Chapter 1
Saya mahasiswa tingkat akhir, mahasiswa biasa, manusia biasa bila menurut manusia yang lainnya, dengan sekelumit akal dan pikiran yang terkadang gila, terkadang waras dan terkadang membuat teman-teman saya berkata ‘kamu ada ada saja’ atau bahkan ‘mungkin kalau orang yang ndak kenal sama kamu, dia malu kali ya jalan sama kamu’ begitu kata seorang teman saya.
Saya mahasiswa, mahasiswa yang mencoba mengais-ngais rahmat, mahasiswa yang mencoba menggapai-gapai kasih, mahasiswa yang mencoba mencari, menemukan, memaknai hingga merasakan apa yang namanya cinta, cinta dari Yang Maha Menciptakan.
Saya mahasiswa, mahasiswa yang berharap akan hikmah dan pelajaran, hikmah dari sebuah perjalanan, pelajaran dari sebuah kehidupan.
Berjalan menyusuri papping-papping jalanan, saya sudah semakin berumur saja. Belum ada prestasi, belum ada sesuatu yang berharga menurut saya yang bisa saya berikan, persembahkan pada Nya, pada Dia yang sudah Menciptakan saya, pada orang tua saya yang sudah melahirkan dan membesarkan saya, pada mereka yang sudah begitu banyak membantu, mengerti, memahami, dan berjasa pada diri ini, tidak juga oh bukan tidak tetapi belum, ya belum, belum juga mampu memberi kontribusi yang berarti terhadap bangsa ini.
Berhenti bercerita tentang diri saya yang sebenarnya mungkin menurut kalian saya mahasiswa yang biasa, tetapi luar biasa menurut saya, dan entah darimana ke-luarbiasaan itu saya menilainya.
Hikmah itu saya temukan, pelajaran itu saya dapatkan di suatu senja. Saat dimana saya berlari mengejar matahari, saat dimana saya berjumpa dengannya dengan nafas yang terengah-engah, dengan peluh keringat yang mengucur deras membasahi, dari kepala hingga ujung kaki ini.
‘hhh, hsh…hsh… jangan pergi mentari, temani aku barang sebentar saja di senja yang sendu ini’ kataku
Ia tersenyum, senyumnya yang merekah mengeluarkan seberkas sinar berwarna kuning keemasan, menyilaukan.
‘jangan berlari, karena kamu memang tidak perlu berlari, kenapa? karena aku menanti’ begitu kata sang mentari
-bersambung-