-chapter 2-
Kereta sudah tiba, khawatir tertinggal saya segera mengajak adik saya masuk agar tempat duduk tidak diserobot orang, maklumlah kelas ekonomi. Tidak ada kelas eksekutif atau bisnis pada jam-jam segini di kota ini, kelas-kelas itu baru dibuka sekitar pkl 21.00 WIB. Menurut seseorang yang baru saya kenal, jam keberangkatan kereta ekonomi dengan eksekutif dan bisnis yang tidak jauh berbeda yang akhirnya membuat penumpang lebih memilih naik kereta ekonomi. Akhirnya pihak perkeretaapian mengeluarkan keputusan bahwa kelas-kelas itu hanya dibuka pada malam hari saja.
Saya tidak begitu mengerti dengan karcis yang saya bawa, karena saya memang hampir bisa dikatakan jarang bepergian dengan alat transportasi yang katanya begitu merakyat di Indonesia. Seorang petugas bertanya dan melihat karcis saya, lalu katanya ”ini gerbong III de”, ’oh begitu pikir saya, tapi saya dan adik saya belum dapat naik, kereta ini masih menunggu penumpang khusus untuk gerbong III yaitu rombongan anak-anak TK.
Tak lama rombongan itu pun tiba, ramai, gerbong III kereta ini menjadi benar-benar ramai, saya dan penumpang yang lain, diminta berdiri selama lebih kurang setengah jam, karena gerbong ini tidak cukup untuk menampung kami yang sudah membeli karcis melalui jalur resmi. Tapi tak apalah, demi anak-anak TK kami yang dewasa mengalah untuk sementara.
Menyenangkan, saya bersama penumpang yang lain berdiri di dekat pintu gerbong kereta. Hingga akhirnya mempertemukan saya dengan orang-orang yang menyebalkan dan ada pula yang menyenangkan. Salah satu dari sekian banyak pengalaman berharga yang saya dapat dari sebuah perjalanan singkat selama 6 jam. Saya sempat bersitegang dengan salah seorang penumpang yang saya tidak tahu namanya, tapi kemudian berakhir dengan kata maaf yang entah ia terima atau tidak.
Dia berdebat tentang agama pada saya dan seyogyanya saya mencoba memberi penjelasan padanya. Tapi, entah berguna atau tidak baginya, karena pada akhirnya saya berkata ”lakuum dienukum waliadien” saya tidak suka berdebat, tidak berguna selain hanya kekalahan saja yang akan didapat oleh saya dan dia. Tak lama anak-anak kecil yang lucu itu sampai di salah satu stasiun kereta yang ada, rejosari kalau tidak salah namanya. Dan akhirnya kami yang berdiri, bisa duduk kembali.
--nyambung--
Kereta sudah tiba, khawatir tertinggal saya segera mengajak adik saya masuk agar tempat duduk tidak diserobot orang, maklumlah kelas ekonomi. Tidak ada kelas eksekutif atau bisnis pada jam-jam segini di kota ini, kelas-kelas itu baru dibuka sekitar pkl 21.00 WIB. Menurut seseorang yang baru saya kenal, jam keberangkatan kereta ekonomi dengan eksekutif dan bisnis yang tidak jauh berbeda yang akhirnya membuat penumpang lebih memilih naik kereta ekonomi. Akhirnya pihak perkeretaapian mengeluarkan keputusan bahwa kelas-kelas itu hanya dibuka pada malam hari saja.
Saya tidak begitu mengerti dengan karcis yang saya bawa, karena saya memang hampir bisa dikatakan jarang bepergian dengan alat transportasi yang katanya begitu merakyat di Indonesia. Seorang petugas bertanya dan melihat karcis saya, lalu katanya ”ini gerbong III de”, ’oh begitu pikir saya, tapi saya dan adik saya belum dapat naik, kereta ini masih menunggu penumpang khusus untuk gerbong III yaitu rombongan anak-anak TK.
Tak lama rombongan itu pun tiba, ramai, gerbong III kereta ini menjadi benar-benar ramai, saya dan penumpang yang lain, diminta berdiri selama lebih kurang setengah jam, karena gerbong ini tidak cukup untuk menampung kami yang sudah membeli karcis melalui jalur resmi. Tapi tak apalah, demi anak-anak TK kami yang dewasa mengalah untuk sementara.
Menyenangkan, saya bersama penumpang yang lain berdiri di dekat pintu gerbong kereta. Hingga akhirnya mempertemukan saya dengan orang-orang yang menyebalkan dan ada pula yang menyenangkan. Salah satu dari sekian banyak pengalaman berharga yang saya dapat dari sebuah perjalanan singkat selama 6 jam. Saya sempat bersitegang dengan salah seorang penumpang yang saya tidak tahu namanya, tapi kemudian berakhir dengan kata maaf yang entah ia terima atau tidak.
Dia berdebat tentang agama pada saya dan seyogyanya saya mencoba memberi penjelasan padanya. Tapi, entah berguna atau tidak baginya, karena pada akhirnya saya berkata ”lakuum dienukum waliadien” saya tidak suka berdebat, tidak berguna selain hanya kekalahan saja yang akan didapat oleh saya dan dia. Tak lama anak-anak kecil yang lucu itu sampai di salah satu stasiun kereta yang ada, rejosari kalau tidak salah namanya. Dan akhirnya kami yang berdiri, bisa duduk kembali.
--nyambung--