Pages

Monday, April 27, 2009

Sebenarnya, saya ndak mau membuangnya…

Sebenarnya saya ndak mau membuangnya…

Pagi, 23 april 2009, beres-beres, buka toko, membersihkan lantai, membersihkan kaca-kaca etalase, boz saya cukup cerewet untuk hal kebersihan, padahal dia lelaki, mungkin dia seorang yang perfeksionis, segalanya mau serba sempurna, karakter melankolis bercampur sanguinisnya terkadang kuat dan saling mengalahkan. Kalau sanguinisnya sedang dominan alias kumat, dia bisa curhat sehari suntuk sesuka hati, tidak peduli apakah saya bosan atau tidak, suka atau tidak.

Kalau melankolisnya sudah kumat, apa-apa serba diprotes, keinginan mengeluhnya menjadi dominan kepermukaan, dan bila keinginan untuk ‘segera menikahnya’ kumat, saya bias jadi bulan-bulanan yang mendengarkan ceritanya dari siang hingga petang menjelang.

Kembali ke cerita di hari ini, di pagi ini, selepas membersihkan toko milik bos muda saya ini, nasih uduk yang sudah saya beli di kantin pak adip, mulai menari-nari genit, menggoda rasa lapar yang sudah mendera, menyiksa system pencernaan. Tanpa ba bi bu, bu, ‘bismillahi min awali wal akhiri’, karena saya sering sekali terlupa mengucap bismillah di awal, alhamdulillahnya islam memudahkan, jadilah doa di atas selalu saya baca setiap kali saya terlupa.

‘nyam, nyam, nyam’, nasi uduk dengan telur mata sapi, bawang goreng, plus bakwan, plus sambal merah laksana mawar yang merekah, lambat laun, mereka penjadi pengobat rasa lapar, saya tersenyum-senyum penuh kemenangan, kesenangan.

Lama, hari semakin siang, nasi uduk itu tidak dapat serta merta saya habiskan. Entahlah, sejak beberapa bulan yang lalu, saya kehilangan rasa pada makanan khas Indonesia ‘nasi’, jadilah satu porsi dirasa begitu berat untuk dicerna, wal hasil, semakin lama, tubuh saya semakin bertambah kecil saja, berat tubuh saya di bawah standar, tinggi 160 beratnya hanya berkisar antara 45 sampai 48 Kg. Tapi, saya bukan kecil yang ringkih, untuk mensiasatinya saya konsumsi sayur mayur yang jumlahnya melebihi porsi nasi yang saya makan dan ‘taraaaaaaaa’ jadilah saya Alhamdulillah manusia kecil yang sehat wal afiat.

Baiklah, kembali ke cerita di pagi hari ini, tentang mengapa saya tidak ingin membuang.

Sebenarnya, saya sudah merasakan gejala-gejala yang tidak mengenakkan sejak tadi malam, tapi hmmmh, saya anggap angin lalu, tidak saya gubris gejala alam itu, rasa itu. Sampai pagi ini, firasat tidak menyenangkan itu datang lagi, rasa yang bergejolak semakin lama semakin tidak dapat saya tahan.

Jadilah, sisa nasi uduk yang sudah habis telur dan bawang gorengnya itu, saya masukkan ke dalam Tupperware yang saya bawa. Dalam tergesa-gesa, rasa itu terus mendera, diikuti sesuatu yang bergejolak meminta untuk segera terpenuhi hasratnya. Kaos kaki saya serta merta saya lucuti begitu saja, manset putih itu saya lempar begitu saja, dan bismillah Allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khobaits, saya masuk, dan selesai.

Meraih gayung kemudian ‘byur…byur….’,

Hah, masya Allah, WC nya mampat, haduh bagaimana ini, memang sie, beberapa waktu yang lalu, bos sudah pernah berpesan, kalau WC toko ini mampat, tapi, mau bagaimana lagi, sebenarnya saya sudah sekuat tenaga mengupayakan untuk membuangnya di asrama saya saja ketimbang membuangnya di toko kepunyaan bos saya, tapi pucuk di cinta ulam tiba, pada saat saya mau beranjak pergi, bergegas keluar dari toko ini, kunci toko tidak juga saya temukan, beginilah kalau punya penyakit lupa yang terkadang ‘kumat-kumatan’, wal hasil mau tidak mau, terpaksa saya membuangnya di WC toko bos saya, dan yah begini ini hasilnya, WC nya mampat.

Bingung, jelas saya bingung, bertanya pada penjaga warnet di sebelah toko ‘mbak punya garam nggak?’ begitu Tanya saya, dan jawab si embak tentu saja ‘nggak ada mbak’. Ya jelas saja tidak ada, karena itu warung internet bukan warung makan, jadi untuk apa dia menyimpan garam.

‘memang untuk apa mbak?’ begitu Tanya si embak

‘WC sebelah mampet mbak, haduh pusing saya mbak’ begitu jawab saya

Mengapa harus garam? Karena menurut cerita ibu saya, tukang renovasi di rumah, dulu pernah memperbaiki WC yang mampat di rumah saya hanya dengan meletakkan garam tepat di lubang WC nya.

Entah, saya benar-benar bingung, akhirnya saya mencoba menghubungi seorang teman saya yang katanya memiliki produk yang mampu memperlancar WC yang mampat, saya segera saja minta ia datang pagi, tetapi ‘waduh cep, gw gak bisa pagi, ada praktikum, bisanya jam 3’, haduh bagaimana ini. Hari semakin siang, bos besar sebentar lagi datang, kalau sampai ia tau, bisa habis saya kena semprotan amarahnya yang terkadang tidak kira-kira (ha…3x saya kembali hiperbolik).

Akhirnya, mau tidak mau, saya menghubunginya ‘kak, WC nya mampat, tadi habis ngepel cep buang airnya di WC, jadinya mampat’, saya tidak sampaikan pada si bos kalau saya habis membuang hasil pencernaan saya di WC toko kepunyaannya.

Lalu, ‘he….3x bla..bla..bla’ si bos malah terkekeh di dalam sms nya, saya pun meminta dia memesankan ‘plong’ untuk melancarkan lubang WC toko yang mampat. Tak lama ‘waduh cep, ibu yang jual lagi gak da di rumah gimana dong?’, begitu balasnya.

Ya sudah, cocok, akhirnya itu lubang masih mampat seperti itu. Lama, ujung-ujungnya, teman saya berkata ‘cep gw bisa ke sana sekitar pkl 14.00 siang’, yah akhirnya, pucuk di cinta kembali, ulam tiba kembali. Teman saya itu menepati janjinya, membawa bakal pelancar lubang WC toko milik bos saya. Bercakap-cakap sebentar, kemudian membayar, lalu ‘cara pakainya gini cep, bla..bla..bla’ dia pun pamit pergi, menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda.

‘yes’ saya seperti berada di ujung karang yang menjulang di tepi pantai, bermandikan cahaya matahari, sembari menggenggam botol ‘plong’, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi menantang langit, ‘hmmmh’ saya merasa seperti seorang kesatria dengan senjata pembunuh yang begitu ampuh ‘plong’, ‘byur’ dan debur ombakpun memecah kesunyian.
Berhenti berkhayal, kembali ke dunia nyata. Bergegas itu botol saya buka, lalu sesuai takaran saya masukkan separuh dari isi botol, ke dalam lubang, kemudian mendiamkannya beberapa saat.

Tik tok tik tok, tak terasa waktu pun berlalu, pintu kamar mandi itu saya buka kembali, ‘plong’ yang saya pikir sudah melakukan pekerjaannya, sudah saatnya ia disiram dengan seciduk air, lalu ‘byur…byur…byur…’, he….3x, saya hampir menang, sampai ‘blub..blub..blub’, hah, masya Allah, itu WC tetap pada keadaannya semula, mampat, haduh, tambah pusing kepala ini rasanya.

gawat, bagaimana ini?’ saya berusaha memutar otak, tapi otak tetap saja tidak dapat diputar, alhasil, sisa ‘plong’ yang ada, saya tumpahkan semua ke dalam lubang WC toko milik bos saya. Selesai, yang tinggal hanya menanti dan menanti, berharap agar kiranya ‘plong’ yang katanya penghilang saluran mampat itu benar-benar bisa bekerja.

Tik tok tik tok, jarum jam semakin lama semakin menyadarkan saya bahwa hari sudah mulai senja, pkl 17.10 sore, bos belum juga pulang dari keperluannya mencari pinjaman untuk kemajuan usahanya. Dan saya masih di sini, di depan komputer, bekerja di depan layar laptop sembari menanti apakah ‘plong’ akan memberi kabar bahagia ‘saluran WC nya sudah lancar’ atau justru sebaliknya ‘saluran WC nya belum bisa lancar’. Saya tidak tahu, saya belum tahu, yang saya tahu, yang jelas, untuk beberapa waktu, bos saya belum akan bisa menggunakan kamar mandi itu. Mau tertawa, karena geli rasanya, mau menutup muka, karena rasa malu itu berputar-putar memenuhi relung-relung hati kemudian memusat naik ke kepala.

‘Hahhhhh, harusnya, saya tidak membuangnya’.