sampai suatu ketika........
saya memutuskan untuk berkata di dalam hati dan kepala "yah sudahlah, tidak lagi menjadi penting ketika....". Suatu hari salah seorang muslimah yang saya kenal, yang saya pikir dia harusnya lebih paham dari yang lainnya terlebih lagi jurusan yang diambilnya jurusan keguruan yang ada di kampus saya.
Dia, hari itu menginjakkan alas kakinya begitu saja di atas ubin masjid dengan mengabaikan pengumuman tentang batas alas kaki dan tentang perumpamaan bahwa yang mengenakan alas kaki sampai ubin masjid ini sama saja dengan bebek. Dia nampak tidak peduli, saya tidak habis pikir, sampai ketika seorang teman saya berkata ketika saya bertanya "lho kok sendalnya dibawa naik bla...bla", lalu mbak sarmini, teman satu jurusan satu angkatan fisika 2004, berkata "lah cep, saya udah pernah ngomongin kok, kenapa sendalnya dipakai, eh dianya bilang -Wong saya yang bersihin-, gitu katanya, ya udah".
Gdubbrrakkk, saya cuma diam, hanya diam. Padahal salah satu alasan mengapa saya begitu risih melihat alas kaki bertebaran mengotori lantai masjid, karena saya merasa kasihan pada BPH (Badan Pengurus Harian) masjid ini, saya pikir kasihannya mereka yang harus setiap hari membersihkan lantai tempat wudhu wanita berada. Tapi ternyata, yang "merasa" turut membersihkan sendiri berkata "bla..bla... saya yang mbersihin kok...", dan dia dengan tenang saja berlenggang menapakkan alas kakinya.
Lantas, untuk apa pengumuman itu dibuat???
Dia muslimah yang turut membersihkan, saya pikir mungkin maksud dia 'bukan setiap hari ikut membersihkan', tetapi terkadang ia pun turut ambil bagian, terkadang, untuk membersihkan. Tetapi, bukan lantas itu dijadikan sebagai alasan untuk mengotori lantai masjid ini. Rasanya tidak menyenangkan mendengar pernyataan yang seperti itu, karena masjid itu milik semua orang, milik semua hamba Allah, bukan milik organisasi atau perorangan. Memang saya tidak pernah membersihkan masjid Al Wasi'i itu, dan saya pikir saya tidak berhak berbicara apa-apa. Landasan saya hanya satu bahwa "Allah mencintai keindahan", bahwa kebersihan sebagian dari pada iman, meskipun beberapa bulan yang lalu seorang ustadz berkata "hadist itu dha'if"
Waallahu alam
Hanya ingin berkata "guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari". Tidak mengherankan bila muslimah-muslimah lain yang saya pikir seharusnya mengerti (dari pada muslimah lain yang belum sempurna dalam berhijab atau bahkan belum berhijab sama sekali), mengikuti jejak si calon ibu guru yang merasa turut berkontribusi membersihkan masjid Al wasi'i meskipun saya pikir itu tidak ia lakukan setiap hari, karena setahu saya pengurus masjid Al wasi'i adalah lelaki.
Waalahu alam, saya hanya ingin menuliskan, menuangkan, menceritakan sesuatu yang berasal dari dalam hati, yang berangkat dari rasa keprihatinan hingga akhirnya berujung pada pertanyaan di dalam kepala "apa saya diamkan saja, tidak usah berkomentar, tidak perlu berkata apa-apa".
Tidak perlu memvonis, tidak perlu bersikap sinis, jangan pula bersikap pesimis. Tanamkan di dalam hati, di dalam dada, bahwa seperti apapun mereka, mereka juga manusia, seperti halnya kamu, seperti halnya kamu wahai sefta. Tempatnya lupa, salah dan alpa, siapapun dia, seperti apapun tampilannya, ia, kamu, mereka, tetap saja manusia.
-selesai-
saya memutuskan untuk berkata di dalam hati dan kepala "yah sudahlah, tidak lagi menjadi penting ketika....". Suatu hari salah seorang muslimah yang saya kenal, yang saya pikir dia harusnya lebih paham dari yang lainnya terlebih lagi jurusan yang diambilnya jurusan keguruan yang ada di kampus saya.
Dia, hari itu menginjakkan alas kakinya begitu saja di atas ubin masjid dengan mengabaikan pengumuman tentang batas alas kaki dan tentang perumpamaan bahwa yang mengenakan alas kaki sampai ubin masjid ini sama saja dengan bebek. Dia nampak tidak peduli, saya tidak habis pikir, sampai ketika seorang teman saya berkata ketika saya bertanya "lho kok sendalnya dibawa naik bla...bla", lalu mbak sarmini, teman satu jurusan satu angkatan fisika 2004, berkata "lah cep, saya udah pernah ngomongin kok, kenapa sendalnya dipakai, eh dianya bilang -Wong saya yang bersihin-, gitu katanya, ya udah".
Gdubbrrakkk, saya cuma diam, hanya diam. Padahal salah satu alasan mengapa saya begitu risih melihat alas kaki bertebaran mengotori lantai masjid, karena saya merasa kasihan pada BPH (Badan Pengurus Harian) masjid ini, saya pikir kasihannya mereka yang harus setiap hari membersihkan lantai tempat wudhu wanita berada. Tapi ternyata, yang "merasa" turut membersihkan sendiri berkata "bla..bla... saya yang mbersihin kok...", dan dia dengan tenang saja berlenggang menapakkan alas kakinya.
Lantas, untuk apa pengumuman itu dibuat???
Dia muslimah yang turut membersihkan, saya pikir mungkin maksud dia 'bukan setiap hari ikut membersihkan', tetapi terkadang ia pun turut ambil bagian, terkadang, untuk membersihkan. Tetapi, bukan lantas itu dijadikan sebagai alasan untuk mengotori lantai masjid ini. Rasanya tidak menyenangkan mendengar pernyataan yang seperti itu, karena masjid itu milik semua orang, milik semua hamba Allah, bukan milik organisasi atau perorangan. Memang saya tidak pernah membersihkan masjid Al Wasi'i itu, dan saya pikir saya tidak berhak berbicara apa-apa. Landasan saya hanya satu bahwa "Allah mencintai keindahan", bahwa kebersihan sebagian dari pada iman, meskipun beberapa bulan yang lalu seorang ustadz berkata "hadist itu dha'if"
Waallahu alam
Hanya ingin berkata "guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari". Tidak mengherankan bila muslimah-muslimah lain yang saya pikir seharusnya mengerti (dari pada muslimah lain yang belum sempurna dalam berhijab atau bahkan belum berhijab sama sekali), mengikuti jejak si calon ibu guru yang merasa turut berkontribusi membersihkan masjid Al wasi'i meskipun saya pikir itu tidak ia lakukan setiap hari, karena setahu saya pengurus masjid Al wasi'i adalah lelaki.
Waalahu alam, saya hanya ingin menuliskan, menuangkan, menceritakan sesuatu yang berasal dari dalam hati, yang berangkat dari rasa keprihatinan hingga akhirnya berujung pada pertanyaan di dalam kepala "apa saya diamkan saja, tidak usah berkomentar, tidak perlu berkata apa-apa".
Tidak perlu memvonis, tidak perlu bersikap sinis, jangan pula bersikap pesimis. Tanamkan di dalam hati, di dalam dada, bahwa seperti apapun mereka, mereka juga manusia, seperti halnya kamu, seperti halnya kamu wahai sefta. Tempatnya lupa, salah dan alpa, siapapun dia, seperti apapun tampilannya, ia, kamu, mereka, tetap saja manusia.
-selesai-