Pages

Wednesday, April 22, 2009

Berdialog dengan bulan

">

Chapter 3


Ia nampak diam sejenak, lalu ‘oh ya, begitu menariknya kehidupan kalian manusia-manusia di dunia’ begitu katanya

‘menarik?’ tanyaku

‘menarik bahwasannya kalian dengan begitu sombongnya, bersedia menjadi khalifah di dunia’ begitu katanya.

Sombong? Sombong, katanya? Darahku mendidih, rasa ego ku sebagai seorang anak manusia muncul ke permukaan, inginku memaki sang bulan karena kata-kata sombong yang ia ucapkan, tapi kemudian tertelan, tertelan dalam wajah cantiknya yang rupawan.

‘sombong? Begitukah yang nampak padamu wahai bulan?’ tanya ku

‘ya begitu, gunung sekalipun merasa tak sanggup menjadi khalifah di muka bumi ini, sedangkan kalian hanya manusia? Apakah kalian sudah merasa sebegitu kuatnya, hingga kalian merasa mampu memikul bebannya?’ begitu jelasnya padaku. Aku hanya menunduk dalam diam, memikirkan apa yang bulan katakan. Ia benar, bulan itu benar.

‘kenapa diam wahai manusia? Benar bukan apa yang aku katakan?’ ia bertanya, tetapi tidak memerlukan jawabnya.

Aku hanya mengangguk dalam diam

‘aku heran, kiranya Allah ciptakan akal dan pikiran, tetapi kalian manusia lebih mempercayai manusia dari pada Tuhannya. Menggelikan kiranya, kalian begitu menggantungkan nasib kepada hal-hal yang gaib’ , aku hanya diam.

‘aku pun heran wahai manusia, bagaimana kiranya kalian dapat dengan senangnya, tertawa memakan daging saudara sesamanya’.

‘aku pun heran wahai manusia, bagaimana kiranya kalian bisa dengan senang tertawa, sedang kalian tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di hadapannya’

‘aku pun heran padamu wahai manusia, kiranya Dia sudah tetapkan seorang panutan bagimu untuk bekal hidup di dunia, tapi sedikit sekali dari kamu yang mau mengerti, sedikit sekali dari kamu yang mau meneladaninya. Seandainya kamu tahu, seperti apa kiranya akhlak Muhammad kekasih Nya itu, demi Allah, tak akan kamu berpaling pada manusia yang lainnya’

‘aku pun heran padamu wahai manusia, mengapa kiranya kamu dan saudara-saudara sesamamu itu begitu mencintai dunia, mengorbankan segalanya demi dunia, padahal kalian berada di dunia tidaklah lama, hanya sebentar saja, sekejap saja’

Aku hanya diam, tidak mampu berkata-kata. Dalam gelap, cahaya rembulan temaram, aku tersungkur, titik-titik air itu jatuh ke bumi, tak tertahan.

‘menangis kembali wahai kamu manusia? Kamu basahi diriku dengan titik-titik air matamu, menyesalkah? Untuk waktu yang tak terhingga? Atau hanya sementara saja’ begitu sang bumi berujar padaku, semua nampak menghujam.

Sang bulan, menusuk dengan tepat ke dalam hati ini, cantiknya ia begitu dirasa membunuh kini. Sang bumi, semakin menyudutkan diri ini, tak terasa sedu sedan itu ku perdengarkan, jangkrik-jangkrik malam, katak-katak yang bersahut-sahutan yang sedari tadi menciptakan harmoni, dirasa turut menghujam ke dalam segumpal darah ini.

Berdialog dengan bulan, bercakap-cakap dengan rembulan, kecantikannya menyakitkan, kata-katanya begitu menghujam jauh ke dalam. Sang bulan kembali dalam diam, meninggalkan aku sendirian setelah sebelumnya berkata ‘tetapi, bagi kalian manusia yang tetap berada di jalan Nya, Ia sudah janjikan surga Nya. Begitu Ia firmankan bukan? Maka bersyukurlah kalian pada Nya wahai manusia, kalian tetaplah hamba yang istimewa di hadapan Nya’

Sedu sedan itu terasa begitu nyaring di telinga, betapa kiranya aku begitu jauh dari rasa syukur itu, betapa kiranya aku begitu dekat dengan rasa sombong itu, betapa kiranya aku terlampau sering menghianati Mu wahai Tuhanku.

Bulan, ia tersenyum, cantik, ia bermain mata, untuk kemudian berlaku seolah-olah di antara aku dan dia tidak pernah terjadi apa-apa.

--END--