Malu, ya malu yang terbesit di kepala saya saat itu, sampai-sampai penjual pop mie itu berkata ”ayo mbak, dicoba aja”... adrenalin saya terpacu ’aaarrrgghh seperti apa itu adrenalin? Saya tidak tahu, kata itu sering saya dengar di kotak ajaib yang ada di dalam kamar saya, maka saya tertarik untuk menggunakannya'.
Pikir saya saat itu adalah ’ah, masak saya tidak bisa menjual barang satu buah saja’ dan akhirnya saya buang jauh rasa malu, saya ambil kardus mie yang dia bawa, saya pun mulai beraksi, berjalan dari gerbong yang satu ke gerbong yang lainnya sembari berkata ”pop mie-pop mie, pop mie” lalu ”pop mie pak, pop mie bu, pop mie mbak mas”.
Pemuda itu mengikuti saya dari belakang. ’Aneh rasanya, mereka yang menumpang di kereta ini hanya tersenyum-senyum, entah menertawakan atau karena saya dianggap aneh karena apa yang saya lakukan?’ entahlah Pada kenyataannya, berjualan itu memang tidak lah semudah yang saya sangka,keringat mulai mengucur dari kepala saya dan luar biasa ketika jilbab berwarna cokelat gelap yang saya kenakan semakin mendukung produksi keringat untuk meningkat.
Sepertinya saya menjadi bahan tontonan bagi para pedagang asongan dan pengamen-pengamen yang ada, ada dari mereka yang tersenyum geli, ada yang tertawa, ada yang sekedar terpana, ada pula yang berkata ”ayo mbak, semangat”......... saya hanya bisa tersenyum dan entah apa pula makna dari senyum saya itu, saya tidak tahu.
Sampailah saya di gerbong nomor satu, gerbong paling depan. Tiba-tiba seorang polisi berpangkat sersan kepala menghampiri saya “sedang apa de “dia bertanya pada saya dengan tidak bersahabat dan saya bisa merasakannya, lalu “jualan pak” begitu jawab saya sekenanya, “nggak boleh dagang di sini” begitu dia menjawab, singkat, dengan wajah datar yang tersirat, ‘mengesalkan’, saya pun membalasnya “memang kenapa pak?” begitu jawab saya, saya mulai emosi agaknya.
Pemuda yang menjual pop mie itu berusaha mencoba membela saya “enggak pak, mbak ini nggak ngapa-ngapain kok…..” akhirnya polisi menyebalkan itu pun pergi dan pemuda itu meminta dagangannya kembali. ”udah mbak, sini biar saya aja yang jual” hmm sedih rasanya, karena tak satu pun pop mie yang berhasil saya jual, saya pikir saya pasti dapat menjual yah paling tidak satu buah saja, tapi ternyata.......... hhhhh saya sudah berlaku sombong sepertinya.
Kami pun kembali ke gerbong III, tempat dimana kami memulai, kembali duduk di depan WC umum yang bau karena memang sudah lumrahnya WC umum di Indonesia memiliki predikat kotor dan beraroma tak sedap di indra penciuman manusia terlebih lagi bila dipandang mata…… whuuuaahhh.
Saya pun bertanya pada pemuda itu tentang polisi yang tadi kami temui, saya benar-benar kesal, polisi itu terkesan arogan bagi saya, lalu salah seorang temannya berkata “polisi itu gak pernah liat mbak jualan di sini, makanya aneh mbak, lagian, di sini nggak ada cewek yang jualan mbak”……… ‘ oohh pantas saja, mungkin itulah kenapa saya dipandang aneh oleh setiap penumpang yang ada dari gerbong III hingga gerbong pertama dan mungkin itu yang membuat mereka tersenyum-senyum ketika melihat
saya menjajakan pop mie yang saya bawa’.
Saya pun terdiam, membuka botol air minum yang saya bawa, haus, panas, Sumatera memang panas. Kereta masih melaju kencang, angin yang berhembus dari pintu gerbong kereta cukup membuat produksi keringat yang ada mengurangi kuotanya.
Saya pun meminta maaf pada pemuda itu, ia hanya tersenyum lalu tak lama ia berkata “nggak apa mbak”. Ia pun menawari saya barang dagangannya, gratis, lalu katanya “terima kasih mbak”, hmmm saya katakan padanya “nggak usah de, mbak yang terima kasih, sudah diberi kesempatan untuk merasakan bagaimana rasannya berjualan seperti kamu dan teman-teman kamu itu, ternyata gak gampang ya”…. Ia tersenyum lalu berkata “ya beginilah mbak…” Ia pun pamit pergi, mau berjualan lagi katanya, “ya silahkan” jawab saya sembari memandanginya yang semakin lama semakin jauh lalu hilang dari pandangan mata.
Saya kembali terdiam, betapa beruntungnya saya, benar-benar beruntung. Kereta ini terus melaju kencang, melaju bersama pikiran saya yang menerawang, entah apa yang sedang saya pikirkan, tidak jelas nampaknya. Angin berhembus, cuaca di luar begitu panas, tiupan angin dirasa membantu mengurangi derita tubuh akibat panasnya cuaca khas Sumatera yang mendera.
Tak lama pemuda itu kembali lalu berkata pada saya “mbak pop mienya laku 5”, saya tersenyum mendengarnya “Alhamdulillah” jawab saya, ia pun menambahkan “itu semua karena mbak”, ‘hhm ada-ada saja’ pikir saya. Ia pun kembali menawarkan barang dagangannya pada saya dan saya kembali menolaknya sembari berkata terima kasih padanya.
---nyambung........