Induk semang kembali ke sarang
chapter 1
Malam ini pikirku, mengapa bulan itu begitu kelabu, dalam diam, bersembunyi di balik awan yang kelam, terasa begitu abu-abu. Berjalan dalam diam, sembari sesekali menatap wajah bulan separuh yang nampak begitu mulus dari jauh, sejauh mata memandang.
Induk semang sudah kembali ke sarang, dalam kelelahan dan kepayahan nampaknya. Dengan wajah pucat pasi, dengan rambut kusut masai, dengan tubuh kurus seperti habis dimakan pikiran. Induk semang sudah pulang, pulang dalam kekalahan, seperti menelan kekalahan yang pahit dan menyakitkan, bukan pulang dengan wajah senang penuh kemenangan.
Tak nampak ia keluar dari kamarnya selama beberapa hari semenjak kepulangannya, selain hanya berdiam diri di kamar. Entah apa yang ia kerjakan, tidak itu membersihkan lingkungan asrama yang sudah nampak berdebu di mana-mana, tidak juga nampak bercengkrama dengan anak-anak penghuni asrama annisa. Ia hanya diam, entah karena apa, dan ketika salah seorang anak asrama bertanya perihal kepergiannya yang entah kemana, induk semang hanya berkata ‘pulang kampung mbak’, ya ia hanya menjawab singkat dengan senyum sekenanya, pulang kampung katanya.
Aku menjabat tangannya, tidak ingin terlalu banyak membebaninya dengan tanya selain
‘apa kabarnya mbak?’
‘baik’ begitu katanya
Kemudian beranjak pergi, sudah cukup lelah tubuh ini dengan aktivitas sehari, melangkah pergi, di sisi lain dari tempat induk semang berdiri. Sang suami, sedang asyik dengan aktivitas yang berkutat dengan alat tulis dan secarik kertas, entah apa yang ia tuliskan di atasnya. Ingin aku berkata ‘mbak yeni sudah pulang mas’
Tapi ku urungkan niat tidak berguna itu, hanya akan menambah beban pikiran dan rasa malu di dalam dada dan kepala. Alih-alih, kalimat tidak penting itu keluar juga dari bibir ku ‘mas, anak yang di sebelah kamar saya, kemarin sudah pindah, mengeluarkan barang-barangnya’
‘iya mbak, sebenarnya dia itu sudah habis masa mukimnya, tapi belum keluar-keluar juga’ begitu ujar mas suami itu padaku.
‘mari mas, saya naik dulu’ begitu tambahku
‘o iya mbak, baru pulang ya?’ begitu jawabnya
‘iya mas’ balasku
Induk semangku sudah kembali ke sarang, nampak genderang penyambutan itu sudah ditabuh, bertalu-talu. Hampir seluruh penghuni asrama jadi tahu, tetangga kiri-kanan, yang merasa mengenal induk semangku itu, berlomba-lomba menjadi orang yang sok tahu, perihal kepergian dan kembalinya induk semangku itu.
Genderang itu terus saja berbunyi, bertalu-talu, entah siapa pula yang menabuhnya, perlahan berita kembalinya sang induk semang, menjadi sesuatu yang nampak seperti layak untuk diperbincangkan, menjadi konsumsi publik, menjadi berita-berita picisan, menjadi makanan lezat dan nikmat bagi wanita-wanita penggila gossip kelas asrama maupun kelas ibu-ibu yang berada di sekitar asrama.
Induk semang ku itu, sudah layaknya selebritis kelas ibu-ibu penjaga asrama. Masih berjalan dalam diam, meninggalkan perkara kembalinya sang induk semang ke sarang, ke dalam lingkungan asrama.
-bersambung-
chapter 1
Malam ini pikirku, mengapa bulan itu begitu kelabu, dalam diam, bersembunyi di balik awan yang kelam, terasa begitu abu-abu. Berjalan dalam diam, sembari sesekali menatap wajah bulan separuh yang nampak begitu mulus dari jauh, sejauh mata memandang.
Induk semang sudah kembali ke sarang, dalam kelelahan dan kepayahan nampaknya. Dengan wajah pucat pasi, dengan rambut kusut masai, dengan tubuh kurus seperti habis dimakan pikiran. Induk semang sudah pulang, pulang dalam kekalahan, seperti menelan kekalahan yang pahit dan menyakitkan, bukan pulang dengan wajah senang penuh kemenangan.
Tak nampak ia keluar dari kamarnya selama beberapa hari semenjak kepulangannya, selain hanya berdiam diri di kamar. Entah apa yang ia kerjakan, tidak itu membersihkan lingkungan asrama yang sudah nampak berdebu di mana-mana, tidak juga nampak bercengkrama dengan anak-anak penghuni asrama annisa. Ia hanya diam, entah karena apa, dan ketika salah seorang anak asrama bertanya perihal kepergiannya yang entah kemana, induk semang hanya berkata ‘pulang kampung mbak’, ya ia hanya menjawab singkat dengan senyum sekenanya, pulang kampung katanya.
Aku menjabat tangannya, tidak ingin terlalu banyak membebaninya dengan tanya selain
‘apa kabarnya mbak?’
‘baik’ begitu katanya
Kemudian beranjak pergi, sudah cukup lelah tubuh ini dengan aktivitas sehari, melangkah pergi, di sisi lain dari tempat induk semang berdiri. Sang suami, sedang asyik dengan aktivitas yang berkutat dengan alat tulis dan secarik kertas, entah apa yang ia tuliskan di atasnya. Ingin aku berkata ‘mbak yeni sudah pulang mas’
Tapi ku urungkan niat tidak berguna itu, hanya akan menambah beban pikiran dan rasa malu di dalam dada dan kepala. Alih-alih, kalimat tidak penting itu keluar juga dari bibir ku ‘mas, anak yang di sebelah kamar saya, kemarin sudah pindah, mengeluarkan barang-barangnya’
‘iya mbak, sebenarnya dia itu sudah habis masa mukimnya, tapi belum keluar-keluar juga’ begitu ujar mas suami itu padaku.
‘mari mas, saya naik dulu’ begitu tambahku
‘o iya mbak, baru pulang ya?’ begitu jawabnya
‘iya mas’ balasku
Induk semangku sudah kembali ke sarang, nampak genderang penyambutan itu sudah ditabuh, bertalu-talu. Hampir seluruh penghuni asrama jadi tahu, tetangga kiri-kanan, yang merasa mengenal induk semangku itu, berlomba-lomba menjadi orang yang sok tahu, perihal kepergian dan kembalinya induk semangku itu.
Genderang itu terus saja berbunyi, bertalu-talu, entah siapa pula yang menabuhnya, perlahan berita kembalinya sang induk semang, menjadi sesuatu yang nampak seperti layak untuk diperbincangkan, menjadi konsumsi publik, menjadi berita-berita picisan, menjadi makanan lezat dan nikmat bagi wanita-wanita penggila gossip kelas asrama maupun kelas ibu-ibu yang berada di sekitar asrama.
Induk semang ku itu, sudah layaknya selebritis kelas ibu-ibu penjaga asrama. Masih berjalan dalam diam, meninggalkan perkara kembalinya sang induk semang ke sarang, ke dalam lingkungan asrama.
-bersambung-