-chapter 3-
Gerbong kereta ini tidak begitu luas, tidak seperti gerbong kereta yang ada di pulau jawa. Saya duduk bersama adik saya, dihadapan saya ada dua orang remaja tanggung. Dari gaya bicaranya saya pikir mereka berdua masih sekolah agaknya dan dari bahasa yang mereka berdua gunakan, saya pun menarik kesimpulan bahwa mereka berdua orang jawa, ‘luar biasa, orang jawa dimana-mana’.
Saya dan adik saya menempati kursi no 22-23. Cuaca yang panas, membuat saya membuka jaket yang saya pakai lalu memasukkannya sembarangan ke dalam tas ransel hitam kesayangan yang saya bawa.
Penunjuk waktu di handphone saya menunjukkan pkl 09.45 pagi, ‘masih lama’ pikir saya. Diam, sembari mendengarkan adik saya bercerita tentang persoalan yang sedang dihadapinya. Kereta terus melaju kencang, entah berapa kecepatan yang masinis gunakan, yang jelas kereta ini melaju dengan kecepatan konstan. Berpikir tentang teori relativitas yang einstein kemukakan, ’sebenarnya kereta yang bergerak atau justru objek yang saya lihat yang bergerak?’ entahlah, relatif bukan......
Membosankan, hingga membuat adik saya tertidur. Lazimnya kereta kelas ekonomi, maka banyak pedagang asongan khas perkeretaapian yang lalu lalang. Saya tidak mau ambil pusing soal itu, karena mereka adalah seni yang melengkapi drama perjalanan 6 jam kali ini. Tak lama dua orang penumpang yang duduk di hadapan saya, mengeluarkan asap dari mulutnya. ‘celaka, mereka memproduksi polusi dalam perjalanan ini’, saya merasa terganggu, pusing di kepala ini tak lagi mampu saya tahankan, asap rokok itu benar-benar membuat kacau sistem yang sedang bekerja dengan giatnya di kepala.
Akhirnya saya mengalah, saya putuskan untuk keluar dari gerbong III ini. Saya pun akhirnya memilih duduk tepat di depan pintu kamar mandi yang diganjal dengan sandal jepit agar tidak terbuka pintunya hingga terlihat isi di dalamnya dan sudah pasti tidak akan sedap bila dipandang oleh mata.
Salah satu penumpang yang juga berada di sana berbaik hati memberikan saya selembar koran "untuk dijadikan alas duduk" katanya. Saya menerimanya, lalu duduk bersama mereka tepat di depan pintu WC umum kelas ekonomi yang bau.
----nyambung.....
Gerbong kereta ini tidak begitu luas, tidak seperti gerbong kereta yang ada di pulau jawa. Saya duduk bersama adik saya, dihadapan saya ada dua orang remaja tanggung. Dari gaya bicaranya saya pikir mereka berdua masih sekolah agaknya dan dari bahasa yang mereka berdua gunakan, saya pun menarik kesimpulan bahwa mereka berdua orang jawa, ‘luar biasa, orang jawa dimana-mana’.
Saya dan adik saya menempati kursi no 22-23. Cuaca yang panas, membuat saya membuka jaket yang saya pakai lalu memasukkannya sembarangan ke dalam tas ransel hitam kesayangan yang saya bawa.
Penunjuk waktu di handphone saya menunjukkan pkl 09.45 pagi, ‘masih lama’ pikir saya. Diam, sembari mendengarkan adik saya bercerita tentang persoalan yang sedang dihadapinya. Kereta terus melaju kencang, entah berapa kecepatan yang masinis gunakan, yang jelas kereta ini melaju dengan kecepatan konstan. Berpikir tentang teori relativitas yang einstein kemukakan, ’sebenarnya kereta yang bergerak atau justru objek yang saya lihat yang bergerak?’ entahlah, relatif bukan......
Membosankan, hingga membuat adik saya tertidur. Lazimnya kereta kelas ekonomi, maka banyak pedagang asongan khas perkeretaapian yang lalu lalang. Saya tidak mau ambil pusing soal itu, karena mereka adalah seni yang melengkapi drama perjalanan 6 jam kali ini. Tak lama dua orang penumpang yang duduk di hadapan saya, mengeluarkan asap dari mulutnya. ‘celaka, mereka memproduksi polusi dalam perjalanan ini’, saya merasa terganggu, pusing di kepala ini tak lagi mampu saya tahankan, asap rokok itu benar-benar membuat kacau sistem yang sedang bekerja dengan giatnya di kepala.
Akhirnya saya mengalah, saya putuskan untuk keluar dari gerbong III ini. Saya pun akhirnya memilih duduk tepat di depan pintu kamar mandi yang diganjal dengan sandal jepit agar tidak terbuka pintunya hingga terlihat isi di dalamnya dan sudah pasti tidak akan sedap bila dipandang oleh mata.
Salah satu penumpang yang juga berada di sana berbaik hati memberikan saya selembar koran "untuk dijadikan alas duduk" katanya. Saya menerimanya, lalu duduk bersama mereka tepat di depan pintu WC umum kelas ekonomi yang bau.
----nyambung.....