‘mari kita tutup pengajian kali ini dengan membaca alhamdulillah’ begitu ujar mbak asni menutup liqa hari ini. Kemudian ‘umm, Alhamdulillah karena sedang ada rezeki, saya mau traktir temen-temen makan, tapi Cuma ke PH’ begitu tambahnya
‘PH? Derajat keasaman dong mbak’ begitu kelakar saya
Singkat kata, kami berdelapan termasuk murabbi yang kami cintai berpisah, ada yang mengendarai motor, ada yang naik angkutan umum, poinnya yang penting sampai di PH itu sendiri.
Sesampainya di sana, ramai ada gadis-gadis SPG yang membuat mata saya terpana karena subhanallah Allah menciptakan manusia, wanita, ‘cantik-cantik’ begitu yang ada di kepala saya.
PH, pitza hat, yup kami ditraktir makan di pitza hat. Singkat kata, kami sudah berada di dalam, si pentraktir memesan, kami-kami yang ditraktir hanya duduk dalam diam, ada yang melamun, ada yang berbicara, ada yang membaca buku menu dari pH. Dan saya termasuk ke dalam kategori yang melamun, mengamati, kemudian berdialog dengan alam pikiran sendiri.
Tempat ini ramai, mungkin karena memang di plaza ini sedang mengadakan acara pencarian grup band berbakat, yah atau mungkin produk rokok itu bekerja sama dengan pihak plaza untuk izin menggunakan tempatnya. Sore ini, pertama kalinya saya duduk di tempat ini, menyantap makanan yang orang-orang menyebutkan dengan istilah pitza hat. Mengenal rasa dari pitza hat itu sendiri, belum lama, kira-kira bebera tahun yang lalu. Itu pun bukan beli karena keinginan sendiri, melainkan ‘dibelikan, gratisan’ dan akhirnya makanan ‘gratisan’ itu terbuang, karena rasa mual yang mendera dan meronta-ronta mulai dari indra pembau, indra perasa sampai kepada system pencernaan saya.
Duduk dalam diam, mengamati setiap pengunjung yang datang, ada yang merupakan warga keturunan, ada juga yang memang merupakan anak asli dari negeri ini. Ada yang datang bersama keluarga, ada yang datang bersama teman-temannya, ada pula yang datang bersama kekasih hati, belahan jiwanya, meskipun itu belum tentu akan menjadi suami atau istrinya. Lama mengamati, ada yang menarik perhatian, ketika tiba-tiba seorang wanita dengan rambut terikat ekor kuda, menghampiri temannya, kemudian cium pipi kanannya, dan temannya itu seorang pria. ‘wushhhh’ saya sedikit terkejut, hanya sedikit saja, karena semakin lama-semakin terbiasa melihatnya.
Pesanan datang, mbak-mbak yang lain pun sudah datang. Acara makan-makan dimulai, acara makan-makan dipenuhi bincang-bincang. Kalau boleh memilih, saya lebih suka menelan tiwul, gatot, atau jagung grontol ketimbang memakan pitza yang rasanya entah seperti apa lidah saya menggambarkannya. Entah dimana letak enaknya barang yang satu ini, aroma makanan yang menyeruak di tengah-tengah manusia yang berada di tempat ini, tiba-tiba melecutkan suatu rasa ‘ngingggg’ di kepala saya, rasa sakit yang berada pada satu titik.
Entah itu disebabkan karena aroma makanan yang berada di hadapan saya yang ada di tempat ini, atau karena cuaca panas yang sepanjang hari ini melanda kota ini, entahlah. Sebenarnya agak enggan memakannya, tapi karena ini dibelikan oleh mbak yang lagi dilimpahkan rezekinya oleh Allah SWT, mau ndak mau, itu makanan saya masukkan juga ke dalam kerongkongan untuk kemudian harapan saya, system pencernaan saya dengan sukarela mau mencernakannya untuk saya.
Tadinya begitu enggan, tetapi kalau tidak dihabiskan maka mubazir jatuhnya. Saya hanya memakan dalam diam, mau mengumpat, tapi tidak boleh mengumpat makanan, jadilah menahan rasa pgusing di kepala sembari memaksakannya masuk ke dalam perut saya. Kalau saja bukan karena saos sambal yang pedas, belum tentu saya bisa menelan itu pitza.
Lama, pelan-pelan menghabiskan makanan yang sudah dipesan. Ada sesuatu yang menarik perhatian, tidak menyalahkan, tidak juga ingin menghakimi.
Arah pukul 11 sebuah keluarga, keluarga muda menurut saya, mereka sedang menyantap hidangan pitza hut dengan seorang bayi yang berada di tempat duduk yang memang disediakan oleh si pelayan restoran, saya pikir usia bayi itu belum ada satu tahun.
Dahulu agak sulit menerka umur bayi-bayi apakah mereka masih terhitung dalam bulan atau sudah berusia dalam hitungan tahun, tetapi lama di Kalimantan timur tepatnya di camp petrosea bontang, terbiasa menjaga anak abi dan umi zaid pada hari sabtu dan minggu, membuat saya tahu.
Ada yang menarik dari keluarga ini, entahlah, saya katakan saya tidak bermaksud menghakimi bukan. Hanya ingin menuliskan sebuah kisah pendek di suatu petang.
Abi dan umi yang mengajarkan, bukan abi dan umi zaid, tapi abi dan umi yang saya temui di restoran pitza hut sore ini.
‘aku tidak pernah tahu seperti apa tiwul itu’
‘yang aku tahu pitza dengan isi keju’
Saya pikir anak kecil itu belum tentu tahu seperti apa itu bentuk tiwul, seperti apa itu bentuk gatot, seperti apa itu bentuk kelanting, seperti apa itu bentuk kue putu, seperti apa rasanya, seperti apa bentuk orang-orang yang menjualnya.
Saya pikir, anak sekecil itu, balita, abi dan uminya sudah memperkenalkannya dengan lingkungan yang sebenarnya tidak perlu diperkenalkan sejak kecil pun, ia akan tahu dengan sendirinya.
Dimana letak enaknya, atau mungkin karena lidah kita berbeda. Beberapa orang katakan enak, apa itu berasal dari hati yang paling dalam, atau sekedar ikut-ikutan kemudian memaksakan diri dengan mensugesti bahwa makanan PH itu enak, hingga kemudian menstimulus syaraf-syaraf terutama syaraf pembau dan perasa yang tadinya menolak, sampai enggan, sampai mual dan ingin mengeluarkan, menjadi menerima hingga tanpa sadar mencuci otak untuk berkata ‘makanan PH itu enak’.
Orang luar katakan junk food, orang Indonesia katakan itu ‘modern, makanan orang kota’ ujung-ujungnya saya katakan makanan yang saya makan sore ini hanya sekedar ‘life style’ belaka, tak ubahnya seperti blackberry yang setiap orang ‘keranjingan’ membeli padahal sejatinya hanya berfungsi sebagai penerima dan pengirim pesan atau bagian terpentingnya hanya sebagai alat untuk menelepon atau menerima telepon saja, sisanya? Tidak ada, tidak jauh berbeda fungsinya dengan handphone standar yang lainnya.
Abi dan umi yang mengajarkan, bagian dari modernisasi. Abi dan umi juga manusia, tidak salah menyantap PH bersama keluarga tercinta, sama sekali tidak apa-apa. Hanya saja, saya agak terpana karena yang berada di sana, di meja yang berada pada arah pukul 11 itu adalah abi dan umi, bukan ayah dan ibu, bukan papa dan mama, tapi abi dan umi, abi dan umi.
Dan sampai malam ini, rasa sakit di kepala ini belum juga mau pergi.