Pages

Monday, January 12, 2009

Awal mula

Mari kembali mengingat bagaimana kaki ini melangkahkan kaki pertama kali, meninggalkan kota tempat dimana saya mencari ilmu selama beberapa tahun terakhir ini.

Seingat saya, malam itu tidak begitu cerah, tidak ada cukup bintang, tidak seperti malam-malam biasanya. Teman saya bilang ‘tuh cep, lampung aja nggak rela kamu pergi ke kalimantan’ saya hanya tertawa, ya karena sepanjang hari menjelang keberangkatan hujan turun dengan derasnya, saya hanya bisa berdoa, agar hujan dihabiskan sore itu juga, hingga ketika malam menjelang, hujan berhenti menumpahkan diri ke bumi.

Tidak ada yang mengantar, hanya saya sendiri melangkahkan kaki menuju satu-satunya terminal yang ada di kota ini, terminal raja basa yang terkenal lagi-lagi karena tingkat kriminalya. Teman saya reni, hanya mengantarkan sampai depan, ‘gak berani cep’ begitu katanya pada saya, ketika dia tahu saya pergi ke terminal dengan berjalan kaki, atau dengan kendaraan umum? Ah saya lupa. Reni hanya berpesan ‘hati-hati ya cep’ lalu ‘ternyata kamu cakep juga ya cep’, lah, kenapa saya tuliskan ini, ya terkadang rasa konyol itu harus ditampilkan, ya seperti rasa narcis ini, asal tidak sering kali terjadi, sesekali tak mengapa saya rasa, toh kali ini saya yang bercerita.

Satu jam, dua jam, saya sampai di pelabuhan, dengan tas carier 45 liter, ransel yang baru ada karena keberangkatan saya, ya benar-benar butuh pengorbanan untuk sampai ke kota ini, termasuk dari segi materi tentunya, dan seperti yang sudah saya katakan, uang bulanan menjadi korban.

Hujan semakin deras saja dirasa, pada awalnya orang tua saya berpesan ‘berangkatnya dari Jakarta ya de’, tapi tidak saya lakukan itu, pagi hari saya sampai di sebuah kota yang terkenal dengan kembangnya, entah konotasi positif entah pula konotasi negative akan’kembangnya’, mencoba memenuhi janji yang sempat terucap jauh sebelum jadwal keberangkatan saya ke bontang ditetapkan. Menetap semalam, mencoba mengistirahatkan tubuh yang lelah, mengistirahatkan hati dan kepala, yang berkecamuk di dalamnya, mencoba kembali meluruskan niat untuk apa saya ke sana, ke kota yang terkenal dengan orang utannya.

Seorang teman saya meila, wanita cantik yang berasal dari kediri, yang bersekolah di jurusan yang sama, di UNESA Surabaya, berkata ‘kamu ini benar-benar memanfaatkan teman ya cep’. Saya hanya tertawa membaca pesannya, ia kata begitu karena di kota kembang, saya menumpang pada seorang teman, enjun namanya. Dan giliran meila tiba ketika saya sampai di Surabaya, saya menumpang di kamarnya, yang berisi empat orang termasuk dia.

Sore hari beranjak pergi di dalam kegamangan diri, merasa bersalah karena tak mematuhi apa yang harusnya dituruti. Enjun tidak ikut menemani, saya pergi sendiri ke salah satu stasiun yang ada di kota ini, stasiun kota bandung, beruntung ada seorang teman yang berbaik hati mau membelikan tiket jauh sebelum jadwal keberangkatan, seorang teman yang saya belum pernah berjumpa dengannya melainkan melalui dunia maya, khafidl namanya. Nama yang aneh, begitu pikir kepala saya saat itu, tergesa-gesa mengejar kereta senja menuju Surabaya, berlari-lari dengan tas besar yang membebani diri yang besarnya tak seberapa ini.

Kereta pun melaju, meninggalkan khafidl seorang diri di stasiun kereta api yang ada di kota ini, stasiun kota bandung. Terlalu mendramatisir agaknya cerita saya kali ini, tak mengapa tak apa, setiap mereka yang tercantum di dalamnya, memiliki kesan tersendiri di dalam hati, mengukir nama di dalam perjalanan saya kali ini.

Ramai, ya hampir semua penumpang saya terka asli orang jawa, dari logat daerah yang mereka gunakan saya mencoba mereka-reka. Saya duduk di samping jendela, syukurlah khafidl membelikan karcis dengan no kursi yang tepat, di sebelah saya duduk seorang pemuda tanggung, dari gaya bicaranya, saya terka dia dari madura, dan ternyata benar adanya.

Dia tidak sendiri, tetapi bersama beberapa orang temannya. Setelah sedikit bertanya, mengajak berbicara agar tak kaku nampaknya, ternyata mereka baru saja selesai menghabiskan masa liburan di kota bandung, ‘orang tua saya di bandung mbak’ begitu kata pemuda yang satu tempat duduk dengan saya. Baru lulus SMA, lalu melanjutkan ke salah satu pesantren yang ada di kota madura, begitu ceritanya. Saya tidak begitu banyak berbicara dengan mereka, ya terlebih karena beberapa orang temannya bercanda dengan hal-hal yang tidak patut menurut saya.

Dalam diam, menghabiskan waktu di dalam perjalanan, ditemani MP3 yang selalu setia menemani, dan sayang sekali, batterai pengisi energi nampak sudah mulai memprihatinkan. Kereta bisnis mutiara selatan, bukan karena begitu banyak uang hingga saya memilih kereta ini sebagai kendaraan, awalnya ingin mengulangi jalur menuju malang, mencoba mengenang perjalanan beberapa waktu yang lalu, tapi sayang saya lupa jalur tempuhnya, dan akhirnya keinginan untuk bertemu mbah putri, hanya tinggal keinginan di dalam hati.

-bersambung-