Pages

Wednesday, April 29, 2009

Minggatnya induk semang kami

chapter 1

Sudah hampir 1 bulan sejak kepergian mbak eni, asrama putri ini, sudah semakin nampak tak terawat saja. Awalnya aku tidak tahu menahu perihal kepergian mbak eni, penjaga asrama puteri ini, asrama sekarwangi 1. Tidak, sampai mbak vivit, salah satu penghuni asrama lantai satu gedung C, berteriak pada hari sabtu pagi,

“sekar…sekar…” mbak vit berteriak-teriak seolah-olah aku ini lemah dalam pendengaran.
“iya mbak, kenapa?”
“keluar sebentar deh”
“iya sebentar mbak”

Aku tak tahu ada apa gerangan mbak vit memanggil namaku sembari berteriak-teriak pagi itu. Aku, izinkan aku memperkenalkan diriku. Namaku sekarwangi, secara kebetulan namaku sama dengan nama asrama puteri tempatku menetap kini. Mahasiswi jurusan fisika semester 10, sudah melampaui tingkat akhir. Aku tinggal di gedung C lantai 2, sejak tahun 2003, sampai saat ini, tahun 2009.

Bisa dikatakan, sudah lewat 5 tahun aku berada di asrama ini. Asrama puteri sekarwangi, asrama ini terdiri dari 3 gedung. Gedung A berlantai 2 dengan 10 kamar, gedung B dan gedung C berlantai 3 dengan 15 kamar, sebuah pendopo, tempat anak-anak, penghuni asrama ini berkumpul, dan sebuah rumah tinggal untuk penjaga asrama puteri ini menetap bersama anggota keluarganya.

Asrama ini seperti rumah kedua bagiku. Bila dihitung, aku lebih sering berada di asrama ini daripada di rumahku sendiri, entahlah, yang jelas, di sini aku merasa betah, ayah bilang aku seperti tidak punya rumah untuk singgah. Berhenti bercerita tentang asramaku. Aku bergegas berlari, menuruni anak tangga gedung ini, sedikit berhati-hati, karena memang aku menjadi langganan penghuni yang sering sekali terjatuh dari anak tangga gedung C ini.

“ada apa mbak?”
“kamu tau cara ngidupin mesin air gak?”
“umm, entar ya, tak coba dulu, kalau ndak salah, ya cuma putar tombol off ke on mbak”
“udah, tapi ndak bisa, coba deh kamu puter, aku takut rusak”

Sembari mencoba menyalakan mesin air, aku mendengarkan cerita mbak vit perihal kenapa ia begitu ingin mesin air itu menyala pagi ini.

“air kamar mandinya habis,’kar. Mana mbak mau pergi lagi, duh, gak enak banget sih”
“lho memang mbak eni kemana mbak? Kok ndak ngidupin mesin air”
“lho, kamu ndak tau ya, mbak eni kan minggat”

Terkejut, tentu, aku terkejut. Bagaimana bisa mbak eni minggat, pergi meninggalkan begitu saja asrama ini.

Belum ada 3 tahun mbak eni bekerja di sini. Sebelumnya, induk semang kami memang bukan mbak eni, tetapi mbak ida. Dan karena satu alasan, pemilik asrama ini kemudian mengganti mbak ida dengan mbak eni, yang kemudian ditugaskan untuk menjaga asrama dan kami-kami yang menghuni di sini.

Mbak eni tidak sendiri di sini, ia bersama suaminya mas endi dan seorang puterinya yang bernama veni. Tidak begitu berat tugas dari penjaga asrma kami ini, hanya menjaga, mengawasi kami yang tinggal di sini, kemudian seminggu sekali membersihkan gedung beserta lingkungan sekitar asrama.

Aku tidak tahu perihal apa mbak eni meninggalkan asrama, sampai mbak vit menambahkan ceritanya padaku, yang masih sibuk mengotak-atik mesin air agar ia bisa berfungsi dan mengisi bak-bak mandi kami.

“kata reni, mbak eni semalem berantem sama mas endi. Terus dia tau-tau ngeluarin tas, langsung pergi. Sebenarnya mas endi sudah larang, kata mas endi masalah keluarga jangan sampe keluar, tapi diselesaikan dulu, ndak perlu minggat begitu. tapi mbak eninya tetep ngotot ‘kar. Nah si reni tu udah panik ngeliat mbak eni sama mas endi berantem kayak gitu. Ya karena nggak bisa dicegah lagi, akhirnya mbak eni pergi sama keponakannya yang diajak nginep di sini. Gitu katanya, ya akhirnya gini nih, kita yang terlantar. Gak bisa mandi, habis mesin air ndak dinyalain sih”

“oh gitu tho mbak, memang minggat kemana mbak?”
“ya, mana mbak tau. Kalau tau, bukan minggat namanya”
“memang mas endinya kemana mbak, kok mesin air ndak dihidupin”
“kayaknya sih, nyariin mbak eni ‘kar, tapi sampe sekarang belum ketemu juga. Mana perginya gak nyalain mesin air dulu, duh gimana ini, udah siang lagi”

Hari memang sudah siang, hampir pkl 9 pagi, dan sepertinya anak-anak asrama yang lain pun mengalami masalah yang sama, ‘belum bisa mandi’.

“gimana dong, kamu ada solusi ndak?”

“ya kita telepon bu aris aja mbak”

“trus mau ngomong apa?”

“ya kita ceritain yang sebenarnya, gini mah ndak bisa didiemin mbak, bisa-bisa kita ndak mandi sampe sore. Memang mbak mau ndak mandi?”

“iiihh, enggak lah”

“ya kan bisa pakai parfum, mbak siram aja ke badan”

“posisinya, mbak lagi dapet, kalau nggak mandi, ya gimana, ihh nggak ah”

“ya udah, entar ya, saya ke kamar dulu, ambil handphone”

“buat apa ‘kar?”

“ya buat nelepon lah mbak, masak buat mandi. Mbak ini ada-ada aja”

“udah ndak usah, pakai hp mbak aja, tar ya, mbak ambilkan dulu di kamar”

-bersambung-