Pages

Thursday, April 30, 2009

Mbak Eni, anak dan suaminya

Chapter 2

Mesin air itu terletak tepat di bawah tangga lantai dua. Mesin itu yang nantinya mengisi tower-tower air yang ada di asrama ini. Tepatnya ada 3 buah tower berukuran sedang, dan 1 buah berukuran besar. Biasanya, mesin air it dinyalakan 2 kali dalam sehari. Pagi pkl 5.00 dan sore pkl 16.00, dan baru dimatikan ketika tower-tower yang ada sudah penuh terisi.

Aku masih menerawangkan pikiran, tidak menyangka mbak eni akan begitu nekadnya meninggalkan anak dan suaminya. Memang, sudah sejak lama, mbak vit dan reni bercerita bahwa mbak eni dan mas endi memang sering bertengkar di malam hari. Awalnya aku tidak percaya, alasanku karena memang tidak pernah mendengar mereka bertengkar.

“kamu di atas terus sih, kita ni yang di bawah, sering bener denger mbak eni sama mas endi tu berantem. Sampe bunyi ‘ggdebbuk’ gitu. Terus ujung-ujungnya yang kedengeran suara anak kecil nangis”

Aku pikir, sudah pasti anak kecil itu veni, anak mas endi dan mbak eni. Tidak heran, karena veni pasti selalu melihat kedua orang tuanya bertengkar mengingat mereka tidur dalam satu kamar
“tapi kok aku ndak pernah dengar ya, ya dulu pernah sih sekali, tapi tak pikir itu Cuma suara gak penting”

“berantemnya itu ‘kar bukan sore-sore, tapi tengah malem, kadang jam-jam 1 tu, kita denger suara orang berantem gitu, trus kayak ada yang pukul-pukulan gitu. Ihh kalau kekerasan dalam rumah tangga gimana ‘kar? Padahal kita tau, tapi kita ndak bisa cegah”

“husshh, jangan dulu mikir yang enggak-enggak ren, belum tentu KDRT kan?”
“iya sih, tapi kan….”

Lamunanku buyar ketika mbak vit datang membawa handphone yang ia janjikan.

“nie ‘kar, tu udah mbak sambungin, kamu tinggal ngomong aja”

Ku raih handphone yang mbak vit berikan. Sebenarnya agak segan menghubungi bu aris, karena terakhir kali kami menghubungi beliau, kami sudah berkata untuk insya Allah tidak akan menghubungi beliau lagi.

Bu aris, aris bukan nama sebenarnya, tetapi nama suaminya. Kadang kami memanggil beliau dengan sebutan ibu ida lina aris. Beliau dosen di salah satu fakultas yang ada di universitas tempatku berkuliah. Baik, ramah, ya itu sedikit yang aku tahu tentang beliau. Beliau tidak tinggal di asrama ini, tetapi di rumahnya sendiri yang terletak di kawasan elit yang ada di kota ini.

Tidak begitu sering menghubungi bu aris, terkecuali untuk urusan-urusan yang dirasa penting, dan penjaga asrama kami dirasa tidak mampu memberikan solusi berarti, atau bila masalah kami memang bersangkutan dengan penjaga asrama yaitu mbak eni dan mas endi. Sudah pasti kami akan menghubungi bu aris melalui telepon selulernya, bisa dikatakan kami mengadu.

“halo assalammu’alaikum bu, saya……”
“o, iya. Kumsalam, ada apa ya…”
“bu aris bilang apa ‘kar?”

“katanya, kita disuruh nampung air dari pipa asrama sekarwangi 2 mbak. Nanti, insya Allah ibu aris secepatnya kirim orang untuk benerin mesin airnya mbak. Intinya sih, kita dilarang otak-atik mesinnya, nanti rusak”

“udah gitu aja?, trus gimana dong?”

“ya habis mau gimana, mbak eni minggat, mas endi gak ada. Ya kita terpaksa buka pipa yang diarahin ke asrama sekarwangi 2. Mbak tau nggak yang mana pipanya?”

“gak tau, mang kamu nggak tau ya?”

“ya aku juga nggak tau mbak, ya udah kita liat aja ke belakang gedung C, kan pipanya di sana”

Kami pun bergegas menuju ke belakang asrama gedung C ini, mencoba mencari-cari pipa mana yang dimaksudkan oleh ibu ida lina aris tadi. Tidak lama,

“ini kali mbak pipanya, tar ya tak coba buka tutupnya. Bismillah, mbak jangan deket-deket, setau aku ni suka muncrat airnya”

Mbak vit, menyingkir sedikit menjauh dari pipa tempat air memancar. Dan begitu dibuka, air memang mengucur deras dari pipa dan sedikit berwarna kehitam-hitaman, hitam berasal dari kotoran yang berada dari dalam pipa.

“ayo mbak, ambil ember buat nampung airnya”
“iya, bentar ya ‘kar, mbak ke kamar dulu, ambil ember”

Air terus mengalir, tidakku pasang penyumbat pipa itu, karena memang ingin sekaligus mengeluarkan kotoran yang berada di dalam pipa. Tak lama, mbak vit datang dengan embernya, namun belum lama berselang, baru menampung sekitar 2 ember berukuran sedang, pipa berhenti mengeluarkan airnya.

“yahhh airnya habis, gimana dong nih, aduh, mana baru nampung sedikit” begitu keluh mbak vit padaku

Beberapa hari sudah berlalu sejak insiden terlambatnya menyala mesin air itu. Belakangan, ternyata mesin air itu tidak rusak, hanya saja kami kurang sedikit kuat memutar tombol saklar yang mengarah ke posisi on. Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, sudah hampir sebulan mbak eni belum juga pulang, tidak juga kami mendengar kabar tentang kepulangan beliau. Nampaknya, kali ini mbak eni benar-benar serius dengan langkah yang sudah diambilnya.

-bersambung-