Masa lalu, masa kini dan nanti. Berbahagialah, berjalanlah dengan ikhlas, bernafaslah dengan penuh syukur, berserah dirilah. Ujian terberat, terbesar itu ada pada diri, pada hati.
Sunday, August 28, 2011
did i lose my sense of humor???
Wednesday, April 6, 2011
Briptu Norman, Polisi juga manusia
"Apa yang si perwira polisi berpangkat briptu bernama norman lakukan, menjadi sebuah penegasan bahwa 'Polisi juga manusia', manusia yang bisa berlaku lucu dan manusia yang juga bisa tergila-gila dengan film India hahahahaha"
Monday, April 27, 2009
Sebenarnya, saya ndak mau membuangnya…
Pagi, 23 april 2009, beres-beres, buka toko, membersihkan lantai, membersihkan kaca-kaca etalase, boz saya cukup cerewet untuk hal kebersihan, padahal dia lelaki, mungkin dia seorang yang perfeksionis, segalanya mau serba sempurna, karakter melankolis bercampur sanguinisnya terkadang kuat dan saling mengalahkan. Kalau sanguinisnya sedang dominan alias kumat, dia bisa curhat sehari suntuk sesuka hati, tidak peduli apakah saya bosan atau tidak, suka atau tidak.
Kalau melankolisnya sudah kumat, apa-apa serba diprotes, keinginan mengeluhnya menjadi dominan kepermukaan, dan bila keinginan untuk ‘segera menikahnya’ kumat, saya bias jadi bulan-bulanan yang mendengarkan ceritanya dari siang hingga petang menjelang.
Kembali ke cerita di hari ini, di pagi ini, selepas membersihkan toko milik bos muda saya ini, nasih uduk yang sudah saya beli di kantin pak adip, mulai menari-nari genit, menggoda rasa lapar yang sudah mendera, menyiksa system pencernaan. Tanpa ba bi bu, bu, ‘bismillahi min awali wal akhiri’, karena saya sering sekali terlupa mengucap bismillah di awal, alhamdulillahnya islam memudahkan, jadilah doa di atas selalu saya baca setiap kali saya terlupa.
‘nyam, nyam, nyam’, nasi uduk dengan telur mata sapi, bawang goreng, plus bakwan, plus sambal merah laksana mawar yang merekah, lambat laun, mereka penjadi pengobat rasa lapar, saya tersenyum-senyum penuh kemenangan, kesenangan.
Lama, hari semakin siang, nasi uduk itu tidak dapat serta merta saya habiskan. Entahlah, sejak beberapa bulan yang lalu, saya kehilangan rasa pada makanan khas Indonesia ‘nasi’, jadilah satu porsi dirasa begitu berat untuk dicerna, wal hasil, semakin lama, tubuh saya semakin bertambah kecil saja, berat tubuh saya di bawah standar, tinggi 160 beratnya hanya berkisar antara 45 sampai 48 Kg. Tapi, saya bukan kecil yang ringkih, untuk mensiasatinya saya konsumsi sayur mayur yang jumlahnya melebihi porsi nasi yang saya makan dan ‘taraaaaaaaa’ jadilah saya Alhamdulillah manusia kecil yang sehat wal afiat.
Baiklah, kembali ke cerita di pagi hari ini, tentang mengapa saya tidak ingin membuang.
Sebenarnya, saya sudah merasakan gejala-gejala yang tidak mengenakkan sejak tadi malam, tapi hmmmh, saya anggap angin lalu, tidak saya gubris gejala alam itu, rasa itu. Sampai pagi ini, firasat tidak menyenangkan itu datang lagi, rasa yang bergejolak semakin lama semakin tidak dapat saya tahan.
Jadilah, sisa nasi uduk yang sudah habis telur dan bawang gorengnya itu, saya masukkan ke dalam Tupperware yang saya bawa. Dalam tergesa-gesa, rasa itu terus mendera, diikuti sesuatu yang bergejolak meminta untuk segera terpenuhi hasratnya. Kaos kaki saya serta merta saya lucuti begitu saja, manset putih itu saya lempar begitu saja, dan bismillah Allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khobaits, saya masuk, dan selesai.
Meraih gayung kemudian ‘byur…byur….’,
Hah, masya Allah, WC nya mampat, haduh bagaimana ini, memang sie, beberapa waktu yang lalu, bos sudah pernah berpesan, kalau WC toko ini mampat, tapi, mau bagaimana lagi, sebenarnya saya sudah sekuat tenaga mengupayakan untuk membuangnya di asrama saya saja ketimbang membuangnya di toko kepunyaan bos saya, tapi pucuk di cinta ulam tiba, pada saat saya mau beranjak pergi, bergegas keluar dari toko ini, kunci toko tidak juga saya temukan, beginilah kalau punya penyakit lupa yang terkadang ‘kumat-kumatan’, wal hasil mau tidak mau, terpaksa saya membuangnya di WC toko bos saya, dan yah begini ini hasilnya, WC nya mampat.
Bingung, jelas saya bingung, bertanya pada penjaga warnet di sebelah toko ‘mbak punya garam nggak?’ begitu Tanya saya, dan jawab si embak tentu saja ‘nggak ada mbak’. Ya jelas saja tidak ada, karena itu warung internet bukan warung makan, jadi untuk apa dia menyimpan garam.
‘memang untuk apa mbak?’ begitu Tanya si embak
‘WC sebelah mampet mbak, haduh pusing saya mbak’ begitu jawab saya
Mengapa harus garam? Karena menurut cerita ibu saya, tukang renovasi di rumah, dulu pernah memperbaiki WC yang mampat di rumah saya hanya dengan meletakkan garam tepat di lubang WC nya.
Entah, saya benar-benar bingung, akhirnya saya mencoba menghubungi seorang teman saya yang katanya memiliki produk yang mampu memperlancar WC yang mampat, saya segera saja minta ia datang pagi, tetapi ‘waduh cep, gw gak bisa pagi, ada praktikum, bisanya jam 3’, haduh bagaimana ini. Hari semakin siang, bos besar sebentar lagi datang, kalau sampai ia tau, bisa habis saya kena semprotan amarahnya yang terkadang tidak kira-kira (ha…3x saya kembali hiperbolik).
Akhirnya, mau tidak mau, saya menghubunginya ‘kak, WC nya mampat, tadi habis ngepel cep buang airnya di WC, jadinya mampat’, saya tidak sampaikan pada si bos kalau saya habis membuang hasil pencernaan saya di WC toko kepunyaannya.
Lalu, ‘he….3x bla..bla..bla’ si bos malah terkekeh di dalam sms nya, saya pun meminta dia memesankan ‘plong’ untuk melancarkan lubang WC toko yang mampat. Tak lama ‘waduh cep, ibu yang jual lagi gak da di rumah gimana dong?’, begitu balasnya.
Ya sudah, cocok, akhirnya itu lubang masih mampat seperti itu. Lama, ujung-ujungnya, teman saya berkata ‘cep gw bisa ke sana sekitar pkl 14.00 siang’, yah akhirnya, pucuk di cinta kembali, ulam tiba kembali. Teman saya itu menepati janjinya, membawa bakal pelancar lubang WC toko milik bos saya. Bercakap-cakap sebentar, kemudian membayar, lalu ‘cara pakainya gini cep, bla..bla..bla’ dia pun pamit pergi, menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda.
‘yes’ saya seperti berada di ujung karang yang menjulang di tepi pantai, bermandikan cahaya matahari, sembari menggenggam botol ‘plong’, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi menantang langit, ‘hmmmh’ saya merasa seperti seorang kesatria dengan senjata pembunuh yang begitu ampuh ‘plong’, ‘byur’ dan debur ombakpun memecah kesunyian.
Berhenti berkhayal, kembali ke dunia nyata. Bergegas itu botol saya buka, lalu sesuai takaran saya masukkan separuh dari isi botol, ke dalam lubang, kemudian mendiamkannya beberapa saat.
Tik tok tik tok, tak terasa waktu pun berlalu, pintu kamar mandi itu saya buka kembali, ‘plong’ yang saya pikir sudah melakukan pekerjaannya, sudah saatnya ia disiram dengan seciduk air, lalu ‘byur…byur…byur…’, he….3x, saya hampir menang, sampai ‘blub..blub..blub’, hah, masya Allah, itu WC tetap pada keadaannya semula, mampat, haduh, tambah pusing kepala ini rasanya.
‘gawat, bagaimana ini?’ saya berusaha memutar otak, tapi otak tetap saja tidak dapat diputar, alhasil, sisa ‘plong’ yang ada, saya tumpahkan semua ke dalam lubang WC toko milik bos saya. Selesai, yang tinggal hanya menanti dan menanti, berharap agar kiranya ‘plong’ yang katanya penghilang saluran mampat itu benar-benar bisa bekerja.
Tik tok tik tok, jarum jam semakin lama semakin menyadarkan saya bahwa hari sudah mulai senja, pkl 17.10 sore, bos belum juga pulang dari keperluannya mencari pinjaman untuk kemajuan usahanya. Dan saya masih di sini, di depan komputer, bekerja di depan layar laptop sembari menanti apakah ‘plong’ akan memberi kabar bahagia ‘saluran WC nya sudah lancar’ atau justru sebaliknya ‘saluran WC nya belum bisa lancar’. Saya tidak tahu, saya belum tahu, yang saya tahu, yang jelas, untuk beberapa waktu, bos saya belum akan bisa menggunakan kamar mandi itu. Mau tertawa, karena geli rasanya, mau menutup muka, karena rasa malu itu berputar-putar memenuhi relung-relung hati kemudian memusat naik ke kepala.
‘Hahhhhh, harusnya, saya tidak membuangnya’.
Monday, April 6, 2009
Wednesday, April 1, 2009
tragedi sendal jepit
Hujan deras mengguyur kota ini, air menggenang dimana-mana, berwarna cokelat, keruh, terkadang menjadi menjijikkan bila bercampur dengan sampah-sampah yang bertebaran.
Halaman pelataran masjid ini pun tergenang air,
‘Dilepas aja kaos kakinya de, biar gak basah’ begitu kata abang supir
‘ndak apa pak, ini ongkosnya, makasi ya pak’ ujarku pada abang sopir saat itu
Berlari, jarak antara halaman yang tergenang ini dengan pintu masjid tidak ada 5 meter agaknya. Hanya saja hujan yang mengguyur dengan deras memang agak mengkhawatirkan, bukan untuk kesehatan tubuhku, tidak juga untuk basah atau tidaknya pakaianku, tapi demi kemaslahtan alat elektronik yang berada di dalam tas punggungku.
Sampai, kaos kaki memang tidak dapat diselamatkan. Masih basah juga pada akhirnya, tapi tak apa, setidaknya laptop ini aman-aman saja. Kaos kaki basah, ah tanggalkan saja, yang penting pakaian ini tidak begitu basah.
Hujan deras, berpikir, berpikir, petani-petani yang menunggu musim tanam tentu akan senang. Tetapi lain halnya dengan yang sedang sibuk-sibuknya mencari matahari dari hari ke hari, seperti petani singkong. Gundukan singkong yang sudah dihaluskan menunggu masa untuk dikeringkan, baunya yang luar biasa menyengat membuat saya terheran-heran, mengapa kiranya itu petani-petani singkong betah berlama-lama berdekatan dengan itu bakal tepung singkong, tapi namanya juga orang cari penghidupan, bau limbah singkong, sepertinya dianggap bau uang.
Berhenti berbicara tentang singkong, yang jelas, hujan turun ke bumi selalu membawa arti, selalu membawa rezeki. Genangan air di sana sini, bukan karena langit yang kelebihan dalam menumpahkan, tetapi karena manusia yang semakin merusak alam.
Sampai di pintu masjid, mendatangi shaf perempuan. Clingak-clinguk, kalau-kalau ada yang saya kenal. Aha, akhirnya ketemu juga, dengan dua orang wanita yang lebih tua dari saya dalam hal usia, menunggu dan terus menunggu, hingga akhirnya sang murabbi itu datang juga, acara pun dimulai, terpotong ashar hingga akhirnya sekitar pkl 16.30 acara selesai.
Saya yang membuka, saya juga yang harus menutup acara. Menjelang ditutupnya acara pengajian, saya lupa gimana awalnya, intinya ada indikasi transaksi jual beli akan terjadi. Lalu, dengan ilmu yang baru saya baca beberapa waktu yang lalu, serta merta saya berkata
‘mbak, ada beberapa hal yang baiknya tidak dilakukan di dalam masjid, salah satunya mencari barang yang hilang dan transaksi jual beli’
Itu mbak-mbak langsung berkata
‘trus kalo da barang kita yang ilang gimana?’,
MR saya langsung berkata ‘ya dicari, tapi ndak di dalam’ begitu katanya.
Singkat kata, singkat cerita, pengajian kami sudahi dengan membaca doa kafaratul majelis, lalu mengucap salam, cium pipi kiri, cium pipi kanan, kami pun serentak beranjak dari tempat, meninggalkan masjid ini.
Sampailah di tempat alas kaki diletakkan, semua mendapatkan alas kakinya masing-masing, tinggal saya yang clingak-clinguk sendirian, lirik kanan-lirik kiri, kok sandal saya sudah ndak ada lagi, sudah raib tepatnya, karena itu sandal jepit tidak ada di tempat dimana saya meletakkannya pertama kali.
Bingung? Iya, tentu saja. Pasalnya bagaimana saya bisa pulang, kalau itu sandal jepit kagak ada di tempatnya.
‘mbak sandal saya ilang’ ujar saya
‘lho kok, dipinjem kali, buat ambil wudhu’ begitu kata mbak asni
‘tapi gak ada yang ambil wudhu tuh’ kata MR saya
‘coba liat di sana cep (sembari menunjuk tempat wudhu wanita)’ begitu saran mbak yuni
‘nggak ada juga mbak’ jawab saya setelah memeriksa
‘berarti ilang mbak, ada yang ambil’ tambah saya
Cuma bisa senyam senyum sendirian sembari berkata pada mbak-mbak saya
‘kok bisa ya sandal jepit diambil, padahal harganya gak seberapa’
‘itu sandal yang kamu beli kemarin kan?’ MR bertanya
‘iya mbak, yang Rp 10.000 itu, ya nggak apa sie mbak. Cuma kok ya bisa, gitu lo. Sendalnya sie gak seberapa, tapi dosanya kan sama aja. Tanggung kalo cuma mo ambil sandal, kan dosanya sama aja dengan mencuri’ begitu kata saya
Kami pun tertawa,
Tak lama, mbak saya yang lainnya mencarikan saya sebuah sandal jepit, berwarna kuning, harganya Rp 6.500 rupiah saja, untuk ukuran 9,5’.
‘Sendalnya yang kayak mana mbak?’ tanya si abang yang menjual sandal
‘ya sandal jepit biasa mang, Cuma beda Rp 3.500 dari sandal ini’ jawab saya sembari menunjuk kea rah sandal yang si mamang bawa.
Sandal berwarna kuning, sandal jepit dari karet, yah sandal jepit biasa, tapi tak apa yang penting saya masih bisa beralas kaki. Nampaknya itu yang ngambil benar-benar mengikuti saran pak Haji yang berkata ‘ambil yang baik, tinggalkan yang buruk’. Yah ndak apa, sekali-sekali kehilangan, tepat setelah saya menyampaikan pada mbak-mbak sekalian bahwa ‘ndak boleh mencari barang hilang di dalam masjid’
Saturday, March 14, 2009
makan daun Kayak Kambing
Kebiasaan di bandung, terbawa sampai ke Lampung. Meskipun ndak banyak, tapi diusahakan ada sayurannya biarpun cuma seiprit di dalam makanan yang masuk ke dalam perut saya.
Lama-lama, makan sayuran sudah jadi kebiasaan, jadi kecanduan. Tu karena ketika test hemoglobin, kadar Hb saya kagak sampai 12, akhirnya kagak bisa donor, ugghhh jengkel rasanya, ketika ibu perawat berkata, 'kurang makan sayur', whuaahh dari situ jadi dendam kesumat ama kebiasaan yang kagak suka ama sayuran.
Nah karena itu dendam,saya jadi doyan makan sayuran, he...3x jadi terima kasih sama si dendam.
Kebiasaan itu jadi menyenangkan n menurut saya biasa aja sie, sampe ketika temen saya berkata seperti ini 'cep kamu itu makan daun-daunan itu emang enak? kayak kambing' Gdubbbbbrakkk, saya dibilang kayak kambing, gara-gara doyan makan daun-daunan hijau. Mau ketawa iya, jengkel juga iya, habis disamakan dengan kambing.
Kalau urusan makan daun-daun hijau, 'ini emang udah dari kecil doyannya mbak' begitu terang saya padanya.
Ughh, kayak kambing, keren-keren begini dimatchnya kok sama kambing.
Sunday, July 6, 2008
Sekarat Tapi Ingin Istri Berdandan
"Dalam keadaan seperti ini bagaimana mungkin aku meninggalkanmu hanya untuk berdandan. tentu aku tidak akan melakukannya. Kamu kira aku wanita macam apa, sehingga kamu bilang begitu padaku?" kata sang istri.
"Bukan begitu, istriku. ternyata engkau salah paham. Aku melihat Malaikat Izrail sudah mondar-mandir di sekitarku. Begitu melihatmu dengan pakaian bagus dan penampilan cantik, barangkali dia lebih tertarik padamu, lalu membawamu dan membiarkan aku," jawab Uddin.
sumber -- ketawa.com