Pages

Wednesday, April 1, 2009

tragedi sendal jepit

Hujan deras mengguyur kota ini, air menggenang dimana-mana, berwarna cokelat, keruh, terkadang menjadi menjijikkan bila bercampur dengan sampah-sampah yang bertebaran.

Halaman pelataran masjid ini pun tergenang air,

‘Dilepas aja kaos kakinya de, biar gak basah’ begitu kata abang supir

‘ndak apa pak, ini ongkosnya, makasi ya pak’ ujarku pada abang sopir saat itu

Berlari, jarak antara halaman yang tergenang ini dengan pintu masjid tidak ada 5 meter agaknya. Hanya saja hujan yang mengguyur dengan deras memang agak mengkhawatirkan, bukan untuk kesehatan tubuhku, tidak juga untuk basah atau tidaknya pakaianku, tapi demi kemaslahtan alat elektronik yang berada di dalam tas punggungku.

Sampai, kaos kaki memang tidak dapat diselamatkan. Masih basah juga pada akhirnya, tapi tak apa, setidaknya laptop ini aman-aman saja. Kaos kaki basah, ah tanggalkan saja, yang penting pakaian ini tidak begitu basah.

Hujan deras, berpikir, berpikir, petani-petani yang menunggu musim tanam tentu akan senang. Tetapi lain halnya dengan yang sedang sibuk-sibuknya mencari matahari dari hari ke hari, seperti petani singkong. Gundukan singkong yang sudah dihaluskan menunggu masa untuk dikeringkan, baunya yang luar biasa menyengat membuat saya terheran-heran, mengapa kiranya itu petani-petani singkong betah berlama-lama berdekatan dengan itu bakal tepung singkong, tapi namanya juga orang cari penghidupan, bau limbah singkong, sepertinya dianggap bau uang.

Berhenti berbicara tentang singkong, yang jelas, hujan turun ke bumi selalu membawa arti, selalu membawa rezeki. Genangan air di sana sini, bukan karena langit yang kelebihan dalam menumpahkan, tetapi karena manusia yang semakin merusak alam.

Sampai di pintu masjid, mendatangi shaf perempuan. Clingak-clinguk, kalau-kalau ada yang saya kenal. Aha, akhirnya ketemu juga, dengan dua orang wanita yang lebih tua dari saya dalam hal usia, menunggu dan terus menunggu, hingga akhirnya sang murabbi itu datang juga, acara pun dimulai, terpotong ashar hingga akhirnya sekitar pkl 16.30 acara selesai.

Saya yang membuka, saya juga yang harus menutup acara. Menjelang ditutupnya acara pengajian, saya lupa gimana awalnya, intinya ada indikasi transaksi jual beli akan terjadi. Lalu, dengan ilmu yang baru saya baca beberapa waktu yang lalu, serta merta saya berkata

‘mbak, ada beberapa hal yang baiknya tidak dilakukan di dalam masjid, salah satunya mencari barang yang hilang dan transaksi jual beli’

Itu mbak-mbak langsung berkata

‘trus kalo da barang kita yang ilang gimana?’,

MR saya langsung berkata ‘ya dicari, tapi ndak di dalam’ begitu katanya.

Singkat kata, singkat cerita, pengajian kami sudahi dengan membaca doa kafaratul majelis, lalu mengucap salam, cium pipi kiri, cium pipi kanan, kami pun serentak beranjak dari tempat, meninggalkan masjid ini.

Sampailah di tempat alas kaki diletakkan, semua mendapatkan alas kakinya masing-masing, tinggal saya yang clingak-clinguk sendirian, lirik kanan-lirik kiri, kok sandal saya sudah ndak ada lagi, sudah raib tepatnya, karena itu sandal jepit tidak ada di tempat dimana saya meletakkannya pertama kali.

Bingung? Iya, tentu saja. Pasalnya bagaimana saya bisa pulang, kalau itu sandal jepit kagak ada di tempatnya.

‘mbak sandal saya ilang’ ujar saya

‘lho kok, dipinjem kali, buat ambil wudhu’ begitu kata mbak asni

‘tapi gak ada yang ambil wudhu tuh’ kata MR saya

‘coba liat di sana cep (sembari menunjuk tempat wudhu wanita)’ begitu saran mbak yuni

‘nggak ada juga mbak’ jawab saya setelah memeriksa

‘berarti ilang mbak, ada yang ambil’ tambah saya

Cuma bisa senyam senyum sendirian sembari berkata pada mbak-mbak saya

‘kok bisa ya sandal jepit diambil, padahal harganya gak seberapa’

‘itu sandal yang kamu beli kemarin kan?’ MR bertanya

‘iya mbak, yang Rp 10.000 itu, ya nggak apa sie mbak. Cuma kok ya bisa, gitu lo. Sendalnya sie gak seberapa, tapi dosanya kan sama aja. Tanggung kalo cuma mo ambil sandal, kan dosanya sama aja dengan mencuri’ begitu kata saya

Kami pun tertawa,

Tak lama, mbak saya yang lainnya mencarikan saya sebuah sandal jepit, berwarna kuning, harganya Rp 6.500 rupiah saja, untuk ukuran 9,5’.

‘Sendalnya yang kayak mana mbak?’ tanya si abang yang menjual sandal

‘ya sandal jepit biasa mang, Cuma beda Rp 3.500 dari sandal ini’ jawab saya sembari menunjuk kea rah sandal yang si mamang bawa.

Sandal berwarna kuning, sandal jepit dari karet, yah sandal jepit biasa, tapi tak apa yang penting saya masih bisa beralas kaki. Nampaknya itu yang ngambil benar-benar mengikuti saran pak Haji yang berkata ‘ambil yang baik, tinggalkan yang buruk’. Yah ndak apa, sekali-sekali kehilangan, tepat setelah saya menyampaikan pada mbak-mbak sekalian bahwa ‘ndak boleh mencari barang hilang di dalam masjid’