Pages

Monday, April 13, 2009

"kamu itu konyol" begitu katanya

-chapter 6-


Kereta ini memperlambat lajunya, kecepatan berkurang begitu pula percepatan yang dihasilkan. Sudah sampai di stasiun Kota bumi, pemuda itu dan teman-teman seperjuangannya berpamitan pada saya ”kita duluan ya mbak” saya tersenyum sembari berkata ”iya, hati-hati, sampai jumpa lagi ya”, lalu ”kalau naik kereta lagi, cari kita aja ya mbak” begitu kata salah satu dari mereka.

Saya kembali tersenyum ”iya” jawab saya. Mereka pun turun, kereta kembali bergerak. Kecepatan kembali ditambahkan hingga yang saya rasakan konstan, kembali tubuh ini diombang-ambing, masih duduk di samping pintu gerbong kereta api, mencoba menghindari asap rokok dari penumpang yang begitu egoisnya menurut saya, karena tidak memikirkan kemaslahatan penumpang yang lainnya.

Bosan, saya pun masuk ke dalam gerbong, duduk kembali bersama adik saya. Tak lama, seorang penumpang tersenyum, saya merasa aneh, lalu bertanya apa arti senyumannya, lalu dia berkata ”kamu itu konyol, nggak malu, nggak bisa mengendalikan diri”.... saya pun bertanya alasannya, katanya ”ya, itukan mempermalukan diri sendiri bla...bla...bla” tidak saya dengarkan lagi apa yang dikatakannya, sekilas saya mendengar dia berkata bahwa bila dia diminta melakukan itu dia tidak akan mau, tidak punya harga diri, begitu menurut pendapatnya.

’Masya Allah’ saya tidak ingin mendebatnya. Saya pun berdiri lalu pergi, kembali duduk di pinggir pintu gerbong kereta api menikmati angin yang bertiup sembari mencium aroma khas WC umum kelas ekonomi yang semakin lama semakin akrab bersahabat dengan indra pembauan yang Allah berikan pada saya.

Saya heran dengan pernyataan yang ia keluarkan, tapi biarlah saya tidak mau ambil pusing, setidaknya hari ini ada pelajaran yang bisa saya dapatkan. Sejatinya mencari uang memang tidak gampang, berjualan saja membutuhkan keberanian.

Pikiran saya melayang, menerawang entah kemana. Kereta ini terus berjalan, sesekali teori relativitas Einstein menggoda isi kepala saya untuk berdiskusi dengannya, penumpang-penumpang kereta api ini masih tetap berkutat dengan alam pikiran mereka, pedagang-pedagang asongan khas jalur perkeretaapian masih tetap memperjuangkan hidupnya dengan mengesampingkan rasa malu yang ada dan saya masih duduk di sini membiarkan indra pembauan saya semakin bersahabat dekat dengan bau WC umum yang tepat berada di sebelah saya, romantis, sejatinya beginilah kehidupan harus berjalan.

--end--