‘bu boleh ya manjat genteng?’
‘ya manjat sana, awas jatuh’
‘ngapain de? Nanti jatuh’ begitu kata ayah
Kesal, sudah sebesar ini masih dilarang
‘tu kan bu’ gak boleh sama ayah’
Meleng sedikit, hap hap hap, saya sudah sampai di atap garasi, menanti matahari pagi, memanjat ke atas sedikit untuk kemudian duduk diam mendekap lutut. Duduk dalam diam, berhati-hati agar rok hitam saya tidak kotor terkena lumut-lumut yang mendiami ata genteng rumah ayah dan ibu saya ini.
‘de ke pasar yuk?’ begitu kata ibu dari bawah
‘ayuk, tapi ade di atap sebentar ya bu, sebentar saja’ begitu ujarku
Tidak tahu pukul berapa saat itu, tapi sepertinya sudah menginjak pkl 06.00 pagi, suara anak-anak yang bermain, suara burung-burung, suara kokok ayam, suara bising kendaraan, semakin meramaikan pagi.
‘kukku ru yuuuuuukkkkkk’ ayam itu berkokok
Ada sedikit yang membuat ingin tertawa, ketika melihat seekor ayam berkokok. Kenapa saya harus tertawa, pastinya kalian menganggap saya terlalu berlebihan, karena kerjanya ayam saat pagi menjelang, memang berkokok bukan? Ya itu saya tahu, tapi ketika saya mengamati dalam-dalam, ternyata yang berkokok itu bukan ayam jantan, tetapi ayam betina. Diam beberapa saat, menanti kalau-kalau ayam betina itu akan berkokok lagi, tetapi nyatanya tidak, ia melompat, kemudian menggiring anak-anaknya mencari makan, mungkin.
Memandang dari kejauhan, senang akhirnya saya bisa kembali berada di sini, di atas atap ini, menanti sang mentari, sudah bertahun-tahun lamanya tidak berjumpa dengannya dari sudut yang satu ini, atap rumah, dari atas genteng tepatnya.
Tidak begitu banyak berubah, memandang kejauhan dari atas atap, memang menyenangkan, segala sesuatu yang tidak dapat dilihat dari bawah dapat terlihat jelas dari sudut yang satu ini.
Beberapa tahun yang lalu, saat saya masih menginjak bangku SMA, bisa dihitung rumah yang berdiri di sana, yang ada hanya semak belukar. Sekarang, sudah sedikit berbeda, daerah itu sudah semakin ramai. Ada yang masih nampak sama, lapangan sepak bola, saya pikir lapangan itu sudah tidak ada lagi, ternyata masih tetap berada di sana, tidak menjadi korban penggusuran dari masyarakat, yang mengutamakan pembangunan untuk kediaman dia dan keluarganya agar dapat terlindungi dari panas terik matahari dan hujan
Kabut sedikit menutupi areal lapangan sepak bola dan sekitarnya, saya merasa nyaman, tenang, sembari menanti sang mentari datang.
Bukannya tidak pernah berjumpa dengannya, hanya saja saya sudah sejak lama tidak menatapnya, tidak mengamatinya dari sudut yang satu ini.
Lama, satu menit, 5 menit ibu kembali bersuara
‘ayuk de, sudah tambah siang ini’
‘iya bu, bentar lagi, bentar lagi mataharinya keluar’
Tak lama seorang tetangga saya berteriak dari bawah, dari rumahnya. Dalam bahasa daerah, bahasa melayu yang artinya kira-kira begini
‘ngapain di sana?’ begitu tanya ibu itu pada saya
‘nggak ada tante, Cuma duduk saja’ jawab saya sekenanya
Iya pun tersenyum untuk kemudian masuk ke rumahnya, entahlah mungkin meneruskan aktifitasnya.
Sudah 10 menit berlalu, kemudian, cahaya keemasan berpendar, memancar, menyirami awan-awan putih dengan warna keemasan.
‘selamat datang pagi, indah, matahari itu indah, cantik, dan terima kasih pada Nya yang memberikan mata untuk melihatnya, terima kasih pada Nya yang memberikan akal dan pikiran untuk mengagumi keindahannya, dan terima kasih untuk kesadaran dan iman untuk menyadari keagungan Nya, karunia Nya, anugerah Nya, dan terima kasih padanya yang membuat electron-elektron sedemikian rupa, sehingga dapat mengenali objek-objek ciptaan Nya melalui mata, hati, akal pikiran ini’.
Tak lama
‘ayuk de, sudah siang’ begitu kata ibu dari bawah
Hap hap hap, kemudian melompat, saya sudah berada di bawah. Seorang sepupu saya yang melihat kemudian berkata ‘lho ayuk ini ada di atas, gak takut jatuh tah?’ begitu katanya
Sembari tersenyum saya kemudian berkata ‘don try this at home, alias jangan ditiru yak’.
Singkat kata singkat cerita saya sudah berada di pasar bersama ibu tentunya. Tidak lama, karena ibu hanya membeli kebutuhan yang memang dirasa diperlukan dan sedang habis stoknya di dalam lemari pendinginnya.
Lapar, kue tradisional yang dibelikan ibu untuk saya, saya lahap saja di atas motor. Pasar tentu saja ramai, apalagi hari minggu, pagi pula. Pelajaran yang saya dapati pagi itu adalah bahwa, jangan mau ‘dibonceng’ bila keadaan pasar sedang ramai-ramainya. Pasalnya saat ibu sedang mengendarai motornya dengan perlahan, dan saya sedang asik dengan makanan tradisional yang berada di genggaman dan yang sedang berada dalam proses ‘pengkunyahan’ . tiba-tiba, gdubbbrakkkkk, lutut saya menabrak plat motor lain yang juga sedang bergerak di jalan pasar yang padat dan sesak.
‘sakit de?’ begitu tanya ibu
‘ya sakit lah bu, udah bu gak papa, jalan aja’ begitu ujar saya, sembari terus mengunyah apa yang sedang berada di dalam mulut saya.
Saya pikir pasti terluka di luar atau mengalami pendarahan di dalam, lalu berimbas pada tato kebiru-biruan. Lama, sampai sore saya lupa dengan insiden yang terjadi tadi pagi, sampai ketika saya tanpa sengaja menengok lutut saya yang mengalami memar, kebiru-biruan yang cukup lebar dan ternyata dugaan saya benar.
Pelajaran pertama di pagi itu adalah jangan makan sembari duduk di atas motor yang berjalan di tengah-tengah keramaian pasar.