Pages

Thursday, June 25, 2009

Masjid Al Wasi'i - Guru kencing berdiri, murid kencing berlari

Ini yang saya sebut dengan atau yang kita sebut dengan istilah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari".
Saya seorang manusia muslim dan demi Dia Yang Maha Menggenggam segala kuasa, saya katakan bahwa saya bangga menjadi salah satu hamba Nya, pemeluk agama Nya, Islam, meskipun pada awalnya, islam, ke-muslim-an saya adalah keturunan yang diberikan oleh ayah dan ibu saya. saya mencintai kebersihan, tapi bukan berarti saya orang yang bersih. Ibu selalu ajarkan untuk seimbang, untuk turut merasakan apa yang orang lain rasakan, agar kiranya saya tidak sombong, tidak dzalim dan bisa lebih berempati bersimpati bukan mencaci karena dengki atau benci.

Sejak kecil, ibu saya selalu berkata "bla...bla kalau bersih kan enak, kalau rapih kan enak ngeliatnya", begitu selalu beliau berkata. Atau ketika ayah saya berkata pada saya yang bila sudah kumat 'rasa malasnya', maka "bla...bla.. jorok ama sih de..", begitu ujar ayah dan ibu sejak dahulu, sejak saya baru mulai merangkak, hingga usia saya memasuki 24.
Mari tinggalkan masa lalu, mencoba mencari, menarik benang merah antara hal yang satu dengan yang lainnya.
Pemanasan global, manusia yang berbuat kerusakan, maka manusia pula yang akan merasakan dampaknya. Salah satunya perubahan iklim yang tidak menentu, terkadang hujan, terkadang cuaca begitu panas menyengat subhanallah sekali rasanya.
Siang itu panas, dan ketika panas begitu terasa, saya pikir alas-alas kaki itu tidak akan berada di atas pelataran ubin masjid Al wasi'i ini. Saya pikir, hanya pada musim hujan saja, ubin-ubin yang mengarah ke tempat wudhu wanita, berwarna cokelat semua, kotor, tanah dari alas sepatu akan membekas, meninggalkan jejak. Tetapi ternyata tidak, beberapa tahun terakhir ini, alas-alas kaki itu tetap naik, entah hujan, entah kering dan panas yang datang.

Saya heran, kalau musim hujan, "baiklah, dimaklumi lantai-lantai masjid bisa kotor", karena memang becek, dan muslimah-muslimah itu, termasuk saya, tidak ingin kaos kakinya basah dan kotor terkena sisa-sisa air hujan. Tetapi bila alas-alas kaki itu naik derajatnya sementara pada saat itu tidak turun hujan sama sekali, saya benar-benar merasa heran. Padahal jelas-jelas tertulis "batas alas kaki", atau "yang pakai alas kaki sama dengan bebek" begitu yang tertera, tulisannya. Begitu jelas oleh mata, tetapi ternyata tetap saja, tidak bergeming, pengumuman-pengumuman itu bagai angin lalu.

kadang sempat terlintas keinginan untuk selama satu minggu mendekati sholat dzuhur dan sholat ashar melakukan survey, kuisioner, menghitung berapa jumlah muslimah yang menginjakkan alas kakinya sampai ke atas ubin masjid dan berapa yang tidak. Kemudian bertanya pada mereka yang memakai dan pada mereka yang memilih tidak memakai sampai menaiki ubin masjid Al wasi i ini. Tetapi sayang, sampai saat ini saya belum sempat.

Sampai suatu ketika,.........

-bersambung-