saja buta" ujar timo. Mungkin karena alasan itu pak rudy bersikap seakan-akan itu tidak bernah terjadi, meskipun ketika itu terjadi pak Rudy sempat memaki-maki si pelaku dengan kata-kata asing yang tidak kami mengerti

mahasiswa yang lain? bungkam, entah mereka tahu, entah mereka tidak tahu, entah mereka tak mau tahu, atau mereka sudah tahu bahwa pak ketua jurusan kami itu seperti itu, aku tak tahu, kami bertiga tak tahu. Yang kami tahu, tugas kuliah tetap harus diselesaikan, uang jajan bulanan tetap hanya cukup untuk mangkal di warteg bu Darmi. Dan deny masih tetap dengan jengkolnya, Timo dengan sambel berlauk nasi, bu Darmimasih tetap dengan istilah "budetnya" yang sudah sampai ke seluruh mahasiswa di jurusan. Sampai suatu hari pak dito memanggil kami 

"kalian, trio budet, sini........" begitu ujar pak dito
"hah........." timo hanya dapat membuka lebar-lebar matanya, kaget, terbengong-bengong yang kemudian hilang karena pak dito ingin kami segera mendatanginya dan timo tak mungkin memprotes pak dito dengan panggilan "budet" yang diarahkan kepada kami bertiga

"bah, darimana pula bapak dito bisa tau itu kata budet" begitu gumam timo sembari menepuk jidatnya


Monday, April 2, 2012

jelajah 1000 wajah

Entah dengan motivasi apa saya membuat judul 'jelajah seribu wajah' ini beberapa bulan yang lalu, tapi mari membuat sebuah asumsi-asumsi sederhana. Sebuah kesimpulan, meskipun kesimpulan itu didapat dari sebuah analisa dangkal tentang berbagai macam wajah yang bisa manusia nampakkan di hadapan manusia yang lainnya.

Manusia memiliki banyak wajah di dalam hidupnya, bahkan seorang suami/istri sekali pun tidak akan pernah tau seperti apa isi di dalam hati pasangannya.

Media televisi banyak menceritakan tentang bagaimana manusia-manusia yang pendiam, yang terlihat baik di luar, tetapi belakangan melakukan tindakan yang menurut orang-orang di sekelilingnya "tidak mungkin dia melakukan itu"

Jelajah seribu wajah, beberapa kali saya melihat iklan rokok di televisi, betapa manusia setiap harinya menggunakan topeng di dalam kesehariannya. Lebih seperti bahwa "dunia ini panggung sandiwara" atau bukan ya? mengingat setiap pemain sandiwara memainkan peran yang bukan dirinya. Sama seperti mengenakan topeng untuk peran yang dimainkannya di atas panggung pertunjukkan.

"baelah" begitu dalam bahasa sunda

Setiap manusia punya alasan mengapa dia mengenakan topeng di dalam kesehariannya. Mengapa dia bersandiwara di dalam hidupnya.

Beberapa orang kenalan saya, menceritakan pengalaman paling memalukan di dalam hidupnya, diri mereka mengatakan bahwa "ini aib" begitu ujar mereka pada saya.

Ya, saya tahu, saat itu saya mengangguk setuju. Tetapi, aib mereka aman bersama saya, saya simpan, saya terbangkan bersama angin yang bertiup kala itu. Saya mendengarkan mereka bercerita, saya memiliki, saya menyimpan kisah di dalam hidup mereka. Saya mencernanya, saya tidak menghujatnya, saya pun tidak mencibirnya, saya memakluminya, saya memaafkan mereka sebagai manusia.

Lalu ketika seorang kenalan saya itu bertanya "bukankah Allah menutupi aib hamba Nya, lantas mengapa kita harus membukanya" begitu katanya pada saya.

Ya, memang, Allah menutup aib hamba Nya. Begitu Maha pengasih dan penyayangnya Dia, ketika Dia Yang Maha menutupi aib manusia, manusia yang tak ubahnya seperti debu yang beterbangan, yang cuma seorang hamba, kadang merasa berhak untuk mengungkap, menyebarkan aib temannya, sesamanya, saudaranya.

Saya simpan rapat-rapat cerita mereka pada saya tentang seperti apa masa lalu yang mereka punya. Saya tersenyum, saya hanya bisa berkata, sebagai seorang manusia "Allah Maha mengampuni dosa hamba Nya, selama tidak menyekutukan Nya" begitu saya sampaikan padanya, beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih menempuh pendidikan strata satu.

Jelajah seribu wajah

Di dalam gelap aku dendangkan, syair lagu kehidupan

saya biarkan masa lalu itu terbang, hilang
saya menganggap tidak ada, apa-apa yang menyakitkan
saya memaafkan manusia
berharap Dia akan mengganti luka
berharap Dia akan mengampuni dosa
berharap Dia akan memaafkan dengan kemurahan hati Nya
dengan keluasan rahmat dan ampunan Nya

Monday, October 10, 2011

cerita tentang manusia, cerita yang tua

Lihat bagaimana rasa kenyang bisa mematikan hati, akal dan pikiran.
Saya terjebak dengan bertumpuk-tumpuk makanan siap makan. Dengan beberapa bungkus makanan yang tidak lagi bisa dimakan untuk beberapa hari ke depan. Lihat, lihat lah bagaimana rasa kenyang itu bisa membuat manusia seperti aku, terjebak dalam rasa malas yang terkadang membebaniku dengan bujuk rayunya, dengan tarian-tarian erotisnya yang mengingatkan aku tentang betapa "nikmatnya bergulat dengan kasur empuk itu"

Sial, kenapa harus pula keluar kata "sial" itu, ah anggap saja sebagai bentuk aktualisasi diri. Sebagai ujud dari keinginan untuk dianggap -wah-, meskipun tidak jelas dengan benar, -wah- dari segi apa. Mungkin saja sisi kegelapan yang sedang ingin muncul, yang kemudian diwakilkan dengan kata -sial-.
Baiklah para pembaca dunia maya sekalian, mari hentikan omong kosong tentang aku, yang merupakan manusia sebagian, manusia yang belum juga lengkap otaknya secara implisit. 
Ingin sedikit bercerita tentang profesi memalukan yang semakin lama semakin marak di Indonesia. Profesi ini menjadi sebuah keniscayaan, lahir dari apa yang kita sebut dengan -KEMALASAN-. Muncul ke permukaan sebagai akibat dari hilangnya rasa malu, putusnya urat syaraf malu dari manusia-manusia yang katanya -penghuni- asli bumi ini, penguasa dunia, yah setidaknya begitulah asumsi saya saat ini. 

Profesi ini menjadi bisnis, bisnis yang menguntungkan. Semakin marak karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang kian menjanjikan. Bisnis dan profesi ini memiliki target dan segmen pasar tersendiri. Dengan menyerang rasa iba manusia, dengan mengandalkan rasa belas kasih yang tertanam sejak lahir pada setiap diri anak adam dan hawa. Dengan memposisikan diri seolah-olah sebagai manusia paling menderita dari pada pelanggannya, maka bisnis ini semakin berkembang pesat saja di bumi Indonesia.

This boy, hiding his cellphone from me using his right hand. He is a beggar
MENGEMIS - PENGEMIS - beggar

Dengan omset luar biasa, mari kita asumsikan si -acep- beroperasi dari pkl 7 pagi sampai pkl 9 malam. Di wilayah padat merayap dengan tingkat populasi pejalan kaki, pengendara kendaraan roda dua dan empat yang apabila dikalkulasikan bisa mencapai 1 juta orang setiap harinya. Berasumsi lagi yang beriba memberikan dia uang sekitar 300 - 500 orang setiap harinya. Dengan kisaran -receh- yang didapatkan Rp 300 - Rp 1000 / harinya. Silahkan menghitung berapa omset yang -acep- dapatkan setiap harinya, minimal acep bisa mendapatkan Rp 90.000/hari dan maksimal Rp. 500.000/ hari. Lalu asumsikan dia beroperasi setiap hari selama 1 bulan, jadi jumlah penghasilan si acep, maksimal adalah Rp @#$%^&&& (silahkan hitung sendiri).

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Bayangkan atau tak perlu bayangkan, karena bahkan pengemis pun memiliki ponsel genggam di tangannya. Bahkan pengemis pun memiliki strategi di dalam usahanya. Bahka secara tidak sadar, mengaplikasikan operasi managemen di dalam waktu efektif kerjanya. 

Ada banyak kisah yang menginspirasi mata, akal, pikiran dan hati saya. Merangsang setiap titik-titik syaraf  untuk berpikir tentang apa, mengapa, kenapa. Beberapa kisah, sungguh membuat geli hati karenanya, beberapa meninggalkan luka pedih karenanya. 

Kisah seorang bapak berambut -gondrong-, dia duduk di sudut sebuah pertokoan. Dengan pakaian lusuhnya, menghadapi dinginnya cuaca bumi parahiyangan di malam hari. Tak ada aktifitas bermakna yang dia kerjakan, selain hanya sesekali melihat kantung plastik bawaannya. Sekilas saya pikir dia -pengemis-, tidak jauh berbeda seperti yang lainnya. Tetapi, lelaki paruh baya yang satu ini berbeda, dia bukan pengemis sepertinya. Lebih tepatnya dia manusia yang mengais rezeki dari tempat-tempat pembuangan sisa makanan -tempat sampah-. Mengambil gelas dan botol plastik bekas, sepertinya akan dijual.

Malam yang dingin, rasa sedih, rasa kesal akibat sopir angkutan umum jurusan kalapa-ledeng yang asal. Rasa marah akibat tersasar hingga harus berjalan lumayan jauh, membuat aku kembali menjadi manusia yang lebih banyak pikir -tentang hal tak berguna-, dari pada mengimplementasikannya.

Saat itu, ada rasa ingin menghampiri lelaki paruh baya, sekedar bercakap-cakap sekenanya. Atau mungkin membelikannya sesuatu untuk ia kunyah, telan, kemudian disalurkan menuju sistem pencernaan. Tetapi, yang ada aku hanya diam, berlalu pergi, meninggalkan lelaki paruh baya dengan tumpukan sampah plastiknya. 

Malam semakin larut, dingin semakin menusuk, bersyukur tubuh ku yang kurus dan terlihat ringkih ini terlindungi oleh tebalnya jaket kumal berwarna merah menyala, yang terkadang membuat lelaki itu -tersulut rasa kelelakiannya-. 

Menyusuri jalan raya, dengan kaki yang sudah mulai memberontak, ia melaporkan perbuatanku kepada otak yang berada di dalam kepalaku "hentikan, aku sudah cukup lelah wahai manusia serakah". Aku abaikan pemberontakan kecil itu, sebagai ujud otorisasi kediktatoranku atas tubuh kurusku. "Tap, tap, tap" begitu derap langkah kaki ku, dan sejenak terhenti bersamaan dengan tertegunnya kedua buah bola mataku. Tertumpu pada seorang wanita, seorang ibu dengan seorang bayi berusia beberapa bulan di pangkuannya.

Kisah tentang seorang ibu, apakah mungkin dia ibunya? atau hanya sekedar ibu sementara saja? entahlah. Tapi, benarkah begitu tega seorang ibu membaringkan bayinya dipinggil jalan, di atas trotoar, tepat bersandar pada tiang lampu merah. Drama semakin memilukan ketika plot kejadian diletakkan pada suasana malam hari yang dingin, dengan tiupan angin yang menusuk. Aku terus memaksakan kaki ku untuk berjalan, sembari isi kepala ku mengisyaratkan jari-jemari untuk segera mengambil Hp blackberry dengan sinyal edge itu. 

Ingin meng-capture apa yang dilihat oleh mata, membawanya ke dunia maya, mencoba membuka mata manusia yang lainnya, bahwa inilah wajah indonesia, wajah kota bandung, wajah bumi parahiyangan, dibalik sisi glamor dan borjuisnya. 

Hampir saja saya mengambil gambar anak beranak itu, kalau bukan karena si ibu melihat saya sejenak, kemudian memalingkan wajahnya. Dia duduk bersandar sembari bersenandung untuk bayi kecil yang berada tepat di sampingnya. "yah, mungkin itu anaknya" saya kembali berjalan, sembari berpikir si ibu begitu bertolak belakang dengan lelaki paruh baya yang aku lalui beberapa menit yang lalu. "tapi tunggu" atau mungkin mereka suami istri? siapa yang tahu. Tapi, seperti inilah kehidupan, rasa malas, kebutuhan perut akan makan, menjadi sebuah keniscayaan.

Entahlah, aku sempat terdiam, termangu sesaat, tergugu, hanya tenggelam dalam pikiran, untuk kemudian melangkah pergi, setengah berlari, bersembunyi dari pahitnya sisi muram dari kehidupan. 

Malam yang kelam, rembulan menutup kedua matanya, menangis ia, melihat banyak anak manusia seperti si ibu beserta anaknya. Mencari serpihan-serpihan 'rupiah' di tengah-tengah keramaian hilir mudik kendaraan. Mengabaikan serangan timbal asap kendaraan, demi apa yang kita sebut dengan 'uang'. 

Derap langkah kaki semakin jauh, meninggalkan pemandangan pahit seorang ibu dengan anak bayinya yang berada di tepi jalan. Meninggalkan lelaki paruh baya dengan tumpukan gelas-gelas plastiknya. Rasa lapar yang mulai perlahan menyerang sisi sensitif dari syaraf yang berada di kepala. "Aku sakit" begitu ujar kepala kepada kumpulan syaraf yang berada di sana, "ya kita sakit" begitu sahut yang lainnya. Derap langkah kemudian terhenti, di sebuah warung tenda di pinggir jalan, mencari kenikmatan sesaat bagi lidah, mencoba memenuhi hasrat, mengobat rasa sakit di dalam kepala akibat rasa lapar yang mendera.

Tentang dua orang waria yang pria
"Krincing, krincing" dua orang manusia bernyanyi dengan suara seadanya. Dengan tampilan khas wanita, wanita jalanan yang beroperasi dengan alat musik seadanya. Melahirkan gelak tawa dari aku dan beberapa pengunjung warung yang lainnya. Sedang si penjual martabak asyik masyuk dengan alat penggorengannya, aku beserta jiwa dan ragaku berjibaku mengamati tingkah laku kedua anak manusia yang bernyanyi dengan suara pas-pasan itu.
He is a man, but to earn money he dressed like a girl, he talk like a girl and his act like a girl
"Permisi teh" begitu ujarnya, "walau malam gelap, tiada berbintang. Asalkan lagu ku ....." yah sepenggal lirik yang masih benar, kemudian secara serampangan, silang lintang, jumpalitan. Kacau tidak keruan, tidak beraturan, hingga aku sampai pada kesimpulan, anak manusia berdua ini tidak hapal dengan lirik lagu yang mereka nanyikan.

"Waria", mereka bukanlah wanita, melainkan pria yang berpakaian wanita. Seorang dipanggil dengan sebutan "saya ule' teh, tinggal di kopo, caringin", oh ya, saya tahu caringin, tapi tidak dengan kopo. Interview, sombongnya saya seperti seorang pimpinan perusahaan yang sedang menginterview calon karyawan. Bertanya tentang berapa usia, hingga tentang apakah mereka wanita atau pria sejati mulai dari fisik dan mentalnya. Lalu bertanya tentang sebab dan musabab mengapa meraka bisa menjadi seperti itu rupanya.

his name ule'
"Uang" semua karena uang pada akhirnya, dengan alasan tidak ingin meminta uang dari orang tua, mereka bekerja sekenanya. Pekerjaan yang ringan, hanya 'cring cring' dapat uang. Tidak perlu tenaga, hanya cukup membuang rasa malu jauh-jauh ke tempat yang paling jauh. Seorang berusia 26 tahun, lahir pada tahun 1985, dan kalau tidak salah dengan sekolah menengah pertama pun tidak selesai. Sedang yang seorang yang pemalu berusia 19 tahun. Dengan berkata "main ke tempat teman" seperti itulah cara mereka mengelabuhi kedua orang tuanya. "Tapi, kita gak jual diri teh" begitu selanya, "kalau pagi kita norma" begitu tambahnya, demi membuktikan kesejatian dari gelar lelakinya.

Mengapa dengan wanita, mengapa berdandan sepreti wanita? beberapa survey mengatakan pria percaya bahwa lebih mudah mendapatkan uang bila manusia tersebut adalah wanita. Benar begitu? belum tentu, karena pada kenyataannya ke-perempuan-an ku merasa tersulut api, ketika beberapa profesi meletakkan pria sebagai kriteria utamanya.

Apapun itu, banyak kisah, banyak cerita, cerita tentang anak manusia. Aku pun seorang anak manusia, meng-capture potret-potret kehidupan, pagi, siang, sore dan malam. Mengeksploitasi dari sisi lain kehidupan, aku terjebak dalam alam pikiran tanpa pernah bisa melakukan sesuatu atas potret yang aku ambil dengan kedua indera penglihatanku.

Pun terjebak pada rasa inginku, pada rasa laparku, hingga membuat aku membuang apa yang sebenarnya lebih berguna bila orang lain yang memanfaatkannya.
Rembulan, berpikir apakah dia melihat bulan yang sama dengan yang aku lihat setiap harinya? Apakah begitu wahai rembulan?. Pastinya begitu, mungkin begitu, dan rembulan pun tersenyum dalam diam sembari menatap lekat wajahku.
"Begitu nampak jelas kah wajah kusut ku di hadapanmu, sahabat karib ku" begitu aku bertanya pada rembulan di separuh malam yang kelam. "ya, setidaknya begitu lah yang nampak oleh ku" begitu jawabnya. "Lama rasanya engkau tidak menyapaku, anak manusia yang lupa"

"Ya, aku terlalu sibuk dengan ke-aku-an ku. Terlalu diperbudak oleh mimpi dan angan-anganku tentang dunia yang semua" tak berani aku menengadahkan wajah, menatap wajahnya yang nampak indah dari kejauhan, namun kelam, dingin, pekat bila aku menatapnya dalam dan lekat.

"Nampak semakin rapuh dan angkuh, itulah kamu yang sekarang ini. Senang itu membuat mu lupa akan aku yang dahulu sejatinya menemani malam-malam sendu mu itu" begitu ujar rembulan padaku.


"Entah lah, tapi aku tahu itu, aku tahu. Senang dan sedih, rasa bersalah dan lepas, antara jatuhnya air mata dan bahagia, mereka berlari-lari di dalam hatiku. Di dalam akal dan pikiranku, membuat aku bingung untuk memetakan perasaanku".

Malam semakin larut, bintang-bintang tak nampak dalam jarak beberapa juta kilometer dari rembulan berada. Aku terjebak dengan alam pikiran ku, setidaknya semakin hari aku semakin menyadari itu. Semakin aku pikirkan, semakin aku tidak tahu tentang untuk apa aku berpikir tentang banyak sesuatu itu.

"Manusia, kalian memang selalu begitu. Tidak kah kamu tahu, aku melihat setiap gerak-gerikmu. Aku tatap lekat, aku mengingat setiap tingkah laku dan polahmu. Dan aku malu, aku menangis akan hal itu" ia tutupkan wajahnya, bersembunyi sejenak di balik awan kelabu yang bertebaran di luasnya malam yang gelap gulita. Sedu sedannya sesekali terdengar, terasa menusuk hati, menghujam seluruh tubuh ini. Dan rembulan pun terluka, dan rembulan pun menangis, di tengah malam yang gelap, yang gulita.

"Aku pergi" begitu ujarnya, "Pikirkan tentang apa dan seperti apa kini, kamu wahai anak manusia. Pikirkan dalam dan lekat, kenyataan bahwa saat ini kamu benar-benar terjebak, terjerembab, jatuh ke dalam palung kehidupan yang gelap, kelam, dingin dan lembab. Tak ada sesuatu yang dapat membawa mu kembali ke permukaan, kecuali rasa inginmu untuk itu, kecual rasa belas kasih Nya padamu" begitu rembulan berkata. "Setiap bait kata yang aku sampaikan padamu, bukan sekedar untaian-untaian bait yang tidak bermakna. Dan pikirkan bahwa hidup kalian, manusia tidak akan lama, tak pernah lama kecuali hanya 1 hari saja" 

Dia pergi, menghilang di gelapnya malam. Meninggalkan aku berjalan sendirian, menapaki jalan setapak, berusaha mengingat-ingat setiap kejadian. Serpihan-serpihan memori yang tersimpan hampir usang, dan menjadi sebuah pengingat yang lembut namun menyakitkan.

Helaan nafas itu aku hembuskan, rasa sakit mulai aku rasakan. Tumor ini seperti mulai menunjukkan ke-aku-an nya atas aku yang menjadi inang baginya. "Apa yang harus aku lakukan, tak pernah aku sebuntu ini", begitu kemudian aku berbicara pada layar putih yang berada di hadapanku kini. Namun ia hanya terdiam, tanpa ada sepatah dua patah kata keluar dari dirinya.

Sore semakin menjelang, begitu padat cerita tentang kehidupan. Kembali menelaah dari 1 hari 1 malam yang sekejap, namun meninggalkan bekas, meninggalkan ribuan bahkan jutaan kata yang tak mampu aku sampaikan. Setiap kata, setiap bait, setiap kalimat yang ada, sebagai pengingat untuk ku beberapa hari, minggu, bulan, tahun berikutnya. Dan rembulan tetap tak bergeming, diam, belum ingin, atau memang ia sedang tak berkenan untuk berbicara padaku, sahabat lamanya

Friday, September 30, 2011

Merasakan bagaimana menjadi hampir -victim- dari sebuah peristiwa yang biasanya hanya saya lihat dari layar kaca.

Awal september mendekati tengah malam, masih berada dekat dengan pelabuhan. Ketika kapal yang saya tumpang bersenggolan dengan bagian tubuh kapal yang lain, yang saat itu sedang mengisi muatan. Kapal sempat kehilangan keseimbangan dan rasa ingin tahu orang Indonesia, semakin memperparah keadaan. Kapal -miring- ke satu sisi, ke sebelah kanan tepatnya. 


Sontak, semua yang berada di dalam kapal merasakan panik yang luar biasa. Para lelaki sibuk pergi menyelamatkan keluarganya, yang single sibuk pergi meninggalkan lawan bicara yang baru saja dikenalnya. Wanita dan anak-anak mulai berteriak, histeris, tangis mereka bercampur baur dengan hilir mudik manusia yang lari berebutan, demi mendapatkan pelampung yang disediakan pihak kapal.

"jadi beginilah rasanya" setidaknya itu yang ada di dalam pikiran saya saat itu. Saya tidak tahu apakah saat itu saya merasa panik atau tidak, yang pasti saya hanya berjalan ringan. Menuju tempat pelampung penyelamat berada, mengenakannya lalu berusaha keluar, "setidaknya saya tidak berada di dalam ruangan ini" begitu pikir saya saat itu.

"jadi seperti inilah rasanya, mereka yang kapalnya mengalami masalah", yang karam, yang kapalnya terbakar, yang kapalnya tenggelam. Saya bersyukur, kapal yang saya tumpangi bisa tiba dengan selamat di pelabuhan merak. Saya bersyukur, kepanikan tidak berlangsung lama dan saya bersyukur meskipun saya tidak dapat berenang, saya memiliki pelampung sempat memakainya untuk beberapa lama, kemudian saya kembalikan.

Tahukah kamu apa yang ada di dalam pikiran saya saat itu? saya bingung tentang ekspresi apa yang harus saya perlihatkan. Lihat lah, bahkan untuk disaat genting pun saya masih saja banyak berpikir. Saya membayangkan bila keadaan semakin buruk, kapal tenggelam dan saya hanya tinggal nama yang tertera di layar televisi. 


Lelaki-lelaki yang beristri, yang ber-anak, sibuk mencari-cari pelampung demi anak dan istrinya. Ada yang memarahi petugas kapal, karena tak dapat menemukan pelampung untuk anggota keluarganya. Beberapa wanita yang berteriak mulai menangis, anak-anak yang ketakutan mulai berteriak, menambah riuh ramai suasana kapal. Dan saya masih tidak tahu, saya harus memposisikan diri saya seperti apa. Berteriak? ah tak mungkin, menangis? buat apa. Saya hanya diam, berjalan, mencari tempat dimana setidaknya saya bisa berpikir bahwa "saya aman".

Saya ketakutan? ya, tentu. Cerita dahulu bahwa saya tidak takut mati, omong kosong semua itu. Keringat dingin mulai mengucur, rasa panik itu sebenarnya sudah menyeruak, memenuhi kepala hingga mempengaruhi pola pikir ku saat itu. Aku belum ingin mati benarkan begitu? atau aku takut mati? ya sepertinya begitu. Jadi seperti inilah rasanya yang mereka rasakan ketika mereka tahu bahwa mereka akan mati? mungkin iya, mungkin juga tidak.
Manusia itu pun berlari, tertawa-tawa menyadari kebodohannya. Sembari berteriak seperti orang hilang akalnya "aku takut mati" lalu tertawa terbahak-bahak ia. "Aku takut mati, Tuhan ku" kembali tertawa terbahak-bahak ia. Dan manusia itu adalah aku, aku yang berada di sini, yang duduk yang katanya terlalu banyak berpikir, yang berpikir bahwa tidak ada lagi langit selain langit yang aku punya. Manusia itu adalah aku, seberapa hinanya aku? Allah Maha Tahu, seberapa buruknya aku? Allah, hanya Allah Yang Maha Tahu. Aku? hanya satu yang aku tahu kenyataan pahit bahwa aku takut pada apa yang namanya -kematian- itu. BODOH 

Saturday, May 7, 2011

Mahasiswa lama, jangan hilang ORIENTASI nya

Note terakhir untuk sesi kalian yang masih jadi mahasiswa.

kenapa saya tagged, yaa semoga note ini bisa jadi cermin, jadi guide, petunjuk dah biar gak ikut langkah yang salah dari kita-kita pendahulunya.

Pertama, jangan biasakan meniru hasil karya orang lain, naaa menyontek itu termasuk ke dalamnya. Jangan membiasakan diri dengan kebiasaan buruk yanng satu ini. Soale, bakalan merugikan diri sendiri, kalian mahasiswa jadi gak tau sejauh mana kemampuan otak kalian. Jadi gak percaya diri pada saat ditanya "kamu bisa apa?". Yaa kecuali kalau mau mengabdikan diri jadi pegawai negeri, gak perlu itu ahli, yg penting IPK sama rezeki kalo mmg jadi PNS, atau hehehe doku yg gede buat masuk ke sana.

BUat yg doyan nyontek, biasanya gk jadi masalah juga kalau nantinya jd PNS tapi dengan cara yg gk halal, alias sodok bola. Biar melambung itu dia punya nama, trusss muncul dah di pengumuman penerimaan CPNS yg baru, hehehehe.

Ok kembali ke sesi terakhir bagi note untuk mahasiswa. Adik2 semua, kawan2 semua, lulus cepat atau lama bukan menjadi jaminan dari sukses atau tidaknya seseorang. Semua tergantung dari pribadinya masing-masing. Kalau kalian pilih lulus lebih dari 4 tahun, maka yaaa harus punya rencana dengan itu semua. Jgn habiskan waktu di kampus, jd mahasiswa cuma-cuma. Cuma nongkrong ngerumpi gak keruan, cuma ngalor ngidul sampe lupa kalau udah jadi mahasiswa paling tua.

Kalau pun mau lulus cepat, yaaa harus punya perencanaan matang juga. Jangan asal lulus untuk kemudian bingung mau apa dan mau kemana. Lulus cepat atau lewat tenggat, itu semua pilihan hidup dan setiap pilihan ada resiko di depannya. Jangan juga merasa bodoh karena lulus lama, karena setiap mahasiswa akan menghadapi ujian masing2 untuk mendapatkan toga pada acara wisudanya. Jadi jangan dikira gampang kalo mau wisuda. Bisa jadi pas tugas akhirnya dapat topik yg enak, eeee ternyata dosennya kebagian yang moodnya suka berubah2.

Ada juga yg dapet dosen enak, eee tugas akhirnya yg susah, jadiii intinya adalah pengendalian diri untuk menikmati hehehehe.

Buat yg kelamaan plesiran, melancong daaan baru sadar kalau masih kuliah pas udah deket2 masa DO, pas deket2 temen2 sudah mau pada wisuda. Oke oke oke, jangan hilang arah, jangan juga disorientasi, jangan juga patah semangat. Mulailah berdamai dengan pembimbing akademik, mulailah konsultasi demi masa depan dirimu nanti. Yaaa imbasnya terima semua ceramah dari PA dan dosen2 lainnya. Daaan terima juga keputusan terburuk kalau pada akhirnya kamu kudu pindah kampus soale pak dan ibu dosen gak ketemu cara lain, selain memindahkan kamu ke univ lain. Dengan tujuan supaya kamu selamat.

Yaaa semua yg saya ceritakan di atas, pernah terjadi pada zaman saya. Pada masa saya masih menjadi mahasiswa. Saya banyak jumpai kasus begitu, kasus seperti itu. Yaaa intinya bersabar saja dan tentunya berdoa.

oooooo iya, buat mahasiswa2 yg masih baruuuu sekali, atau pun yg pertengahan tahun kuliah. Ambil kesempatan sebanyak2nya dengan mengenyam gelar mahasiswa. Ada banyak beasiswa untuk kalian semua, atau ada banyak kompetisi yg bisa menghasilkan uang (hehehehe) kalau kalian memenangkannya. Sekalian bisa jalan-jalan, yaaa semisal PIMNAS. Atau kalau mau belajar usaha, bisa ikutan PMW trus dimodali dah buat buka usaha.

Intinya mah, paling enak jadi mahasiswa, yaaa kalau bisa memanfaatkannya.
Saya aja pengin jadi mahasiswa S1 lagi rasanya. Pengin ketemu dosen2 lagi, kuliah dg dosen eksentrik, kuliah dg dosen yg katanya galak bin killer, pengen juga kuliah Fisika Kuantum and fisika inti lagi. Yaaa meskipun gak begitu mengerti hehehehe

O iya, pesen buat yg musuhan sama temen satu jurusan n satu angkatan satu kelas pula. Udah dah, jgn kayak anak SD, jgn juga kayak sinetron. Ntar nyesel lho, di kampus cuma sebentar tp malah musuhan. Nnt pas udah lulus baru nyesel dah, kehilangan momen2 berharga selama jadi mahasiswa.

oke oke oke
skrg sy jd kangen sama teman2 saya hehehe.
semoga tulisan ini bermanfaat yaaa
buat mb mini, marhana, lia apriliana, nichan, okeee dah cep kangen lho
and buat pembimbing cep dari awal sampe selesai Pak Warsito, terima kasih untuk semuaaanya, untuk semuanya pak.
and buat teman2 serta dosen2 yg lain, duuuh saya banyak hutang budi dah sama kalian semua.

Tuesday, May 3, 2011

Masih merupakan fakta tentang mahasiswa

naaa sekarang bicara ttg mahasiswa yg baru ketemu tujuan dr kuliahnya mendekati akhir masa, alias hampir DO. Jangan ngarep dah kalo jarang masuk, meskipun pinter. Jgn ngarep bisa dapet prioritas dr dosen krn kpinteran mu buat minterin org.

Buat mhs jg berada di ujung tanduk, bbrp kisah yaaa ada yg kmudian rajin kuliah, tp terengah2. Ada sih yg selamat, bisa lulus, tp bnyk juga yg pindah kuliah, transfer ke swasta.

Yg ekstreem, ada yg sampai ancam dosennya, di depan mata. Ada juga yg bw2 jabatan bapaknya (huweeek malu2in aja). Ada juga yg hampir selamet smp tugas akhir eeee dia jelek2in dosen pembimbingnya di dpn mhs yg lainnya. Ada juga yg dpikir bakal slamet mpe lulus, eeee ternyata memilih mninggalkan begitu sj tugas akhirnya.

Yaaa kuliah itu tentang semangat, semangat u kerja keras, semangat untuk sukses. Pintar otak gak cukup, belum cukup, kalau -songong- hehehe. Dosen sy bilang yg dia butuhkan itu orang yang mau kerja keras, bukan orang pinter. Hehehe soale sy gak pinter.

Bbrp fenomena saat tugas akhir melanda. Yaaa ada tmn yg mau bantu tmnnya, ikhlas, ikhlaaaas dah demi setia kawan. Tp ada juga yg -bodo ah- yg penting sy lulus. Ada juga yg mau mmbantu, ada juga yg spt angin lalu. Parahnya, ada yg pelit ilmu, dia mau dibantu tp tidak mau membantu. Ada jg yg mencuri karya, mencuri judul skripsi rekannya. Hahahaha, macam2 wajah muncul juga. Bbrp mahasiswa akan mengedepankan kepentingannya, serobot jadwal seminar mahasiswa lainnya. Atauu serobot sewa ruang hanya u dirinya.

Yaaa sah-sah saja, tapi lihat saja nanti diakhirnya. Soale Allah tidak tidur, buat yg nnt merasakannya, yaaa yg sabar2 aja. Buat yg mendahulukan kpentingan saudaranya, tunggu aja ada buah manis di belakanggnya Insya Allah.

Pesan berharga bagi kalian semua yg masih berstatus mahasiswa. Semoga pengalamn kami mahasiswa yg sudah jd mantan, bisa jd cerminan bagi kalian semua yg masih berstatus mahasiswa hehehehe.

Sunday, May 1, 2011

Ini tentang mahasiswa

iya, lain dulu lain juga sekarang.

Masa-masa baru jadi mahasiswa baru. Amaaat sangat baru, clingak clinguk, gupek, bingung, orang kata masih masa peralihan dr SMA. Masuk smester2 awal, masih semangat dg kuliah, yaaa itu buat yg smangat. Datang tepat waktu, plus kagak kpikiran buat bolos kuliah dg istilah ambil jatah.

Awal2 kuliah masih semangat2nya, masih takut2 dengan dosen pengajarnya. Kemana2 masih rame2, sudah seperti bebek yg berbaris, bergerombol. Yaaa masih bawaan habis makrab, ospek de el el. Jadi setia kawan katanya. Menginjak pertengahan tahun di kampus. Mulai nganeh, yg ketemu cara nyontek yg jitu, y dia pakai cara itu. Ada yg mulai berani 'ngepEk', ada yg lirik sama kawan dsebelahnya. Atau selipkan kertas di lengan bajunya. Atauuu cara ekstreem letakkan buku di atas meja.

Yaaa mantap, IPK mmg tinggi tp setelah lulus, jd gigit jari, melongok bingung mau cari kerja, tp gak tau mau kemana, karena keahlian dia kagak punya hehehehe.

Menjelang tengah tahun kuliah, mulai senang kalau dosen gak masuk, apa lgi kalau ternyata mau ujian. Tambah girang pas ada kabar, si bapak atau ibu dosen gak bisa masuk. Bahkan, pas jamannya saya, ada yg berharap 'semogaa bapaknya sakit', oooh sungguh teganya. Mendekati akhir masa di kampus, ckckckck yg nilai bermasalah, mulai cari2 dosen MK nya. Yang tadinya gk rajin, jadi mulai rajin kuliah.

Menjelang akhir masa mukim di kampus, mendekati tugas akhir, naaa mahasiswa mulai mencari dosen2nya. Para dosen serta merta berubah menjadi seleb, dicari kemana-mana. Ditunggu dr pagi hingga petang menjelang.

Yang kagak pernah ketemu dosen PA, mulai rajin menyambanginya. Hahahaha, akibat gk dekat dg dosen, akibat dulu kurang peduli dg dosen, akibat dulu senang begitu dosen gak ada. Dan akibat dulunya begitu senang kalau kuliah atau ujian dibatalkan. Mahasiswa jadi kelimpungan, karena jadi kagak tau karakter dosennya, jadi kagak tau juga kapan waktu yang tepat buat konsultasi untuk tugas akhirnya.

Jadilah itu mahasiswa/i merasa dilempar sana-sini, gigit jari karena pak dan ibu dosen jarang di jurusan, jarang di fakultas. Eee dia baru tau kalau pembimbingnya, dosennya orang sibuk, orang penting.

Waktu berlalu, tugas akhir selesai, si mahasiswa sedikit merasa beban satu terlepas, tapi beban lain menunggu, 'terjun ke masyarakat u mencari kerja'.

Wkwkwkwk, msh belum sadar juga poinnya. Dulu mahasiswa rasa jenuh kuliah, sampai bolos 'gak keruan', sampai terlontar omongan 'jenuh'. Tapi, begitu dia lulus, diwisuda. Yaaa baru 'nyaho', kangen sama dosen-dosennya, sama teman-temannya, sama kampusnya. Tapi, mau ke kampus, 'isin' belum kerja katanya, mau kkampus bingung krn tmn2nya sudah pd lulus semua.

Hhhhaaahh, ya buat yang masih kuliah dinikmati apa yg masih bisa dinikmati saat ini. Semua ada masanya dan suatu hari nanti kalian sedikit banyak akan merasakan apa yg saya tuliskan di note saya kali ini.

Sunday, March 6, 2011

Septina Triyanti, di 6 Maret 2011

Sebuah perenungan akan arti dari kehidupan.

Kita hidup? ya kita memang hidup, berdasarkan ilmu biologi, seseorang dikategorikan ke dalam makhluk hidup apabila ia bernafas, dan inilah kita manusia hidup 'yang bernafas'.

Untuk apa kita hidup?entahlah, begitu jawab saya, kadang kala, pada suatu ketika, ketika jiwa saya bertanya. Saya akan berhenti bercerita tentang diri saya, karena tidak akan menarik tentunya. Akan sedikit bercerita tentang manusia, seorang wanita, muslimah, yang namanya sedikit mirip dengan nama saya, SEPTINA TRIYANTI, ya itulah namanya. Lahir 3 September 1985, berpetualangan di dunia sampai dengan tgl 25 Februari 2011, tahun ini.

Thursday, June 17, 2010

Lagu ibu untuk aku

Ingatlah ini suatu hari nanti, bahwa pada tanggal 17 Juni 2009, ibu sudah bersedia memenuhi
permintaanmu untuk bernyanyi dan pilihan lagi itu, jatuh pada lagu ini

Hidup di bui bagaikan burung
Bangun pagi makan nasi jagung
Tidur di ubin pikiran bingung
Apadaya badanku terkurung

Terompet pagi, kita harus bangun
Makan diantri, nasinya jagung
Tidur di ubin pikiran bingung
Apadaya badanku terkurung

Reff:
Oh kawan dengar lagu ini
Hidup di bui menyiksa diri
Jangan sampai kawan mengalami
badan hidup terasa mati

Apalagi penjara jaman perang
masuk gemuk pulang tinggal tulang
karena kerja secara paksa
tua muda turun kesawah

d-Lloyd

Thursday, July 23, 2009

Pandai-pandailah bersyukur

Sebuah kontemplasi bagi cacat diri
Keenam


Sehari yang lalu, rawa belakang asrama, langit-langit yang dipenuhi awan putih yang beranjak kelabu, burung-burung yang terbang sore itu, senja itu, angin yang tak berhembus itu, mereka mengajak saya berpikir akan sesuatu.

Ada yang membuat saya kecewa, ada yang membuat saya sakit hati, ada yang membuat saya ingin dihargai, ingin dihormati, ada pula yang membuat saya tersinggung.

Burung-burung layang itu terbang, hilir mudik, menjelang senja mereka semakin ramai berkumpul di angkasa. Berpikir, kenapa harus kecewa, kecewa akan apa, untuk apa, pada siapa. Mengapa harus sakit hati, pada apa, pada siapa? Manusia? Untuk apa? Karena toh manusia wajar berbuat salah pada manusia yang lainnya. Untuk apa sakit hati, karena hati ini bukan saya yang punya, bukan saya yang miliki kuasa atasnya.

Untuk apa ingin dihargai, untuk apa ingin dipuji, untuk apa pula saya merasa tersinggung. Untuk apa ingin dipahami, untuk apa pula ingin dimengerti, untuk apa pula ingin di dengarkan, tidak menjadi begitu penting itu semua, ketika, manakala saya menyadari bahwa saya tidak punya hak apa-apa atas diri saya, atas pemikiran, atas perasaan, atas hati, atas fisik yang Allah anugerahkan.

Lebih baik menghargai, lebih baik memuji, lebih baik memahami, lebih baik mengerti, lebih baik mendengarkan, lebih baik menjaga perasaan, lebih baik mengalah, lebih baik diam. Pujian-pujian yang manusia tujukan pada saya, saya tidak punya sedikit pun hak atasnya, melainkan Allah yang memiliki kuasa, hak atas segalanya.

Pujian dalam hal fisik? Tak punya hak untuk bangga, karena Allah yang berikan, anugerahkan fisik, rupa, bentuk, ini pada saya. Pujian karena pola pikir, karena tulisan, tak perlu merasa senang, karena akal dan pikiran itu Allah yang berikan dan mengapa saya bisa menulis, mengapa saya bisa berpikir sedikit berbeda dari manusia yang lainnya, semua itu karena Allah, karena Rabb, karena Dia yang arahkan, saya hanya menjalankan, saya hanya meneruskan, saya hanya menikmati hasil.

Dan bilamana saya dikatakan sopan, berbudi pekerti baik dan terpuji, jangan merasa senang hati wahai manusia, karena saya bisa seperti ini karena peran serta mereka-mereka yang berada di dekat saya, yang sudah membantu proses terbentuknya watak dan paradigm berpikir saya saat ini. Hingga, sampailah pada intinya bahwasannya, saya benar-benar tidak memiliki apa-apa untuk disombongkan, bahwasannya saya tidak pula memiliki sesuatu sehingga layak untuk dipuji akan sesuatu itu.

Saya tidak pernah dapat menciptakan karena Mencipta itu adalah kuasa Nya, tidak pula dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna kecuali kotoran hasil pembuangan dari system pencernaan. Sisanya, semua Allah yang punya, dan bila mereka memuji saya, tak perlu merasa senang, tak perlu merasa bangga cukuplah berkata Alhamdulillah karena setidaknya kamu tidak membuat Allah malu, tidak membuat Allah murka, tidak membuat Allah marah dan kecewa. Dan bila manusia yang lainnya menyakiti hati, melukai perasaan ini, menyinggung sisi sensitive dari diri ini, maka agar rasa sakit itu tidak ada, katakanlah bahwa “mereka manusia, wajar kiranya berbuat salah” dan “kembalikanlah kepada Yang Memiliki hati agar kiranya Dia berkenan menentramkan hati hingga tidak pernah merasa tersakiti”.

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
QS. al-Isra' (17) : 37

Mencoba mensyukuri semua yang Dia berikan, meskipun ada yang katakan bahwa suara yang saya punya seperti suara lelaki begitu kata mereka, bahwa tubuh saya tidak proporsional adanya, dan masih banyak lagi kekurangan lainnya.

Berpikir-berpikir, sampai ketika ada seorang wanita yang berkata “bla…bla…”, saya menjawabnya dengan berkata “ini yang Allah berikan pada saya, saya hanya mencoba mensyukuri dengan menjaganya”, seperti ini pun, saya sudah merasa begitu sempurna, begitu subhanallah karena saya tidak pernah bisa menciptakannya. Hingga ketika mereka katakan suara saya begini, rupa saya begini, bentuk saya begini dan cara berjalan saya begini, maka saya balas dengan berkata bahwa “saya hanya mensyukuri apa yang Allah berikan pada saya”.

--selesai--

Wednesday, July 22, 2009

Pegawai paruh baya itu

Sebuah kontemplais bagi cacat diri
Kelima


Keinginan untuk segera keluar dari kampus hujau unila membuat saya berkenalan dengan seorang bapak pegawai dekanat FMIPA, umurnya berapa? Saya tidak begitu mengetahuinya, tetapi nampaknya tidak begitu jauh berbeda dengan usia ayah saya, sudah separuh abad, ya ayah saya sudah tua, tetapi beliau selalu berkata “ayah masih muda de, masih ganteng” begitu kelakarnya pada saya putrinya.

Saya sadar, pada saat menjajakan pop mie, di kereta kelas ekonomi, bahwa saya sudah berlaku sombong, mungkin rasa sombong itu sudah muncul dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tetapi, bapak petugas dekanat itu berkata, menasehati saya, ketika saya bercerita tentang pengalaman saya berjualan di kereta, dan berakhir pada kalimat “saya sudah sombong pak… bla..bla..bla”, beliau menimpali dengan berkata “gak boleh sombong, apa yang kita lakukan, orang lain juga bisa lakukan, hanya mungkin ada yang langsung bisa, ada yang perlu belajar untuk bisa”. Diam, saya hanya diam, bapak sekretaris itu benar, apa yang saya lakukan, orang lain pun bisa lakukan.

Antasida mulai bekerja, system pencernaan sudah mulai kembali normal bekerja sepertinya.

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. QS. al-Isra' (17) : 37

Berat, nafas itu berat tertahan, mendengarkan bapak pegawai dekanat.

Allah sudah memuliakan manusia, melebihkan manusia di atas makhluk Nya yang lainnya. Dia berikan dunia dan segala isinya, Dia anugerahkan akal dan pikiran, Dia ciptakan manusia, dengan sebaik-baiknya bentuk. Dan bila ada satu dari kita yang berkata “si fulanah atau si fulan mengalami cacat fisik atau mengalami cacat mental”, itu hanya sekedar sudut pandang yang manusia hasilkan.

Di sisi lain, Dia katakan kita, manusia, sombong, lemah, tergesa-gesa, mudah berputus asa, gemar bekeluh kesah. Ketika ditimpa musibah, kita meratap, kita menghamba, dan bila musibah itu terlepas, bila anugerah nikmat itu didapat, kita lupa, kita khianat. Kita diibaratkan seekor kera, seekor keledai, seekor anjing, yang tercipta dari air mani, air yang hina. Sebegitu hinanya kita, hingga bila bukan karena rahmat dan kasih Nya, aku, kamu, mereka dan kita semua, bukan apa-apa, bukanlah apa-apa.

Manusia tidak pernah dapat menciptakan selain menemukan dan menghasilkan, itu pun karena rahmat dan kasih Nya pada manusia hingga manusia dapat gunakan akal dan pikiran yang ia ciptakan.

Saya sombong, padahal saya tidak memiliki apa-apa, sama sekali. Bahkan hingga tulisan ini saya munculkan, bisa jadi saya pun sudah merasa sombong, riya, ujub, hanya saja, mungkin saja, mereka bersembunyi, terselubung oleh kabut yang berada di dalam hati dan kepala, hingga yang nampak hanya remang-remang saja.

Beberapa orang katakan, kamu pandai menulis, kamu pandai berbicara di depan khalayak ramai, ada juga yang katakan, budi pekerti mu baik, bapak pegawai dekanat itu pun berkata “sampeyan niki wes ayu, baik, sopan, sopo sing jadi bojo mu nduk, beruntung sekali” begitu ujar si bapak, tersenyum, saya malu.

-bersambung-