Pages

Sunday, April 5, 2009

cari uang itu gak gampang

-chapter 1-

Kenapa saya katakan begitu, karena saya pernah merasakan. Insya Allah tidak akan saya keluarkan pernyataan bila saya tidak lakukan.

Mengapa demikian? Begini kisah ini bermula, saya akan mencoba memutar kembali pita-pita memori yang ada di kepala, kembali ke tanggal 23 di bulan februari dan masih di tahun ini, tahun 2008.

Hari itu tepatnya hari sabtu, agak ragu sebenarnya apakah saya akan pergi atau tidak. Tapi kata hati bersuara seperti ini kiranya ’di sana pasti ramai, bagaimana tidak, satu keluarga besar’. Ya sudah hampir 7 tahun lamanya keluarga besar dari ibu tidak berkumpul. Besok, tepatnya tanggal 24 febuari hari minggu, paman saya dadang namanya, dia adik ibu yang ke sembilan ’banyak sekali adik ibu bukan?’ akhirnya dia menikah juga dan itu berarti rumah nenek akan ramai dengan anak-anaknya, menantu-menantunya, dan cucu-cucunya yang jumlahnya hampir mendekati 30 dan itu belum termasuk cicit-cicit yang beliau punya.

Tapi bukan hal itu yang menarik hati untuk menuliskan kisah ini. Pengalaman selama perjalanan, ya itu lah yang manarik hati hingga ingin menuliskan kisah ini menjadi sebuah memori yang mungkin akan berguna suatu hari nanti.

Akhirnya saya dan adik saya, selva namanya, tiba di stasiun kereta. Satu-satunya stasiun kereta yang ada di kota ini, tidak begitu besar, tidak seperti stasiun kereta api surabaya yang membuat saya terpana untuk beberapa saat karena begitu memesonanya. Saya pun membeli dua buah karcis kelas ekonomi seharga Rp. 12.000 rupiah. Saat itu jam dinding stasiun menunjukkan pukul 07.30 pagi, karena khawatir ketinggalan kereta pagi ini, saya dan adik saya yang tergesa-gesa, tidak sempat makan pagi sebelum pergi ke stasiun kereta dan akhirnya saya mengajak adik saya untuk mencari makan di luar areal stasiun kereta.

Tadinya adik saya mengajak makan di dalam saja, tapi saya menolaknya dengan alasan mahal, yah karena uang saya tidak cukup untuk membayar lebih dan terlebih lagi karena pada saat itu sudah memasuki masa-masa kritis buat mahasiswa seperti saya, masa-masa akhir bulan yang menegangkan dan sudah seyogyanya saya menjadi semakin kere bila menyangkut soal kertas yang orang-orang sepakat menamainya dengan kata ’uang’.

Sarapan pun selesai, Rp 6000 rupiah untuk dua porsi nasi putih dilengkapi dengan tempe yang ukurannya tidak sampai 5 cm agaknya. Tapi tak apa, yang penting bisa mengganjal perut ini dari rasa lapar yang mendera.

-nyambung---