Saya tidak ingin gunakan kata aku, karena 'aku' begitu terasa aneh di telinga saya. Saya tidak suka menghadapi kata "TAPI" lebih baik dia, kamu, mereka berkata "KALAU MENURUT SAYA..."
Posting note di sebuah situs jejaring yang sedang membuat demam orang-orang indonesia karenanya, ya situs apalagi kalau bukan facebook. Judulnya "debat capres, buang-buang waktu"
Sungguh luar biasa, itu judul seperti gula yang menarik semut-semut pekerja. Seperti madu yang menarik lebah-lebah pemburu. Berbagai macam komentar sampai di note yang saya buat. Ada yang katakan setuju, ada yang katakan tidak setuju, ada juga yang ujung-ujungnya menghakimi saya dengan memberi gelar skeptis. Siallll, note itu ada bukan karena saya ingin mempengaruhi sesiapa yang membaca, note itu ada bukan karena saya ingin memaksakan kehendak akan berpendapat pada mereka yang menjadi teman dalam jaringan saya. Tapi, itu hanya suara yang ada di dalam kepala, itu hanya suara hati yang meluncur begitu saja, agar saya bisa tetap waras ketika saya berada pada jalur kiri dan mulai merugikan bangsa ini (semoga saja tidak).
Ada yang katakan saya skeptis dalam pendapatnya (gara-gara note itu), yah mungkin saya skeptis. Awalnya tidak terima, rasa amarah itu membuncah, tertahan, bahkan ketika kewajiban saya pada Nya saya tunaikan, bahkan hingga salam itu saya ucapkan. Rasa kesal, jengkel, marah itu bercampur aduk. Tidak terima digolongkan skeptis oleh manusia yang mengenal saya tidak lebih dari 3 hari lamanya. Yah setidaknya itulah awalnya yang saya rasa, hingga rasa kesal itu memancing untuk segera membuka laptop lalu membalas pendapatnya, dengan sanggahan yang serupa. Tetapi, satu sisi dari diri ini mengayunkan lengan kiri saya untuk meraihnya, membukanya, lalu membacanya. Hingga akhirnya, tenanglah saya, tentramlah hati dan kepala setelah membaca kalam Nya.
Berpikir jernih, heran, saya heran, aku heran.
Betapa komentar yang ada, yang datang, yang menanggapi dengan panjang lebar, nampak mereka-mereka begitu mengerti dengan dunia perpolitikan yang ada di negeri ini. Bicara itu mudah, amat sangat mudah, seperti halnya saya. Tetapi menjalankannya, tidak banyak yang bisa, mau bertahan untuk menjalankan apa yang ia katakan, termasuk saya. Berpendapat itu mudah, amat sangat mudah. Entah apa yang memancing mereka untuk begitu tertarik menanggapi note saya tentang debat capres malam itu, hari itu. Apa karena politik itu soal ideologi, apa karena politik itu soal ke-aku-an yang ada di dalam diri manusia itu sendiri? Entahlah.
Saya heran, mengapa begitu sedikit yang tertarik untuk mengomentari lahan hutan yang rusak di negeri ini. Mengapa bisa dihitung dengan jari yang tertarik untuk mengomentari gizi buruk, busung lapar yang ada di negeri ini. Mengapa pula masih banyak saja sampah-sampah berserakan karena rasa malas untuk membuang sampah pada tempatnya? Mengapa pula masih banyak yang belum mau menutup auratnya, padahal bicara politik bisa sebegitu sedemikian sehingga hebatnya. Mengapa pula masih banyak dari kita yang menunda-nunda kewajiban pada Sang Penciptanya, dan mengapa pula masih banyak pengendara motor yang menyalahi peraturannya, dan masih banyak lagi mengapa-mengapa yang lainnya.
Pada kenyataannya, kita, manusia Indonesia, terkadang begitu pandai dalam berbicara, berpendapat, melihat, mengamati, tetapi untuk sekedar 'looking into inside', bisa dihitung dengan jari manusia yang mau sadar untuk mengoreksi diri sendiri. Bisa dihitung dengan jari manusia yang memilih untuk banyak berbuat dari pada sekedar berpendapat sedemikian sehingga terlihat hebat, padahal kita masih nol, nonsense, omong kosong.
Saya orang Indonesia
Posting note di sebuah situs jejaring yang sedang membuat demam orang-orang indonesia karenanya, ya situs apalagi kalau bukan facebook. Judulnya "debat capres, buang-buang waktu"
Sungguh luar biasa, itu judul seperti gula yang menarik semut-semut pekerja. Seperti madu yang menarik lebah-lebah pemburu. Berbagai macam komentar sampai di note yang saya buat. Ada yang katakan setuju, ada yang katakan tidak setuju, ada juga yang ujung-ujungnya menghakimi saya dengan memberi gelar skeptis. Siallll, note itu ada bukan karena saya ingin mempengaruhi sesiapa yang membaca, note itu ada bukan karena saya ingin memaksakan kehendak akan berpendapat pada mereka yang menjadi teman dalam jaringan saya. Tapi, itu hanya suara yang ada di dalam kepala, itu hanya suara hati yang meluncur begitu saja, agar saya bisa tetap waras ketika saya berada pada jalur kiri dan mulai merugikan bangsa ini (semoga saja tidak).
Ada yang katakan saya skeptis dalam pendapatnya (gara-gara note itu), yah mungkin saya skeptis. Awalnya tidak terima, rasa amarah itu membuncah, tertahan, bahkan ketika kewajiban saya pada Nya saya tunaikan, bahkan hingga salam itu saya ucapkan. Rasa kesal, jengkel, marah itu bercampur aduk. Tidak terima digolongkan skeptis oleh manusia yang mengenal saya tidak lebih dari 3 hari lamanya. Yah setidaknya itulah awalnya yang saya rasa, hingga rasa kesal itu memancing untuk segera membuka laptop lalu membalas pendapatnya, dengan sanggahan yang serupa. Tetapi, satu sisi dari diri ini mengayunkan lengan kiri saya untuk meraihnya, membukanya, lalu membacanya. Hingga akhirnya, tenanglah saya, tentramlah hati dan kepala setelah membaca kalam Nya.
Berpikir jernih, heran, saya heran, aku heran.
Betapa komentar yang ada, yang datang, yang menanggapi dengan panjang lebar, nampak mereka-mereka begitu mengerti dengan dunia perpolitikan yang ada di negeri ini. Bicara itu mudah, amat sangat mudah, seperti halnya saya. Tetapi menjalankannya, tidak banyak yang bisa, mau bertahan untuk menjalankan apa yang ia katakan, termasuk saya. Berpendapat itu mudah, amat sangat mudah. Entah apa yang memancing mereka untuk begitu tertarik menanggapi note saya tentang debat capres malam itu, hari itu. Apa karena politik itu soal ideologi, apa karena politik itu soal ke-aku-an yang ada di dalam diri manusia itu sendiri? Entahlah.
Saya heran, mengapa begitu sedikit yang tertarik untuk mengomentari lahan hutan yang rusak di negeri ini. Mengapa bisa dihitung dengan jari yang tertarik untuk mengomentari gizi buruk, busung lapar yang ada di negeri ini. Mengapa pula masih banyak saja sampah-sampah berserakan karena rasa malas untuk membuang sampah pada tempatnya? Mengapa pula masih banyak yang belum mau menutup auratnya, padahal bicara politik bisa sebegitu sedemikian sehingga hebatnya. Mengapa pula masih banyak dari kita yang menunda-nunda kewajiban pada Sang Penciptanya, dan mengapa pula masih banyak pengendara motor yang menyalahi peraturannya, dan masih banyak lagi mengapa-mengapa yang lainnya.
Pada kenyataannya, kita, manusia Indonesia, terkadang begitu pandai dalam berbicara, berpendapat, melihat, mengamati, tetapi untuk sekedar 'looking into inside', bisa dihitung dengan jari manusia yang mau sadar untuk mengoreksi diri sendiri. Bisa dihitung dengan jari manusia yang memilih untuk banyak berbuat dari pada sekedar berpendapat sedemikian sehingga terlihat hebat, padahal kita masih nol, nonsense, omong kosong.
Saya orang Indonesia